Suradi Adventure Part 5

0
2537

Suradi Adventure Part 5

UGI

Suradi menemukan anak itu ketika mengerjakan proyek di Kabupaten Bandung. Dia konangan menjambret tas tangan seorang perempuan dan lari dikejar warga. Dia masuk ke area proyek dan bersembunyi di sana. Pak Tono menemukannya dan menangkapnya. Jika Suradi tidak turun tangan, bisa jadi anak itu habis dihajar massa.

Polisi kemudian datang dan menangkap Ugi. Dia dijebloskan ke dalam bui selama 3 hari. Keluar dari bui, Ugi mendatangi Suradi dan meminta pekerjaan sebagai kuli bangunan. Suradi menerimanya tanpa syarat.

Waktu itu umur Ugi masih 16 tahun, belum lama tamat SMP. Kedua orangtuanya bercerai. Ayahnya menghilang entah ke mana dan ibunya jarang di rumah karena harus bekerja.

Karir Ugi sebagai kuli dimulai sebagai orang yang bisa disuruh-suruh oleh kuli-kuli lainnya. Dia sangat giat, kooperatif dan tidak banyak membantah. Dia juga banyak belajar. Satu hal yang membuat Suradi terkesan pada anak itu adalah tekadnya yang kuat untuk menjadi yang terbaik.

Setelah satu bulan bekerja pesuruh para kuli, dia menjadi laden Pak Amat, tukang yang berpengalaman yang telah malang melintang selama puluhan tahun di dunia bangunan. Empat bulan kemudian dia menjadi laden Pak Ujang, tukang yang ahli di bidang perkayuan bangunan. Sampai proyek di Kabupaten Bandung itu selesai.

Sebagai kuli laden, Ugi memiliki keistimewaan. Dia bisa memahami dengan cepat karakter dan sifat atasannya. Karena itu banyak tukang yang menginginkan Ugi menjadi ladennya. Bahkan Pak Amat dan Pak Ujang sering memperebutkan Ugi sebagai laden.

Selain pernah konangan menjambret, Ugi juga pernah 2 kali terciduk sedang ngeloco (onani) di toilet darurat proyek oleh kuli lainnya. Tentu saja berita terciduknya Ugi sedang mengocok di toilet menjadi gosip terpanas di kalangan para kuli lainnya. Mereka menjadikan Ugi sebagai objek candaan dan tertawaan. Ada juga yang mengajak Ugi ke penjaja sex komersial untuk jajan pejuh tapi Ugi selalu menolaknya. Alasan Ugi adalah merasa sayang menghambur-hamburkan uang untuk menghambur-hamburkan pejuh. Kalau ada cara termurah, kenapa ingin melakukan dengan cara yang mahal. Begitulah kira-kira prinsipnya.

Setelah proyek di Kabupaten Bandung selesai, Ugi ikut Suradi ke Cimahi. Dia tidur di sofa ruang tamu kantor selama beberapa bulan sebelum akhirnya mengontrak sebuah kamar di daerah Cihanjuang, Cimahi.

Selama tinggal dengan bosnya, Ugi benar-benar belajar banyak.

Suradi mengajari anak itu mengendarai motor dan kemudian mengemudikan mobil sampai mahir. Hidup Ugi pun berubah. Dari kuli dia berubah menjadi sopir.

Suradi mengenalkan Ugi dengan dunia komputer dan internet walau cuma dasar-dasarnya saja, membuat catatan administrasi sederhana dan membat rekening di Bank.

Suradi di mata Ugi bukan hanya sebagai bos tapi juga sebagai guru. Apa yang diperintahkan Suradi selalu dilaksanakan Ugi secara saklek. Tanpa bertanya apalagi membantah.

2

Keperjakaan yang pertama Ugi direnggut oleh sabun setelah menonton film bokep di HP Udung, teman satu bedeng di proyek di Kabupaten Bandung. Keperjakaannya yang kedua direnggut oleh Bu Joni, STW semok pemilik kontrakan di daerah Pasar Anyar. Walau sial terciduk sudah mengentot Bu Joni oleh suaminya, tapi Bosnya Pak Suradi berhasil menyelesaikan permasalahan itu secara kekeluargaan.

Anehnya, setelah terciduk, Bu Joni malah meminta Ugi datang ke sebuah losmen dan menjelaskan keinginannya untuk disodok lagi. Ugi tentu saja tak bisa menolaknya. Lagi pula, itu adalah perintah dari bosnya. Jadi, malam itu, Ugi mengentot Bu Joni sebanyak tiga kali.

Bu Joni lalu membuat kesepakatan dengan Ugi untuk mendatangi losmen itu minimal 3 kali dalam seminggu. Semula Ugi keberatan karena biaya transportnya cukup mahal untuk kantong seorang kuli. Ugi mengusulkan satu minggu satu kali.
“Kamu jangan begitu sama Mami, Gi. Kalau cuma seminggu sekali mana bisa Mami kuat menahan gatel. Udah gini aja, asal kamu setuju, tiap kali ke sini Mami kasih bantuan deh buat transport 250 ribu. Bagaiamana?”
“Okelah kalo begitu.” Ugi pun setuju.

Hal itu berlangsung selama 3 bulan, sampai Pak Joni terkena stroke dan lumpuh sebelah. Ugi kemudian tiap hari datang ke rumah Bu Joni dengan bebas.

3

Setelah 2 tahun bekerja sebagai kuli, Ugi berhasil membeli motor seken yang kondisinya masih mulus, sebuah HP android dengan spek lumayan dan beberapa baju yang menurutnya bagus dan selalu dipakai bila pergi ke rumah Bu Joni. Dan Ugi merasa bangga dengan semua itu karena didapatkannya dengan kerja keras.

Atas perintah bosnya, Pak Suradi, Ugi harus mengurus surat-surat yang sangat penting yang berkaitan dengan hajat hidup pribadinya. Seperti ijazah SD dan SMP, Surat kelakuan baik dan yang paling penting, Ugi belum punya KTP. Itu artinya, Ugi harus kembali ke rumah ibunya di Cileunyi dan memulai segala sesuatunya dari sana.

Pesan bosnya:
“Kamu harus mengurus surat-surat itu secepatnya, Gi. Terutama KTP. Lakukan apa saja yang sekiranya bisa dilakukan. Jangan dikasih lama. Yang rugi nanti kamu sendiri.”
“Siap, bos.”
“Ingat Gi, lakukan apa saja. Kalau perlu kamu siapkan uang lebih untuk memuluskan pengurusanmu, baik di kelurahan mau pun di kecamatan. Tapi kamu harus memulainya dari RT dan RW dulu, paham?”
“Siap, Bos. Paham.”
“Nih saya kasih 200 ribu buat bensin. Eh, Gi, kalau kamu dikasih duit sama Bu Joni jangan dipakai foya-foya. Tabung di bank. Gunakan dengan bijak.”
“Siap, bos. Tidak dipakai foya-foya. Tapi ditabung di bank sesuai perintah, bos.”
“Nah, ambil sebagian sebagai bekal mengurus surat-surat.”
“Siap, Bos!”

4

Berangkat Sabtu pagi dari rumah Mami alias Bu Joni, Ugi sampai di kampung Cigendir sekitar jam sepuluh. Sempat bertemu dengan beberapa teman masa kecilnya, Ugi menyisir sepanjang gang yang penuh kenangan. Beberapa bangunan rumah yang dulu dia anggap milik orang kaya di pinggir jalan besar, kini menjadi pudar dalam benaknya. Bangunan-bangunan rumah terbaik di kampungnya ini, bukanlah gambaran bahwa sebagian orang-orang kampung ini ada yang kaya, tetapi pernah kaya.

Sementara bangunan-bangunan lainnya, yang tersebar di sejumlah gang utama, adalah potret gambaran perjuangan hidup yang sulit. Sedangkan di jantung-jantung pelosok gang, di mana rumah Ugi tinggal, adalah gambaran kemiskinan yang sebenarnya.

Tiba di kampungnya, Ugi merasa dirinya menjadi orang paling kaya.

Kampung itu tidak berbeda dengan apa yang terakhir kali diingatnya. Rumah-rumah dan gangnya masih sama. Sampah di mana-mana masih sama. Hanya warung Ceu Nining saja yang berbeda, itu pun karena catnya masih baru. Tapi bentuknya masih sama seperti yang dulu.

Memakai jaket kulit yang dibelinya di pasar loak dan kacamata hitam, Ugi memarkir motornya di depan rumahnya yang masih sama seperti dulu. Kehadiran Ugi membuat heran 4 orang STW yang sedang bermain kartu sambil lesehan di ruang tamu rumahnya yang pintunya terbuka lebar.

Pura-pura kesulitan menstandarduakan motornya, Ugi sengaja memancing perhatian mereka. Salah seorang STW itu melebarkan matanya secara kurang ramah.
“Mak, ini Ugi.” Katanya dalam bahasa sunda sambil membuka helm dan melepas kacamata hitamnya.
“Aeh, kirain siapa. Kamu tambah tinggi.” Kata Ibunya dalam bahasa sunda, dia sejenak memperhatikan Ugi kemudian melempar kartu sebagai tanda ke luar dari permainan. “Kalian terusin aja. Jangan khawatir, aku mau ngobrol dulu sama anakku.” Katanya sambil bangkit dari duduknya. Ugi memasuki rumahnya dengan perasaan yang agak aneh. Dia mengikuti ibunya ke ruang tengah dan duduk di atas karpet plastik, melepaskan sepatu.
“Terakhir emak lihat kamu di kantor polisi, terus kamu kemana? Emak sudah nanya ke sana ke mari tapi tidak ada yang tahu.”
“Ugi kerja, Mak di bangunan.”
“Kamu punya semua ini hasil kerja atau yang lain, Gi. Jujur. Emak tidak mau ada polisi lagi datang ke rumah ini.”
“Sumpah, Mak. Ugi kerja di perusahaan di Cimahi.” Kata Ugi. “Di perusahaan itu, walau Ugi cuma jadi pesuruh, tapi Ugi banyak belajar, Mak. Sekarang Ugi bisa nyetir mobil dan komputer.”
“Ah, yang bener? Kamu jangan suka ngibulin orangtua.”
“Enggak, Mak. Sumpah.” Kata Ugi. “Ugi ke sini mau ngurus-ngurus surat, Mak. Terutama KTP, Ugi kan belum punya KTP. Ugi mau ke rumah Pak RT.”
“Pak RTnya juga belum pulang atuh jam segini mah.” Kata Emak. “Lis, suami kamu kira-kira pulangnya jam berapa?”
“Enggak tentu, Ceu. Biasanya sore-sore sudah pulang.” Kata salah seorang pemain kartu dari ruang tamu. “Tapi kalau lagi ada penumpang, pulangnya bisa malam.”
“Tuh, denger, Gi? Udah sekarang mah kamu istirahat dulu. Emak mau nerusin main.”
“I ya, Mak.”

5

Ugi melepaskan Jaket kulitnya dan menggantungnya pada gantungan paku yang ada di dinding. Menyapu sekilas dapur, kamar mandi dan kamar tidur ibunya dengan pandangan matanya. Dia memeriksa barang-barang lamanya dan merasa semuanya tidak berguna lagi.

Dia kemudian duduk di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah, memperhatikan para pemain kartu yang semuanya dia kenal. Mereka adalah Bi Popong, adik ibunya, Ceu Lilis tetangga depan gang dan Ceu Enah, yang tinggal di sebelah rumah Bi Popong.

Bi Popong tinggal persis di sebelah kanan rumahnya. Wajah dan bentuk tubuhnya mirip emaknya, bahkan cara berdandannya pun hampir sama, lipstik menyala dan bedak tebal bagai topeng. Terlalu berlebihan. Bila Ugi membandingkan emaknya atau bibinya dengan Mami, wah, jauh. Padahal usia mami sudah 50 lebih sedangkan emaknya atau bi Popong paling tua juga mungkin 40. Suami Bi Popong, Mang Otong, adalah pedagang asongan di terminal Cileunyi. Mereka punya dua orang anak perempuan, Cucu dan Cici, yang sangat mungkin salah satu atau keduanya sudah lulus SMP.

Sedangkan Ceu Enah adalah istri Mang Asep, Pamannya Ugi, adiknya Bi Popong atau adik bungsu Emaknya. Ugi seharusnya memanggil dia Bi Enah, bukan Ceu Enah. Tapi karena sudah kebiasaan, sulit untuk merubahnya. Ceu Enah kerja paruh waktu di pabrik konveksi sedangkan mang Asep kerja sebagai tukang parkir di sebuah supermarket. Ceu Enah ini orangnya kurus, ceking. Wajahnya tirus dan pipinya kempot dengan mata belo. Kalau sedang menyedot rokok, terkadang ceu Enah mirip seperti pecandu gele (ganja). Usianya mungkin 24 atau 25. Mereka sudah menikah 7 tahun tapi belum juga punya anak.

Ceu Enah, sejak menikah dengan mang Asep, sering numpang mandi ke rumahnya dan Ugi suka mengintipnya. Di situlah pertamakalinya Ugi melihat kelamin perempuan.

Di antara ke 4 pemain kartu itu, Ceu Lilis yang Ugi kurang tahu ceritanya. Mereka pindah ke rumah di depannya beberapa bulan sebelum dia tertangkap polisi karena percobaan penjambretan. Kulitnya putih, wajahnya cantik, bodinya seksi dan rambutnya ikal keriting sepanjang bahu. Ugi sejak awal masuk ke rumah, sudah melirik ke arah paha dan betisnya yang mulus. Apalagi dia memakai daster singlet pendek, hadeuh, bikin Ugi berharap-harap tersingkap setiap kali tangannya bergerak melempar kartu.

Suami Ceu Lilis, Kang Dadang, konon berasal dari RT 1 (Rumah Ugi RT 6) sebelum pindah ke rumah itu. Dia sejak dulu adalah tukang ojeg pangkalan yang mangkal di pangkalan Cigendir.

“Diisi, yuk.” Kata Ceu Lilis di antara obrolan ngalor ngidul yang tak keruan di antara mereka. (Diisi ini maksudnya, mereka akan memasukan sejumlah nominal uang untuk menggantikan nominal angka, pemenang permainan akan memenangkan uang).
“Yuk, ah. Biar semangat.” Jawab Ceu Enah
“Okey, siapa takut?” Kata Emaknya Ugi.
“Berapaan masuknya? Seceng (seribu) apa goceng (limaribu)?” Tanya Bi Popong.
“Seceng aja, biar awet.” Kata Ceu Lilis.

Sejujurya, Ugi tak begitu senang dengan permainan kartu. Hal tersebut karena pertama dia tak pernah bisa paham cara mainnya dan yang kedua, dia mudah bosan.

Permainan kartu yang sedang berlangsung itu pun sebenarnya membosankan. Ugi berlam-lama duduk di situ cuma berharap rok itu sekali saja tersingkap, biar tidak penasaran.

6

Permainan sudah memasuki putaran ke lima dan Ceu Lilis kelihatannya kalah melulu, wajahnya yang manis itu berubah masam. Tiba-tiba di depan gang, ada seseorang yang berlari kencang, selang beberapa menit kemudian terdengar riuh suara teriakan warga dan beberapa orang berlari di gang itu.

Ceu Lilis, Ceu Enah, Emak dan Bi Popong saling berpandangan. Lalu cepat-cepat mereka meraup uang masing-masing dan langsung membereskan kartu dan menyembunyikannya di bawah tikar. Semuanya bangkit dan pergi ke luar rumah.

Pada saat Ceu Lilis bangkit itulah roknya baru tersingkap.

Ugi yang sejak awal mempersiapkan diri untuk sekedar melihat celana dalamnya, terkesiap. Mulutnya melongo. Dia tidak bersiaga sama sekali akan melihat belahan memek Ceu Lilis yang agak kemerahan.

Edan. Ternyata Ceu Lilis tidak memakai celana dalam.

“Jangan-jangan, dia juga tidak memakai BH?” Pikir Ugi, dia menyesal mengapa tidak dari tadi memperhatikan belahan dadanya. Sial. Sayang Ceu Lilis sudah keburu kabur ke rumahnya.

Emaknya kini sedang memegang sapu lidi, pura-pura menyapu. Bi Popong dan Ceu Enah masuk ke rumahnya masing-masing. Beberapa menit kemudian puluhan warga menyesaki gang kecil itu, di belakangnya 3 orang polisi berseragam lengkap dan mungkin ada 4 atau 5 orang yang berpakaian preman.
“Di mana rumahnya? Cepat tunjukkan?” Kata Petugas itu sambil mendorong seorang lelaki yang bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek, dengan tangan terborgol ke belakang, agar berjalan lebih cepat.
“Pasti mereka mencari si Umang.” Kata Emaknya. “Yang tadi lari itu si Ojon, temannya, dia pasti bermaksud memberi tahu si Umang agar lari.”
“Memang kenapa, Mak?” Tanya Ugi.
“Katanya sih, emak denger-denger, mereka diduga membongkar rumah Haji Komar, minggu kemarin.”
“Yang ditangkap itu siapa, Mak?”
“Enggak tahu, Gi. Emak enggak kenal.”
“Mak, itu kang Dadang bukan?”
“I ya, Gi. Cepat deketin.”

Ugi berjalan melewati halaman rumahnya dan menyapa Kang Dadang.
“Kang, Kang Dadang…”

Orang yang disapa melihat Ugi dengan menyelidik. Raut wajahnya mengatakan bahwa dia tidak mengenal Ugi.
“Saya Ugi, Kang. Anaknya Mak Pupung.”
“Ugi? Halah… kamu sudah besar, ke mana saja?”
“Kerja, Kang. Di Cimahi.”
“Itu… itu motor kamu?”
“I ya, Kang.”
“Wah, hebat euy. Ada apa perlu ya Gi?”
“Itu kang, saya mau membuat KTP, jadi saya ….”
“Yuk, yuk ke rumah saja.” Katanya. Dia memasuki terasnya dan mengetuk pintu. “Lis, buka pintu.”

