Suradi Adventure Part 6

Suradi Adventure Part 6
HATI SEORANG TEMAN LAMA
Ada yang tak disangka. Acara sosialisasi mengenai peraturan perundangan tentang jasa konsultasi dan proyek-proyek pemerintah itu berlangsung dengan sangat membosankan. Suradi nyaris mati bosan karenanya. Namun seorang perempuan setengah baya yang mengenakan blazer dan rok pendek warna abu, menjawil sikutnya dan memanggil namanya.
“Apa kabar, Sur?” Tanyanya ketika coffee break yang pertama hampir berakhir.
“Baik.” Jawab Suradi. Matanya menatap perempuan itu dan kepalanya mencari-cari identitas perempuan itu di otaknya.
“Kau sudah lupa sama aku.” Katanya.
“Tidak…” Suradi sedikit gelagapan.
“Kau tidak perlu terlalu bersikap sopan, aku… ” Katanya.
“Tunggu… mBak Dewi kan?”
Dia tertawa pelan.
“Apakah aku sudah tampak segitu tuanya sehingga kamu nyaris tidak ingat.” Kata Dewi.
“Bukan, bukan.” Kata Suradi. “Justru mbak Dewi yang terlihat 15 tahun lebih muda yang membuat saya pangling.”
“Ah, kamu bisa saja.”
“Masih bekerja di PT Semprot, mbak?”
“Sudah lama ke luar, aku bikin perusahaan sendiri.”
“Waw, bagus itu.”
“Kamu sendiri gimana? Masih di PT Ngecrot?”
“Aku juga sudah lama ke luar, bikin perusahaan sendiri juga. Kecil-kecilan.”
“Sama dong.” Katanya. “Entar sore ada acara enggak? Main dong ke Kafe aku.”
“Hm, entahlah, mbak. Aku sedang agak malas nih.”
“Eh, sama juga.” Katanya. “Kamu mau masuk ke dalam enggak? nerusin acara?”
“Males juga. Acaranya membosankan yah?”
“Kita ke resto yuk?”
“Ada yang freesmoking enggak?”
“Kayaknya sih enggak ada. Udah, kita ke kafe aja sekarang. Bagaimana?”
“Boleh, juga.”
“Kamu bawa mobil kan?”
“Ya.”
“Kasiin kuncinya ke Mira, biar dia yang bawa. Kamu ikut aku.” Kata Dewi.
“Boleh.”
Dewi menelpon Mira agar datang ke Lobby.
Seorang gadis manis berusia sekitar 25 turun dari sedan putih di depan lobby, mendekati Dewi dan Suradi.
“Mobilnya apa Sur?”
“Saya bawa pick up.”
“Mir, bisa bawa pick up enggak?”
“Bisa, Bu.” Jawab Mira, sudut matanya mencuri pandang Suradi.
“Baik, nih kuncinya. Kamu nyusul ke kafe ya? Aku duluan sama Pak Suradi.”
“Baik, Bu.”
2
“Aku selalu ingat kejadian itu, Sur.” Katanya dengan nada riang di belakang stir. “Yang kita lakukan dulu sepertinya sebuah kesalahan… ternyata hari ini kita punya perusahaan sendiri.”
“Mbak langsung dipecat?”
“Ya, dan diceraikan.”
“O ow.”
“Itu ada mungkin 15 tahun yang lalu ya?” Katanya. “Waktu itu aku masih sangat berapi-api, wuih, enak bener kontolmu Sur.”
Suradi tertawa.
“Aku hanya menjalankan tugas untuk sekretaris direktur.” Kata Suradi.
Dewi tertawa terkekeh-kekeh.
“Satu jam memekku kamu hajar sampai ambyar.” Katanya. “Aku tidak tahu kekuatanmu sekarang, apa masih sanggup satu jam?”
“Jadi kita ke kafe sekarang mau ngentot?” Tanya Suradi. “Aku lagi males, nih.”
“Kalau kau mau, ayo. Kalau tidak ya ngobrol aja. Kadang aku kangen sama kamu.”
“Ngobrol aja deh.”
“Kita lihat saja nanti.” Katanya dengan genit.
Mobil memasuki daerah Arcamanik, setelah berkelak-kelok, ada sebuah kafe yang sekilas kelihatannya sederhana dan kecil. Tapi setelah masuk ke dalamnya, ternyata luas, mewah dan terasa eksklusif.
“Min, VIP lantai 2 ada yang kosong enggak?” Tanya Dewi kepada resepsionis laki-laki.
“Isi, Bu. Paling lantai 3 ruang 4.”
“Oke. Ga pa pa lantai 3 saja. Suruh Sinta ke atas kirim makan siang barbekyu daging kambing muda, ya.”
“Siap, Bu.”
“Ayo, Sur. Jangan malu-malu.”
“Ayo. Siapa takut?”
