Suradi Adventure Part 7

0
2031

Suradi Adventure Part 7

MELANI DAN SISKA

1

Melani mencari celah-celah yang masing kosong di tempat parkir yang penuh dengan kendaraan roda 2 itu. Dia mengalami sedikit kesulitan ketika menyelipkan mobilnya di antara 2 motor yang berjarak renggang. Dia turun dengan hati-hati agar pintu mobilnya tidak mengenai motor di sebelahnya, Lani kemudian meneruskan langkahnya menuju kamar yang terletak paling depan lantai bawah dengan pintu bertuliskan “PENGELOLA”.

Lani sejenak berdiri. Menyapukan pandangan ke sekeliling. Kamar kost-kostan yang berbentuk U itu memiliki total kamar sebanyak 60 buah. Tiap baris yang membentuk huruf U itu memiliki jumlah kamar 20, 10 di lantai bawah 10 lagi di lantai atas. Namun total yang dikostkan jumlahnya ada 58. Satu kamar dipakai untuk ruang pengelola, satu lagi untuk ruang satpam dan cleaning service. Masing-masing kamar terletak di lantai bawah paling depan yang saling bersebrangan.

Lani membuka pintu kamar pengelola itu dengan sangat pelahan. David sedang membelakanginya dengan celana jeans dan celana dalamnya melorot sampai mata kaki. Pantatnya bergerak maju mundur di antara selangkangan seorang perempuan yang tengah berbaring mengangkang di atas meja.

Lani tidak mengganggu mereka. Dia duduk di kursi lipat yang menempel ke dinding dengan tenang. Menyalakan rokok.
“Akhkhh… aku keluar.” Kata David. Dia kemudian menungging untuk menarik celananya pada saat yang bersmaan dia mencium asap rokok itu dan terperanjat setengah mati. Tubuhnya gemetar.
“Mana Om duitnya?” Kata perempuan itu. David ragu-ragu mengambil dompetnya.
“Bayar dulu.” Kata Lani. “Masa udah ngentot ga mau bayar, gimana sih lu.” Lani mengisap sigaretnya dengan kuat dan dalam.

Perempuan itu mengenakan celana dalamnya dan mengambil uang yang disodorkan David.
“Makasih ya Om… mari tante.” Katanya sambil meninggalkan kamar itu. Lani membiarkan pintunya tetap terbuka.
“Lan, gua bisa jelasin semuanya.” Kata David gugup.
“Hm.” Lani mendengus sinis. “Ya, elu bisa jelasin kalau kost-kost ini miliki gua, elu cuma bantuin. Sekarang mana duit setorannya?”
“Sayang, dengerin dulu… gua lagi ada bisnis yang menguntungkan…”
“Cukup, Vid. Cukup.”
“Lan, kamu cantik deh kalao lagi ngambek gitu… dengerin gua sebentar aja…”
“Gua bilang Cukup!” Teriak Lani. “Udah ngentot lonte, makan duit setoran, lu mau ngejelasin apalagi, ha?”
“Lani sayang, kita pernah melewati hari-hari indah bersama…”
“Lu kagak usah ungkit-ungkit masalalu, elu pikir kontol lu yang kecil itu udah muasin gua? Cuih. Elu cuma laki-laki yang ga tau diuntung. Pergi lu sekarang! Pergi!!!”
“Lan, maafin gua…”
“Gua bilang pergi!”

2

Ruang pengelola itu benar-benar berantakan. Kotor dan tak terurus. Komputer dan scanner mati. Data manual penyewa tidak lengkap. Hm. Lani membuka filling kabinet dan menemukan brankas, memutar angkanya dan membukanya. Dia menghitung uang yang terdapat di situ, cuma ada 7 juta.
“Bangsat!” Makinya.

Lani tak menemukan rekening listrik terakhir dan dia merasa khawatir David tak membayarkannya. Dia merasa menyesal mengapa dia memecat Astuti dan menggantinya dengan pemuda payah itu. Dia berpikir, dia akan berbicara dengan Ben dan menjelaskan kelakuan sepupunya Jean, istrinya Ben, itu.

Pada awalnya, 3 tahun lalu, David memang pernah mengisi kekosongan hatinya setelah Derry, suaminya, meninggal. David manis, bisa dipercaya dan bisa untuk bermanja-manja. Tapi beberapa bulan belakangan ini dia menjadi brengsek. Selalu berbohong dan tingkahnya menyebalkan. Lani bosan dengan sikap David yang kekanak-kanakan dan sok merasa dirinya penting. Dia banyak menuntut ini itu yang ujungnya menilep duit sewa.
“Gue tendang baru tau rasa lu.” Pikir Lani.

Lani pergi ke luar dan berkeliling. “Heran, tempat kost-an ini mengapa kotor dan seperti tak pernah dibersihkan?” Pikir Lani. Dia kemudian menuju kamar Satpam, tak ada orang.
“Pak Mamat dan Jajang pada ke mana?” Tanyanya dalam hati. Dia melangkah menuju pintu gerbang kost-an, terlihat olehnya Pak Mamat sedang membeli rokok di kios sebrang jalan.
“Pa Mamat!” Lani berteriak. Orang yang dipanggil segera menoleh dan kemudian berlari mendekati Lani.
“Aduh, Ibu ke mana aja, sih.” Kata Pak Mamat. “Pak David kerjaannya enggak bener, bu.” Katanya. “Gaji saya sama gaji Jajang belum dibayarin udah 3 bulan, tukang ledeng dan tukang listrik juga pada nagih uang pemeliharaan, belum iuran untuk RT/RW yang enggak dibayar sama Pak David.”

Lani menarik nafas.
“Ya, Pak Mamat. Maafin Ibu ya.”
“Ibu mah enggak salah, Pak David yang salah, Bu.”
“Jajang ke mana?”
“Sudah 3 minggu enggak masuk, bu.” Kata Pak Mamat. “Istrinya sakit.”
“Si David bener-bener keterlaluan!” Katanya dalam hati.
“Bu, kalau boleh, saya minta gaji saya sebulan aja dulu, soalnya di rumah sudah enggak ada apa-apa.”
“Jangan khawatir, Pak. Saya bayar 3 bulan sekaligus.”
“I ya Bu, terimakasih.”

3

Sesiang itu sampai sore, Lani mendata semua penyewa kamar kostnya. Dia merasa bersyukur bahwa pada hari itu, ada lebih setengah penyewa belum membayar. Jadi duitnya belum sempat ditilep sama si David. Tapi dia juga merasa kesal karena pemeliharaan dan pengawasan yang buruk, cukup banyak kamar perlu mendapat perbaikan. Terutama di lantai 2, banyak kamar mandi yang bocor. Dia juga ingin membenahi tempat parkir agar lebih tertata.

