Suradi Adventure Part 9

Suradi Adventure Part 9
HATI SEORANG BIDUAN 2
Acara utama memang sudah selesai, namun acara berikutnya berupa silaturahmi antar pengusaha di resto itu malah justru lebih ramai. Beberapa orang berkerumun di meja-meja tertentu dan mereka saling tertawa. Sementara itu Winardi dan Melinda dikelilingi oleh sejumlah orang dan tampaknya mereka menikmati suasana non formal tersebut.
Suradi merasa tidak ada orang yang dikenalnya, atau setengah dikenalnya, agar bisa bergabung. Oleh sebab itu dia berrencana untuk meninggalkan meja itu dan pulang. Tiba-tiba seseorang mendatanginya dan duduk di sisinya.
“Maafkan jika tadi membuat bapak kurang nyaman… saya Puspa.” Katanya. Dia menyorongkan tangannya. Suradi menyambutnya. Menggenggam tangan halus itu dan menggoncangkannya pelahan.
“Saya Suradi. It’s oke. Ga pa pa. Sejak awal saya memang kurang nyaman berada sendirian di sini.” Katanya.
Rosadewi Puspa, sang biduan, tersenyum. Dia masih mengenakan gaun malamnya dan merasa yakin dirinya cantik.
“Kenapa gak bawa istri biar enggak sendirian?” Tanya Puspa.
“Kebetulan dia ada rapat tahun ajaran, jadi enggak bisa.” Kata Suradi.
“Oh. Begitu ya?”
“Ya, begitulah. Mau saya pesankan minuman atau makan malam?”
“Boleh. Kebetulan juga saya belum makan sejak sore.”
“Baik, saya juga baru makan cemilan-cemilan ini. Pelayan…” Suradi memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat. “Bisa tolong ambilkan menu, kami mau pesan.”
“Baik, Pak. Tapi mohon maaf, kalau bapak pesan dari menu nanti ada bill.”
“Gak apa-apa. Saya tahu.”
Pelayan itu pergi kemudian datang pelayan yang lain, memberikan daftar menu kepada Suradi dan Puspa. Mereka masing-masing memesan makanan yang berbeda. Ketika Puspa menyerahkan menu yang dipesannya, dia juga menyerahkan kartu kreditnya.
“Jangan.” Kata Suradi. “Saya nanti yang bayar.”
“Trimakasih, saya juga tidak mau merepotkan.” Puspa memaksa pelayan itu menerima kartu kreditnya.
“Saya bayar terpisah.” Kata Suradi kepada pelayan itu.
“Sekalian aja, Pak Pelayan.” Kata Puspa.
Suradi tersenyum. Dia merasa aneh.
“Seumur hidup saya belum pernah dibayarin cewek makan di resto. Saya merasa aneh.” Kata Suradi.
Puspa Tertawa pelan.
“Tapi senang kan?” Katanya.
“Tidak. Saya malah sedikit tersinggung… sedikit.”
“Oh ya?” Kata Puspa. “Saya belum pernah ketemu laki-laki yang tersinggung, walau sedikit, ketika makanannya dibayarin oleh seorang perempuan.”
“Nah, berarti sekarang pernah.”
Puspa tertawa.
Dari tempat yang tidak terlalu jauh, Melinda bisa melihat tawa itu murni berasal dari hati seorang perempuan yang kesepian.
“Pak Suradi masih tinggal di Cimahi?” Tanya Puspa tiba-tiba.
“Masih. Koq tahu?” Suradi merasa heran.
“Masih tinggal di rumah beratap tinggi, di jalan raya Cibabat dekat belokan yang ada warung Padangnya, Kan? Catnya masih ijo?”
Suradi terbelalak.
“Koq… tahu?”
Puspa tersenyum.
“Mau tau atau mau tau banget?” Katanya mempermainkan rasa penasaran Suradi.
“Mau banget tau.” Nada Suara Suradi datar. Dia tersenyum.
Puspa tertawa keras.
“Kamu lucu.” Katanya. “Uf, sorri, aku bilang kamu.”
“Gak apa-apa. Panggil langsung nama juga oke. Usia kita kelihatannya sama, sudah 50 kan?”