Ceu Lilis membuka pintu.
“Kang, kenapa sudah pulang?”
“Motornya mogok, sekarang ada di bengkel.”
“Atuh engga narik?”
“Habis gimana lagi, mogok… Gi, masuk Gi.”

Ugi mengikuti Kang Dadang dan duduk di sofa yang sudah robek-robek lapisan luarnya. “Sebagai ketua RT saya berkewajiban untuk melayani warga dengan baik, walaupun ya… motor mogokk, uang belanja habis, tapi itu bukan halangan.” Kata Kang Dadang sambil mencari-cari sesuatu. Dia kemudian berteriak, “Lis, di mana buku register sama blanko surat keterangan?”
“Di situ, kang. Di mana lagi atuh?” terdengar suara dari balik dinding.
“Sini dulu, di sebelah mana?”

Ceu Lilis datang dengan tangan dan baju basah, kelihatannya dia tadi sedang mencuci. Ugi menelan ludah melihat bayangan tubuh seksinya dari balik daster singlet yang mulai tipis.
“Nenennya amboi…” Desis Ugi dalam hatinya.
“Nih, yang nyimpen di sini siapa?” Kata Ceu Lilis sambil mengambil tumpukan kertas di bawah meja sofa. “Ini buku register, ini blanko…” Katanya dengan kesal, lalu dia pergi lagi ke dalam. Mungkin meneruskan pekerjaannya yang tadi.

Kang Dadang kemudian menuliskan sesuatu di buku regster dan di blanko surat keterangan serba guna.
“Ini nanti di bawa ke Pak RW, dicap dan ditanda tangan. Senin, bawa ke kelurahan. Jangan lupa sertakan fotocopi kartu keluarga.”
“Siap.” Kata Ugi. “Kang, bagaimana kalau yang ke Pak RWnya kang Dadang saja. Ini buat rokoknya.” Ugi memberikan selembar uang sepuluh ribuan.
“Oh, siap. Pak RW mungkin lagi ada di Kolam Pemancingan, saya langsung ke sana saja ya sekarang.”
“Kang, mau ke mana lagi? Mana resikonya?” Kata suara di balik dinding itu.
“Mau ke Pak RW sebentar.” Katanya sambil terus melangkah pergi.

Pura-pura bermaksud sopan, Ugi melongokkan kepalanya melewati ambang pintu partisi ruang tamu dan ruang tengah, melihat Ceu Lilis sedang berjongkok membelakanginya. Ugi melihat jelas belahan pinggul dan pantatnya meski terbungkus oleh selembar kain daster yang sudah tipis.
“Ceu, permisi.” Kata Ugi. Sambil tetap memelototi punggung itu.
“I ya, Gi. Mangga.”

“Kang Dadang sungguh beruntung.” Kata Ugi dalam hatinya sambil pergi ke luar. Dia melihat Cucu, sepupunya, sedang duduk di atas motor bebeknya.
“Eh, kang Ugi…” Katanya. “Kata Wak Pupung, ini motor akang ya?”
“I ya, atuh.” Kata Ugi sambil mengeluarkan HPnya dan berpura-pura membukanya, seakan-akan ada pesan yang penting.
“HPnya juga bagus… kang lihat.” Kata Cucu. Kemudian dia dengan setengah memaksa mengambil HP itu dari tangan Ugi. Tapi setelah dipegang, dia tidak bisa membukanya karena sudah terkunci.
“Bukain…”
“Bukain… emangnya celana.” Kata Ugi. Dia lalu membuat huruf Z pada touchscreennya, maka kunci pun terbuka. Tiba-tiba Cici datang dan ikut mengerubuti HP tersebut.
“Awas kalau rusak ganti.” Kata Ugi.

Dua bersaudari itu kemudian bertengkar mulut dan saling menyalahkan.

Ugi masuk kembali ke rumah dan menyalakan rokok. Emaknya sudah berdandan, entah mau pergi ke mana. Bi Popong juga.
“Ke mana, Mah?” Tanya Cucu.
“Jangan banyak tanya.” Kata Bi Popong. “Hayu,Ceu.”

Mereka pun berangkat.

“Kalian udah pada lulus semua?” Tanya Ugi.
“Sudah, kang.” Jawab Cucu.
“Kerja?”
“Nganggurrrr…” jawab mereka bersamaan.
“Bokek atuh…. kasian deh lo.”
“I ya kang, nih, enggak punya duit.” Kata Cici.
“Minta traktir dong sama pacarnya.”
“Ah, percumah. Punya pacar juga bokek… maunya cuma pegang-pegang doang.” Kata Cucu.
“Eh, jangan gegabah ya… dipegang-pegang juga cewek ikut enak.” Kata Ugi
“Siapa bilang enak?” Kata Cici sambil nyengir. “Tapi srrr…srrr…ah… ah…ah…” Kata Cici sambil tertawa.
“Eh, kamu sama si Usep sudah digutiun yah…awas nanti hamil.” Kata Cucu.
“Alah kamu juga sama si Gugun udah pernah kan.” Kata Cici.
“Kalian ngomong apa sih?” Ugi pura-pura bego.
“Mau tahu apa mau tahu banget?” Kata Cucu.
“Ah, kalian bikin pusing. Siniin HPnya.”
“Entar dulu… Ci, hayu selfie.” Kata Cucu, mereka lalu saling menjulurkan lidah ke kamera. Lalu cepret! Cepret!
“Eh, kita teh cantik ternyata.” Kata Cucu.
“I ya, Cu. Kita teh cantik.”

Tiba-tiba Kang Dadang datang. “Gi, ni suratnya sudah selesai.” Katanya sambil memberikan secarik kertas itu.
“Makasih, Pak RT.”
“I ya sama-sama.” Katanya sambill masuk ke dalam rumahnya.

“Kang, di sana sudah punya pacar belum?” Tanya Cici.
“Belum. Soalnya akang sibuk sibuk kerja.”
“Akang kerja apa sih?” Tanya Cucu.
“Jadi kuli, jadi pesuruh, jadi sopir… terserah bos aja.”
“Bosnya kaya ya?”
“Ya, i yalah. Namanya juga, Bos. Mobilnya aja ada 4, motor 3, rumahnya mewah.”
“Berarti akang belum pernah ciuman.” Kata Cici. “Eh.”
“Ya, belum. Cariin pacar dong buat akang, yang cantiknya minimal kaya kalian.”

Ugi sekejap melihat wajah kedua sepupunya memerah.

“Eh, akang lapar nih. Kalian ada nasi enggak?”
“Emang di dapur Uwak enggak ada nasi?” Tanya Cici.
“Enggak. Kalian ada enggak?”
“Sama.”
“Beli beras atuh ke Ceu Nining. Kalian nanti yang masak.”
“Kata mamah tadi bilang sudah habis.” Jawab Cici.
“Kalau gitu beli ke warung bawah.”
“Mana duitnya?” Tanya Cucu.

Ugi mengeluarkan dompetnya dan menarik satu lembar uang 20 ribuan.
“Wow, si akang banyak uangnya.” Kata Cucu.
“Nih.” Kata Ugi.
“Eh, Cu. Mendingan belinya di warung Cucun, sekalian beli kerupuk sama cabe, garam dan bumbu-bumbu kalau bisa sama lalap terong.” Kata Cici
“Setuju.” Kata Ugi.
“Tapi jauh.”
“Pengorbanan atuh sedikit.” Kata Cici.
“Ya, udah. Tapi aku nanti jatah kerupuknya yang paling banyak ya.” Katanya sambil pergi ke luar halaman menuju gang.

Cucu pun menghilang di balik rumah-rumah.
“Ci, akang belum pernah dicium cewek. Nyobain dong nyium kamu.”
“Ih, akang ini gimana. Kita kan saudara.” Kata Cici sambil masuk ke dalam rumahnya. “Aku mau nyalain hawu (tungku) dulu.”

Ugi mengintil di belakang Cici.
“Sebentar aja. Kamu kan udah pengalaman sama si Usep, coba ajarin akang.” Kata Ugi. Cici diam saja sambil mencoba menyalakan kayubakar.
“Itu ambil kayu itu ke sini.” Kata Cici, suaranya agak gemetar. Setelah api menyala dengan stabil, dia kemudian mengambil panci yang pantatnya sudah sangat hitam, mengisi air dan meletakkannya di atas tungku.
“Nah, sudah.”
“Ih, belum juga.” Kata Ugi
“Maksud Cici pancinya.”

Ugi mendekatkan wajahnya ke wajah Cici. “Maksud akang ciumnya.” kata Ugi. Cici menatap Ugi, seakan ingin menguji kesungguhan lelaki yang mulai berangkat dewasa itu.

Tiba-tiba Cici mendekatkan bibirnya ke bibir Ugi, mula-mula cuma nempel kemudian rapat, tahu-tahu mereka sudah saling pagut.
“Udah, kang.” Cici melepaskan diri. Wajahnya memerah dan dadanya turun naik.
“Enak ya.” Kata Ugi. “Apa semua bibir perempuan sama kayak kamu enaknya.”
“Mana kutahu.” Kata Cici, dia membungkuk untuk memasukkan kayu-kayu bakar lainnya.
“Ci, satu kali lagi aja. Udah ini, udah.”
“Terakhir ya?”
“Ya, tapi sambil duduk di bawah.”
“Tapi terakhir ya?”
“Ya.”

Cici duduk di lantai, di atas tikar yang sudah usang. Ugi mendekatinya dan berdiri di atas lututnya. Dia menunduk dan mencium bibir Cici dengan mesra dan lembut. Mengulumnya dan mengemutnya. Satu tangan Ugi melingkar di punggung Cici dan satunya lagi bergerilya ke balik roknya dan meraba pahanya.
“Addduuhhh… kang.” Keluh Cici melepaskan bibirnya dari mulut Ugi. Cici mengeluh karena satu jari Ugi sudah menyentuh ujung celana dalamnya yang ternyata sudah basah. Ujung jari itu bergerak pelahan turun naik mengikuti mengikuti belahan itu.
“Kang… udah, nanti Cucu keburu pulang.”
“Kamu suka ya? Memek kamu sudah basah.” Bisik Suradi.
“Ih, si akang!” Kata Cici.
“Bibir kamu enaaaaakkk sekali. Mau lagi.”
“Jangan.”
“Lagi.”
“Jangan. Tuh, Cucu udah dateng.”

Mereka saling menjauhkan diri dan mencoba bersikap biasa-biasa.
“Eh, barusan Ceu Lilis ke sini ada apa?” Tanya Cucu.

Cici dan Ugi saling berpandangan.
“Enggak tahu.” Jawab Cici.
“Aku juga.” Kata Ugi.
“Kalian kelihatan aneh?” Kata Cucu. “Yuk, kita masak.” Katanya.

Ugi dan Cici tidak tahu, ketika mereka berciuman, Ceu lilis melihat mereka dengan tubuh gemetar.

7

Ugi sedang bermain dengan HPnya ketika Ceu Enah masuk dan ikut berkecimpung di dapur dan Cucu jadi bersungut-sungut karenanya.
“Pasti deh dia ikutan makan.” Kata Cucu dengan tidak ikhlas. “Padahal dia kan udah kerja. Harusnya nyumbang urunan apa kek.”
“Biarin atuh kan duitnya juga dari akang.” Kata Ugi.

Cucu balik lagi ke dapur dan mengambil 4 piring dan empat gelas dengan wajah masam. Beberapa saat kemudian Cici datang membawa bakul bambu berisi nasi di susul Ceu Enah membawa cobek. Sementara kerupuk putih berdiameter sekitar 15 cm yang masih terbungkus plastik sudah tergeletak sejak tadi di atas tikar.
“Ayo makan.” Kata Ceu Enah seraya mengambil piring dan menyendok nasi dengan sinduk kayu, setelah itu dia membuka ikatan tali rapia pada ujung bungkus plastik kerupuk.

Bungkusan kerupuk itu isinya sepuluh, Ceu Enah langsung mengambil 2 potong.

Wajah Cucu benar-benar masam. Dia merasa ditikung oleh Ceu Enah. Saat berwajah masam itu, Cucu mirip sekali dengan Bi Popong.

Ugi melihat Ceu Enah duduk menyender dinding. Dia duduk bersila dan makan dengan lahap. Sementara Cici yang duduk di sisi Ugi bersikap lebih santai, menyendokkan nasi buat Ugi dan mengambilkan sambal dan lalapnya.

“Tadi Ceu Lilis ke sini ada apa ya?” Tanya Ceu Enah.
“Enggak, enggak ke sini.” Jawab Cici.
“Tadi Ceuceu lihat berdiri di depan pintu.” Kata Ceu Enah.
“Ya, tapi dia enggak ke sini.” Jawab Cici lagi.
“Kalo Ceu Lilis sama Kang Dadang itu punya anak enggak? Saya tadi ke rumahnya kok sepi, cuma ada mereka berdua.”
“Ceu Lilis kayak Ceuceu, Gi. Belum punya anak.”
“Mungkin karena kang dadangnya ketuaan.” Kata Cici.
“Ah, siapa bilang? Mang Asep geuning masih muda belum punya anak.” Kata Cucu dengan getas.

Ceu Enah terdiam. Dia menghentikan makannya sejenak dan kemudian meneruskannya dengan lahap.
“Sudah, jangan ngomongin itu.” Kata Ceu Enah. “Kalian belum ngerti.”

Ketika mereka makan, rombongan warga dan Polisi melewati gang itu dengan arah sebaliknya.
“Kayaknya si Umang berhasil kabur.” Kata Ceu Enah. “Tapi si Ojon berhasil diringkus. Tuh orangnya, yang paling belakang.”

Ceu Enah berniat menyendok nasi lagi dari bakul tapi dicegah oleh Cucu.
“Buat Mamah, Ceu sama Wak Pupung. Jangan dihabisin.”
“Sambal dan lalapnya juga sisain, Cu.” Kata Cici.

Selesai makan, Ceu Enah meminta rokok kepada Ugi. Sementara Cucu dan Cici membawa piring, gelas kotor dan sisa makanan ke dapur.

Ceu Enah menikmati rokok itu sambil duduk bersandar dengan kedua dengkulnya terlipat. Pahanya yang tipis panjang itu terbuka. Dia seperti tak acuh melihat Ugi memandangi bagian tengah di antara dua pangkal pahanya.

Ceu Enah memakai celana pendek katun yang lebar dan kaos lekbong. Ugi melihat pinggiran celana dalamnya.
“Kamu udah punya pacar, Gi?”
“Belum, Ceu. Memang kenapa?”
“Enggak, cuma nanya. Gi, pinjam HPnya sini.” Katanya. Ugi memberikan HPnya. “Hape kamu bagus. Ceuceu juga pengen punya.” Dia kemudian mengarahkan HP itu ke arah selangkangannya dan cepret cepret, dia memotretnya.
“Nih, buat kamu.” Katanya sambil memberikan HP itu kepada Ugi. “Ceuceu tahu, dulu kamu suka ngintip ceuceu mandi.”

Ugi nyengir.
“Kamu udah pernah gini belum?” Tanya Ceu Enah sambil menunjukkan kepalan tangannya. Dia mengepalkan tangan dengan posisi jempol berada di antara jari telunjuk dan jari tengah.

Ugi diam pura-pura bego.
“Pasti belum ya? Kamu kerja apa sih di Cimahi?”
“Kuli ceu.”
“Masa jadi kuli sebentar, sudah punya motor dan HP bagus.”
“Saya juga nyupir, Ceu.” Kata Ugi. “Kadang-kadang bos memberi saya lebih dari kuli yang lain.”
“Kayaknya bos kamu, baik ya.”
“Dia memang baik.”
“Mang Asep ikut kamu atuh, Gi. Jangan jadi tukang parkir. Duitnya sedikit.”
“Ceuceu masih kerja di konveksi?”
“Masih, Gi. Tapi sekarang lagi kosong. Udah sebulan ceuceu nganggur. Sekarang malam minggu ya? Biasanya mang Asep pulang malem jam 11.” Katanya. “Sssstttt… Gi, kamu mau nyobain ini enggak?” Bisik Ceu Enah. Ujung jarinya menunjuk ke arah kemaluannya.

Ugi diam.

Dulu dia memang sering ngintip Ceu Enah mandi, tapi itu bukan berarti dia pengen ngentot dengan Ceu Enah. Tidak. Ugi merasa tidak tertarik dengan perempuan itu.

8

Ugi duduk di teras Bi Popong sambil menghabiskan rokok filternya. Terlihat olehnya Ceu Lilis ke luar dari pintu rumahnya sambil menjinjing ember kecil. Dia masih memakai daster singlet pendeknya dan Ugi berkeyakinan Ceu Lilis tidak memakai apa-apa lagi di dalamnya.

Ceu Lilis menjemur pakaian yang baru dicucinya pada bentangan tali rapia yang diikat pada paku di dinding tembok rumahnya dengan dinding tembok Mak Ijah di sebelahnya. Dia sempat melirik Ugi sebentar, tapi kelihatannya Ceu Lilis tidak acuh. Dia membungkuk memperlihatkan sebagian bukit kembarnya yang putih untuk mengambil cucian, lalu mengibaskan rambut ikal keritingnya ketika badannya tegak.

Selesai menjemur pakaian, dia masuk lagi ke rumahnya.