Lani tiba-tiba ingat Suradi. Laki-laki matang yang bersahaja itu memang memiliki pesona kejantanan sendiri. Dia tersenyum kecil jika ingat peristiwa satu bulan lalu itu, ketika dia dan dua orang sahabatnya, Dewi dan Siska, nge-gangbang lelaki itu di kafenya Dewi.
“Hadeuuhhh… ” Keluhnya. “Dia mau enggak ya mengerjakan pekerjaan kecil ini kira-kira?” Tanyanya dalam hati. “Ah, bodo amat. Gua telpon dulu, soal mau kagaknya belakangan.” Pikirnya.

Lani menelpon Suradi beberapa kali tapi nadanya sibuk terus. Pada percobaan ke 5 barulah telpon diangkat.
“Hallo.” Suara bas itu terdengar empuk. Lani merinding.
“Sur, ini gua, Lani… lu bisa liatin kost-an gua enggak sekarang? Kayaknya butuh banyak perbaikan nih.”
“Kalau sekarang mungkin susah, aku lagi di Bogor ikutan tender, malem ini pulang. Paling besok pagi.”
“Bener ya besok pagi ya?”
“I ya. Siap.”
“Oke, thanks ya sebelumnya.”

Lani menutup telponnya. Besok pagi? Ah, mudah-mudahan bisa sekalian dapat kontolnya.

4

“Siapa, Sur?” Tanya Siska sambil melepas sepatu pantofelnya. Dia duduk di bibir ranjang dan melepas blazernya.
“Ada order perbaikan kamar kost-kost-an. Besok aku janji mau ke sana buat melihat-lihat.”
“Elu kecewa enggak?” Tanya Siska lagi.
“Aku sudah biasa, Sis. Om kamu itu persyaratannya tinggi, wajarlah jika yang lebih baik dari aku yang menang.” Kata Suradi tenang. Dia tersenyum. “Aku justru belum ngucapin terimakasih kamu mau bercape-cape bantu aku ikut tender di sini.”
“Enggak perlu. Gua seneng bantu elo, Sur.”
“Aku tadi kenalan sama Toni. Dia baik.”
“Ya, suamiku memang baik.” Kata Siska, dia mendekati Suradi dan memeluk lelaki itu dari belakang. “Lu ga perlu khawatirin dia.”
“Aku merasa ga enak, Sis. Kami ngobrol cukup lama, selera humornya juga baik. Dia juga cerita tentang kamu… ”
“Apa katanya?”
“Katanya, dia memiliki istri yang sangat pengertian.”

Siska mencium pipi Suradi dari belakang. Tertawa pelan.
“Tentu saja pengertian. Gua udah berumahtangga sama dia lebih dari 15 tahun. Punya anak satu. Kehidupan ekonomi cukup. Rumah nyaman. Mobil masing-masing satu. Tabungan lumayan. Apalagi?”
“Dia baik dan ganteng. Apa yang kurang dari Toni?” Tanya Suradi.
“Elu suka sama Toni ya?”
“Maksud kamu?” Tanya Suradi dengan keheranan.

Siska tertawa. Ada nada getir di balik suara tawanya.
“Dia ngobrol sama lu sampai hampir satu jam… elu enggak lihat ekspresi wajahnya?”

Suradi mengerutkan kening.
“Gua perhatiin banget lu ngobrol sama Toni. Dia kepincut sama elu.”
“Maksudmu dia… dia…?”

Siska mengangguk.
“Rumah tangga kami hanya sandiwara buat menutupi karirnya. Elu paham Sur?” Kata Siska sambil mencopoti kancing kemeja Suradi dari belakang. “Dia bekerja di BUMN, punya jabatan bagus walau tidak tinggi. Dia enggak mungkin berterus terang sebagai homo.”

Suradi berbalik, kedua tangannya meraih pinggang Siska.
“Tapi kan kamu punya anak?”
“Dia itu gay, bukan impoten.” Kata Siska. “Salah satu pacarnya ada yang biseks, dia yang bantu masukin kontol Toni ke dalam memek gua, lalu pecah di dalam.”
“Terus, selama 15 tahun, kamu ke mana aja?”
“Gua? Terus terang, selama itu gua nyari cowok yang kayak elu.”
“Ada?”
“Ya, ada lah.”
“Siapa?”
“Ya elu lah, siapa lagi?”

Suradi tertawa.

“Waktu istirahat gua tinggal 45 menit lagi.” Kata Siska. “Gua berharap lu gak pulang malam ini. Sur, plis.”
“Aku juga berharap tinggal barang dua atau tiga jam lagi. Sis, tapi kamu tak semanja itu kan? Kita sama-sama punya kesibukan masing-masing.” Kata Suradi sambil mengecup kening Siska.
“Gua gak manja, tapi pengen banget dimanja.” Kata Siska sambil membuka ikat pinggang dan kancing celana Suradi. “Gua tau, gak mungkin menuntut elu memenuhi permintaan gua. Lu mau gua ajak ke sini juga gua udah seneng.” Katanya.

Celana pantalon Suradi jatuh ke lantai. Dia menendangnya ke pinggir.
“Meeting kedua pasti lebih keras.” Kata Siska. “Mungkin akan selesai sampai larut malam. Gua hanya minta 25 menit saat ini, Sur, untuk mengobati rasa letih sepanjang malam nanti.” Katanya lagi sambil melucuti seluruh pakaiannya. Suradi melakukan hal yang sama.

Mereka saling bermuka-mukaan dalam keadaan telanjang bulat. Kedua jari jemari masing-masing saling meraih pinggul lawannya. Tatapan mereka bertemu, mencoba saling menggali kedalaman hati masing-masing. Kedua payudara Siska menempel di dada Suradi, mulai mengeras ketika bibir-bibir mereka bertemu. Lalu saling memagut.

Siska merasakan di perutnya kontol Suradi mulai hangat dan menegang. Dia meremas-remas bokong tebal lelaki itu yang gempal.

Saat yang bersamaan, jari jemari Suradi mempermainkan bibir-bibir memeknya dengan lembut dan mengoles-olesi kelentitnya dengan telunjuk. Siska pun melelehkan lendir.

“Waktumu enggak banyak. Kau mau aku memasukkannya sekarang?” Tanya Suradi setelah melepaskan kuluman bibirnya. Dia menatap Siska dengan lembut.

Siska tidak menjawab. Dia melepaskan diri dari Suradi dan rebah di bibir ranjang. Kedua telapak kakinya naik ke atas kasur dan kedua pahanya membuka lebar. Pada saat seperti itu, umumnya kaum lelaki akan langsung memasukkan batang kontolnya ke dalam liang memek yang terbuka itu. Tapi Suradi tidak. Dia tahu memek itu belum sepenuhnya terangsang, belum siap menerima penetrasi kontolnya yang mulai menegang.