3
Ruang 4 VIP lantai 3 luasnya sekitar 7 X 7 meter. Dinding kanan dan depan terbuat dari kaca tempered dengan ornamen garis yang jarang, sehingga pemandangan jalan dan rumah-rumah di luar tampak jelas. Di dinding belakang ada layar ukuran 2 X 4 meter, bisa digunakan untuk nonton bareng siaran langsung atau film yang dibawa customer, atau film yang sudah disediakan oleh kafe, baik film yang terdapat di galeri stok atau yang dipesan beberapa jam sebelumnya. Meskipu sistem akustiknya baik, tapi ruangan ini tidak bisa digunakan untuk karaoke kecuali dipesan 1 minggu sebelumnya dengan minimal penggunaan 6 jam, maksimal 3 hari. Dengan konsep duduk lesehan ala Jepang, ruangan ini bisa menampung 10 orang kongkow-kongkow sampai lupa waktu.
Sambil menikmati makanan pembuka, Dewi menjelaskan konsep kafenya yang eksklusif di lantai dua dan tiga. Sementara di lantai satu, konsepnya seperti warung padang yang pelanggannya bisa datang rombongan, pasangan atau perseorangan.
“Keren.” Kata Suradi. “Terus, usaha cateringmu gimana?”
“Justru itu yang menjadi tulang punggung kafe ini, Sur.” Kata Dewi. “Catering ada di belakang. Selain memenuhi pesanan kafe, katering aku juga memenuhi pesanan perseorangan, swasta dan pemerintah.”
“Mantap, mBak.”
“Kamu sendiri gimana?”
“Aku? Yah, begitulah. Jadi pemborong kecil-kecilan. Lumayan, enggak jelek-jelek amat.”
Telpon berdering.
“Sori Sur sebentar.” Kata Dewi, dia menempelkan telpon di telinganya.
“Iya, Sis. Aku lagi di kafe… bisa… sore ini? Waduh kamu itu… i ya.. nanti aku usahain… ya udah ke sini aja… aku lagi sama temen, kongkow biasa… enggak…” Dewi menoleh ke arah Suradi. “Ga pa pa kan Sur ada temenku yang mau ikut gabung?”
Suradi tersenyum. Mengangkat bahu.
“Ya, udah aku tunggu. Tapi maksi kamu bayar sendiri ya… sama siapa? Boleh… enggak masalah… oke babay…”
“Itu Siska sama Lani, temen sekaligus relasi, kamu enggak akan terganggu kan?”
“Mbak yang ngundang, aku ke sini buat makan siang gratisan.” Kata Suradi dengan tawa kecil di ujungnya. “Siapa tahu juga bisa jadi relasi aku.”
Karena mengharapkan ada tambahan orang yang akan bergabung, Dewi menelpon Parmin untuk menghidangkan makanan utama diperlambat 15 menit.
Tidak terlalu lama Siska dan Lani datang. Seorang petugas kafe mengetuk pintu terlebih dahulu dan mempersilakan Siska dan Lani masuk. Mereka melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang telah disediakan di pinggir pintu.
Siska dan Lani, keduanya berkulit putih khas keturunan. Rambut mereka lurus panjang jatuh di bahu. Siska lebih pendek dari Lani, wajahnya bulat telur dengan hidung yang mancung. Sedangkan Lani yang lebih tinggi memiliki wajah oval dan mata lebih sipit. Di rambutnya terselip jepit warna merah.
Setelah cipika cipiki, Dewi memperkenal Suradi kepada mereka.
“Emangnya elo mau bikin kafe baru ngundang bos kontraktor.” Kata Siska. Suradi menyengirkan mulutnya ketika Siska menyebutnya bos kontraktor.
“Gila kamu, yang ini juga utangnya belum beres.” Kata Dewi.
“Elo yang gila bikin kafe pake ngutang.”
“Bodo. Yang penting tiap bulan ada setoran.” Dewi tertawa.
Sementara itu Lani memeriksa tasnya dan mengambil sejumlah dokumen dan memeriksanya. Dia kelihatannya lebih pendiam. Atau mungkin lebih sibuk.
“Pesananku gimana kira-kira?” Tanya Siska.
“Aku masih coba nelpon Joko. Dia masih sibuk… nah ini…Ko, kambing guling utuh masih ada enggak? mmm, ya… ya… kalau sekarang dibikin sore bisa siap… ya… baik… baik… sebentar Ko tahan dulu… Sis, kalau telat sejam ga pa pa? Stoknya kosong sih, baru saja habis, gimana?”
“Entar aku telpon dulu… Hans, paling bisa jam 7-an, ga pa pa tuh? Gua udah nyari kemana-mana, cuma ini yang bisa… eh, apaan? itu tugas elo… ga pa pa ya bener? gua mau bookmark sekarang… ya, udah thanks ya… Ga pa pa Wi.” Siska menutup telpon.
“Ko, lanjut.” Dewi menutup telpon.
“Wi, ga pa pa aku ngerokok?” Kata Suradi.
“Ga pa pa.”
“Yang lain?”
“Gua sih oke.” Kata Lani tiba-tiba, dia mengeluarkan rokoknya sendiri. Dia langsung menyalakannya,. “Tadi pesen kopi enggak sih… Sis?”
“Pesen. Tapi buat penutup.” Kata Siska.
“Nyesel gua, mustinya buat pembuka juga.” Kata Lani.
“Lani penggemar kopi ya?” Suradi mencoba ramah.