Seperti Mami, Ceu Lilis punya kulit putih yang bersih. Mungkin kulitnya lebih kenyal dan lebih lembut dari Mami yang sudah berkeriput. Mungkin.

Berapa ya kira-kira usia Ceu Lilis? Ugi membatin.

Tiba-tiba seorang lelaki seumuran Ugi berjalan di Gang dan melangkah masuk ke halaman.
“Gi, lagi apa?” Tanyanya dalam bahasa Sunda.
“Eh, Sep. Lagi nongkrong. Gabut.” Jawab Ugi. “Nyari Cici, ya?”
“Tahu aja.”
“Ciiiii…. Cici!” teriak Ugi.
“Apa kang teriak-teriak… eh, Usep. Mau apa ke sini?”
“Jalan yuk ke kelurahan, ada dangdut.” Kata Usep.
“Males, ah.” Jawab Cici.
“Biasanya kamu semangat kalau nonton dangdut.”
“Lagi pusing.”
“Masak sikap kamu begitu, sih, Ci? Sopan dikit sama pacar kenapa?!” Kata Ugi.
“Akang enggak usah turut campur. Udah ah Cici mau ngelipat baju.”

Wajah Usep tampak berubah.
“Ci…” Kata Usep.
“Kamu ajak si Ida saja ke sana. Aku udah males lihat tampang kamu.” Kata Cici dari dalam rumah. Dia berkata dengan menggunakan bahasa sunda yang kasar.
“Ya, ajak si Ida aja.” Kata Cucu. “Kang sabun cuci habis. Beli dong ke Ceu Nining, aku lagi nyuci baju Uwak.” Katanya. “Kamu jangan berdiri saja di situ, pergi sana.” Cucu mengusir Usep. Dia masuk lagi ke dalam.
“Itu artinya aku diputusin ya?!” Kata Usep, entah kepada siapa. Tapi dia menatap Ugi. Ugi mengangkat bahu.
“Sejak kapan kamu pulang, gi?”
“Baru tadi.”
“Aku cabut dulu ya.” Kata Usep sambil pergi dengan langkah bergegas.

Ugi tak menjawab. Dia mencari sandal dan tak bisa menemukan nya.
“Cu, sandalnya mana?”
“Kang Ugi enggak pake sandal ke sini?”
“Enggak. Pake sepatu.”
“Ci, beli sabun dulu.”
“Duitnya?”
“Tanya sama si akang.”

Cici nongol di pintu.
“Dia udah pergi?”
“Udah. Kamu mutusin dia?”
“Biarin. Enggak butuh.” Katanya. “Mana?” Cici memandang Usep.
“Apanya?”
“Uangnya!”
“Dia selingkuh ya?” Tanya Ugi sambil merogoh dompet. “Berapa?”
“Seratus ribu!”
“Gila, mana ada harga sabun cuci seratus ribu? Nih, 2 ribu.”

Cici menjebikan mulutnya.

“He, Gi, kapan datang?” Tiba-tiba seorang lelaki datang dari arah punggung Ugi.
“Eh, Gun. Belum lama.”
“Udah kerja?”
“Sudah.”
“Di mana?”
“Cimahi. Biasa jadi kuli. Kamu?”
“Aku juga, di Bandung.”
“Di bangunan?”
“Bukan. Jadi tukang cupir dan bersih-bersih di Rumah Makan “unyu”.”
“Sudah lama?”
“Paling 5 bulananlah. Yaaaa, lumayan. Daripada nganggur. Cucu ada?”
“Lagi nyuci. Cuuuuu… ada Gugun.”
“Entar dulu atuh.”
“Tunggu, Gun. Rokok?”
“Makasih, Gi. Sebatang ya?” Katanya. “Itu motor kamu?” Gugun menyalakan rokoknya.

Ugi mengangguk. Dia melihat Cici datang membawa sabun cuci.
“Adududuh…. yang siap-siap nonton.” Kata Cici sambil masuk ke dalam rumah.
“Di kelurahan ada dangdut ya?”Tanya Ugi.
“I ya. Udah berapa lama kamu kerja, Gi?”
“Dua tahun mah ada.”
“Kamu teh es em pe nya lulus?”
“Lulus.”
“Kirain putus.”
“Kang Gugun, sebentar ya.” Cucu nongol di pintu, pundak dan wajahnya terlihat basah. Kelihatannya baru saja mandi.
“Jam berapa sekarang, Gi?”

Ugi melihat HPnya.
“Jam setengah dua. Mulainya jam berapa?” Tanya Ugi.
“Setengah empat.” Jawab Gugun “Kamu mau nyusul nanti?”
“Mungkin. Nunggu emak pulang dulu.”

Cucu muncul di pintu, memakai baju terbaiknya dan celana jean. Bedak dan lipstiknya tampak tebal. “Koq cara meriasnya mirip Bi Popong dan emak ya?” Pikir Ugi. Dia ingin mengkritik tapi takut menyinggung. Dia jadi ingat sama mami. Riasannya tak pernah mencolok.
“Hayu, kang.” Kata Cucu, antusias. Tangannya memegang lengan Gugun. “Ciciiii, jaga rumah baik-baik ya.”
“Tahu ah gelap.” Jawab Cici dari dalam rumah.
“Gi, cabut dulu.”
“Hati-hati di jalan.” Kata Ugi.

Mereka berjalan sambil berpegangan tangan dengan mesra.

9

Ugi masuk ke halaman rumahnya dan mendekati motornya. Dia mengambil kantong kresek besar berwarna kuning yang digantung di kaitan tebeng motor. Masuk ke dalam rumah dan duduk bersila di ruang tengah untuk membuka kantong kresek itu. Dia mengambil handuk dan peralatan mandi dan meletakakkannya di pinggir kiri. Lalu menjatuhkan semua isi kantong kresek itu ke pangkuannya. Satu demi satu kaos dan celana pendeknya buat persediaan ganti itu, dia lipat lagi dengan rapi. Menumpuknya dan menyimpannya di pojok ruang tengah itu, di atas meja belajar berkaki pendek yang dibuatkan bapaknya dulu.

“Harusnya aku membawa tas.” Kata Ugi dalam hatinya. Dia menarik kasur busa yang sudah sangat lepet itu, yang menjadi tempat tidurnya sejak kecil. Kasur itu kotor dan berdebu. Ugi berniat membersihkannya di luar ketika tiba-tiba Cici datang.
“Uwak belum pulang?”
“Belum.”
“Akang lagi ngapain?”
“Beres-beres sedikit.”
“Cici bantuin ya?”
“Enggak usah.” Kata Ugi. Dia lalu mencari-cari sapu tapi tidak ditemukannya. “Emak nyimpen sapunya di mana ya?” Katanya kepada dirinya sendiri.
“Kang, enggak nonton?”
“Enggak ah, males.”
“Yang lain pada pergi, tuh lihat orang-orang pada lewat.”
“Biarin aja.” Ugi berkata sambil memunggungi Cici.
“Kang… sini atuh lihat ke Cici.”
“Apaan sih? Enggak mau ah.”
“Lihat ke sini sebentar aja.”
“Gak ma…”

Tiba-tiba Cici bergerak ke pinggir dan mencium pipi Ugi.
Chup!
Srrrr… darah Ugi berdesir.
“Kamu ngapain sih cium-cium pipi, entar kalau dibales lari.”
“Kang, sini duduk dulu di sini.” Kata Cici. Dia menarik tangan Ugi untuk duduk berdepan-depan. Cici memegang kedua Pipi Ugi lalu mencium bibirnya dengan lembut. Ugi merasa nikmat dan nyaman. Tapi belum sempat membalasnya Cici sudah melepaskan bibirnya.

“Sekarang, akang dengerin Cici. Dengerin dulu.” Katanya. “Akang inget enggak pernah ngejemput Cici di sekolah waktu hujan besar?”
“Ya, waktu itu kamu masih SD.”
“Akang membawa payung besar dan berdiri di pintu gerbang sekolah… lalu kita pulang bersama sambil berpelukan dan sambil berjalan kita bermain air dengan kaki… ingat?”
“Lalu tiba-tiba ada bunyi geledek yang sangat keras dan kamu ketakutan… dasar penakut.”
“Iiihhhh… akang, mah. Bukan itu maksudnya.” Kata Cici, dia meraih tangan Ugi.
“Cici memang sangat ketakutan. Lalu memeluk akang dengan erat. Aneh sekali Cici merasa nyaman.” Katanya. “Terus, satu lagi. Akang inget enggak waktu Cici ditinggal sendirian malem-malem di rumah …”
“Ya, waktu itu hujan besar dan banyak suara geledek… akang denger kamu nangis.”
“Malam itu akang datang dan nemenin sampai Cici tertidur.”
“Ya, dan kamu mengigau.”
“Bukan itu maksudnya… sejak waktu itu Cici sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa kalau dekat akang hati Cici merasa sangat nyaman dan gembira; semua rasa sedih dan takut seakan-akan hilang… akang bisa mengerti maksud Cici enggak?”

Ugi menatap gadis itu dengan tatapan berbinar yang aneh.

“Akang tahu enggak sejak saat itu perasaan Cici sama akang tidak pernah bisa sama lagi? Akang bisa mengerti enggak ketika akang main-main memeluk Cici dari belakang dan Cici panas dingin merasa nyaman dan enggak mau dilepaskan? Akang bisa mengerti enggak Cici membanting gelas waktu akang pulang berjalan bareng sama Teh Imas? Akang bisa paham enggak?”

Sepasang bola mata Ugi berpendar.

“Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici waktu akang ditangkap polisi dan tak pernah kembali ke rumah?” Sepasang mata Cici berkilau oleh airmata yang mengembang di kelopak. “Cici… ingin bunuh diri.” Kali ini Cici tak sanggup lagi menahan linangan airmatanya. Dia terisak.

Ugi memeluknya dengan erat. Membiarkan gadis itu melepaskan semua airmatanya. Kemudian Ugi mengecup kening, mata dan pipinya yang basah. Lalu bibirnya. Mereka berciuman lamaaaaa sekali.

Cici melepaskan diri dari ciuman Ugi.

“Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici, setelah sekian lama mengikhlaskan akang pergi… tiba-tiba Akang datang pake motor, bawa HP, rambut rapi, baju bagus… akang bisa enggak mengerti perasaan Cici yang meledak minta dipeluk? Akang tahu enggak Cici merasa bahagia akang enggak punya pacar dan minta cium…” Kata Cici, nada suaranya terdengar bergetar.

Ugi terdiam lama. Sepasang matanya terbuka namun sorot matanya jauh mengembara entah ke mana.
“Kang… ”

Ugi masih terdiam. Tiba-tiba dia mengangkat dagu Cici pelahan dan mengecup lembut bibir gadis itu dengan sekali kecupan.

“Ci, ingat waktu akang duduk memeluk lutut di belakang rumah sendirian? Waktu Emak dan Bapak enggak berhenti bertengkar dan saling mencaci maki?”

Cici mengangguk.

“Kamu datang dan memeluk Akang dari belakang. Kamu bilang, Kang jangan sedih, ada Cici di sini.” Ugi menatap mata Cici. “Sadarkah kamu Ci, sejak saat itu perasaan akang berubah?”

Cici membalas tatapan Ugi dengan mata berlinang.
“Akang merasa bahagia kamu peluk. Ingin sekali akang mencium Cici saat itu, tapi Akang juga tahu, kita ini saudara sepupu. Apakah boleh akang melakukan hal itu? Akang tidak tahu. Tapi waktu tadi kamu sama Cucu kelepasan ngomong dengan si Usep… akang, akang cemburu.”

Cici tersenyum manis.
“Si Usep belum pernah ngapa-ngapain Cici, Kang. Akang yang pertama menyentuhkan jari itu… dan Cici merasa… merasa…”
“Kamu merasa takut?”

Cici tidak menjawab. Dia tiba-tiba memagut bibir Ugi dan mengemutnya tanpa memberi kesempatan Ugi untuk membalas. Lalu secara tiba-tiba pula melepaskannya.
“Sekarang akang paham kan apakah Cici takut atau tidak.”
Ugi tersenyum.
“Ya, kamu cuma takut sama geledek.”
“Kalau ada akang mah enggak… mmm, tadi akang bilang punya… punya… Cici basah.”
“Maafin kalau tadi akang ngomong jorok.”
“Asal ngomongnya hanya buat Cici aja ga pa pa, Kang. Cici malah senang. Tapi kalau sama perempuan lain enggak boleh. Harus buat Cici doang.”
“Eh, Ci. Itu emak sama Bi Popong sudah pulang. Cepet kita beres-beres.”

10

“Kalian enggak nonton dangdut?” Tanya Mak Pupung.
“Enggak, Wak.” Jawab Cici sambil menyapu ruang tengah. Cici menemukan sapu ijuk itu di sudut di ruang tamu.
“Mak, palu sama paku-paku bekas di mana nyimpennya?”
“Kamu mau ngapain?” Kata Mak Pupung.
“Mau ngebenerin plafon yang di atas.”
“Besok lagi aja, Emak cape. Mana laper lagi.”
“Ceu!!!” Terdengar teriakan Bi Popong dari luar.
“Ada apa sih, Pong.”
“Ada nasi, sambel, lalap dan kerupuk… cepet sini.” Kata Bi Popong. “Ciii, ini kamu yang masak?”
“I ya, mah.”

Cici memukul pantat Ugi dengan sapu, sebelum dia terkikik-kikik dan berlari kabur ke rumahnya.
“Awas kamu ya!” Kata Ugi, suara kesalnya tampak sekali dibuat-buat. Dia lalu mengambil handuk dan sabun, sambil bersiul pergi ke kamar mandi.

11

“Ci, ini kamu yang masak?” Tanya Mak Pupung
“I ya, Wak.”
“Kamu pinter sekali. Nasinya masih pulen walau sudah dingin, sambelnya madep.” Kata Mak Pupung.
“Ah, Uwak bisa aja.”
“Si Cucu ke mana?” Tanya Bi Popong.
“Nonton dangdut, Mah.”
“Kenapa kamu enggak ikut?”
“Tadi tanggung lagi ngelipatin baju, si Kang Gugun udah keburu datang.”
“Oh, sama Gugun.” Kata Bi Popong. “Ngomong-ngomong kamu beli beras duitnya dari mana?”
“Dari Kang Ugi.”
“Eh, baru aja jadi kuli udah belagu tuh anak.” Kata Mak Pupung dengan wajah berseri.

Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
“Ciiii, kamu mau nonton dangdut enggak?”
“Boleh, Mah?” Tanya Cici.
“Ya, udah sana pergi.”
“Mau!!!” Teriak Cici.

12
.
Bi Popong dan Mak Pupung makan dengan lahap sambil ngobrol santai.

“Kapan kamu ngomong yang sebenarnya sama anak itu, Pong.” Kata Mak Pupung.
“Entahlah, Ceu. Bingung. Soalnya si Cici mah perasaannya sensitif.”
“Tapi si Ating enggak jadi kan dihukum matinya?”
“Kata Kang Otong mah, jadi hukuman seumur hidup.” Kata Bi Popong.
“Kapan dia mau ngejenguk adiknya lagi?” Tanya Mak Pupung. “Kalau si Ating teh adik langsung Otong atau adik tirinya?”
“Adik tirinya. Waktu Bah Otang (Bapaknya Otong) kawin, Mak Romlah udah punya anak dari almarhum suaminya dulu yaitu si Ating itu.”
“Oh, gitu. Sekarang bapaknya si Cici di mana, apa masih hidup?”
“Sudah mati,Ceu. Di dor polisi.”

13

Malam Minggu. Langit biru. Hati biru berbunga-bunga.

Cici memeluk Ugi dan merapatkan pipinya pada punggung pemuda itu. Matanya terpejam dan bibirnya tersenyum. Hatinya seperti lukisan langit yang biru tanpa awan, tanpa bintang, tanpa bulan… tapi dipenuhi ribuan kuntum bunga yang mekar dan mewangi. Walau dia sedang berada di atas jok motor, tapi perasaannya mengatakan dia sedang terbang melayang di angkasa.
“Ci…”

Gadis itu tak mendengarnya. Padahal dia tidak memakai helm. Motor melaju pelahan.
“Ciii…”
“I yaa, Kang.”
“Mau nonton dangdut atau apa?”
“Terserah akang aja, Cici ikut.”
“Lihat tuh di kelurahan penuh banget. Males akang cari parkirnya.”
“Ke Ujung Berung aja yuk, Kang. Cuci mata.”
“Mau sih. Tapi kita kan gak pake helm, entar ditangkap polisi.”
“Kang, daripada pusing-pusing mau ke mana. Gimana kalau kita ke warung aja, belanja beras buat besok.”
“Eh, i ya ya. Akang baru kepikiran sekarang… di rumah kan enggak ada apa-apa.” Kata Ugi merasa setuju.

Akhirnya, di sebuah warung yang masih buka, mereka membeli beras dan berbagai keperluan dapur lainnya. Ketika mereka pulang dengan bawaan belanjaan yang cukup banyak, mereka melewati kelurahan yang ternyata semakin ramai dan penuh. Konon, acara dangdutan itu akan berlangsung sampai tengah malam.

14

Tiba kembali di rumah sekitar jam delapan.

Ugi merasa terkejut karena ternyata bukan di kelurahan saja kemeriahan itu terjadi, tetapi di rumahnya juga. Suara musik cempreng dari HP berbunyi keras, asap rokok mengepul memenuhi seluruh ruangan, aroma kopi yang menyengat dan suara tawa para STW yang sibuk membanting kartu. Waw. Para penjudi kelas di bawah teri itu sedang dan akan menikmati malam minggunya yang panjang.