“Enak aja.” Katanya. “Itu ketuaan.”
Suradi tersenyum.
“Tentu saja ke-tua-an. Saya tahu. Saya bisa nebak umur Puspa dengan tepat.”
“Berapa coba?”
“Hm. Coba saya perhatikan sebentar… ” Suradi mengerling-ngerlingkan matanya naik turun lalu mengerling ke kiri dan ke kanan, “Tidak salah lagi. Puspa pasti berumur 82.” Katanya dengan nada serius.
Puspa tertawa lagi. Lelaki di depannya ini sedang melancarkan humor dengan wajah serius. Puspa tiba-tiba saja merasa nyaman di dekatnya.
“Tebakan jitu.” Kata Puspa.
“Ya. Punya 2 anak dan 14 cucu. Sayang namanya depannya bukan Rosadewi, harusnya Titiek. Padahal nama aslinya adalah Sudarwati.” Kata Suradi. “Lahir di Tanjung, Tabalong, Kalsel tahun 1937.”
“Aku lahir di Bandung.”
“Cerai dengan suami pertama, menikah lagi dengan Mus Mualim, seorang pianis sekaligus pencipta lagu.”
“Itu mah eyang Titiek Puspa atttuuhhhh….” Kata Puspa dengan suara renyah.
“Memang. Saya kan tidak sedang membicarakan orang yang sedang duduk di pinggir saya.”
Pesanan datang.
“Mau denger sebuah cerita?” Tanya puspa. Suradi mengangguk. Namun sebelum Puspa sempat mengatakan sesuatu, HPnya berdering. “Ya, De, Gimana Mobilnya?… oh, ya sudah. Kaka nanti pake taksi online aja. Ya, ga pa pa. Kamu jangan begadang ya? Besok harus kuliah kan… ya udah, ya ga pa pa.” Klik. Telpon ditutup. “Itu dari Dede, adik saya.”
“Kenapa mobilnya?” Tanya Suradi.
“Belum kelar, masih di bengkel.” Kata Puspa sambil menyuap makan malamnya. “Masih mau mendengar cerita?”
“Ya. Tentu. Untuk makan malam gratisan yang sedikit membuat tersinggung… kenapa tidak?”
“Sepuluh tahun yang lalu, ada seorang gadis, dia naik motor untuk ikut audisi…”
“Itu pasti kamu ya.” Kata Suradi.
“Dengerin dulu.”
“Oke, siap, siap.”
“Orangtua dan adiknya sangat mendukung. Gadis itu naik motor menuju sebuah mall di mana audisi diselenggarakan… di jalan, tiba-tiba ada angkot nyerempet motor gadis itu sehingga dia terjatuh. Untung enggak ada luka berarti… tapi bagian belakang motornya yang terserempet itu, penyok parah sehingga ban belakangnya terhalang tidak bisa berputar. Lalu ada cowok ganteng nolongin dia…”
“Koq kayak sinetron?”
“Dengerin dulu.”
“Oke, siap, siap.”
“Cowok itu nanya, mau ke mana de? Mau ikut audisi ke mall, Jawab gadis itu. Oh. Tapi motornya kan gak bisa jalan, kata cowok itu. Saya juga mau ke mall itu untuk membuat partisi sebuah gerai. Motornya kita angkut di belakang, setuju? Tapi kita ke Cimahi dulu sebentar ya ngambil peralatan, kata cowok itu berbaik hati. Gadis itu setuju. Motornya yang rusak itu diangkut oleh 3 orang anak buah cowok itu ke bak mobil. Gadis itu duduk di samping cowok yang mengendarai mobil bak itu. Gadis itu memperhatikan cowok itu tapi cowok itu terkesan cuek. Pendek cerita, gadis itu berhasil audisinya dan akan berlanjut ke Jakarta. Terus, dia mencari cowok itu yang sedang mengerjakan partisi sebuah gerai handphone di mall itu. Cowok itu minta izin sama anak buahnya dan mengantarkan gadis itu pulang ke rumahnya di Tubagus Ismail sekalian dengan motornya.”
“Terus?” Tanya Suradi.