“Bukan, Mas… gua pecandu.” Lani tersenyum.
“Panggil Suradi aja.” Kata Suradi.
“Suka kopi juga?” Tanya Lani.
“Engga, saya penggemar.” Kata Suradi, mengikuti diksi kalimat Lani.
“Ha ha ha… Radi, elo lucu juga.” Kata Lani.
Ketika makanan utama tiba, pembicaraan di antara ke-4 orang itu sudah mencair.
4
Dewi mengambil remote, dia menyalakan TV LCD kecil dan proyektor yang ditempel di langit-langit. Kemudian terdengar sebuah lagu lembut pop tahun 90, beberapa detik kemudian layar menayangkan ilustrasi lagu tersebut.
Dewi, Siska dan Lani memesan makanan yang bersifat sayuran dan dimasak tanpa minyak. Sedangkan Suradi tak bisa menolak daging kambing muda yang sudah terlanjur dipesankan Dewi. Ketiga STW yang masih jelita itu secara pelahan mengubek-ubek, kalau tak boleh dikatakan menginterograsi, kedalaman pribadi Suradi. Tentang pekerjaannya, istri dan anaknya, minatnya dan lain-lain.
Suradi secara diam-diam paham maksud mereka.
Lani terkejut ketika Suradi menceritakan proyeknya di Kertajati, yang dia dapat dari Melinda Liem.
“Beneran Sur, elo kenal kak Linda, kenalan dimana?” Tanya Lani.
“Enggak sengaja sih, waktu di Singkawang. Aku diajak teman untuk ikut keroyokan proyek membangun sebuah hotel… keok sih, tapi ga pa pa lah, namanya usaha… Ketemu di resto, kami menempati single table yang letaknya ga berjauhan… dia menyangka aku orang lokal, atau setidak-tidaknya orang jawa yang sudah tinggal lama di situ… dia menanyakan suatu alamat… aku bilang aku dari Cimahi baru dua hari di Singkawang… dia tertawa.”
“Terus?” Tanya Lani. Siska dan Dewi menunggu jawaban Suradi.
“Dia mendekat dan mengajak pindah ke Couple Table, katanya, aku belum pernah ngobrol sama orang Cimahi… aku sengaja godain dia… Jangan menyesal nanti ya… orang Cimahi bisa sangat ngangenin.”
Huuuu.
Suradi tersenyum.
“Kami bertukar kartu nama, ngobrol sana-sini, terus dia bayarin bill.”
“Terus?”
“Sudah. Aku pergi ke Pontianak, terus pulang ke Bandung.”
“Hm. Kamu menyembunyikan sesuatu Sur.” Kata Dewi. “Dia itu killer…”
“Maksudnya?” Tanya Suradi, sedikit heran.
“Sejak awal berarti dia sudah suka sama elo.” Kata Lani. “Elo enggak akan dibiarin lepas… eh, beneran elo langsung ke Ponti?”
“I ya lah, soalnya si Kardi udah datang terus maksa-maksa ngajak pergi…”
Lani tiba-tiba tertawa.
“Kenapa emang?” Tanya Suradi.
“Kalau elo sempet liat roman mukanya, pasti dah dia kelihatan kecewa.” Katanya.
“Si killer itu engga boleh liat cowok mateng, apalagi yang berpengalaman, matanya tajam banget.” Kata Siska.
“Wah… wah… sanjungan macam apa ini!?” Kata Suradi.
“Kali-kali elo ceritain Wi waktu ditendang dari perusahaan si Hendrik… eh, sorri, dia kan bekas laki lo.” Kata Siska.
“Males aku cerita ke kelean, entar ngiler lagi. Wew ah.”
Dikeroroyok tiga STW bukan perkara mudah. Suradi hanya bisa mesam-mesem.
“Nah, Sur, elo harus jujur ya… jujur… siapa yang pesenin lo makanan ini?” Tanya Siska dengan tudingan kemenangan.
“Mbak Dewi? Emang kenapa?”
“Nah, lo. Wi ngaku aja!” Kata Lani.
“Apaan sih kelean ini, kita cuma temen… bener kan Sur?” Kata Dewi.
“Ya i ya lah temen.” Kata Suradi.
“Masa temen ngipas-ngipasin asap biar berapi… hayo Wi, ngaku.” Kata Siska.
“Kelean ini emang udah pada gila ya… gangguin kesenangan orang aja… kita cuman bernostalgik aja, bener kan Sur?”
“Bener.”
“Tuh, kelean denger…”
Siska dan Lani tertawa penuh arti dan wajah Dewi terlihat masam.
“Nyesel aku ngundang kelean ke sini… pada ngiri.”
Telpon berdering, dari Pak Amat. “Maaf.” Kata Suradi.
“Pak, besinya molor nih… minta dipercepat pengirimannya.”
“Kemarin emang janjinya sore, Pak.” Kata Suradi.
“Tadi kita telpon katanya besok.”
“Ah, masa sih? Ya udah saya telpon Sam aja sekarang.”
Suradi memijit tombol.
“Sam, apa bener pengiriman besinya besok?”
“I ya bos, soalnya ini stok sudah habis. Maaf bos.”
Suradi menarik nafas berat.