“Tiap malam minggu, rumah wak Pupung memang ramai, Kang.” Kata Cici. ” Sejak akang enggak pulang, Uwak sering ngadain acara untuk semua emak-emak di RT ini yang hobby main kartu. Biasanya sampai pagi.”
“Terus?”
“Udah kita masukin dulu motor sama belanjaannya ke rumah.” Kata Cici.

Ugi menurut.

“Ini motornya yang kegedean apa ruang tamunya yang kekecilan.” Keluh Ugi saat memasukkan motor itu dengan susah payah. “Ini enggak apa-apa ngehalangin pintu?”
“Asal pintu bisa dibuka dan orang bisa masuk, ga pa pa.” Jawab Cici, dia sibuk membereskan belanjaan. Setelah selesai, dia memandangi hasil kerjanya dengan tersenyum.

Dia merasa senang. Seumur hidupnya, baru kali ini dapur penuh sesak dengan persediaan makanan.

“Cici, bukankah kamu hari ini ulang tahun?” Katanya kepada diri sendiri. “Ya. Dan malam ini harus menjadi malam istimewa yang tak terlupakan.” Katanya lagi di dalam hati.

Malam ini harus spesial.

15

Ugi melepaskan sepatu dan jaket kulitnya, kemudian duduk di lantai dapur yang sudah dihampari tikar yang berasal dari ruang tamu. Cici tak berkedip memandanginya.
“Kamu ngapain ngeliatin terus?”
“Eggak boleh?”
“Enggak.”
“Iiiih…”
“Ciiii…” Bisik Ugi.
“Kang…” Jawab Cici, berbisik juga.
“Mang Otong udah pulang?”
“Bapak udah pulang.”
“Koq enggak kelihatan. Lagi tidur di kamar?”
“Enggak, lagi jualan di sebelah.”
“Di rumah akang?”
“I ya. Setiap malam minggu bapak jualan rokok dan kopi seduh di rumah Uwak.”
“Sampai pagi?”
“Sampai pagi.”
“Bi Popong ke mana?”
“Lagi main kartu di sebelah.”
“Sampai pagi?”
“Sampai pagi.”
“Cucu ke mana?”
“Lagi nonton dangdut.”
“Sampai pagi?”
“Enggak, paling sampai jam 12-an.”
“Berarti di rumah ini cuma kita berdua dong.”
“I ya.”

“Ciii…”
“Apa kang?”
“Akang ngantuk. Pengen bobo.”
“Cici juga ngantuk. Pengen diboboin.”
“Manja ih.”
“Biarin.”
“Udah besar minta diboboin.”
“Biarin.”
“Sukanya dipelukin dan diciumin.”
“Biarin.”
“Entar memeknya basah.”
“Biarin.”

“Ci…” Bisik Ugi.
“I ya kang?” Jawab Cici, berbisik juga.
“Kenapa hidung kamu mancung? Beda sama hidung Cucu, Mang Otong dan bi Popong?”
“Enggak tahu.”
“Kulit kamu kuning langsat. Mereka coklat terang.”
“Enggak tahu.”
“Kamu tinggi, mereka pendek.”
“Enggak tahu.”

“Ci.” Bisik Ugi.
“Apa?”
“Kamu cantik.”
“Mmm.”
“Kamu baik.”
“Mmm.”

Mereka saling diam.

“Kang…”
“Ya, Ci?”
“Kenapa diem?”
“Lagi merenung.”
“Kenapa merenung?”
“Inget masa kecil.”
“Hm.”
“Walau serba kurang tapi akang bahagia.”
“Hm.”
“Kenapa bapak pergi meninggalkan emak ya?”
“Hm.”
“Kenapa mereka sering bertengkar?”
“Hm.”
“Kalau inget bapak akang sering merasa sedih.”
“Akang jangan sedih. Kalau akang sedih Cici ikut sedih.”
“Kalau akang sedih kamu jangan ikut sedih. Kamu peluk akang aja, biar sedihnya hilang.”
“Sekarang akang sedih enggak?”
“Sedikit.”
“Mau dipeluk?”
“Mau.”

Mereka duduk berrendengan, bersandar pada dinding dapur yang dingin. Tangan kanan Ugi memeluk di pundak, jemarinya digenggam jemari tangan kanan CIci.

Tangan kiri Cici melingkar di Pinggang Ugi, jemarinya digenggam tangan kiri Ugi.

Kepala Cici terkulai di dada Ugi. Rambutnya menyentuh pipi Ugi. Mereka saling diam.

“Kang…”
“Ya…”
“Cici takut sama geledek tapi lebih takut lagi kehilangan akang.”
“Enggak akan, Ci.”
“Cici takut akang melupakan Cici.”
“Enggak akan.”
“Cici sayang sama akang.”
“Akang juga sayang.”
“Cici seneng meluk akang.”
“Akang juga seneng.”
“Kang… ”

Cici menggapai bibir Ugi dengan bibirnya. Memagutnya lamaaa sekali bersama perasaannya yang terindah. Menikmati setiap kelembutan yang didapatkan dari kuluman bibir pemuda itu. Dan kehangatan yang menyeluruh yang meresapi seluruh simpul-simpul syarafnya.

Jantungnya berdebar. Dadanya mengeras.

Remasan jari jemari pemuda itu pada buah dadanya adalah sensasi aneh yang tak pernah diketahui sebelumnya. Sensasi yang mendenyarkan jantungnya berdegup lebih kencang. Putingnya mengeras. Mengeras. Dan jari-jari itu memilin-milinnya. Lembut dan tepat seperti yang diinginkannya. Memecahkan kebuntuan aliran darahnya yang membeku. Aku meleleh, bisiknya.

Bibir pemuda itu pergi meninggalkan bibirnya… jangan pergi, desisnya. Oh, bibir itu tidak pergi. Tidak jauh. Dia menyusuri lehernya, mengecupnya… jangan… jangan… jangan kecup di puting… Lidahnya hangat, lembut. Mmhhh…

“Akhhkh… jangan, kang.”
“Kamu enggak suka?”
“Janganhnhn di sini… di kamarhr.”

Cici memeluk Ugi dan tak ingin melepaskannya.
“Bawa Cici ke kamar, Kang.” Bisiknya.

Mereka tak melepaskan pelukan dan ciuman ketika beringsut menuju kamar.

Sebuah kamar yang sangat sederhana. Tak berpintu, hanya bergorden yang kainnya sudah robek di sana-sana sini. Kasurnya pun bukan springbed atau kasur busa merk terbaik, tapi kasur tipis yang sudah sangat tua. Dindingnya tidak dilapisi wallpaper mewah, hanya balok kayu kaso-kaso albasiah dan lapisan triplek yang sudah termakan cuaca lembab. Dan lantainya, bukan terbuat dari marmer atau keramik mahal, hanya peluran semen biasa. Tapi kamar itu adalah kamar terindah bagi dua insan yang sedang dibadai asmara.

Hatinya berkata: Cici, malam ini adalah malam yang istimewa. Malam spesial. Kamu jangan takut. Dia yang telah menentramkan hatimu, yang telah membuatmu nyaman dan bahagia, mustahil menyakitimu. Biarkan dirimu meleleh di tangannya…

Lelaki yang sangat disayanginya itu membaringkannya di atas kasur. Menarik kaos dan BHnya hingga lepas dari tubuhnya. Dia menatap lelaki itu pada matanya… apakah akang kecewa dengan tubuhku? Dia berbisik. Tetapi lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tulus yang menentramkan. Lalu menciumi lehernya. Menyusuri buah dadanya dengan bibir. Menjilatinya. Mengemut dan mempermainkan putingnya dengan mulut dan lidah. Memanja-manja desiran-desiran halus pelelehan di dalam dirinya.

“Akhkhkhhh…. ” Dia mendesah. “Kang, aku meleleh.” Katanya dalam hati kepada lelaki itu. “Jangan hentikan.” Kedua tangannya meraih kepala lelaki itu dan menjambakremas rambutnya.

“Apakah dia menerima tubuhku apa adanya?” Dia bertanya dalam hati, ketika lelaki itu menarik celana panjang kulotnya sekaligus beserta celana dalamnya. “Akhh, ya. Dia menerimaku apa adanya… akhkhkh… akang…” Dia mendesis. Seluruh tubuhnya seperti terkena aliran setrum ribuan volt ketika pemuda tanggung itu menciumi perut dan pangkal pahanya.

“Oughhghhh… akang… tak perlu akang membuktikan bahwa akang menerima seluruh tubuh ini dengan cara seperti itu… akhkhkhh… akang… akhkh… jangan… janganhh.ciumi kang… akang sudah cukup membuktikan… aaahhhh… akang… aaaddddduuuuhhh…. kaaaaannnggghhhh…. lelehan itu mengalir deras… akhkhhh…. akanghhh…. aku engga tahan…. janganhhh dijilat itunya kaaanngnghhh… aaahhhhhh… kaaaaaannngghhh… ada yang meletup-letup…. adduuhhh kaangnghhh… enaakkhh… shshshshsh…sssshhhh… lelehannya menggelosor kaangnghh… srrrrrr… srrrr… srrrrr…. ada yang ngecrot kaaanngnghhhh… enggaaaa taaahhhaaannnnn….”

Pemuda tanggung itu melepaskan semua baju dan celananya.

Dia melihat benda milik pemuda itu, sedang mengacung-acung. “Apakah itu yang dinamakan kontol?” Tanyanya dalam hati. Dia ingin melihatnya dari dekat, ingin meraba dan mengelusnya. Apakah benda itu akan dimasukkan ke dalam pusat letupan di antara selangkangannya? Ya, itu pasti. Liangnya sudah berdenyut-denyut, ingin disesuatukan oleh benda itu.

Benda itulah malam istimewanya. Malam spesialnya. Hadiah ulangtahunnya. Ya, dia berhak mendapatkan hadiahnya malam ini.

“Ci…” Pemuda itu berbisik pelahan sekali.

Dia mendengar bisikan lemah itu. Bisikan keraguan. “Jangan ragu, Kang. Lakukanlah yang terbaik yang bisa akang lakukan.” Dia berkata dengan hatinya, bukan dengan mulutnya. “Lakukanlah, Kang. Cinta kita akan abadi jika dua tubuh kita bersatu.” Tapi dia tak sanggup mengatakannya.

Dia hanya bisa mengangguk setuju.

Benda itu panas tapi hangat, hangat tapi panas; ketika menelusup masuk ke dalam dirinya, puluhan halilintar tanpa suara menyetrum seluruh syaraf-syaraf tubuhnya.
“Hhhhhh…”

Dia merasakan kehangatan dan kelembutan itu terus menyusup, sampai tiba di suatu titik di mana rasa sakit itu datang. Ya, rasa sakit itu tiba-tiba datang. Rasa sakit seperti tertusuk jarum suntik. Tapi dia tidak ingin penelusupan yang hangat dan lembut itu dihentikan.
“Adduuuhhh, Kaangng…pelan-pelan…”
“Sakit ya?”

Dia mengangguk.

“Jangan berhenti, Kang. Teruskan pelan-pelan. Ini adalah hadiah ulang tahunku.” Dia berkata dengan hatinya.

Ah, akang ternyata mengerti. Terus masukkan pelan-pelan, Kang.

Dia menggigit bibirnya. Dia menahan rasa sakitnya. Terus kang, sedikit lagi. Sedikit lagi. Sedikit la…gi… akhkhkhkh… dia merasa ada sesuatu yang meletup pecah… PYARRRRR!

Mmmhhhh…

Dia menarik nafas, lega. Rasa sakit itu hilang digantikan oleh sensasi aneh yang sangat jelita. Ya, sangat jelita.

Penelusupan itu berhenti ketika dia merasakan pertemuan itu. Pertemuan yang menyatukan dia dengan lelaki itu. Dia ingin memeluk tapi tangannya tak sampai. Dia ingin pertemuan yang menyatukan itu dia nikmati lebih lama.

“Tunggu! Jangan ditarik dulu. Biarkan beberapa saat lagi..” Dia berkata dengan hatinya.

Penarikan itu membuat suatu efek ngilu yang memerindingkan seluruh pori-pori kulitnya. “Jangan pergi! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!” Jeritnya dalam hati.

Ada semacam perasaan hampa ketika benda itu meninggalkannya. Perasaan hampa seakan-akan dia ditinggalkan sendirian di pantai sepi tiada berpenghuni. Dia pun meneteskan air mata.

“Kamu menyesal, Ci.”

Dia tak memahami kalimat itu, yang dia inginkan adalah kebersamaan abadi dengan lelaki itu.
“Jangan tinggalkan Cici, kang.”
“Tidak akan sayang, akang janji.” Kata lelaki itu.

Lelaki itu kemudian mengambil sapu tangan warna biru muda di saku celana panjangnya yang tergolek di lantai. Sapu tangan itu digunakan untuk melap darah yang menempel pada benda kejantanannya yang berdarah.

“Apakah dia juga mengalami sakit seperti yang aku rasakan?” Dia bertanya kepada hatinya.

“Aku berjanji dengan ini.” Kata lelaki itu sambil melipat kembali saputangannya. Lalu menyimpannya di saku celana panjangnya dengan hati-hati.
“Peluklah Cici, Kang.” Pintanya dengan sangat.

Tetapi lelaki itu malah mengusap pipinya.
“Jangan nangis sayang, akang tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun.”
“Cici sayang sama akang dengan seluruh jiwa raga Cici.”
“Ya, akang tahu. Akang juga sayang sama Cici dengan seluruh jiwa raga akang.”
“Peluklah, Kang.”

Lelaki itu memeluk erat dan berbisik.
“Masukin lagi ya?”

Dia mengangguk.

Dia merasa khawatir rasa sakit itu akan datang lagi. Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti. Sama sekali tidak terbukti!!!

Penelusupan yang pelahan kini telah berganti menjadi penembusan yang tenang. Dia merasakan sensasi baru yang mendenyar-denyarkan pusat kewanitannya. Sensasi wow yang membawanya naik melayang. Ketika penembsan itu berubah lagi menjadi hujaman demi hujaman, dia merasa seperti dipantul-pantulkan dari puncak gunung satu ke puncak gunung lain yang lebih tinggi.

Srrrr… puncak satu, dia mengeluh.
Srrrr… Srrrr… puncak dua, dia mengerang.
Srrrr… Srrrr… Srrrr… puncak tiga, dia merintih.

Perasaan indah apakah ini yang telah membuat dirinya merasakan sebuah sensasi kenikmatan yang lebih jelita dari segala jelita? Sehingga nafasnya tersengal dan jantungnya berdegup kencang?

Dia tak sanggup lagi menahan semuanya. Tak sanggup. Seluruh simpul-simpul syarafnya telah berfokus menggembungkan sesuatu di dalam pusat kewanitaannya.

“Akaaangngng!!!!” Dia menjerit dan memeluk lelaki itu sekuatnya untuk meledakkan sesuatu yang menggembung di pusat kewanitaannya.

Crot! Crot! Crot!

Kemudian dia terlempar di suatu dunia yang aneh. Sebuah daratan yang sangat luas tak bertepi. Di daratan itu dia melayang dan berputar. Tak ada orang lain di sana, kecuali dia dan akang.

Ya, hanya dia dan akang.

16

Pada 5 putaran pertama Lilis merasa beruntung. Dia narik 4 kali. Pada putaran ke 6, dia merasa kartunya sangat baik. Tapi jantungnya berdegup ketika melihat pemuda tanggung itu melongok di ambang pintu dengan wajah kecewa. Terdengar olehnya suara Cici menghibur pemuda tanggung itu.

“Mungkin mereka sudah lama pacaran secara diam-diam .” Duganya dalam hati. Lilis gemetar dan sedikit cemburu ketika tadi siang melihat pemuda itu mencium Cici. Padahal Lilis merasa pemuda tanggung itu menykai dirinya.

Pemuda itu memiliki bentuk tubuh yang bagus. Lilis kesengsem dibuatnya.

Setelah ke luar dari permainan dengan alasan sakit perut, Lilis minta izin ke kamar mandi. Dia melihat Mang Otong sedang tiduran di ruang tengah dan Bi Popong sedang konsentrasi dengan kartu-kartunya.

Dia masuk ke dalam kamar mandi hanya satu menit saja untuk kencing. Lalu mengendap-endap menuju pintu belakang itu dan ke luar. Halaman belakang itu samar dan agak gelap. Dia berharap pintu belakang rumah Bi Popong tidak dikunci.

Ternyata memang tidak dikunci.

Dengan sangat hati-hati dia memasuki dapur itu, berdiri tenang di keremangan, mengintip pemuda tanggung itu sedang memberikan kenikmatan kepada gadis itu.

Seluruh tubuh Lilis merinding.

Pemuda tanggung itu tengah menciumi paha gadis itu dengan cara yang lembut.
“Ternyata kamu sudah berpengalaman, Gi.” Kata Lilis. Matanya terbelalak ketika pemuda tanggung itu melepaskan seluruh bajunya. Terlihat batang kontolnya yang besar walau tidak begitu panjang. Bentuknya melengkung seperti pisang. Lilis meraba payudaranya sendiri dan mengelus-elus belahan memeknya dari luar celana dasternya.

“Dia begitu lembut memerawani Cici.” Desisnya. Teringat dulu bagaimana dia merasa kesakitan dan rasa ketidaknyamanan di malam pertama dengan kang Dadang. “Bahkan dia melap darah keperawanan itu dengan saputangannya dan menyimpannya. Ugiii… kamu harus masuk ke dalam memekku.”

Saat pemuda tanggung itu menggenjot Cici, jari jemari Lilis sudah masuk ke dalam celana dalamnya dan mengobel-obel memeknya sendiri.