Suradi membungkuk. Menatap sejenak kecantikan memek itu tanpa kedip. Lalu menciuminya, menjilatinya dan mengemut itilnya sampai telinganya mendengar Siska merintih-rintih. Setelah itu barulah dia mencelupkan kepala kontolnya ke dalam liang itu dan menancapkannya sampai penuh hingga ke buah zakarnya.

Suradi melihat Siska memejamkan mata. Di bibirnya tersungging senyum kenikmatan.

Suradi ikut tersenyum. Dia kemudian menarik kontolnya dan memasukkannya kembali secara ritmis, menggenjot pinggulnya dengan semangat untuk menyingkap tabir kenikmatan syahwat umat manusia.

Siska menikmati genjotan kontol itu yang ke luar masuk ke dalam memeknya. Pelahan dan pasti, dia merasakan badannya menjadi rileks. Urat syaraf otaknya yang tadi tegang kini mengendur… mmhhh… hujaman kontol semakin lama semakin cepat. “Duh, enaknya.” Bisik Siska.

Tetes demi tetes lendir mulai membasahi batang kontol Suradi. Desahan demi desahan dilalui tanpa kata. Sampai akhirnya Siska mengerang dan menahan pinggul Suradi untuk diam tak bergerak.
“Tunggu… Surrhhh, aku akhann ke luarrhh.” Siska berkata dengan nafas agak memburu.
“Baik, kalau gitu sama-sama ya?” Kata Suradi, tenang dan datar.

Siska mengangguk. Dia kemudian membentangkan kedua tangannya minta pelukan. Suradi pun memeluknya.

Sambil berpelukan erat, Suradi menggenjot memek itu lagi selama beberapa menit. Akhirnya Siska mengejan karna orgasme, bersamaan dengan itu, muncrat juga pejuh Suradi di dalam kuluman memek STW yang seksi itu.

Mereka terdiam sejenak, menikmati ekstasi syaraf-syaraf kesyahwatan yang tinggi melambung untuk kemudian pelahan-lahan meredup.

Setelah api berahi padam dan memeknya kenyang digenjot, Siska membuka mata dan merasa tubuh Suradi terasa berat. Dia mendorong dada lelaki itu hingga terguling ke kasur dan tertawa geli saat memeknya yang sudah menguncup melepas dengan berat batang kontol yang tercerabut lepas dari kuluman liang memeknya.
“Hadeuh.” Keluh Siska. “Kontol Suradi memang lezat. Tapi waktu gua juga semakin habis.” Katanya dalam hati.

Siska bangkit duduk dan mengenakan pakaiannya dengan cepat.
“Jangan lupa celana dalam kamu.” Kata Suradi yang juga ikut berdiri dengan cepat, dan mengenakan pantalonnya.

Siska tertawa nyengir dan mengecup pipi Suradi.
“Sur… makasih banyak ya. Lu udah nemenin gua, ngentotin gua ampe kenyang nih memek… tapi urusan lu sendiri gagal total.”
“Ga pa pa. Kalah menang tender itu soal biasa.” Jawab Suradi datar. “Aku berangkat ke Cimahi sekarang ya?”
“Ya, gua juga mau ke ballroom meeting.”

Siska memeluk Suradi dan mencium bibirnya sekecup lalu berbisik, “Kontol lu lezat banget.” katanya.
“Memang.” Kata Suradi dalam hati. “Semua yang pernah aku ewe mengatakan itu.”

5

Lani mematut-matut dirinya di depan cermin. Dia mengenakan gaun stretch terusan warna merah lembut yang terbuat dari bahan setengah rajut, yang elegan namun seksi. Memperlihatkan sebagian pahanya yang putih mulus dan memamerkan betisnya yang panjang. Dia beberapa kali menghapus lipstiknya dan berganti warna karena takut tampil terlalu mencolok. Namun akhirnya Lani memutuskan untuk mengoles tipis bibirnya dengan lipstik warna netral.

Tapi kedua bukit payudaranya yang sudah berumur 45 tahun itu sulit sekali diatur agar mau sedikit membusung. Dia merasa sebal.

Namun ada yang lebih menyebalkan. Dia telah mengganti celana dalamnya sebanyak 5 kali, tak satu kali pun dia merasa cocok. Lani berusaha mati-matian melawan ide yang muncul secara tiba-tiba di kepalanya, agar dia tak usah memakai celana dalam saja. Ide itu muncul seiring dengan ingatannya yang kuat bagaimana Suradi memperlakukan memeknya dengan mulutnya. Lani bergidik. Baru membayangkannya saja sudah membuat memeknya meleleh.

Lani berharap hari ini memeknya bisa ditusuk kontol Suradi.

6

Di belakang stir, Melani merasa kesal telponnya tak dijawab Suradi selama beberapa kali panggilan. Dia mulai sedikit resah, jangan-jangan Suradi tak bisa datang dan mungkin masih di Bogor. Ketika sampai di lokasi kost, sekitar jam 10 pagi, Melani tahu apa yang sebenarnya terjadi: sesungguhnya dia merasa kangen kepada pria charming itu.

Area parkir yang terletak di tengah-tengah kamar-kamar kostnya, nampak lengang dari kendaraan roda dua, yang memang merupakan mayoritas kendaraan yang dipergunakan oleh para penghuni kost atau tamu yang datang. Lani hanya merasa heran ada sebuah mobil bak terbuka yang sudah sangat jadul terparkir di situ.

Lani berhenti di pinggir mobil jelek itu.

Dia membuka jendela-jendela pintu, mematikan mesin dan AC mobil lalu menyalakan sigaret. Dia duduk di belakang stir dengan kaki menelonjor. Rasanya hilang semangat jika Suradi tidak jadi datang.

Sigaret itu belum habis ketika dilihatnya pria itu tengah berjalan dari arah sisi sebelah kiri. Rambutnya yang setengah ikal tampak kusut dibelai-belai angin. Dia memakai kemeja kasual tangan panjang yang dilipat sampai sebatas siku, perutnya rata dan celana denim hitamnya dililit ikat pinggang kulit warna coklat.

Lani terpana.

Dia merasa mustahil menafikan pesona itu tak mampu menampar perempuan mana saja hingga kelenger saking kesengsemnya. Jangankan STW seperti dirinya, Lani berani bertaruh, para gadis dan abg juga bisa terperosok oleh pesona lelaki itu.

“Jangan-jangan gua jatuh hati sama dia.” Kata Lani dalam hati.

Suradi memiliki postur tubuh seimbang. Dia sama sekali tidak kelihatan muda tapi dia mustahil dikatakan tua. Sepasang matanya dalam dengan bola mata coklat pekat. Hidungnya mancung dengan bibir tipis agak dower. Jika tersenyum, wajahnya seakan-akan memancarkan ketulusan hati.