“Batalin aja, gue punya.” Kata Lani dengan setengah berbisik. “Stok gue banyak.”
Suradi menatap Lani. Tajam.
“Soalnya malam ini besinya harus dipasang, Sam. Aku kan pesennya kemarin?”
“Maaf lah bos, seribu maaf.”
“Batalin, pesen ke gue.” Bisik Lani.
“Ya, udah Sam. Kalau begitu stop dulu. Anak-anak aku liburkan.”
“Oke bos.”
“Elo udah batalin?” Tanya Lani.
“Udah.”
“Nah, sekarang elo telpon Kokoh gue dah. Nih pake HP gue.”
Suradi terlibat pembicaraan di telpon dengan Kokohnya Lani. Ben. Adu tawar harga dan lain sebagainya.
“Pembayarannya cash apa transfer?” Tanya Suradi.
“Transfer aja, kalau sekarang masuk uang 25%, barang langsung dikirim.” Kata Ben.
“Oke. Aku kirim sekarang ya, sisanya nunggu 2 atau 3 hari, paling lambat seminggu.”
“Oke, makasih Pak.” Kata Ben.
5
“Mungkin aku terlalu berharap banyak, ya, Sur?” Tanya Dewi ketika Siska dan Lani sudah pergi.
“Tidak, mBak. Aku juga kepengin sih sebetulnya, entahlah, mungkin aku lagi enggak mood.”
“Aku enggak seneng kamu panggil aku, mbak. Dari dulu kamu menganggap aku lebih tua.”
“Tidak, mbak… eh, Wi, kamu tidak lebih tua dari yang dulu pernah aku ingat.” Kata Suradi.
“15 tahun Sur, wah, lama sekali itu. Tapi rasanya baru kemarin.” Tiba-tiba Dewi mendekati Suradi dan menyenderkan kepalanya. “Kadang aku merasa cape menunggu seseorang.”
“Emang kamu belum pernah dapat pengganti Hendrik?”
“Pernah. Tapi kadang mereka sering menuntut terlalu banyak, aku jadi males.”
“Anakmu berapa sekarang, Wi?”
“Dua. Dua-duanya ikut papanya. Kamu?”
“Satu.”
“Istrimu kerja juga?”
“Ya.”
“Kehidupan keluargamu, gimana?”
“Akhir-akhir ini agak kurang sih… dia jadi sering curiga.”
“Padahal?”
Suradi tertawa lembut.
“Yah. begitulah. Aku sering tergoda.”
Dewi menatap Suradi.
“Menurutmu, apakah aku cukup seksi untuk menggodamu?”
“mBak, eh, Wi, kalau aku sekarang lagi oke, kamu sudah dari tadi aku naikin.”
“Cobain yuk sekarang… aku pengen nih.”
“Entahlah Wi…”
“Kamu diem aja, aku yang aktif.”
Mereka saling berpandangan. Kenangan masa lalu ketika mereka masih muda pun berloncatan… mereka selalu melakukannya di setiap ada kesempatan. Waktu itu, Dewi masih sebagai sekretaris eksekutif sekaligus istri direktur utama dan Suradi masih sebagai mandor. Mereka bercinta pertama kali di gudang belakang. Dewi yang masih belum puas bercinta dengan Hendrik di ruang Dirut, masuk ke Gudang untuk onani tapi justru menemukan mandor itu sedang duduk menyandar dinding sambil mengocok-ngocok kontolnya dengan tangan sambil memejamkan mata.
“Aduh mbak dewi…”
Dewi tersenyum senang melihatnya. Dia mengejutkan Suradi muda dengan menjawab panggilannya.
“Kamu manggil aku, Sur?”
Tentu saja Suradi muda terperanjat setengah mati. Dia hanya bisa melotot. Antara malu dan takut bercampur jadi satu.
“MBak bantuin ya ngocoknya.” Kata Dewi sambil langsung mengemut kontol Suradi.
Waktu itu Suradi sama sekali tidak menduganya. Dia menganggap saat itu sedang bermimpi. Bahkan ketika kontolnya sudah masuk ke dalam liang memek Dewi dan menggenjotnya hingga munratkan pejuh, dia masih merasa bermimpi.
Mereka bercinta di Gudang itu sampai merasa benar-benar saling dipuaskan satu sama lain.
Sejak itu Dewi jadi ketagihan dan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Sampai akhirnya affair itu ketahuan oleh Hendrik. Ketika mereka sedang melakukannya di belakang meja Dirut, Hendrik datang dan menjadi gila.
Suradi dipecat. Dewi juga sama dipecat bahkan diceraikan.
6
Dewi mendorong Suradi agar rebah. Melepas kancing-kancing kemejanya dan mengeluarkan ujung kemejanya dari himpitan pantalonnya. Suradi memejamkan matanya mencoba menikmati sentuhan yang dilakukan Dewi.
Tapi ternyata tidak bisa dipaksa.
“Nah, lo. Busyet dah!” Tiba-tiba Siska masuk ke ruang itu disusul Lani.
“Sorri yaa… tas gua ketinggalan.” Kata Siska.
“Tas gua juga.” Kata Lani.