“Si Cici pasti sudah ke luar berkali-kali… dia sangat beruntung diewe oleh kontol yang besar dan berpengalaman itu ahkh… Ugi…”

Lilis kembali ke permainan kartunya dengan bayangan kontol itu meggenjot memeknya di otaknya. Dia kalah beberapa kali karena tidak konsentrasi dan mundur dari permainan. Ketika pulang, dia melihat suaminya sedang ngorok.

“Kau tak pernah memberi aku kepuasan!” Katanya dalam hati. Lilis berbaring di sisi suaminya dan melakukan onani lagi. “Ugi… ugi… ” Desisnya.

Malam itu akhirnya Lilis bisa tidur dengan nyenyak.

17

Mereka cepat-cepat berpakaian ketika mereka merasa ada seseorang di dapur.
“Kang gordennya lupa ditutup.” Kata Cici. “Tadi seperti ada suara apa di dapur.”
“Mungkin tikus.” Kata Ugi.
“Kang, terimakasih.” Cici mengecup bibir Ugi. Lalu memeluknya. “Jangan tinggalkan Cici.”
“Tidak akan sayang.” Jawab Ugi sambil membelai rambutnya.
“Sebentar lagi Cucu pulang, akang harus segera pergi.”
“Ya, sekarang juga akang mau pergi, enggak perlu diusir.”
“Aaah, akang. Cicic enggak ngusir…”
“Akang cuma becanda, koq.” Kata Ugi tersenyum.
“Peluk dulu.” Kata Cici.

Mereka berpelukan dan berciuman selama beberapa saat.
“Nenen kamu mengeras lagi.” Kata Ugi. “Pengen lagi yaa…?”

Cici memukul pemuda tanggung itu dengan mesra. Dan mengusirnya pergi.

18

Ugi tak tabisa tidur bukan karena berisik. Tapi dia ingat Mami. Sejak Pak Joni kena stroke dan badannya lumpuh sebelah, beberapa kali Mami memintanya untuk pindah dan tinggal di salah satu kamar kost yang kosong. Mami juga memintanya untuk berhenti bekerja.
“Kamu terusin sekolah, setelah SMA tamat lanjutkan kuliah.” Katanya.

Ugi selalu ragu dengan apa yang dikatakan Mami. Soalnya, bosnya berkata bahwa cepat atau lambat, dia akan bosan dengan Mami.
“Kamu masih muda, perjalananmu masih jauh. Betul kamu harus melanjutkan sekolah, tapi berhenti bekerja? Tidak. Kamu tidak bisa mengandalkan belas kasihan orang agar kamu bisa sukses. Kamu harus bekerja.” Kata Bosnya.

Ugi tak pernah meragukan apa yang dikatakan bosnya. Bos selalu benar.

Lagi pula apa yang telah dilaluinya bersama Cici membuatnya sadar akan keindahan sex yang sebenarnya.

Banyak sekali hal yang dipikirkannya malam itu.
“Tapi yang jelas, aku harus melakukan apa yang diperintahkan bos secepatnya. Demi kepentingan diriku sendiri.” Katanya dalam hati, sebelum akhirnya dia terlelap.

19

Minggu Pagi.

Ugi membereskan sampah-sampah yang ada di halaman belakang, ketika seseorang tiba-tiba saja muncul di gang kecil di belakang rumahnya.
“Gi. Ssstttt…” Kata orang tersebut. Badannya sangat kotor dan bau.
“Kamu siapa?” Tanya Ugi dalam bahasa sunda yang kasar.
“Umang.” Katanya. “Aku lagi dikejar-kejar polisi, dari kemarin belum makan.” Katanya dalam bahasa sunda. “Tapi jangan beritahu siapa-siapa aku ada di sini.”
“Kamu Umang? Eta beungeut siga naon (Itu muka kayak apa)?”
“Cepet. Aku gemetaran.”
“Tunggu sebentar.”

Ugi melangkah memasuki halaman belakang rumah Bi Popong. Masuk ke dapur dan melihat Cici hendak mencuci baju.
“Ci, minta nasi sama kecap dan kerupuk.”
“Akang kan baru saja makan, masa mau makan lagi?” Cici keheranan.
“Cepet, yang. Entar dikasih cium.”

Cici mengambil piring plastik dan menyendok nasi dari bakul kayu. Mengucurinya dengan kecap manis dan menumpukinya dengan 2 lembar kerupuk.
“Sekalian sama minumnya.”

Umang usianya lebih tua 2 atau 3 tahun dari Ugi. Dia tinggal bersama neneknya di RT 06. Mereka berteman akrab sejak kecil.
“Ni, Mang.”
“Nuhun (Trims) Gi.”
“Bener kamu ngebongkar (merampok) rumah haji Komar?”
“Bohong. Jangan percaya.” Katanya sambil menyantap nasi yang masih hangat itu dengan lahap.
“Tapi kenapa polisi-polisi itu ngejar kamu terus-terusan? Semalem aku lihat beberapa intel ada yang lewat. Kamu pasti melakukan kejahatan berat.”
“Sumpah, Gi. Aku cuma ngambil 2 koper warna merah di bagasi mobilnya.” Katanya.
“Terus kenapa si Ojon dan Si Kinong ditangkap juga?”
“Kalau mereka mah bener masuk ke dalam rumah dan mencuri HP dan Laptop. Ketahuan dari CCTV. Aku mah di luar. Ketika si haji lagi ngangkutin bubuk putih dari dalam bagasi ke dalam rumahnya, pas bongoh (tepat lengah) aku mengambil dua koper merah itu dan langsung kabur.” Katanya.
“Kamu tahu apa isi koper merah itu?” Tanya Ugi.
“Teuing (Enggak tahu).” Katanya.
“Kenapa kamu ambil kalau tidak tahu isinya?” Kata Ugi.
“Memangnya waktu kamu ngejambret tas perempuan itu, kamu tahu apa isinya?”
“Enggak.” Jawab Ugi.
“Aku juga sama. Cuma untung-untungan. Tapi mungkin isinya cuma baju-baju doang.”
“Terus sekarang kamu sudah buka isinya?”
“Belum. Soalnya ada beberapa warga yang tahu. Aku dikejar mereka. Aku lemparin aja 2 koper itu ke sumur kering yang suka dipake buang sampah dekat rumah Pak Mamay.”
“Oh, yang di kebon singkong itu?”
“I ya. Terus aku kabur ke rumah mang Aming, sembunyi di atas pohon rambutan semalaman.” Katanya sambil bersendawa, dia menghabiskan nasi itu sampai bersih tanpa sisa. “Gi, punya duit engga? Pinjam dululah Gocap (50 ribu) mah.”
“Ah, kayak ke siapa aja. Nih aku kasih aja.” Kata Ugi. “Emang kamu mau ke mana?”
“Aku mau ngumpet ke rumah Mang Kohar di Garut.”
“Ya, sudah. Sana pergi. Nanti keburu ketahuan orang.”
“Terimakasih ya sobat!” Kata Umang sambil terus ngeloyor pergi.

Setelah Umang pergi, Cici datang membawa jemuran.
“Aduuh, akang, halaman jadi bersih begini.” Katanya sambil sekonyong-konyong mencium pipi Ugi. “Sekalian atuh sama halaman belakang Cici.”
“Siap, Bos.” Jawab Ugi. “Ci, cariin karung besar 2 ya buat tempat sampahnya.”
“Siap, Bos.” Jawab Cici menirukan Ugi.

20

Minggu Siang.

Ugi meletakkan 2 karung sampah itu di halaman depan rumahnya dan berniat membuangnya ke tempat pembuangan sampah khusus RW 08 di RT 02.
“Nah, gitu dong Gi.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah gang.
“Eh, Siap, Pak RW.” Kata Ugi.
“Kemarin Surat Keterangannya sudah saya teken. Kapan mau ke kelurahan?”
“Besok, Pak. Ngomong-ngomong, Pak RW sama bapak-bapak yang lain ini mau kemana? Koq kelihatannya resmi.” Kata Ugi.
“Mau ke rumahnya Nenek Ijah, neneknya si Umang.”
“ADa urusan apa, Pak? Koq rombongan?”
“Si Umang tadi pagi ketabrak mobil waktu kabur dari kejaran warga… kamu tahu kan si Umang? Dia ketakutan karena ketahuan sudah mencuri di rumah Haji Komar.”
“Terus sekarang gimana, Pak?”
“Dia mengalami kecelakaan parah. Sama pemilik mobil dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong.”
“Innalillahi.” Kata Ugi terkejut.
“Udah, ya, Gi. Terusin bersih-bersihnya. Bapak dan teman-teman mau ke sana.”
“Siap, Pak.”

Ugi tercenung.
“Aku akan mengambil barang curiannya dan mengembalikannya ke Pak Haji Komar.” Kata Ugi dalam hatinya. Dia merasa sangat sedih atas kehilangan sahabatnya itu.

21

Minggu Sore.

Ugi tidak jadi membuang sampah ke RT 02, tapi dia pergi ke sumur kering itu dan menemukan 2 koper merah itu sudah tertumpuk sampah. Dia memasukkan koper merah ke dalam karung yang isinya sudah dia kosongkan. Kemudian Ugi menyimpannya di bawah kandang ayam yang sudah tidak terpakai lagi.

Tapi sore itu dia mendapat kabar yang sangat mengejutkan, sehingga dia lupa pada kedua koper itu dan niatnya ke rumah Haji Komar yang memang letaknya cukup jauh.

Ugi melihat Mang Otong, Bi Popong, Cucu, Cici dan Emak sedang duduk serius di ruang tamu. Ugi masuk ke situ dan merasa mereka semua menatapnya.
“Wah, ada apa ini?” Tanya Ugi.

Tapi semua diam tak menjawab.

“Ehem.” Mang Otong berdehem. “Duduk Gi kalau mau ikut mendengarkan. Begini, karena Cici sudah besar, sudah 16 tahun sekarang, dan sudah bisa berpikir secara dewasa. Maka, hari ini bapak akan menceritakan rahasia yang sudah tersimpan selama 16 tahun ini.” Kata Mang Otong dengan nada bergetar. “Selama ini Cici selalu bertanya-tanya, mengapa kulitnya lebih putih, hidungnya lebih mancung dan badannya lebih tinggi dari kami, mengapa dia berbeda dengan Cucu, mamah dan saya itu karena… karena Cici sebenarnya bukan anak kandung Bapak dan mamah.”

Mata Cici membelalak.
“Cici bukan anak kandung bapak?”
“Ya. Tapi kamu adalah anak Ating, adik tiri bapak. Ibumu melakukan suatu kesalahan dengan menjadi seorang kurir narkoba dengan jumlah yang sangat besar. Dia tertangkap dalam keadaan hamil besar dan akhirnya melahirkan di penjara. Bapak sebagai satu-satunya keluarga terdekat, akhirnya mendapat kewajiban untuk mengurus anak yang baru lahir tersebut. Anak itu adalah kamu. Bapak kandungmu bernama Doni, orang Jakarta. Dia sudah meninggal.”

Ugi berteriak-teriak gembira dalam hatinya.

22

Minggu Malam.

Mereka janjian di halaman belakang rumah jam 10. Berdiri di pojokan yang paling gelap, mereka tak henti-hentinya berciuman sambil berpelukan. Mereka bahagia mengetahui bahwa mereka sebenarnya bukan saudara sepupu.

Cici mengenakan daster rok pendek dan Ugi celana pendek yang terbuat dari bahan parasut.
“Ci…”
“I ya, Kang.”
“Kamu gak pake BH ya?”
“Biarin, biar enak.”
“Kamu juga ga pake celana dalam.”
“Emang.”
“Ci… memek kamu basah.”
“Kontol akang juga udah ngaceng. Masukin, ya kang.”
“Kamu suka ya?”
“I ya.”
“Biarin sambil berdiri?”
“Biarin, Kang. Duuh… enaak.”

Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu tidak tahu, secara diam-diam di gang belakang rumah itu ada yang mengintip, sambil mengobel-obel memeknya sendiri.

23

Senin Pagi.

“Kang, ikut.” Cici merajuk.
“Akang mau ke kelurahan, masa mau ikut?” Kata Ugi.
“Biarin atuh, Kang.”
“Di sana ngantri, entar bosen.”
“Cici belum pernah ke kelurahan. Ikuuutttt.”
“Ya, udah sana ganti baju.”

Senin Siang.

Ke Polsek membuat Surat Keterangan Kelakuan Baik, makan siang di Warung Padang.

Senin Sore.

Rumah sepi karena emaknya belum pulang.
“Emak sama Bi Popong sebenarnya kerja di mana sih, Ci.” Tanya Ugi.
“Di gudang KUD, Kang. Kerja paruh waktu, masuk sore. Pulangnya agak malem.”
“Oh.”
“Kang lagi ngapain?”
“Beres-beres dapur. Mau bantuin?”
“Mau.”
“Nih, sapu.”
“Mau ini.” Cici mengusap kemaluan Ugi dari luar celana pendek.
“Kamu ini gimana, akang kan lagi sibuk. Bantuin kenapa kek.” Kata Ugi.

Cici memeluk Ugi dari belakang, tangannya masuk ke dalam celana pendek Ugi.
“Akang ngaceng… ha ha ha.”
“Nakal kamu.”

Dari luar terdengar suara Cucu.
“Ada apa ceu Lilis?”
“Eh, enggak. Ini, eu…, mak Pupung belum pulang ya?”
“Baru aja tadi berangkat.” Kata Cucu.
“Oh i ya. Lupa.”

Mendengar percakapan itu Cici melepaskan pegangannya pada penis Ugi.
“Mana, Kang sapunya? Sini, biar Cici bantu beres-beres.” Kata Cici dengan suara keras.
“Dasar kamu!” Kata Ugi dengan suara setengah berbisik sambil mencubit mesra hidung Cici.

Senin Malam.

“Cepet atuh Kang keburu uwak pulang.”
“Kenapa sih enggak sabaran?”
“Udah gatel dari tadi… cepet, nenen dulu…”
“Entar dulu, kayak ada orang di dapur.”

Ugi ke luar kamar dan pergi ke dapur. Pintunya terbuka.
“Tadi lupa enggak dikunci ya, Ci.”
“Enggak, biasanya juga enggak dikunci.”
“Eh, emak sudah pulang.”
“Tuuhh, kan.” Cici menggerutu

24

Selasa bikin SIM C sekaligus SIM A ke Polres Bandung. Cici mens. Dia tidak mau ikut.
Rabu ke Cimahi, kerja. Malamnya Mami minta jatah, agak males.
Kamis menghadap bos. Laporan.
Jum’at ngambil KTP di kelurahan. Cici uring-uringan.
Sabtu dan Minggu kerja, membantu Pak Amat.

Seminggu berikutnya full kerja. Dikejar target untuk menyelesaikan pengecatan dan perbaikan plafon gedung kantor dinas provinsi Jawa Barat, yang terletak di sekitar Jl. Surapati, Bandung.

Mami nelpon.
“Gi, sibuk ya?”
“I ya, Mi. Dikejar target sama bos.”
“Gimana kabarnya Pak Suradi? Sehat-sehatkah beliau?”
“Beliau sehat wal afiat.”
“Katanya bapak mau ke Singkawang?”
“Oh, kemarin sudah pulang, Mi. Cuma dua hari di sana.”
“Gi, Mami kangen loh.”
“Gimana ya, Mi. Ugi kan lagi kerja.”
“Heu euh, deh. Kamu jaga kesehatan ya, jangan lupa makan yang banyak. Entar kalo ke sini, Mami beliin sate kambing.”
“I ya, Mi. Makasih.”

25

Sore Sabtu gajian sekaligus pengarahan dari bos.
“Saya ucapkan terimakasih atas dedikasi dan loyalitas kalian terhadap target pekerjaan yang sudah kalian kerjakan dengan sangat baik.” Katanya. “Terakhir, Ugi, malam ini temanin saya ke Horison. Ada meeting kecil di sana.”
“Siap, Bos.”
“SIM Anya sudah selesai belum?”
“Sudah, Bos.”
“Bagus, kamu yang nyetir. Bawa avansa yang dipake Reyhan.”
“Siap, Bos.”

26

Ugi mengikuti langkah bosnya yang tenang dan pasti sambil membawakan tas tangannya yang terbuat dari kulit domba garut. Bosnya, Pak Suradi, mengenakan kemeja pendek warna kuning pias, celana panjang abu-abu muda dan dasi garis-garis dengan warna dominan merah marun.

Ugi memakai pakaian safari warna biru tua yang dibelikan bosnya tadi siang dan sepatu pantofel bekas bosnya yang sudah lama tidak terpakai. Ugi merasa keren dirinya bisa mendampingi bosnya ke hotel itu.

Mereka melewati Lobby utama, berbelok ke koridor sebelah kiri lalu ke luar dan menemukan kolam renang yang air jernih kehijauan. Melintasi pedestrian di samping kolam renang dan tiba di sebuah lobby kecil Ruang Meeting Utama. Seorang resepsionis meminta Pak Suradi untuk menulis di buku tamu. Pak Suradi menolak.
“Saya bukan tamu meeting.” Katanya. “Tapi saya ada janji dengan Melinda.”
“Kalau boleh kami tahu dengan bapak siapa, kami akan segera sampaikan ke Ibu Linda.”
“Saya Suradi.”
“Barangkali ada kartu nama, Pak.”
“Sampaikan saja Suradi sudah sampai.”
“Baik.”

Ugi melihat bosnya tampak sangat berwibawa.