Lani mengisap sigaretnya dan menghembuskan asapnya dengan kuat. Lalu mematikannya di asbak dashboard. Dia berniat ke luar dari mobil dan mendekati pria itu.

Suradi berjalan sambil memegang buku gambar ukuran A3, didampingi Pak Mamat dan seorang lelaki tua yang tak dikenal Lani. Mereka berjalan mendekati mobil bak butut itu.
“Sudah. Sekarang Pak Tono cepat kembali ke proyek, pimpin anak-anak agar bisa bekerja dengan baik. Saya di sini menunggu teman datang.” Lani mendengar Suradi bicara.
“Kalau enggak datang gimana, Pak? Perlu dijemput jangan?” Kata lelaki tua yang dipanggil Pak Tono itu.
“Enggak usah. Saya bisa pake taksi atau ojol.”
“I ya, Pak. Baik.”

Dari jendela pintu samping mobilnya, Lani melihat Suradi sedang membelakanginya, pinggangnya tampak ramping dan pantat yang dibalut celana denim itu demikian penuh dan padat. Lelaki itu kemudian berjalan mengellilingi bagian depan mobilnya dan mendekati pintu mobil yang terbuka.
“Katanya pagi. Aku di sini sejak jam 7.” Kata Suradi.

Lani mendongak. Hatinya sedikit berdesir membayangkan benda yang menggembung di antara selangkangan lelaki itu.
“Gua ke butik dulu, Sur. Sorry ya telat.” Jawab Lani sedikit berbohong. Tapi hatinya merasa lega dan gembira.

Suradi melebarkan bukaan pintu, dia berdiri di pinggir Lani yang masih duduk di belakang stir. Tangan kirinya di atas kap mobil yang mulai panas, tangan kanannya terkulai di atas pintu mobil sambil memegangi buku gambar hasil sketsa. Dia menyaksikan belahan buah dada Lani yang putih lembut serta sepasang paha mulus yang rapat saling menghimpit.
“Aku sudah bicara dengan Pak Mamat.” Kata Suradi. “Ada keluhan dari lima kamar kost yang bak mandinya bocor… Lan, apa tidak terpikir untuk memberi nomor kamar-kamar itu dan menyewa manajer kost? Tapi itu urusanmu, sori… yang di ujung bangunan kanan dan kiri ada pergeseran beton… tidak berbahaya, tapi retakannya bisa disuntik cor, tempat parkir ini tidak tertata, pintu gerbang rusak engselnya… secara keseluruhan masih oke untuk 3 -5 tahun ke depan… biaya perbaikan tidak akan lewat dari 20 juta… cuma aku punya ide…” Suradi menghentikan penjelasannya, dia berjongkok dan memperlihatkan hasil sketsanya kepada Lani. Suradi membuka lembar demi lembar buku gambar itu, dan memperlihatkan coretan-coretan sketsanya yang masih kasar.

Tapi Lani sangat terpukau. Sketsa rumah kost-kost-annya sangat bagus. Mirip sketsa lukisan.

Dia mengambil, tepatnya merebut, buku gambar A3 dari tangan Suradi. Membuka lembar demi lembar buku gambar itu dan menikmatinya agak lama.

Suradi yang berjongkok tidak tahan melihat paha dan betis putih mulus itu.
“Sabar, sebentar lagi aku akan menikmatinya.” Kata Suradi dalam hati.

7

“Ini bagus sekali, Sur.” Kata Lani. “Entah berapa duit buat ngerenov kayak begini.”
“Itu cuma ide, Lan dan aku senang membuat sketsanya.”
“Ini buat gua ya. Entar kapan-kapan gua wujudin kost-an gua kayak begini.”
“Boleh.”
“Kapan lu mau mulai kerja?”
“Besok. Pak Tono yang ngerjain. Setelah selesai, tagihannya aku kirim.”
“Elu besok ke sini enggak?”
“Kayaknya enggak. Pak Tono bisa diandalkan koq.”
“Sekarang rencana lu apa?”
“Paling makan siang, sudah itu ke proyek.”
“Gua traktir dah makan siangnya, udah itu gua anter lu ke proyek. Setuju?”
“Setuju.” Kata Suradi, tersenyum.

8

Di belakang stir, Lani menelpon.
“Pik, pesanan yang ibu suruh beli tadi pagi, sudah belum?” Katanya.
“Sudah, bu. Baru saja Opik nyampe ke toko.”
“Ya, udah. Sebentar lagi ibu dateng. Siapa aja tamu yang datang, cancel. Ibu ada tamu spesial.”

Suradi tersenyum mendengarnya.
“Jadi kita ke mana nih?” Tanya Suradi.
“Ke butik gua, Sur. Elu gak keberatan kan?”
“Enggak. Aku bebas saja.”

Setelah mobil melaju beberapa lama, mereka sampai di jalan by pass, Bandung. Mobil memasuki sebuah ruko yang cukup elit. Di depan sebuah toko pakaian ekslusif “Melani’s Boutique” mobil sedan itu berhenti. Suradi dan Melani turun dari pintu yang berbeda, tapi mereka masuk ke butik itu melalui pintu yang sama. Terlihat mereka memiliki tinggi badan yang sama. Seorang perempuan berwajah manis, mengangguk-angguk di dalam sebuah mobil sedan lain yang terparkir tidak jauh dari butik itu. “Sudah kuduga.” Kata Dewi dalam hatinya. “Dia pasti akan ngentot si Lani. Sur, sur… kamu sudah bosan sama memek aku dan istrimu, sekarang kau mencari memek yang lain. Awas kau, Lani.”

Dewi melajukan mobilnya ke luar dari tempat parkir itu, lalu dia menelpon seseorang.
“Bu Linda, maaf, ini dengan Dewi… ”

Suradi dan Lani memasuki toko butik itu. Seorang lelaki bertubuh kurus dan pendek, mendekati mereka.
“Makan siangnya udah disiapin di atas, Bu.” Kata Opik.
“Ayo, Sur.” Kata Lani, dia mendahului menaiki tangga ruko itu dan Suradi mengikutinya dari bawah.

Suradi tiba-tiba saja tersenyum. Melani tidak memakai celana dalam.

Ruko lantai dua itu dipartisi dengan menggunakan balok kayu dan gypsum menjadi 2 bagian. Bagian pertama yang langsung berhadapan dengan tangga, terdiri dari susunan rak yang merupakan tempat penyimpanan aneka barang stok. Bagian satunya lagi yang lebih kecil, yang memiliki balkon, merupakan ruang kantor sekaligus tempat pribadi Melani. Sebelum memasuki ruangan itu, Melani melepaskan sepatunya dan menyimpannya di luar pintu. Suradi mengikuti melepaskan sepatunya juga.