“Yaelaaa… kelean itu kerjaannya ganggu orang seneng aja kenapa sih!” Kata Dewi. “Rusak deh konsentrasi.”
Suradi merasa agak kaget juga melihat kedatangan Siska dan Lani. Badannya sedikit tegang sejenak. Lalu dia menelonjorkan kakinya agar lebih rileks. Sejujurnya saja, meskipun sudah sangat lama berselang dan ingin melakukannya lagi, tapi Dewi secara keseluruhan tidak membangkitkan gairahnya. Bukan karena Dewi tidak seksi atau tidak menarik. Bukan. Sekilas tadi ketika di mobil, terbersit juga keinginan itu, namun kurang menggebu.
“Wi, sstt, liatin dong, dikit aja.” Kata Siska. “Penasaran ih.”
“I ya dikit aja.” Kata Lani.
“Sur, ga pa pa kan ya diliatin sama tante-tante yang kepo ini.” Kata Dewi sambil membuka ikat pinggang dan ritsluiting celana Suradi dengan agak paksa. Menariknya ke bawah dengan celana dalamnya sehingga batang kemaluan Suradi yang sedang terkulai terlihat semuanya.
“Ouo… masih bobok.” Kata Siska
“Nyam nyam.” Kata Lani.
“Dia lagi males katanya.” Dewi berkata sambil menaikan celana dalam Suradi untuk menutupkan batang kontol itu dari penglihatan kedua STW itu.
Suradi duduk dan menarik risluiting pantalonnya, tapi dia tidak mengikatkan kembali ikat pinggangnya. Terdengar alert dari HPnya yang memberitahu transaksi internet bankingnya gagal.
“Lan, sori, kasih tahu Ben, transfernya keganggu.” Kata Suradi.
“Masa sih?” Lani melepas sepatu dan mendekati Suradi. “Biasanya enggak ada masalah. Saldo elo kali habis?”
“Masih ada, lebih dari cukup.”
Lani berdiri dengan lututnya di belakang Suradi. Dia berdiri sangat dekat sekali sehingga kedua pahanya yang dibalut kulot katun itu menyentuh punggung Suradi. Satu tangannya melewati bahu sehingga buah dadanya menyentuh pundak Suradi. Ketika jari jemari Lani menggerak-gerakkan touchscreen HP Suradi, otomatis buahdadanya yang menyentuh pundak itu pun ikut juga bergerak-gerak.
Pundak Suradi seperti sedang dielus-elus oleh buahdada yang masih kenyal.
Suradi menengadah dan melihat leher putih dan dagu Lani bergerak ketika berbicara.
“I ya nih, saldonya masih ada. Kayaknya ada gangguan di server bank.” Kata Lani. “Aduh.” Kata Lani. Dia menjatuhkan badannya ke punggung Suradi seperti gerakan memeluk dari belakang. Pipinya yang mulus menyentuh pipi Suradi.
“Sorri ya Sur, ini jepit gua jatuh keinjek sama lutut.” Katanya.”Enggak sakit kok. Sorri ya.”
“Eh, ga pa pa.”
Dewi melihat dada Suradi yang terbuka tampak bergerak-gerak. Itu menandakan jantungnya sedang berdegup kencang.
Lani mengeluarkan HPnya sendiri dan menelpon Ben.
“Koh, kata Pak Suradi ada gangguan transfer. Gua udah liat, dia solid koq. Anterin aja barangnya sekarang… kalau elu gak percaya entar sore gua talangin… i ya, dia gak bisa ke ATM sekarang. Gua ada di kafe Unyu sama Siska.. Sis dia mau ngomong sama elu.” Kata Lani sambil memberikan HPnya kepada Siska.
“I ya, Ben. Gua ikut jaminlah kalau ada apa-apa… oke.”
Telpon ditutup.
“Eh, sorri Wi, cowok elu gua pelukin.” Kata Lani dengan nada riang.
“Cipok aja sekalian kalau dia suka.” Kata Dewi, getas tapi nadanya tidak marah.
Tiba-tiba saja Lani mendekatkan wajahnya ke wajah Suradi dan menemukan bibir lelaki itu melawannya ketika dikecup bibir atasnya. Lelaki itu mengulum bibir bawahnya dan Lani menyukainya. Dalam hitungan detik, mereka saling pagut dengan posisi Lani di depan punggung Suradi.
Lani melepaskan diri dari Suradi dan melihatnya terengah.
“Dia suka, Wi.” Kata Lani.
“Tadi katanya males.”
“Aku… Wi, maaf… dia…” Suradi tergagap.
“Kamu suka ya?”
Lani menyimpan tas tangannya ke dekat dinding kaca dan duduk di samping Suradi.
“Gue juga suka.” Katanya. “Sur, elo mau lagi enggak?”
Suradi menatap mata Lani. Kini lelaki itu merasakan, batang kemaluannya sedang menggeliat bangun.
“Biarin dia mah bodo amat.” Kata Lani sambil mencium bibir Suradi sekali lagi. Kali ini perlawanan Suradi lebih sengit. Mereka saling pagut dengan asyik. Namun Suradi tidak yakin, siapakah yang berusaha melepaskan kemejanya dari depan punggungnya, Siska ataukah Dewi, sehingga akhirnya dia bertelanjang dada. Dia hanya yakin satu hal, Dewilah yang melepaskan pantalonnya sekaligus celana dalamnya.