Seorang wanita berkulit putih khas keturunan tampak berjalan dengan tergopoh-gopoh. Rambutnya pendek lurus setengkuk dengan belahan rambut di pinggir. Hidungnya mancung kecil dengan bibir tipis sewarna jambu air yang masih muda. Dia memakai blazer abu-abu tua dengan daleman putih dan celana panjang katun warna hitam berpotongan pensil, oleh sebab itu Ugi bisa melihat wanita mengenakan sepatu pantofel yang menutup sampai mata kaki.

“Pak Suradi, mohon maaf jika sambutannya kurang berkenan. Saya Melinda Liem, yang tadi siang menelpon bapak. Silahkan, Pak.”
“Sopir saya boleh ikut, bu… saya pangil Ibu Mel atau Bu Linda?”
“Jangan pake Bu, Pak. Koq rasanya saya jadi lebih tua 10 tahun. Panggil saja, Linda. Boleh. Nanti di belakang ada ruang khusus untuk sopir.”
“Kalau begitu, Linda juga jangan memanggil saya Pak, Suradi saja. Kalau dipanggil bapak rasanya saya lebih tua 12 tahun.”
“Ha ha ha, Suradi bisa saja.”

Mereka berjalan berrendengan sambil berbincang.

Dari belakang Ugi mengikuti sambil menikmati lenggak-lenggok pinggul padat berisi Melinda Liem.
“Mantul bener.” Kata Ugi dalam hatinya.

27

Ugi mengikuti bosnya sampai ruang VIP.

Mereka kemudian duduk berdepan-depan dan setelah bosnya meminta Ugi untuk pergi, barulah pemuda tanggung yang mengenakan pakaian safari itu pergi.

Ugi memasuki ruang tunggu khusus sopir yang sangat nyaman. Ada televisi LCD 37 inch menempel di dinding, kopi dan teh serta berbagai makanan ringan aneka jenis. Dan ruangan itu juga free smoking (bebas merokok).

Saat itu tidak ada sopir lain yang berada di situ.

Ugi duduk santai menumpangkan kaki, berteman rokok, kopi, kue-kue dan televisi. Dia membolak-balikkan chanel sesukanya. Sampai dia berhenti di suatu chanel berita dan terpana.

Breaking News,
Reporter disorot kamera secara close up dengan latar belakang sebuah rumah yang tampak sibuk oleh kegiatan petugas kepolisian melakukan penggeladahan.

“Seorang bandar narkoba kelas kakap berhasil diringkus oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat di kediamannya di Wilayah Cileunyi. Bandar K dalam menjalankan operasinya berkedok sebagai haji yang alim dan sering berderma kepada warga sekitar, sehingga tidak ada satu pun warga yang mencurigainya sebagai bandar kelas kakap. Di samping saya sekarang ada Kepala BNNP Provinsi Jawa Barat, Bapak Brigadir Jendral Polisi Sumandono… kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini, tadi sejumlah warga menyatakan ada suara tembakan…”

Kamera mula-mula menyorot Reporter dan Brigjen itu setengah badan, kemudian mengambil Close Up wajah sang jendral.

“Jadi begini, saudara K ini adalah TO yang kami buru sejak 2 tahun lalu, dia adalah bandar narkoba kelas kakap yang memiliki jaringan internasional, di sini kami berhasil menemukan sabu hampir sekitar 200 kilo dan ratusan ribu pil ekstasi… betul memang tadi terjadi baku tembak antara anggota dengan K dan anak buahnya. Tak ada korban di pihak kami, namun dengan sangat menyesal di pihak K terjadi korban 3 orang terluka tembak termasuk K sendiri terkena di bagian pahanya, sementara 5 orang lainnya berhasil kami lumpuhkan dan saat ini sedang dalam proses pengamanan. Untuk sementara sekian dulu informasi yang bisa kita sampaikan. Terimakasih.”

Kamera menyorot wajah reporter secara close up.
“Sekian dulu breaking news, saya Rita Sugiarto melaporkan untuk Semprot TV… kembali ke studio.”

Jadi Haji Komar ternyata seorang Bandar Narkoba? Bangsat benar dia. Ugi yang semula merasa terbebani untuk mengembalikan dua koper merah itu menjadi merasa lega.

28

Pertemuan itu berlangsung selama 1 jam. Pak Suradi tak berminat ke Pub seperti yang ditawarkan oleh Bu Linda.
“Terimakasih, Lin. Saya akan pulang dan langsung kerja.”
“Oh, begitu? Kenapa tidak nyantey dulu, Sur. Nikmati malam minggunya biar rileks…”
“Lin, kalau targetnya satu bulan, itu artinya pekerjaan saya sudah telat 1 minggu. Soal nyantey gampang, kalau semua kerja sudah selesai.”
“Okelah, terserah dirimu saja. Goodluck ya semoga sukses.”
“Sama-sama juga atas jobnya Lin.”

Di mobil, Bosnya berkata, “Gi, telpon semua orang. Suruh kumpul besok, kita akan ke Majalengka, ke Kertajati, ada pekerjaan sebulan penuh.”
“Siap, bos.”
“Kalau bisa, Pak Tono suruh datang malam ini juga. Biar dia menyiapkan peralatan dan kamu mempersiapkan kendaraan.”
“Siap, bos.”

29

Ugi dan kawan-kawan melewati hari-hari yang panjang dan meletihkan di lokasi proyek tanpa jeda selama hampir 30 hari. Setelah target selesai, semua bersorak dan mendapatkan haknya dengan senyum gembira. Mereka semua pulang ke keluarga masing-masing dengan membawa hasil kerja keras mereka.

Kecuali Ugi.

Ugi merasa heran kenapa Mami tidak menelponnya. Ternyata Mami terkena kaker payudara dan sudah dirawat, dia dibawa ke rumah sakit oleh saudara terdekatnya. Anak-anaknya juga sudah ada yang datang.

Akhirnya Ugi pulang ke rumahnya di Cileunyi. Cici langsung memeluknya dan menciuminya tanpa malu-malu. Sekarang semua orang tahu bahwa Cici dan Ugi saling mencintai. Mang Otong dan Bi Popong serta emaknya tidak keberatan, bahkan mereka berniat menikahkan mereka. Namun, niat itu harus ditunda, menunggu Cucu dilamar dulu oleh Gugun. Cici tidak boleh ngerunghal (melewati) kakaknya, takut nanti kualat. Walau mereka tahu siapa Cici dan Cucu yang sebenarnya, tapi warga sekitar tidak. Untuk menghindari omongan jelek tetangga, Cici harus bersabar. Semuanya akan indah pada waktunya.

30

Kampung Cigendir merupakan salah satu kampung termiskin di Kabupaten Bandung.

Di kampung yang terdiri dari 2 RW tersebut, 7 dari 10 Rumah tangga, masih menggunakan kayu bakar sebagai alat untuk memasak. Menurut mereka, memasak dengan menggunakan kayubakar jauh lebih murah dari pada menggunakan gas LPG. Soalnya kayu bakar tidak perlu dibeli. Mereka bisa mendapatkannya secara gratis dengan memungutinya di berbagai kebon, atau pinggiran gunung manglayang atau juga dari sisa-sisa sampah bangunan. Di Kampung ini adalah lumrah jika orang menyimpan atau menumpuk kayu bakar di dalam rumah (biasanya di dapur yang lantainya masih berupa tanah) atau di halaman. Baik halaman depan, samping atau belakang.

Demikian juga dengan rumah Mak Pupung, Bi Popong dan Ceu Enah, mereka menumpuk persediaan kayubakar mereka di halaman belakang. Ketika Ugi pulang, halaman belakang itu penuh dengan tumpukan kayu bakar. Bekas kandang ayam itu juga sudah di bongkar oleh emaknya dan Cici. Ugi lupa bahwa dia pernah menyimpan koper yang dia bungkus dengan karung, di bawah kandang ayam itu. Lagi pula dia berpikir bahwa koper itu hanya berisi pakaian yang kurang berharga.

Konon, menurut kabar selentingan dari mulut ke mulut warga RW 04 dan 05, sebulan yang lalu, selama satu minggu; ada sejumlah orang tak dikenal melakukan sweeping dari rumah ke rumah, untuk mencari sesuatu. Warga menduga bahwa orang-orang tersebut sedang mencari barang bukti hasil transaksi narkoba, yang telah dicuri oleh salah seorang warga mereka yaitu Umang.

Namun hal tersebut dibantah oleh Ketua RW 04 dan Ketua RW 05 yang mendampingi orang-orang tak dikenal tersebut. Keduanya secara tegas dan senada, mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah petugas kementrian desa yang ingin melihat langsung kondisi kemiskinan di kampung tersebut.
“Mereka ingin melihat langsung dari satu rumah ke rumah secara teliti, tanpa terkecuali, agar mereka dapat menyimpulkan dan mencari solusi pemecahannya dengan tepat.” Begitulah kata ke dua ketua RW tersebut.

31

Ugi tiba di rumahnya pada Sabtu malam sekitar Jam 9. Sepanjang perjalanan, dia mengeluh dan merasa khawatir, jika nanti dia pulang dan rumahnya penuh dengan para pemain kartu, dia kemungkinan akan sulit beristirahat karena berisik.

Namun kekhawatiran Ugi tidak terbukti.

Tiba di depan halaman rumahnya, suasana sepi. Lampu boglam 5 watt berpendar suram di langit-langit teras. Cici langsung membuka pintu dan ke luar rumah begitu mendengar suara motor. Dia memeluk Ugi dengan erat, tapi tangannya bau minyak kelapa. Rupanya Cici sedang mengerok punggung emak yang mengeluh masuk angin.
“Kang, motornya langsung di masukin ke dalam.” Kata Cici.
“Entar dulu, mesinnya masih panas. Emak kenapa?” Tanya Ugi kepada emaknya.
“Emak masuk angin, Gi. Udah dua hari badan ini bawaannya terasa enggak enak.” Kata Emaknya. Ugi melihat punggung emaknya merah-merah bekas kerokan.
“Mak, Ugi beliin beras 10 kilo sama saos sambal kesukaan emak.”
“Kamu enggak usah repot kayak gitu, nyiar-nyiar piatoheun wae (nyari-nyari kegembiraan aja).” kata emak dengan wajah berseri. “Bi Popong dibeliin juga tidak? Dia juga adik emak, kamu harus kasih dia kalau punya rejeki.”
“I ya mak, bi Popong dibeliin 5 kg sama saos sambal dan kecap.” Kata Ugi. “Ngomong-ngomong koq sepi, Mak? Pada ke mana tuh para pemain kartu?”

Emaknya tertawa kering.
“Salah seorang suami yang main di sini ada yang ngelaporin ke polisi, jadi kita ditegur tidak boleh lagi mengadakan permainan kartu.” Kata Emak. “Padahal mah, selama ini tidak pernah ada keributan dan percekcokan. Ini cuma hiburan murah meriah.” Katanya sambil mengenakan kaos belelnya yang biasa digunakan untuk tidur.
“Ya, udah, Mak. Enggak apa-apa.” Kata Ugi. “Ci, kresek yang warna hitam itu tolong bawa buat Bi Popong.” kata Ugi lagi kepada Cici yang baru saja mencuci tangan di kamar mandi.
“I ya, Kang.”
“Gi, apa bener kamu sama Cici saling menyukai?”
“Emak tahu dari mana?”
“Cici yang bilang sendiri.”
“Oh. I ya mak, bener mak.”
“Kamu jangan permainkan perasaan perempuan ya. Jangan plin plan kayak bapak kamu.” Kata Emak. “Emak sih setuju-setuju saja kamu sama Cici. Dia itu cantik, Gi. Beda dengan orang kampung sini. Dia juga baik sama emak.”
“I ya, Mak.”
“Udah, emak mau istirahat dulu. Tadi sudah minum obat, sekarang terasa ngantuk.”
“I ya, Mak. Istirahat dulu aja.”

Cici datang lewat pintu belakang, dalam keadaan sudah berdandan. Dia tersenyum menatap Ugi.
“Kata Mamah, makasih.”
“Sama-sama.”
“Sekarang masukin motornya, Kang.”
“I ya. Ini juga mau.”

Ketika Ugi ke halaman dan mendorong motornya masuk ke dalam, Ceu Lilis terlihat olehnya sedang menyapu teras. Sekilas tampak Ceu Lilis melirik Ugi. Saat itu, Ugi sudah melepaskan jaketnya. Dia mengenakan safari biru tua yang rapi. Diam-diam Ceu Lilis terkesima.

32

“Ini kresek apa aja, Kang?” Tanya Cici seraya mengambil kantong-kantong kresek itu dari kaitan tebeng motor.
“Yang besar, beras. Yang kecil, saus, kecap dan garam .”
“Kalau yang ini?”
“Buka aja sendiri.” Kata Ugi.
“Ini kaos yang bagus, akang beli di mana?”
“Di kaki lima.”
“Buat emak?”
“Bukan. Buat kamu.”
“Sungguh?”

Ugi mengangguk.

Cici memeluk kaos itu dan menatap Ugi dengan lembut.
“Tapi, kang, Cucu enggak dibeliin?”
“Buat Cucu sama Bi Popong di kresek satu lagi.”
“Wak Pupung enggak dibeliin?”
“Emak nanti dikasih uangnya aja.”

Ugi duduk di kursi tua rumahnya. Dia melepas sepatu dan kaos kaki. Cici duduk di sebrang meja. Di luar terdengar suara Cucu.
“Ceu Lilis mau kemana?” Dalam bahasa Sunda yang halus.
“Mau ke warung.”

Cici bangkit dari duduknya, pergi ke pintu dan melihat Cucu jalan bergandengan tangan dengan Gugun.
“Cu, sini dulu sebentar.” Kata Cici. Cucu mendekat dan masuk ke rumah.
“Eh, ada Kang Ugi.”
“Baru sampai nih Cu.”
“Ini ada oleh-oleh dari Kang Ugi, buat Cucu sama mamah.” Kata Cici
“Wah, makasih kang.” Katanya. “Eh, Ceu Lilis itu aneh ya. Masa mau ke warung aja pake dandan segala.”
“Ah, Cucu mah kerjaannya ngegosip melulu.” Kata Cici. “Udah cepet bawa, kasiin ke mamah.”
“Kamu sendiri?”
“Cici di sini dulu mau melepas kangen.”
“Huu, dasar.”

33

Cici menatap Ugi dengan tatapan menyelidik. Ugi diam termenung sambil merokok.
“Akang kenapa?” Tanyanya. Dia duduk di sebrang meja. “Enggak kangen ya.”
“Akang sangat kangen, Ci.” Kata Ugi. “Selama ini, sambil kerja, akang selalu inget sama Cici.”
“Bohong.”
“Udah, jangan becanda. Akang mau ngomong serius. Menurut akang, sebaiknya Cici nerusin sekolah.”

Cici diam. Dia mengigit bibir.
“Tapi biayanya dari mana, kang? Sekolah kan mahal. Dari mana uangnya? Buat bayar SPPnya, seragamnya, buku-buku, belum ongkos tiap hari? Berapa itu kang?”
“Ya, akang ngerti. Memang mahal. Biarin akang yang bayarin.”

Cici bangkit dari duduknya lalu bersimpuh di depan Ugi dan memeluk kedua kaki Ugi.
“Cici juga pengen nerusin, Kang. Makasih atas kebaikan akang. Tapi akang harus ingat sama Uwak. Uwak sudah sering sakit-sakitan. Kemarin aja uwak enggak masuk kerja 4 hari. Capek, katanya. Uangnya kasiin buat Uwak aja, Kang. Cici mah enggak usah dikasih juga enggak apa-apa. Akang sayang sama Cici aja itu udah cukup.”

Ugi mematikan rokoknya.
“Kamu itu aneh, Ci.” Kata Ugi sambil membelai rambutnya. “Kenapa kamu yang mikirin emak, bukan akang. Kamu bener. Emak sudah tua. Emak jangan mikirin kerja lagi.”
“Makanya akang harus nurut sama Cici.” Katanya, lalu dia meneruskan dengan setengah berbisik. “Kalau diminta cium harus nyium, kalau diminta nenen harus nyedot yang lembut, kalau diminta peluk… harus sekalian dimasukkan biar berasa.”
“Apanya yang dimasukkan?” Bisik Ugi.

Cici tidak menjawab. Matanya memandang Ugi dan mengedip-ngedip.
“Ci, akang merasa aneh, sepertinya ada orang yang mengawasi kita.” Berkata begitu Ugi pergi melangkah ke dapur dan melihat sekilas ada bayangan bergerak. Ugi kemudian mengecek pintu dapur dan ke luar ke halaman belakang. Cici mengikuti.
“Wah, kayu-kayu bakarnya ditumpuk rapi. Kandang ayamnya ke mana?”
“Diberesin sama Uwak dan Cici. Udah dibongkar.” Kata Cici. Sekejap Ugi mengingat-ingat sesuatu, tapi gagal. “Aku pernah menyimpan apa di sini.” Kata Ugi dalam hati. Cici memeluknya dari belakang.
“Besok kita perbaiki pagar belakang ini, biar enggak ada ayam orang masuk.” Kata Ugi.
“Kang, ganti dulu bajunya.”

Mereka masuk ke dapur. Ugi menutup pintu dapur dan mengganjalnya dengan kayu kaso-kaso. Ketika melongok ke kamar, dilihat Emaknya sudah tidur lelap. Ugi menutupkan gordennya. Sementara itu, Cici pergi ke depan dan mengunci pintu. Ketika kembali, dia melihat di ruang tengah Ugi sudah melepas baju safarinya. Hanya tinggal memakai kaos singlet dan celana dalam. Ugi diterkamnya dari belakang. Menggosok-gosokan nenennya pada punggung Ugi. Tangan Cici masuk ke dalam celana dalam Ugi, memegang batang kontol yang hangat.
“Hi hi hi… langsung bangun.” Katanya.