Di ruangan itu cuma ada satu-satunya furniture, yaitu meja yang diletakkan dekat dinding partisi dan sebuah kursi putar kecil. Sisanya karpet merah. Di atas meja itu, Opik telah menyediakan dua piring nasi dan dua piring sate. Salah satu piring sate memiliki porsi doble dibanding piring sate satunya lagi. Dua gelas air putih dan dua cangkir kopi.
“Gua cuma bisa nraktir ginian, Sur.” Kata Lani sambil menurun-nurunkan piring-piring itu ke lantai berkarpet.
“Gak masalah, Lan. Aku oke saja, yang penting bisa makan. Sudah laper nih perut.” Kata Suradi, dia duduk bersila di depan Melani. “Ngomong-ngomong ini sate apaan? Koq warnanya agak beda?”

Melani tersenyum.
“Aku pesen di buah batu, sate Pak Anwar.” Katanya.
“Aku belum pernah denger.”
“Jadi lu belum pernah nyobain? Ini sate kuda. Banyak manfaatnya buat kesehatan.”
“Sate kuda?”
“Khusus buat elu, gua pilih yang spesial. Namanya torpedo.”
“Torpedo?”

Melani mengangguk. Wajahnya yang putih itu memerah karena merasa sedikit malu.
“Kamu berharap kita…”
“Ya. Gua berharap banget, Sur. Terakhir sama elu di kafe si Dewi… sebelumnya gua mungkin udah sekitar 6 bulanan galau. Lu gak marah kan?”

Suradi menatap Lani lembut, mengedipkan-ngedipkan kedua matanya dan tersenyum. Dia menjangkau pipi Lani untuk dicium.
“Aku juga sama, berharap.” Kata Suradi. “Tapi sekarang kita sebaiknya makan dulu.”

Mereka menyantap makan siang dengan rileks dan tak terburu-buru. Suradi merasa sate daging kuda yang baru pertama kali dicobanya itu, lebih kenyal dan sedikit lebih liat.

Usai makan siang, mereka merokok bersama dan menyesap kopi. Setelah itu, barulah Lani memanggil Opik untuk membereskan piring-piring dan gelas.

Opik segera datang mengambil semua piring dan gelas itu, mencucinya di wastafel belakang dan meletakkannya di rak kecil dalam lemari kayu. Opik lalu berkata kepada Wati, pelayan toko, bahwa dia akan tiduran sebentar. Opik naik ke lantai dua, masuk ke dalam celah rak yang tersembunyi dan membuka lubang tempat biasanya dia mengintip majikan cantiknya.
“Apakah ia akan ngentot lelaki itu seperti dia ngentot dengan suaminya?” Tanya Opik dalam hatinya. Dia menunggu dengan tangan siap-siap untuk onani.

9

Melalui telpon, Dewi mengatakan kepada Melinda bahwa dia berencana membangun kafe baru. Dari sahabatnya Melani, dia tahu bahwa Suradi adalah kontraktor yang bisa dipercaya. Namun Dewi sedikit ragu atas penilaian sahabatnya itu karena mungkin saja subjektif. Mereka kelihatannya dekat.
“Maksud saya menelpon ini mbak Lin, apa bener dia bagus. Soalnya Lani pernah cerita kalau Suradinya itu pernah dapat kerjaan dari mbak.” Katanya.
“Ya, dia bagus.” Kata suara di ujung telpon. “Tadi mbak Dewi bilang dia deket sama Suradi, ah yang bener, mbak?”
“Loh, mbak Lin koq ndak percaya. Bukan deket lagi mbak… tapi mBak Lin jangan kasih tahu siapa-siapa ini dari saya ya… soalnya kalau nanti Lani tahu saya kan ndak enak. Katanya sih pernah, anu lho mbak, pernah tidur bersama. Lani pernah keceletot omong, katanya sampai 5 ronde. Pokoknya ngangenin, begitu katanya mbak.”
“Hm, begitu ya?” Sebuah dengusan terdengar dari ujung telpon.
“Menurut mBak Linda, dia rekomended ndak?”

Tetapi tak ada jawaban dari ujung telpon sana. Dewi tersenyum.
“Rasain kamu. Udah dikasih ngentot sekali eee… malah keterusan.” Katanya dengan nada penuh kemenangan.

10

Anastasia Melinda Liem menggigit-gigit pensil sambil memutar-mutar kursinya. Dia tak habis pikir dengan lelaki itu. Sementara para relasi kaya dan brondong-brondong ganteng itu mengejarnya dan memujanya bagaikan seorang putri, merayunya dan berusaha mendekatinya; kenapa laki-laki itu malah seperti tidak acuh kepada dirinya.

Dia bahkan tidak peduli dengan proyek kedua yang ditawarkannya. Walau untungnya tak begitu besar, memang, tapi sebagai kontraktor kecil, keuntungan yang ditawarkannya seharusnya lebih dari lumayan.

Dan sekarang dia dekat dengan Melani? Apa yang diharapkan seorang lelaki dari janda yang hidupnya pas-pasan itu? Mau bantu merenovasi kontrakannya secara gratis? Fuih. Mau menawarkan tubuhnya yang sudah tua dan peot? Cuh!

Hm. Kurang ajar bener tuh si Lani.

11

Mereka sudah sangat rileks siang itu. Mereka hanya menunggu moment yang tepat untuk melakukan ciuman pertama di bibir. Setelah itu, kuda liar yang ada di dalam jiwa mereka akan terlepas dan berlari serta meringkik seliar-liarnya.

Mereka sejenak terbawa curahan hati dan keluhan terhadap bisnis yang makin sulit. Selintas Suradi menanyakan hubungan Lani dengan Melinda, masih ada hubungan saudara, sebut Lani. Tapi mereka tidak membahasnya lebih jauh.

Lani itu usianya sama dengan Iis. Suradi tahu. Tetapi beberapa titik spotnya berbeda. Iis lebih senang dipijat pada pundaknya lebih dahulu, kemudian dicium punggungnya, lalu putingnya. Setelah itu barulah dijilati klitorisnya. Digenjot 5 sampai 15 menit, Iis bisa orgasme berkali-kali.

Tetapi Melani lain. Dia mungkin pernah orgasme bersama almarhum suaminya, Derry. Atau dengan sejumlah brondong. Hanya saja, entah bagaimana, Suradi mengetahui bahwa Melani belum pernah merasakan puncak orgasme yang benar-benar puncak. Denyutan memeknya yang Suradi rasakan ketika Lani mengentotnya di Kafe Unyu itu, belum sepenuhnya meledak di puncak tertinggi. Mungkin baru level 2 atau 3, dari top level 5.