Selama mengemut bibir Lani, kedua tangan Suradi meraup kedua bukit kembar Lani dari luar baju hemnya. Kemudian mengelus punggung dan meremas buah pinggul Lani.
Lani melepaskan kuluman bibir Suradi untuk melepas kancing-kancing hemnya dan membuka baju serta BHnya. Dua bukit yang putih gempal itu mumbul-mumbul mencari perhatian mulut Suradi. Ketika diisap, Lani memeluk kepala Suradi dan Suradi melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lani. Jari jemari Suradi menyusup ke dalam pinggiran kulot dan sekaligus menyusup ke pinggiran celana dalam Lani. Menemukan pantat yang halus yang minta diremas.
Lani melepas kancing celana kulotnya dan membiarkan kedua tangan Suradi menariknya ke bawah beserta celana dalamnya, dan menurunkannya hingga lutut. Jari jemari tangannya kini sangat bebas untuk merabai dan membelai-belai pahanya.
“Remas lagi.” Kata Lani. Suradi mengikuti perintah itu dan meremas-remas buah pantat Lani dengan lembut. Mulutnya mulai menuruni perut Lani dan menemukan udelnya untuk dijilat.
Lani mengeluh. Tetapi Suradi juga mengerang ketika bibir-bibir basah itu menggelomoh kepala kontolnya yang mulai terjaga. Dia tidak akan lupa dengan rasa bibir itu, walaupun sudah lewat 15 tahun. Jilatan-jilatannya pada batang kontol dan buah pelirnya masih sama rasanya seperti 15 tahun yang lalu.
Suradi tahu siapa yang sedang mengemuti batang kontolnya. Tetapi Suradi tidak tahu kalau Dewi dan Siska sudah sama-sama telanjang. Yang dia tahu saat itu hanya bibir-bibir memek yang mungil dan tipis yang berada di depan matanya yang ingin dia jangkau dengan lidahnya.
Lani berdiri untuk menjatuhkan kulot dan celana dalam di pergelangan kakinya. Kaki kanannya melepaskan diri dari kungkungan kulot dan celana dalam, dan kaki kirinya menendang ke belakang sehingga kulot dan celana dalamnya tersingkir ke pinggiran ruangan.
Lani kemudian mengangkangi badan Suradi. Menganjurkan pinggulnya agar Suradi mudah melahap bibir-bibir memeknya yang mungil dan tipis.
“Hhhkhh… ya… di situ… yang tadi… remas pantat gue… remas…” Lani mendesah. Suradi menjulur-julurkan lidahnya untuk menyusupkannya ke belahan memek itu tapi dia tak mendapatkan respon seperti yang dikehendakinya, mungkin karena ada gangguan di punggungnya oleh sepasang bukit kembar lain yang bukan milik Dewi. Kemudian ada ciuman bibir ke telinga, leher dan pundaknya. Siska memeluknya dari belakang, membelai-belai dada dan perutnya. Kedua lengannya sangat lembut.
Siska melepaskan pelukannya dan Dewi melepaskan kuluman pada kontol Suradi, sementara Lani juga menjauhkan diri dari hadapannya. Sekarang Dewilah yang berdiri dengan kedua lututnya. Dewi mencium bibir Suradi sejenak dan mengasongkan kedua susunya untuk dihisap. Ternyata tak mendapatkan sensasi. Dewi kemudian mendorong dada Suradi agar rebah, menjongkoki wajah Suradi dengan kedua paha membentang lebar.
Bibir-bibir memek tembem itu pernah mempesonanya 15 tahun lalu. Menjilatinya tanpa bosan sampai merengek-rengek minta digenjot. Kini sensasi itu hilang lebih dari setengahnya ketika mengemut itilnya dan melumat bibir-bibir bagian dalam memeknya. Meskipun rasa lendirnya masih sama asin namun gelora sensasinya tidak lagi membumbung tinggi seperti dulu. Apakah itu karena gangguan dari bibir-bibir lain yang mendadak mengecup mulut pada kepala kontolnya? Suradi tidak tahu. Dia hanya mengerang karena lidah dan bibir yang tak pernah dikenalnya itu mencoba memperkenalkan diri dengan cara yang sangat lembut namun agresif!!!
Dewi melepaskan kuluman bibir Suradi dari itilnya. Dia merangkak mundur dan pantatnya menemukan kepala Siska sedang bergerak-gerak. Sekarang Dewi merasa yakin bahwa Suradi tak lagi memiliki antusiasme pada memeknya seperti dulu.
Siska merasakan belakang kepalanya membentur pantat Dewi. Siska melepaskan kuluman pada kontol Suradi dan membantu memegangi batang kontol itu agar tepat berada di bawah liang memek Dewi dan menyelipkannya hingga masuk.
“Mmhhh… ” Dewi mengeluh pendek.
Dewi menjejalkan batang kontol itu agar terus masuk ke dalam memeknya secara sempurna. Dia menggenjotnya naik turun untuk menikmati sensasi hujaman yang dulu pernah membuatnya setengah tidak waras.