Ugi berbalik dan memeluk gadis itu dengan erat. Kedua tangannya berada di buah pinggul gadis itu dan meremas-remasnya. Mereka berciuman lamaaa sekali sambil melepaskan pakaiannya masing-masing.
“Nenen…” Bisik Cici sambil merebahkan diri. Ugi menciumi dan mengulum puting susu Cici selama beberapa menit, kemudian menciumi perut dan pahanya.

Cici mengerang pelahan. Dia membuka pahanya dengan lebar dan membiarkan Ugi menjilati bibir-bibir memeknya. Cici menahan erangan dan menjambak rambut Ugi ketika pemuda itu menjilati klitorisnya.
“Kaangnghhh…”
“Sekarang sayang?”

Cici mengangguk.

Ugi mengerahkan batang kontolnya yang melengkung dan memasukkannya ke dalam liang memek Cici.
“Akhkhh…” Cici mendesah. Dia memeluk punggung Ugi. “Pelan dulu.” Bisiknya.

Ugi mengangguk. Dia menggenjot pelahan-lahan sampai gadis itu melenguh dan memintanya untuk cepat. Ugi merasakan gadis itu mengejan dan menahan gerakan pantatnya.
“Oughkhkhhh…” rintihnya. Ugi mendiamkan beberapa saat batang kontolnya didenyut-denyut oleh mulut memek Cici.
“Tambah lagi sayang?” Tanya Ugi. Cici mengangguk.

Ugi menggenjot lagi kontolnya untuk menghujam-hujam memek Cici selama beberapa menit.
“Akaangnghhh… oughkhk…” Cici menjerit kecil. “Udah sayang… udah…” Katanya. Ugi melakukan beberapa genjotan lagi sebelum dia sendiri mengeluarkan pejuhnya, di luar.

34

Cici sepertinya terlelap sejenak ketika dia mendengar suara Cucu memanggilnya di luar.
“Lagi di air.” Jawab Ugi sambil cepat-cepat mengenakan kaos dan celana pendeknya. Cici tersenyum nyengir dan berpakaian. Dia merapikan rambutnya agar terlihat tidak berantakan.
“Makasih akang sayang, udah sekarang mah ini udah diobatin kangennya. Cici pulang dulu, mau bobo.”
“Ci…”Teriak Cucu di luar.
“I ya, tunggu sebentar.”
“Cici, jangan lupa ini kaosnya.” Kata Ugi.
“Eh, i ya.” Kata Gadis itu meraih kaos itu sambil mencuri satu ciuman di bibir Ugi. Dia lalu pergi ke luar.
“Ada apa sih, Cu?”
“Ini, gimana cara buka tutup saosnya? Mamah pengen nyobain.”
“Huu, segitu aja susah. Ganggu orang lagi kangen-kangenan aja.”
“Maaf atuh.”

Ugi tersenyum nyengir. Celana dalam Cici ketinggalan. Dia cepat menyimpannya di bawah bantal dan tertidur pulas. Beberapa saat kemudian, di dapur, ada orang mengendap-endap pelan dan membuka penahan kayu kaso-kaso itu. Kemudian pergi ke luar.
“Hampir aja ketahuan, coba kalau tidak sembunyi di belakang gentong air… bisa berabe.” Kata Ceu Lilis dalam hati. Dia melap tangannya yang penuh lendir dengan ujung kain bajunya sambil berjalan pulang.

35

Ugi sedang memperbaiki pagar bambu di halaman belakang rumah ketika Emaknya datang dan memberitahu ada Pak RW. Ugi segera menghentikan pekerjaannya dan menemui Pak RW di ruang tamu. Selain Pak RW ada 2 orang lain yang tidak Ugi kenal. Mereka duduk lesehan di atas tikar yang digelar secara mendadak oleh emaknya.

“Wah, Pak RW. Ada apa ya tumben.” Kata Ugi.
“Ah, engga ada apa-apa, Gi. Cuma ini, nganter petugas dari kementrian pusat.”
“Oh, siap.” Kata Ugi. Diam-diam Ugi memperhatikan kedua orang tak dikenal itu dan sedikit merasa aneh. Mereka rapih memakai kemeja dan celana jeans, wajahnya pun terlihat seperti orang baik-baik.

Setelah ngobrol sana-sini dan menanyakan berbagai hal yang Ugi tidak paham apa maksud tujuannya serta menanyakan secara ditail pekerjaannya, akhirnya kedua orang itu menanyakan kapan Ugi membeli motor.
“Sekitar empat atau lima bulan yang lalu.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk, lalu mereka menanyakan berapa pendapatan bersih Ugi per bulan.
“Tidak tentu sih. Kadang 2 juta kadang lebih. Tetapi rata-rata saya bisa menabung sekitar satu juta setengah setiap bulannya.”
“O, begitu.” Kata seorang yang bertubuh tinggi. “Bisa lihat tabungannya?”
“Boleh.” Kata Ugi sambil bangkit dari duduknya dan mengambil buku tabungannya di saku dalam Jaket.
“Ini.”

Mereka berdua secara teliti melihat buku tabungan tersebut dan mengangguk-angguk.
“Untuk seorang kuli seperti saya, itu adalah jumlah maksimal yang bisa saya lakukan.” Kata Ugi.
“Bagus. Ini bagus. Anda adalah seorang yang hebat bisa menabung sebanyak ini.” Kata orang yang bertubuh agak gemuk. “Anda kenal dengan orang yang bernama Umang?”
“Ya, tentu saja. Saya kenal baik. Dia teman masa kecil saya yang selalu berbuat konyol.” Jawab Ugi.
“Kapan anda terakhir bertemu Umang?”

Ugi tiba-tiba teringat kepada Umang yang gemetar kelaparan dan meminta makan pagi itu. Tapi Ugi tidak mau mengungkit-ungkit keburukan Umang, bagaimana pun dia sudah mati dan sudah tenang di alam sana. Secara diam-diam bahkan Ugi merasa menyesal tidak dapat berbuat yang lebih baik lagi kepada sahabatnya itu.
“Saya kurang ingat, mungkin sekitar satu atau dua minggu sebelum saya kerja di proyek.”
“Baiklah. Terimakasih atas kerjasama ya, Gi.”
“Sama-sama, Pak.”

Ketika mereka pergi, Ugi baru ingat tentang 2 koper merah itu.
“Ah, tapi itu tidak penting. Isinya juga paling baju bandar sialan itu.” Kata Ugi dalam hatinya.

36

Kedua orang tidak dikenal itu diantar oleh Pak RW sampai ke pinggir jalan, di mana sebuah mobil double kabin warna hitam terparkir.

Di belakang stir, orang yang agak gemuk itu berkata pada temannya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Tidak, dia tidak tahu apa-apa.”
“Ya, memang. Anak itu berkata jujur apa adanya.”
“Dua koper merah itu pasti sudah diambil oleh seseorang. Si Umang mungkin menjual kopernya ke tukang loak.”
“Mustahil. Dia tidak akan punya waktu, apalagi kalau kita mendasarkan pada runtutan kejadiannya.”
“Ya, aku rasa juga begitu.”
“Si haji mungkin berbohong tidak?”
“Tidak mungkin. Komandan kita jauh lebih cerdik. Dia punya hitungannya sendiri.”
“Menurutmu, apa mungkin koper itu isinya masing-masing lima milyar?”
“Sangat mungkin. Bahkan kalau jenis dan type koper itu sama seperti yang disebutkan si haji, dan isinya penuh, kemungkinan 10 milyar per koper ada.”
“Waw, gila. 20 milyar bos. Kita cari ke mana lagi ya? Rasanya semua jalan sudah kita tempuh tapi semua buntu.”
“Sudahlah, kita lapor saja ke komandan sekarang.”
“Oke siap.”

37

Setelah mereka pergi, Cucu dan Cici datang.
“Kang, ajarin naik motor.” Kata Cici.
“I ya, Kang. Ajarin kita.”
“Kalian ini apa sih? Akang lagi sibuk ngebenerin pagar.” Ugi berkata sambil pergi ke dapur.
“Kang atuh kang.” Kata Cici mengikuti langkah Ugi.
“Nanti akang ajarin. Sekarang akang mau ngebenerin ini dulu.”
“Janji ya?”
“I ya.” Kata Ugi. “Eh, Ci, sini sebentar. Akang mau bisikin sesuatu.”
“Apa, kang?” Kata Cici sambil mendekatkan telinganya ke mulut Ugi.
“Celana dalam kamu ketinggalan, ada di bawah bantal.”

Wajah Cici langsung merah. Tapi bibirnya tersenyum genit.

38

“Cu, kamu pernah enggak sama kang Gugun?” Tanya Cici, berbisik.
“Pernah apa?”
“Masa sih enggak tahu maksudnya?”
“Kamu sendiri sama Kang Ugi gimana? Pernah enggak?” Tanya Cucu berbalik nanya. Cici mengangguk.
“Sumpah?” Tanya Cucu.
“Sumpah.”
“Aku juga, pengen cepet-cepet Kang Gugun ngelamar biar enggak was-was.” Kata Cucu.
“Kamu jangan gangguin aku kalau lagi berduaan sama kang Ugi, kayak semalam.” Kata Cici ketus.
“Semalam kepaksa, soalnya mamah dan aku engga bisa buka tutup botol saos.”
“Ah, alasan.”
“Lagi enak ya? Aaaaa ha ha ha…” Kata Cucu tertawa.
“Nakal nakal nakal…”

39

Pada sore harinya, Ugi mengajari Cucu dan Cici naik motor, bahkan Gugun juga ikut. Mereka belajar di lapang serbaguna kelurahan yang sepi, sampai setengah bisa.

Sejak itu, setiap kali Ugi pulang, pada sore hari, ketiga orang itu belajar naik motor sehingga akhirnya benar-benar mahir.

Sore itu, di pinggir lapangan serbaguna, mereka bertiga mengajak Ugi duduk lesehan di rumput.
“Ada apa?” Tanya Ugi, heran.
“Kang Ugi sudah lama enggak melihat ceu Enah kan?” Kata Cucu.
“Ah, i ya, bener. Ke mana ya ceu Enah.”
“Mang Asep sudah menceraikannya.” Kata Cici.
“Apa?”
“Ceu Enah keciduk sama Mang Asep lagi gituan sama temannya di konveksi.” Kata Cucu.

Ugi diam. Teringat dulu Ceu Enah pernah juga menggodanya dan mengajaknya gituan.
“Sekarang mang Asep sudah jarang pulang ke rumah. Dia tidur di mushola supermarket dan suka minum-minum.” Kata Cucu dengan nada sedih.

Ada yang membuat heran Ugi saat itu, ketika secara diam-diam dia melihat Gugun seperti memalingkan muka.

40

Minggu pertama di bulan baru, biasanya memang agak santai. Ugi lebih banyak jadi sopir bosnya daripada jadi kuli. Beberapa kali Pak Suradi menyuruhnya mengenakan Safari dan mengantarnya ke sejumlah tempat.

Pernah suatu kali, Bu Iis, istri bos, menanyakan ke mana saja Ugi mengantar bapak. Ugi menceritakan secara ditail tempat-tempat mana saja yang dikunjungi bosnya.
“Bapak melakukan lobby dan negosiasi, Bu. Saya tidak pernah jauh membawa tasnya.” Kata Ugi.
“Kamu enggak bohong, Gi?”
“Enggak, Bu. Bapak emang sangat pendiam ya bu, bulan-bulan belakangan ini.” Kata Ugi.
“Menurut kamu kenapa kira-kira, gi?”

Ugi menarik nafas dalam-dalam.

“Menurut saya bu, maaf, bapak melakukan banyak sekali lobby dan negosiasi, tapi hanya sedikit yang berhasil. Tapi bapak enggak pernah kelihatan patah semangat, bu.” Kata Ugi.
“Ya, bos kamu itu memang bandel dan pantang mundur. Ibu cuma khawatir sedikit, dia ada main sama perempuan lain.”
“Mana… mana mungkin begitu, bu? Ibu terlalu berlebihan.” Kata Ugi.
“Soalnya… ” Bu Iis menghentikan kalimatnya. “Ah, sudahlah. Dibilangin juga belum tentu kamu ngerti. Eh, Gi, Ibu ada HP bekas kamu mau?”
“Mau sekali, Bu.”
“Masih bagus, Gi. Androidnya juga enggak jadul banget. Mau?”
“Mau, Bu. Mau.”
“Tapi kamu harus jelaskan yang sejelas-jelasnya siapa perempuan yang bernama Linda. Jika menurut ibu penjelasanmu jujur dan masuk akal, Ibu kasih HP ini buat kamu. Setuju?”
“Siap, Bu. Namanya Ibu Anastasia Melinda Liem, pengusaha dari Jakarta. Bapak ditelpon sama Bu Linda dan janjian di hotel Horison, di ruang VIP. Ugi ada di luar kaca bu, bisa melihat mereka. Terus mereka berjabatan tangan, esoknya kita kerja sebulan full di Majalengka.”
“Ya. Terus?”
“Terus, minggu lalu Bapak nemuin Bu Linda lagi di Kafe Dono, tapi bapak geleng-geleng kepala terus kalau Ugi lihat. Enggak ada jabat tangan, Bu.”
“Hm. Terus?”
“Kemarin malam, ketemu lagi di Kafe Progo. Dari jam 7 sampai jam 10.”
“Enggak ke hotel?”
“Enggak, Bu.”
“Kamu ikut makan di sana?”
“Ya, ikut atuh bu.”
“Coba sebutkan nama menu makanannya?”

Ugi diam sebentar. Mikir.

“Kalau nama menunya Ugi enggak tahu, tapi yang jelas itu makanan Jepang.” Kata Ugi
“Ya, sudah HP ini buat kamu.” Kata Bu Iis sambil tersenyum.
“Sekalian sama casannya, Bu, kalau boleh.” Kata Ugi sambil nyengir.
“Beli sendiri gimana sih!”

41

Usai mencuci mobil pada Jum’at sore, Pak Suradi memberi uang mingguan dan Ugi diperbolehkan pulang. Sore itu juga Ugi berangkat.

Ketika melewati ujungberung, dia berhenti di sebuah counter Hp dan membeli charger. Tiba di rumah ternyata sepi. Tidak ada Cici, emak, Cucu, bi Popong atau mang Otong. Ugi sejenak termangu di halaman depan.
“Semuanya pergi ke rumah sakit Ujungberung.” Tiba-tiba Ceu Lilis ke luar dari pintu rumahnya. Ugi menoleh ke arah Ceu Lilis dan tersenyum. “Katanya mang Asep pesta minum oplosan, terus mulutnya berbusa dan dibawa ke rumah sakit.” Tambahnya.
“O, begitu ya ceu?”
“Mereka berangkat tadi sore… mmm, Ugi baru datang ya? Istirahat dulu di sini yuk, ceuceu bikinin kopi.”
“Makasih, Ceu, enggak usah repot-repot.”
“Ga pa pa, daripada duduk di luar. Yuk, sini yuk.”
“Trimakasih ceu, saya akan nyusul ke rumah sakit.”

Ceu Lilis tampak sangat kecewa. Ketika Ugi membelokkan motor dan pergi, Ceu Lilis membanting meja tamu hingga hancur berantakan.

Malam itu akan menjadi malam yang menyakitkan bagi Ugi.

Rumah sakit Ujungberung bukan rumah sakit besar, dengan mudah Ugi menemukan ruangan UGD. Terlihat olehnya Cici sedang menangis di bangku panjang ruang tunggu. Ugi segera mendekatinya.
“Uwak Kang.” Katanya sambil terisak. Ugi tidak mengerti. Bukannya mang Asep yang sakit karena minum oplosan?
“Emak, kenapa?”

Cici tidak menjawab. Dia memeluk Ugi sambil terus menangis.

Setelah menenangkan Cici, Ugi pergi ke UGD dan mendapatkan penjelasan bahwa tadi pagi, Mang Asep meninggal dan satu jam yang lalu ibunya meninggal juga. Menurut penjelasan dokter, Ibunya meninggal karena tumor di otaknya.
“Bu Pupung sebenarnya mengidap glioblastoma ini sudah agak lama. Ketika dibawa ke sini dalam keadaan pingsan dan ternyata tumor itu sudah stadium 4. Kami tak bisa berbuat banyak.” Kata Dokter itu.

Ugi terdiam. Hatinya menangis.
“Semuanya sudah terjadi, aku harus menghadapinya dengan berani.” Kata Ugi dalam hatinya. Dia kemudian menelpon bosnya dan minta cuti satu minggu.
“Cuti? Satu minggu? Ada apa Gi?” Tanya Pak Suradi.
“Paman dan Ibu saya meninggal, bos. Mohon diijinkan.”

Di sana diam sejenak.
“Alamat rumah kamu kalau tidak bisa di WAkan, di SMS kan ya Gi.” Kata Bosnya.
“Siap, bos!”

Ugi segera menyelesaikan urusan administrasi sampai tuntas, memberikan alamat rumah ke petugas untuk mengantarkan ke dua jenazah itu ke rumahnya. Kemudian dia bersama Cici pulang dan melapor kepada RT dan RW. Penyelenggaraan pengurusan jenazah pun segera di siapkan malam itu di Mushola RW 05. Karena kesibukannya malam itu, dia tak sempat memperhatikan Cucu, Bi Popong dan Mang Otong. Cici juga sedari tadi hanya menangis dan menangis.

Malam itu, sekitar jam setengah 12, semua urusan selesai. Jenazah sudah dimandikan dan disholatkan, siap dimakamkan besok pagi di pemakaman umum Cigoledag.