Mungkin karena tubuhnya yang tinggi, yang membuat Lani membutuhkan sentuhan dan penetrasi ekstra agar dia bisa mencapai puncak orgasme tertingginya.

Suradi jadi teringat tehnik yang diajarkan Stefani McLeland, turis berpasport Australia yang berasal dari Irlandia itu, yang pernah tidur dengannya selama 3 malam. Stef demikian terbuka mengkritisi Suradi dalam hal merayu dan merangsang yang dianggap terlalu terburu-buru.
“I want you to touch me here… here… there… and there… don’t ever rush… take your time no hurry… treat me like a princess… maybe I’ll get my pleasure…” Suradi ingat betul kata-katanya.
“Take your time no hurry… tenang, jangan terburu-buru.” Bisik Suradi dalam hatinya.

Untuk ukuran rata-rata wanita Indonesia, tubuh Lani memang bisa dibilang tinggi. Saat Suradi memeluknya dari belakang dan menemukan pundaknya yang putih halus, dia tidak perlu terlalu menunduk. Dari luar gaun stretch setengah rajutnya, Suradi mengelus-elus perut Lani yang agak menyendul. Sementara mulutnya menyusuri pinggiran leher Lani seperti mesin jahit menyusuri pinggiran kain, lalu mengecup rahang di bawah telinga dan melahap daun telinga Lani di bagian bawahnya. Mulut itu mengemuti pinggiran telinganya dan berbisik, “Kamu menginginkannya, Lan?”

Tapi Lani tidak menjawab. Matanya terpejam dan jantungnya sibuk bergedup.

Lani menengadahkan wajah, menyandarkan kepalanya di atas bahu Suradi. Ke dua pinggiran payudaranya merasa nyaman tergesek-gesek oleh lengan Suradi yang bergerak di bagian perut lalu turun ke pangkal paha. Kedua tangan Lani bergerak ke belakang untuk menemukan buah pinggul Suradi dan mencoba meremas-remasnya.

Lani tidak menyesal dia lupa memakai celana dalam.

Suradi memeluknya dari belakang sambil berdiri, membimbing Lani melangkah memasuki ruangan dan meninggalkan balkon. Lani merasa seperti melayang.

Tangan Suradi masuk ke balik rok Lani dan membelai-belai pinggangnya, perutnya dan bagian bawah payudaranya. Meremasnya dengan lembut sambil menggunting putingnya dengan jari telunjuk dan jari tengah Suradi. Bibir Suradi kemudian menyosor pinggiran bibir Lani, mengecupnya pelahan.

Lani membalikkan badan. Menyambut kecupan itu dengan bibirnya. Tangan Lani menarik dan melepaskan ikat pinggang Suradi. Membuka kancing dan risluitingnya agar celana denim itu mudah didorong turun oleh tangan Lani. Sementara tangan Suradi meraih gagang risluiting gaun Lani yang berada di punggung. Menariknya ke bawah dan membiarkan gaun itu terbuka di bagian belakang.

Punggung putih mulus itu diraba dan dibelai. Tangan Suradi menemukan kaitan BH Lani dan membukanya dengan mudah hingga lepas. Namun ciuman bibir-bibir itu tak pernah lepas. Bahkan ketika Suradi agak kesulitan melepaskan celana denim dan kemejanya, pagutan bibir itu tak juga lepas.

Mereka sabar mengikuti lonjakan-lonjakan nafsu berahi itu dan mengendalikannya supaya bisa saling memberi kenikmatan dengan sempurna.

Sementara itu dari lubang intipnya, Opik meneteskan keringat dingin dengan nafas memburu.

12

Mereka telah sepenuhnya telanjang ketika cahaya matahari siang semakin panas dan menyilaukan. Menyinari dua insan yang berbeda jenis kelamin dan warna kulit. Yang satu putih bagai kertas HVS dengan kelamin perempuan, yang lain coklat terang bagaikan kayu mahoni dengan kelamin jantan.

Dua insan itu, dalam ketelanjangannya yang sempurna, saling berpelukan erat dan dengan ke dua mulut mereka saling mengatup dan memagut satu sama lain, seakan mereka tidak akan pernah sekali-sekali pun melepaskannya. Atau mungkin mereka tidak tahu cara melepaskannya?

Kedua tangan mereka saling meremas buah pantat lawannya masing-masing. Batang kontol Suradi yang sudah menegang, tampak glandulanya menukik ke bawah, batangnya yang melengkung dijepit oleh bibir-bibir memek Lani yang telah mekar dan basah. Mulut kontol Suradi yang mungil tampak mengerjap-ngerjap seperti mulut ikan mencari makanan. Seakan-akan mulut kontol itu sedang berbicara dengan setitik lubang anus Lani yang mendenyut mengembang dan menguncup.

Sekarang syaraf-syaraf kesyahwatan Lani mulai merebak ke seluruh penjuru tubuhnya. Sepasang buah dadanya yang menggantung jatuh, mulai mengeras. Pada saat itulah Suradi melepaskan diri dari kuluman mulut Lani, membungkuk untuk menemukan puting kecoklatan yang semakin mengeras. Kedua tangan Suradi meraup bukit lembut itu agar bisa meremas-remasnya bersamaan dengan jilatan-jilatan lidahnya di puting. Secara bergantian dan berpindah-pindah, Suradi melakukan remasan-emasan dan jilatan-jilatan lidah itu, dari bukit payudara satu ke bukit payudara lainnya, dengan sangat tekun.

Lani melenguh halus. Dia menyukai semua sentuhan yang dilakukan Suradi pada bagian-bagian tubuhnya. Bibir-bibir memeknya mulai berdenyar. Menuntut perhatian lebih.

Suradi melepaskan mulutnya dari puting susu Lani. Menurunkan badannya menghadap ke arah memek Lani yang telah mekar. Suradi duduk bersimpuh dengan paha dan betis terlipat di lantai. Jari jemari tangannya menyangga paha bagian bawah Lani yang berdiri mengangkang. Mulutnya kemudian menciumi bibir-bibir memek Lani.

Ada desahan dan erangan lembut.

Lidah Suradi menari-nari di antara belahan memek Lani dengan sangat lincah. Menyesap lendir asinnya dan mengulum kelentitnya. Tapi Suradi belum juga menemukan G spotnya yang sejati.

Lani memang mendesah-desah merasakan rangsangan itu. Sedikit mengerang. Tapi denyaran memeknya tak mungkin membohongi Suradi bahwa Lani telah sepenuhnya terekstasi syahwatnya. Kalau Suradi menancapkan kontolnya saat itu, Lani paling hanya akan menempuh 2 atau 3 puncak kenikmatan orgasmenya.

Suradi dengan sabar terus mencari G-spot itu dengan lidahnya. Sampai akhirnya dia merasa sedikit putus asa dan menggigit kelentit Lani dengan lembut.