“Gadis itu sangat berterimakasih sama cowok itu. Tapi cowok itu malah tertawa. Enggak perlu merasa berhutang budi. Katanya. Sejak saat itu, dan mulai sejak saat itu, gadis itu tak pernah bertemu dengan cowok itu lagi.”
“Hm.” Suradi mendehem pelahan.
“Setelah sepuluh tahun berlalu, gadis itu akhirnya bertemu lagi dengan cowok itu di tempat yang tak terduga.”
“Di mana?” Tanya Suradi.
“Di sini. Di meja ini.”
Suradi tertawa lembut.
“Ya, samar-samar saya juga ingat dengan gadis itu. Dia sangat manis. Lebih tepatnya lucu. Lebih persisnya lagi, manis dan lucu.”
“Gadis itu sekarang bisa membalas kebaikan cowok itu dengan mentraktirnya makan malam. Sekarang dia merasa tidak berhutang budi.”
Suradi tersenyum lebar.
“Sekarang saya juga sudah tidak tersinggung lagi.”
“Syukurlah.” Kata Puspa. “Seorang lelaki kalau sudah tersinggung sikapnya sering sangat menyebalkan.”
“Setuju.” Jawab Suradi.
“Nah, saya pikir, karena harga makan malam resto ini cukup mahal, jadi rasanya kurang seimbang kalau disamakan dengan biaya antar pulang mall dan tubagus ismail. Bagaimana kalau saya seimbangkan dengan mengantarkan sekali lagi gadis itu pulang ke rumahnya?”
“Ya, tentu saja. Asal menggunakan kendaraan yang sama. Kalau tidak, saya pulang dengan taksi.” Kata Puspa dengan senyum kemenangan.
Puspa menduga, dengan menjadi tamu utama acara ini, tentu lelaki itu telah berkembang menjadi pengusaha sukses dan dia yakin pasti mobil baknya itu tidak akan dipergunakan menuju hotel ini.
“Baiklah. Mobilnya masih sama dengan sepuluh tahun yang lalu. Belum pernah turun mesin, hanya pemakaian lecet di sana sini.”
“Kamu bohong.”
“Buat apa bohong?”
“Jadi kamu ke sini naik mobil bak itu?”
“Ya. Memang kenapa?”
“Kamu enggak malu?”
“Malu?” Suradi tertawa lembut. “Saya tidak pernah malu menggunakan mobil saya sendiri.”
Puspa terdiam.
“Boleh saya tanya, Pak, eh, Kang Suradi diundang ke sini oleh siapa?”
“Oleh Linda. Memang kenapa?”
“Melinda Liem?”
“Ya. Eh, tuh dia orangnya sedang berjalan mendekat ke sini.”
Seorang perempuan cantik dengan gaun rancangan desainer mendekati Suradi dan Puspa.
“Halo, Pak Sur? Apa kabar?”
“Baik.” Kata Suradi, berdiri dari duduknya. “Kenalkan ini, Rosadewi Puspa.”
“Selamat malam, Bu.” Puspa berdiri dan menyambut Melinda.
“Malam.” Jawab Linda. “Rupanya kenal juga ya sama Pak Suradi.” Kata Linda dengan nada formal. “Hati-hati loh, orang Cimahi bisa sangat ngangenin.” Tambahnya dengan nada bercanda.
Mereka semua tertawa.
“Pak Suradi, untuk kantornya sudah saya pesankan satu di blok A nomor 5. Tempat yang paling strategis.” Kata Linda, senyumnya dingin penuh arti.
“Eh, itu harus dibicarakan dulu.”
“Ya, saya tunggu besok ya. Permisi, saya mau nemuin tamu yang lain dulu.”
Suradi menghenyakkan diri ke kursi.
“Bu Linda memang keren ya.” Kata Puspa.
“Ya, dia bisa memaksakan kehendak dengan caranya.”
“Dia kelihatan cantik dan baik. Dia juga kaya raya.”
“Begitulah.”
“Kelihatannya Kang Sura tidak interest…”
“Bukan, bukan itu. Seandainya saja dia tidak… ah, sudahlah. Lupakan saja.” Suradi mengusap wajahnya. “Saya antar pulang ya?”
“Tentu, asal dengan kendaraan yang sama.”
Suradi tersenyum lebar.
Bersambung…