Siska dan Lani tampaknya setengah terperangah melihat bagaimana lendir Dewi mengucur di sepanjang batang kontol Suradi. Mereka saling berpandangan.
Batang kontol Suradi masih memiliki magis yang sama dengan 15 tahun lalu ketika Dewi mengewenya untuk pertama kalinya. Sensasi yang ditimbulkannya juga masih sama. Dewi merasa ngecrot berkali-kali dan dia menikmatinya. Tapi satu hal yang Dewi rasakan dengan pasti, antusiasme Suradi kepadanya sudah sangat jauh berkurang.
“Dia mungkin telah menemukan banyak wanita serta memek-memeknya yang aneka ragam rasanya… dia mungkin merasa memekku sudah tak lagi memberinya sensasi… Surrraaadiiiii…. kamuuu…. tegaaaaa….” Dewi berkata dengan kesal di dalam hatinya. Dan dia melampiaskannya dengan mengentot Suradi seperti orang keedanan.
Tapi kelihatannya Suradi tidak terpengaruh. Apalagi ketika Siska mendatangi dari arah belakang kepala dan menjongkoki Suradi di wajahnya.
Suradi menahan pinggul Siska beberapa sentimeter di atas hidungnya untuk membaui aroma baru yang belum dikenalnya. Menatap setitik lubang pantat yang mirip pangkal buah apel hijau dan menjilati dengan lidah. Dia menemukan sensasi kedutan dan mencucup liang memek Siska dengan memonyongkan mulutnya. Lidahnya menjulur untuk terselip di dalam lubang memek itu.
“Lendirnya manis.” Bisik Suradi dalam hatinya.
Suradi mendengar desahan itu bersamaan antara Dewi dan Siska. Tetapi Dewilah yang kemudian memekik dengan lolongan kepuasan. Dia menekan pinggulnya sekuatnya ke pangkal kontol Suradi yang bulu-bulunya sudah basah oleh lendir.
“AungNgngngkhkhkh…. ” Lolong Dewi. Dia menahan pantatnya selama beberapa menit dan menikmati sensasinya tanpa mempedulikan Lani yang sudah tak sabar menunggu giliran, sambil meremas-remas susunya sendiri.
“Hhhh…. brrrrr….” Dewi merinding dan melepaskan jepitan bibir-bibir memeknya pada batang kontol Suradi. Dia berguling ke pinggiran ruangan dan terkapar. Badannya bermandikan keringat dan memeknya bermandikan lendir sendiri.
“Hadeuhhh…. enak sekali.” Bisiknya sambil memejamkan mata.
7
Siska sebenarnya masih merasakan sensasi lidah Suradi ketika melihat batang kontol itu mengacung-acung seperti bandul bergoyang-goyang. Tak tega melihat kontol nganggur, Siska melepaskan diri dari serbuan mulut Suradi. Dia melangkah mengangkang melewati badan Suradi rebah kaku. Menancapkan kontol ke dalam memeknya dan mengentotnya dengan penuh perasaan. Dia tak begitu peduli ada sisa-sisa lendir Dewi di batang kontol Suradi, yang dia peduli adalah sensasi kenikmatannya sendiri.
Lani melihat Siska tengah mengentot dengan tekun sambil memejamkan mata. Dia tersenyum.
Sekarang Lani melangkahi dan mengangkangi wajah Suradi. Punggungnya berhadapan dengan punggung Siska. Lani membeliakkan bibir-bibir memeknya dengan jari jemarinya dan menyorongkannya pada mulut Suradi.
Suradi mengenal bau memek Lani yang belum lama dikenalnya. Dia memonyongkan mulutnya dengan posisi lidah menjulur persis di liang memek Lani.
Lani melenguh pelan. Kedua tangannya meraih kepala Suradi dan menahannya. Dia menggenjot pinggulnya agar mulut monyong Suradi bisa mengentotnya dengan baik.
“Agkh.. agkh..agkh… ” Desah Siska.
“Ougkh… ougkh… oughk…” Desah Lani.
Dua desahan itu saling bersahutan silih berganti. Tetapi Siskalah yang menjerit duluan.
“Akkkhhhh…. aku ke luarrrrr…. ” Katanya.
Siska mencabut memeknya dan menggulingkan diri di sisi Dewi.
“Hadeeuuuhhh…. cape.” Katanya. Pada pucuk memeknya masih mengalir lendir kenikmatan itu ketika dia terkapar kelelahan.
8
“The best for last.” Bisik Lani pada dirinya sendiri. Dia menjauhkan pinggulnya dari mulut Suradi dan merangkak mundur untuk memasukkan batang kontol itu ke dalam memeknya. Suradi meremas dan mengisap susunya dengan rakus sementara pinggul Lani secara ritmis menggenjot.
Lani mengerang ketika mendapatkan orgasmenya yang pertama. Lendirnya meletup dan dia sudah merasa puas. Baginya kenikmatan yang diperolehnya barusan sudah lebih dari cukup. Lani menyangka Suradi akan memintanya untuk melakukan sesuatu agar bisa ngecrot.