“Akhkhhkhhh…” Lani mengerang.

Suradi setengah terkejut menemukan ternyata G-spotnya ada di batang itil, yang harus dipermainkan dengan gigi-giginya. Suradi pun segera melakukan penemuannya itu.

Lani terkaing-kaing ketika G-spot yang tak diketahuinya berhasil ditemukan Suradi.
“Adduuhhh… ahhhhh…. oughhhhh…. ahhhh…. surrrr…. sudahhh… gua gak tahannhhh…. oughhhh…. ahhhh…. ”

Tubuh Lani tampak mengejang-ngejang seperti orang terkena ayan. Mulutnya mulai menjerit pelan dan kedua tangannya meremas-remas susunya sendiri.

Di dalam pengaruh gigitan itil, Lani bergoyang-goyang seperti penyanyi dangdut.
“Surrrr… kontolllll… surrrrr….”

Tangan Suradi tak sanggup lagi menyangga pantat Lani yang mengejang-ngejang. Dia melepaskan sangaannya dan Lani hampir saja terjengkang. Dia rebah di lantai dan membukakan selangkangannya merindukan genjotan kontol.

Suradi dengan sigap merespon sikap Lani itu. Dia memasukkan kontolnya ke dalam lubang memek yang sudah menganga. Dengan posisi seperti push-up, Suradi menggenjot memek itu hingga terbeliak-beliak bibir-bibir dalamnya.

Lani menjerit-jerit seperti orang gila. Kedua tangannya memeluk Suradi dan mencakari punggungnya. Tidak menunggu lama, lendir seperti busa krim susu, bermuncratan di sepanjang batang kontol Suradi.

Hanya membutuhkan 10 menit genjotan untuk membuat memek Lani menggelenyar dan meledakkan lendir kenikmatan yang tak terkira.

“Suradiiiiiiiiii!!!!!” Jeritnya. “Gua kagak tahan mau muncrat sekarang!” Lani berkata sambil menjambak rambut Suradi yang agak gondrong. Tubuhnya melengking dan memeknya menyemburkan lendir krim berwarna putih yang sangat banyak.

Pada saat seperti itu, Suradi merasakan kontolnya seperti disedot-sedot oleh memek Lani. Dia tersenyum menikmati keindahan semprotannya sendiri.
“Aghghhhhh…. ” Suradi menyemprotkan pejuhnya dengan sempurna.

“Ini, baru enak.” Desis Suradi.

Suradi dan Lani tergeletak di lantai karpet merah. Tampak memek Lani penuh dengan lendir krim warna putih, paha dan betisnya yang panjang bergetar-getar.
“Enak sekali… enak sekali…” Desisnya.

Sementara itu di tempat pengintaiannya, kontol opik yang pendek dan kecil terlihat memerah karena ngecrot berkali-kali. Opik tidak sadar dia juga tengah diintip oleh Wati sang pelayan toko.

13

Waktu berlalu. Jam menunjukkan pukul 13.30.

Suradi tidak tega membangunkan Melani yang tengah terlelap dalam mimpi. Bahkan ketika Suradi mengecup keningnya untuk pamit, Lani hanya melenguh pelan. Setelah menutupkan pintu balkon dan menyelimuti STW yang cantik itu dengan gaunnya, Suradi membuat catatan di atas meja pada belakang sebuah kertas bekas bon pembelian. “Ga tega bangunin kamu. Tapi aku harus ke proyek.”

Dia menuruni tangga dan menemukan Wati tengah melipat sebuah pakaian.
“MBak ibu lagi tidur, tolong sampaikan pesan saya, saya ada keperluan mendadak. Biarkan dia bangun sendiri, jangan dibangunkan.” Kata Suradi dengan senyum simpatik.
“I Ya, Pak. Nanti saya sampaikan.”

Ke luar dari butik itu, taksi online yang dipesan Suradi sudah datang.

14

Ketika taksi online itu pergi, sebuah sedan accord facelift berwarna hitam yang gagah, memasuki area ruko itu. Parkir dengan arogan di depan toko Melani’s Boutique, sedan itu seperti melecehkan mobil-mobil lainnya yang terparkir di depan area ruko.

Seorang lelaki tua memakai seragam safari biru, ke luar dari pintu pengemudi. Dengan sangat hormat dia membukkan pintu penumpang. Seorang wanita cantik usia 35-an ke luar dari pintu itu dengan cara yang sangat elegan.

Anastasia Melinda Liem tersenyum.
“Terimakasih, Pak Gito. Tunggu ya, saya cuma sebentar.” Katanya. Dia menjinjing tas tangan kulit Gucci warna coklat muda. Blazer dan celana panjang katunnya senada dengan warna kuning pastel, dalemannya hem putih dengan krah lebar.

Dia melangkah memasuki butik. Langkahnya ringan dan anggun. Tubuhnya yang langsing itu terkesan kurus namun buah pinggulnya tetap saja terlihat semok. Wajahnya cantik dengan hidung runcing dan bibir yang tipis, namun ranum. Rambutnya lurus dipotong pendek setengkuk, pada bagian bawah, rambutnya itu melengkung seperti tanduk domba garut. Melingkar di bawah daun telinganya. Sementara, belahan rambutnya terletak di sebelah kiri itu menjadikan penampilan wanita itu sangat unik dan terlihat cerdas.

Sekilas pandang saja semua orang bisa diyakinkan bahwa wanita itu bukan wanita kelas biasa.

Opik dan Wati menyambut Melinda dengan sangat hormat. Memberi tahunya bahwa Ibu Melani sedang terlelap. Ketika ditanya mengapa siang-siang tertidur, Opik dan Wati gelagapan.

Melinda menaiki tangga dan membuka pintu yang tak terkunci. Dilihatnya wajah Melani yang damai dalam lelap yang sempurna. Gaun merah yang menutupi tubuhnya itu tak kuasa menutupi bagian tengah pangkal pahanya. Tampak memek Melani menguncup dengan sisa-sisa lendir kenikmatan yang berbentuk krim susu warna putih, masih berserakan di sekitar belahan memek dan pubisnya.

“Bangsat!” Maki Melinda dalam hati. Dia memasuki ruangan itu dan melihat sebuah pesan di atas meja. Dia membacanya dan meremas-remasnya. Memasukkannya ke dalam saku blazernya.

Melinda mengeluarkan sigaret dari tas tangannya. Menyalakannya dan mengisapnya sambil duduk di kursi di belakang meja.

Sepasang matanya menatap Melani dengan sinis.
“Mulai besok, kamu akan pergi ke Medan dan takkan kembali lagi ke Bandung.” Katanya dalam hati.