Tapi Lani keliru.
Suradi mengambil bantal dan menyuruh Lani berbaring. Pantatnya diganjal oleh dua bantal dengan kedua paha membuka lebar. Ini menyebabkan Lani berbaring miring dengan kepala lebih bawah dari pangkal pahanya. Dia merasa memeknya dingin oleh cairan lendir yang tertiup angin. Namun itu hanya sebentar. Kontol itu kemudian menutupinya dengan sempurna. Memberikannya kehangatan yang panas. Apalagi setelah digenjot secara jentel dan ritmis. Sensasi yang memabukan itu membuat dia melayang-layang.
Lani mengecrot lagi, lagi dan lagi. Akhirnya Lani tak kuasa menahan puncak kenikmatannya yang tertinggi. Dia menjerit keras sekali berbarengan dengan menyemprotnya lendir dari liang memeknya yang tersumbat kontol Suradi. PROTTTT!!!!
“Aduh Sur, gile benerrr enaknya.” Kata Lani dengan tersengal saat Suradi mencabut kontolnya dari jepitan liang memeknya.
Suradi tersenyum.
Dia melangkah mendekati Siska yang melotot melihat kontol yang masih mengacung-acung itu. Siska tanpa diminta membuka pahanya dengan lebar. Memeknya sudah menguncup. Tapi kontol yang masih basah oleh lendir Lani itu kemudian menerobosnya. Membuat bibir-bibir memek Siska bagian dalam terbeliak-liak.
“Surrrrr….crot…” Siska mengecrot lagi. Tapi itu bukan yang terakhir. Suatu hujaman yang beruntun tanpa ampun membuat Siska melengking menguik-nguik. Dia mendapatkan puncaknya yang ternikmat yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya.
PROTTTT. PROTTT.
Kontol Suradi masih basah dengan cairan lendir Siska dan masih mengacung-acung ketika dia melangkah mendekati Dewi.
“Kamu masih kuat, Sur?”
“Untuk memekmu, aku masih kuat.”
“Ewelah memekku, Sur. Muncratkanlah pejuhmu di dalam.” Kata Dewi
Suradi mengangguk.
Suradi kemudian mengarahkan batang kontolnya ke liang memek Dewi yang menganga karena sengaja dibeliakkan. Mencelupkannya dan menghujamkannya sampai dalam lalu menggenjotnya dengan tekun.
Tapi aneh sekali, kenikmatan ngewe seperti 15 tahun yang lalu itu tak kunjung datang. Ngentot Dewi memang enak, tapi tak seenak 15 tahun yang lalu.
Akhirnya Suradi menyerah.
Dia memeluk Dewi dengan erat dan memuncratkan pejuhnya di dalam memek STW itu sampai muncrat seluruhnya.
9
Mereka telah merapikan pakaiannya masing-masing. Siska dan Lani menjingjing tas tangan mereka dan mendekati Suradi untuk mencium pipi kiri dan kanannya.
“Makasih ya atas kontolnya.” Kata Siska. “Kapan-kapan kita ngentot lagi.”
“Aku juga, Sur. Makasih atas eweannya ya, memekku jadi plong sekarang.”
Dadah bye bye.
Sekarang hanya tinggal mereka berdua. Suradi menyalakan rokoknya dan mengisapnya dalam-dalam.
“Kamu ingin aku pesankan kopi?” Tanya Dewi.
“Tidak usah, Wi.”
“Kamu tak seantusias dulu.” Kata Dewi, getir.
“Ya, Wi. Aku sudah berusaha… tapi hatiku tak bisa berbohong.”
“Mungkin jika suatu saat kau kangen, kau bisa datang ke sini kapan saja.”
“Ya, mungkin.”
“Aku akan tetap merindukanmu.” Katanya. Dia memeluk Suradi dan membiarkan lelaki itu minta permisi untuk pulang.
“Datang kapan saja kamu mau, Sur. Aku akan setia menunggumu.”
“Ya, Wi, terimakasih.” Kata Suradi sambil terus melangkah meninggalkan ruang VIP itu. “Aku juga akan setia dengan petualanganku.” Bisik Suradi dalam hatinya.***
CATATAN TAMBAHAN TENTANG SISKA DAN LANI
Lani melajukan sedan putihnya ke luar dari cafe itu, dia masih merinding dengan percintaan yang baru saja dialaminya.
“Edyan… gile bener, gue pasti kangen sama dia.” Katanya. Namun bibirnya tersenyum karena Suradi akan mudah dia temukan. “Gue juga punya alesan untuk nemuin dia… hi hi hi… untung si koko punya banyak persediaan besi… hm, gua harus cari jalan supaya bisa berbisnis sama dia.”
***
Sementara itu Siska agak sedikit melamun di belakang stir. “Gue udah keduluan sama si Lani… kalau dia dapet tuh cowok pasti ga kan bagi-bagi… eeuuuhhh, enak gila… kontolnya benar-benar edan… coba kalo gue makan sendiri tuh kontol dijamin deh memek gua bakalan kenyang… ha ha ha… gua harus nyari proyek yang bisa dia kerjain… hm, mudah-mudahan om gue punya.” ***
Bersambung…