15

Suradi tiba di proyek perbaikan dan pemugaran Kantor Kecamatan di Cipatat sekitar jam 14.15. Tak ada kendala apa pun dan pekerjaan sudah mencapai 75%. Dia menemui Pak Tono yang menyatakan kesanggupannya untuk melakukan renovasi kecil di tempat kost-kost-annya Melani.
“Paling 3 hari juga beres, Pak. ” Kata Pak Tono.
“Ya, dan dari proyek ini saya anggap Pak Tono, Isur, Dodi dan Asep sedang izin.” Suradi berkata dengan tersenyum.

Mendengar itu Asep dan Dodi meronta-ronta gembira. Sebab itu artinya dobel pendapatan, walau upah dari proyek akan dipotong setengahnya.

Tiba-tiba telpon berdering. Dari Siska.
“Sur, elu bisa ke Homann sebentar saja. Gua ada perlu.”
“Aku lagi di proyek. Cukup jauh, Sis. Kayaknya enggak akan bisa dicapai dalam waktu satu jam.”
“Pokoknya gua tunggu.”
“Ya, udah aku OTW.” Katanya. “Pak Tono, ada mobil nganggur enggak?”
“Maaf, Pak. Semuanya lagi dipakai.” Kata Pak Tono. “Apa tidak sebaiknya bapak membeli mobil yang baru, Pak. Buat kepentingan bapak pribadi.”

Suradi menarik nafas dalam.
“Pak Tono tahu, di rumah sudah ada 2 mobil, dipakai Reyhan dan Mamah. Kalau mobil proyek tidak digunakan, ada 3 mobil lagi yang parkir. Kalau saya beli satu lagi, mau ditaruh di mana?”

Pak Tono tersenyum nyengir.
“Naik taksi enggak masalah bagi saya.” Kata Suradi sambil memesan taksi online. Ketika taksi itu tiba, Suradi segera saja meluncur menuju Hotel Homann.

16

Suradi tiba di Lobby hotel Homann sekitar jam 4 sore. Dia menanyakan arah yang harus dituju untuk ke resto tempat Siska menunggu. Seorang bellboy mengantarkannya dan Suradi memberinya tip 50 ribu.

Memasuki resto, Siska menggapaikan tangannya.
“Elu kelihatan gondrong.” Kata Siska ketika Suradi sudah duduk di depannya. “Makasih sudah mau dateng.” Seorang pelayan mendatangi meja mereka dan menanyakan pesanan Suradi. Tapi Siskalah yang menyebutkan pesanannya berupa minuman dan cemilan.
“Kamu ada perlu apa?”
“Kemarin malam, elu bilang ada job renovasi kost-kost-an. Bener?”
“Ya.”
“Punya Melani kah?”
“Ya. Koq tahu?” Suradi merasa heran.
“Sebaiknya elu batalin.”
“Aku enggak punya alasan untuk membatalkannya. Aku udah janji.”
“Kost-kost-an itu tadi siang sudah berpindah tangan menjadi milik Melinda Liem.”

Suradi tersentak.
“Malam ini, Lani akan berangkat ke Medan. Dan kemungkinan besar dia kagak bakalan balik lagi ke Bandung.”
“Ini gila!” Kata Suradi. “Tadi pagi kita udah agreement mau renov. Kenapa siangnya dia jual ke orang?”
“Gua enggak tahu, Sur. Tapi gua kurang suka kalo lu kerja sama Melinda.”
“Enggak bisa, Sis. Kamu enggak bisa seperti itu. Itu artinya kamu mengintervensi saya. Kalau kamu tidak suka aku makan makan ikan bakar, bukan berarti kamu boleh melarang saya makan ikan bakar. Kamu berlebihan.”
“Sur, sorri banget. Gua minta dengan sangat proyek kecil lupain. Batalin.”
“Tidak Sis, aku udah janji sama Pak Tono. Dia yang akan mengerjakannya.”
“Tapi elu bakal nagih billnya ke Melinda dan elu akan berhubungan dengan dia. Elu pasti menyukainya. Lalu gua elu lupain.”

Suradi terdiam.
“Menurut kamu, apakah kita saling menyukai?” Tanya Suradi. Matanya tajam menatap Siska.
“Gua ngerasa i ya. Atau cuma perasaan gua aja yang suka sama elu tapi elu…”
“Kamu menyukai aku apa adanya, aku juga menyukaimu tanpa syarat apa pun. Tapi kenapa tiba-tiba kamu mengatur mana yang harus aku kerjakan mana yang tidak… Aku enggak bisa terima, Sis. Kamu mengerti. Aku tak mungkin bisa menerima hal itu.”
“Sur, dengerin gua.”
“Tidak. Kamu intervensi dan aku tidak bisa terima. Besok Pak Tono akan tetap mengerjakan proyek itu dan aku akan tetap mengirimkan tagihan pada Melani atau Melinda. Sama saja.”

Tiba-tiba telpon berdering.
“Ini dari Linda. ” Kata Suradi menunjukkan HPnya pada Siska. “Ya, Lin. Ada apa?”
“Kost-kost-an Melani sudah aku beli tadi siang, aku juga sudah lihat sketsanya. Bagus sekali. Renov yang sudah direncanakan Kak Lani jalan terus ya, tagihannya kirim ke aku.”
“Oke, siap.”

Telpon ditutup.

Siska menatap Suradi dengan mata basah.
“Tadinya gua pengen banget elu gabung sama perusahaan Om gua.” Katanya. “Biar kita bisa lebih deket.”
“Trimakasih atas niat baikmu.”
“Biar elu juga bisa ngembangin perusahaan elu sendiri.” Katanya. “Tapi sekarang kayaknya enggak mungkin, Om gua gak akan seneng lihat elu kerja bareng sama Melinda. Konglomerasi dia dengan konglomerasi Om bersebrangan.”
“Perusahaanku cuma perusahaan kecil, tidak bersebrangan dengan perusahaan mana pun. Aku tidak punya musuh, Sis. Aku juga tidak mau dilibatkan dalam permusuhan kalian. Aku orang bebas.”

Mereka terdiam dan terjebak dalam kebisuan. Siska sebelumnya sudah menduga, pasti Suradi akan tersinggung dengan permintaannya. Lelaki ini bisa bertoleransi dengan apa pun. Tapi tidak dengan harga dirinya.
“Maafkan gua, Sur.”
“Enggak perlu.”
“Pertimbangkan sekali lagi permintaan gua, Sur.”
“Cukup, Sis. Tak perlu dibahas. Aku permisi sekarang.”

Suradi pergi meninggalkan meja itu dengan sedikit tergesa. Membayar bill di kasir resto untuk minuman dan cemilannya yang tidak di sentuh.

Diam-diam, di pojok resto itu, Melinda tersenyum penuh kemenangan.***

Bersambung

Daftar Part