Cici tertidur di kamar ibunya karena letih. Ugi merokok di ruang tamu sendirian sambil merenung. Sekitar jam satu pagi, 2 orang Polisi didampingi ketua RW 09 dan ketua RW 05 yang sudah dikenalnya dengan baik, mendatanginya. Ugi heran sekali.
“Wah, ini, ini ada apa lagi?” Tanya Ugi.

Polisi itu, Ipda Sukardi, tersenyum kepada Ugi dengan bijak.
“Begini, Gi, saya diberitahu bahwa malam ini Ugi baru saja memandikan dua orang yang Ugi sayangi, kami mengerti Ugi masih berduka.” Katanya dengan tenang. “Namun, kami juga berkewajiban untuk menyampaikan kejadian tadi siang. Begini, tadi siang Ibu Popong dan Bapak Otong serta anaknya yang bernama Cucu, mendatangi rumah Pak Oding, di RT 02 RW 09. Tujuan mereka ke rumah Pak Oding adalah untuk bertemu dengan Gugun yang pada waktu itu tidak ada di tempat. Mereka bermaksud meminta pertanggungjawaban Gugun karena, Cucu yang mengaku pacarnya Gugun, sudah hamil 3 bulan.” Ipda Sukardi menghentikan kalimatnya sejenak.

“Pak Oding pada saat itu menjawab, bahwa Gugun tidak ada di tempat. Namun Pak Oding merasa heran akan pengakuan Cucu yang minta pertanggungjawaban. Menurut Pak Oding, Gugun tidak pernah bercerita bahwa dia punya pacar bernama Cucu. Bahkan menurut Pak Oding, anaknya Gugun sudah menikah dengan Enah sejak satu bulan yang lalu.”

Ugi diam. Mencoba mencerna penjelasan Ipda Sukardi.

“Mendengar penjelasan itu, Pak Otong tiba-tiba naik pitam. Lalu terjadilan percekcokan mulut di antara Pak Otong dan Pak Oding. Pada saat berlangsungnya percekcokan, tiba-tiba datang Gugun bersama istrinya Enah, ternyata hal tersebut memicu Cucu menjadi histeris. Akhirnya, percekcokan antara Cucu dan Gugun tidak terhindarkan. Sementara itu, Bu Popong yang sejak tadi diam tak banyak ngomong, secara diam-diam mengambil golok yang tergeletak di dapur. Lalu dia tiba-tiba menyerang dan berusaha membacok Gugun, tapi justru yang terkena malah anaknya sendiri sehingga lehernya setengah putus, sehingga memancurkan darah segar dan meninggal saat itu juga.”

Ugi mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya meneteskan airmata.

“Melihat ternyata justru anaknya yang terkena bacokan, tiba-tiba saja Bu Popong menjadi kalap dan mengejar Enah untuk dibacok. Beberapa warga yang kebetulan pada saat itu berkerumun, mencoba menahan kemarahan Bu Popong. Akhirnya, salah seorang warga berhasil mengamankan Bu Popong dari belakang dibantu suaminya Pak Otong. Warga kemudian mengurus jenazah Cucu dan membawa Pak Otong dan Bu Popong ke rumah sebelah untuk diredakan emosinya.”

Ipda Sukardi menarik nafas panjang.

“Pak Otong dan Bu Popong kemudian minta ijin ke belakang rumah itu untuk berbicara berdua. Mereka minta agar warga jangan mendekati mereka sebelum mereka mengijinkan. Warga pun setuju. Tapi setelah lama ditunggu-tunggu mereka tidak muncul juga, akhirnya warga penasaran dan segera melihat ke halaman belakang rumah itu. Warga ternyata menemukan mereka berdua telah gantung diri secara bersama-sama di pohon mangga yang banyak cabangnya yang tumbuh di belakang rumah itu.”

Ipda Sukardi menyalakan rokok kreteknya.
“Warga pemilik rumah itu adalah pedagang tali tambang plastik, jadi wajar jika di belakang rumahnya banyak tambang plastik yang disimpan.” Katanya.

Ugi mengangguk-angguk. Lalu pingsan.

———————————

PENUTUP
(Suradi The Lucky Man)​

Sabtu Siang.

Suradi kesulitan mencari tempat parkir di jalan desa itu. Dia akhirnya memutuskan masuk ke halaman sebuah rumah dan minta ijin parkir sekaligus menanyakan alamat yang dikirim Ugi melalui SMS.

Setelah melewati gang yang berliku, akhirnya Suradi berhasil menemukan rumah itu. Motor bebek warna hitam yang diparkir di depan rumah itu, meyakinkannya bahwa itu adalah rumah anak buah yang disayanginya, Ugi.

Pintu rumah itu dalam keadaan terbuka.

Suradi berdiri di ambang pintu dan melihat Ugi sedang berbaring di lantai beralas tikar berbantalkan paha seorang gadis yang imut.
“Itu pasti pacarnya.” Kata Suradi dalam hatinya.

Gadis itu menoleh ke arah Suradi dan tersenyum.
“Kang Ugi baru saja tidur. Dia kecapean.” Kata Gadis itu. “Mohon tanya, bapak ini siapa ya?”
“Saya Suradi.”
“Oh, bapak bosnya Kang Ugi ya? Maaf, Pak, keadaan lagi darurat jadi… ”
“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.” Kata Suradi tersenyum lembut. Suradi kemudian melihat gadis itu menciumi kening dan mata Ugi untuk membangunkannya.
“Kang, bangun sayang.” Katanya.

Sekali melihat saja, Suradi yang berpengalaman itu, tahu persis betapa besar cinta dan kasih sayang gadis itu kepada Ugi.

Pelahan Ugi membuka matanya.

“Ci, akang letih sekali. Biarkan akang tidur sejenak.” Kata Ugi. Gadis imut yang bernama Cici itu tersenyum dan membelai rambut Ugi. Dia mencium mata Ugi sekali lagi dan membisikkan sesuatu di telinga anak buahnya itu.

Seketika Ugi terperanjat duduk.
“Bos, eh, maaf.”
“Tenang, tenang… Ugi, tenang dulu. Kita tidak sedang bekerja di sini.” Kata Suradi dengan nada lembut.

Suradi menatap tajam anak buahnya itu dengan tatapan menyelidik. Hm, dia sedang terluka. Bisik Suradi.
“Saya ke sini hanya sebentar.” Kata Suradi. “Saya tidak datang untuk menengok dan memberimu semangat, kau tidak memerlukannya selagi gadis cantik itu ada di sisimu. Saya datang ke sini untuk memerintahkan kamu cuti selama diperlukan, seminggu boleh dua minggu boleh. Setelah perasaanmu nyaman dan tenang, baru kerja lagi seperti biasa. Bagaimana?”
“Siap, Bos.” Wajah Ugi gembira.
“Saat ini mungkin kau sedang sedih; sedih dan gembira itu soal biasa. Pergilah kalian berdua ke mana saja tempat yang menurut kalian indah. Bercintalah sepuasnya dan hamililah gadismu itu jika dia mau. Habiskan tabunganmu dan uang ini…” Suradi mengeluarkan amplop dari saku bajunya. “Setelah badai berlalu, semua badai pasti berlalu, datanglah ke Cimahi dan bekerjalah kembali dengan gembira seperti biasa.” Suradi berkata dengan kata-kata yang lembut namun tegas.
“Ugi, Ini perintah. Ingat.” Kata Suradi dengan senyum. “Nikahi dan hamili dia.”
“Siap, Bos!”

Cici terbengong-bengong melihat sikap bosnya Suradi. Dia semakin bengong ketika membuka amplop itu: Uang 10 juta.

***

Dua minggu kemudian, Suradi melihat Ugi masuk kerja dengan wajah cerah.
“Ugi, sini.” Kata Suradi.
“Siap, bos.”
“Bagaimana? Sudah kamu nikahi dia?”
“Sudah, bos.”
“Masih perawan?”
“Masih, bos.”
“Bagus. Sekarang kamu sudah tahu perbedaan antara Perawan dan bukan. Tidak semua orang bisa seberuntung kamu.”
“Siap, Bos.”
“Nah, sekarang pakai baju safarimu, kita akan pergi mengunjungi seorang teman di Lapas Sukamiskin.”
“Siap,Bos.”
“Gi, kalau saya tidak memintamu tunggu di mobil, berarti kau ikuti saya ke mana pun. Paham?”
“Siap, Bos.”

***

Ugi mengikuti bosnya melewati jeruji demi jeruji besi yang dibukakan oleh petugas Lapas. Sampai mereka tiba disebuah ruangan yang dijaga sangat ketat.
“Sur, terimakasih mau datang.” Katanya. Ugi seperti merasa kenal dengan wajah napi itu.
“Apa kabar, Mar? Sehat?”
“Begini Sur, aku terus terang mau minta maaf kepadamu, aku bukan temanmu yang baik, aku telah menghianatimu beberapa kali… ” Napi itu tiba-tiba menangis. “Aku terancam hukuman mati.” Katanya.

Suradi menatap orang itu dengan tenang.

“Cukup sandiwaramu, Komar. Cukup. Langsung saja ngomong, kau perlu bantuan apa?”
“Sewakan aku pengacara yang handal, kalau aku selamat dari hukuman nati, nanti semuanya akan kuganti.” Katanya. “Aku bersumpah, Sur, aku akan menggantinya.”
“Kau telah beberapa kali bersumpah dan tak ada satu pun yang kau tepati.”
“Kali ini, Sur, aku mohon. Tolonglah.”
“Aku telah cukup berkorban dan kau tak pernah berubah.” Kata Suradi, suaranya terdengar geram. “Kau tahu, 5 tahun yang aku telah melakukan kesalahan membebaskanmu, aku takkan mengulangi kesalahan yang sama.”
“Sur, tolonglah, kaulah satu-satunya harapan terakhir.”
“Tidak. Mintalah yang lain.”
“Sur tolonglah…”
“Permisi.”
“Sur!!!!!!!!!!”

***

Suradi pergi dengan tergesa. Ugi mengikutinya sampai pintu luar, kemudian Ugi mendahului Suradi menuju mobil.
“Ayo, Jalan, Gi.”
“Siap, bos.” Kata Ugi. “Bos, napi itu teman bos?”
“Ya, dia adalah sahabat saya waktu pertama kali saya kerja di proyek.”
“Namanya Komar ya Bos?”
“Ya.”
“Dia pengedar narkoba kelas kakap, kan?”
“Ya. Betul, Gi. Tahu dari mana? Dari berita ya?”
“Bukan, Bos. Rumah Pak Komar itu di Cileunyi, Bos.”

Suradi tertawa.
“Dari mana kamu tahu rumahnya di Cileunyi? Dia itu bandar kelas kakap, rumahnya mungkin lebih dari satu.”
“Mungkin, Bos. Sebetulnya, begini bos, sahabat saya, Umang, pernah mencuri tas Pak Komar yang berisi pakaian di bagasi mobilnya. Sudah sejak lama saya berniat mengembalikan tas itu, tapi enggak pernah kesampaian.”
“Kenapa bukan sahabatmu Umang aja yang mengembalikannya?”
“Tidak bisa, Bos. Soalnya dia sudah mati.”
“Sekarang tasnya ada di rumahmu, gi?”
“I ya bos, disimpan di halaman belakang.”
“Hm.” Kata Suradi mendengus pelan. “Orang seperti komar, dia tak perlu menyimpan pakaian di dalam koper. Dia bisa membeli pakaian seperti membeli sate. Beli, makan, buang. Selesai. Koper itu isinya bukan pakaian.”
“Tapi bener bos, kata si Umang itu koper pakaian.”
“Tidak, itu pasti koper uang.”
“Masa bos?”
“Potong kuping saya Gi, kalau dugaan saya salah.” Kata Suradi. “Nah, nanti sore kamu pulang ke Cileunyi, buktikan kebenaran kata-kata saya.” Kata Suradi
“Siap, bos.”

***

Sore itu juga Ugi pulang dengan rasa penasaran untuk membuktikan kata-kata Bosnya. Namun ketika tiba di depan rumah, Cici sedang mengelus-elus perutnya yang sudah berisi kandungan satu bulan setengah.
“Mules, Kang.” Katanya. “Sakit sekali.”
“Periksa ke dokter ya Ci?”
“I ya, Kang. Ayo cepet.”

Ugi bergegas membawa Cici melaju menuju dokter kandungan yang terletak di sekitar Jatinangor, dia melajukan motornya dengan tenang walau pun hatinya sedikit was-was atas kesehatan istrinya. Dia berharap Cici tak mengalami apa-apa.

Malam membentangkan angin dari gunung geulis. Lampu-lampu menyala menandai kemeriahan senja yang pergi entah ke mana. Jalanan ramai lancar.

Setelah melewati STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negri) Ugi melihat ada sinar lampu mobil dari jarak sekitar 100 meter di depannya.
“Mobil itu salah jalur.” Pikir Ugi. Dia mengendarai motornya memepet ke pinggir paling kiri untuk menghindari mobil itu. Tetapi mobil itu melaju dengan sangat cepat dan seakan-akan sengaja mengarah ke arah dirinya.
“Aku harus menghindar.” Bisiknya. Ugi berusaha membanting motornya ke arah trotoar namun moncong sedan sudah terlanjur menghajar ban depan motornya.

Ugi dan Cici pun terpental.

***

Suradi dan Iis tengah berbincang di kamar. Ada sedikit ketegangan di antara mereka. Telpon dari nomor tak dikenal berkali-kali memanggil.
“Angkatlah, siapa tahu dari Linda.” Kata Iis sinis.

Suradi terdiam. Lalu dengan malas dia mengangkat telpon.
“Ya, Hallo? …. Betul…. baik…. ya… baik… saya berangkat sekarang juga.” Kata Suradi. Sementara dia menerima telpon, Iis menatapnya dengan tatapan curiga.
“Saya akan pergi, Mah. Ke Jatinangor.”
“Pergilah, Pah. Di sana banyak hotel murah… ”
“Saya tak ingin berdebat.” Kata Suradi.
“Ya, tentu saja. Lain kali kalau kau tidur di rumah ini jangan mengigau nama Linda, ya, Pah.”

Suradi menarik nafas panjang. Sekilas Iis melihat kelopak mata Suradi tampak berkilau. Guru yang sudah promosi menjadi Kepala Sekolah itu sedikit terperangah dan merasa menyesal.
“Saya mungkin tidak akan pulang… yang harus di urus cukup banyak.” Katanya.
“Linda memang merepotkan.” Kata Iis.
“Saya tidak tahu soal itu, Mah. Sudahlah.”
“Syukurlah jika dia akan mengucapkan selamat tinggal malam ini. Tapi tentu dia akan memintamu bercinta semalaman.”

Suradi menatap mata istrinya. Dua tetes air mata jatuh di pipi Suradi.
“Mereka tak sempat mengucapkan selamat tinggal.” Katanya dengan suara gemetar.

***

Suradi mendatangi Polsek Cileunyi yang terletak tidak jauh dari lokasi kejadian. Setelah berdiskusi semalaman dengan sejumlah petugas kepolisian dan Ketua RW 05 serta sejumlah warga RT 01, Suradi menandatangani berbagai surat-surat yang dianggap penting dan secara administratif menutup semua kejadian itu. Setelah itu, pada pagi harinya, Suradi ditemani Wakapolsek Cileunyi beserta sejumlah anak buahnya serta warga RW 05 RT 01, menuju Tempat Pemakaman Umum Cigoledag untuk menguburkan ke dua jenazah.

Mereka dikuburkan sejajar dengan lima kuburan lain yang terlihat masih baru.

Suradi meminta kepada pengelola makam untuk memindahkan kuburan lain yang berada di radius 5 meter dari 7 kuburan yang berjajar itu. Walau pada awalnya pengelola makam itu menolak, tapi dia tak bisa menolak lembaran uang yang ditawarkan Suradi.

(Seminggu kemudian, 7 kuburan itu sudah dipagar sekelilingnya dengan pagar yang tampak sangat artistik.)

Usai penyelesaian kuburan, Suradi mendatangi rumah Ugi dan menemukan 2 koper merah itu berada di bawah tumpukkan kayu bakar. Isinya bukan baju seperti yang diduganya. Tapi uang. Dia memanggil Pak Amat dan Pak Tono untuk membawa peti kemasan besar terbuat dari kayu, memasukkan kedua koper yang masih terbungkus karung itu ke dalamnya. Lalu meminta kepada ke dua Mandor Seniornya itu untuk membawa peti kemasan itu ke kantornya.
“Simpan di dalam kantor ya Pak Tono. Kalau sofa menghalangi, keluarkan saja sofanya.”
“Baik, Pak.” Kata Pak Tono.

Seminggu kemudian, ketiga rumah itu sudah rata dengan tanah dan berubah menjadi taman kecil yang indah. Warga RW 05 menamai taman itu sebagai “Taman Persahabatan” sesuai dengan permintaan Suradi. Tapi lama kelamaan mereka menyebut taman itu sebagai “Taman Ugi”.

***

Selama satu minggu, Suradi tidak pernah ke luar dari kantornya yang sederhana itu. Pak Amat dengan setia menungguinya di luar, untuk mengantarkan makanan dan mengambil piring kotor. Serta mengantarkan baju bersih. Suradi menolak dilayani Ijah, PRT di rumah itu.

Sekarang Iis tahu, suaminya mungkin saja telah berselingkuh mungkin juga tidak, tetapi itu tidak begitu penting. Seorang lelaki pendiam seperti suaminya, ternyata bisa sangat terpukul telak karena kehilangan satu orang anak buahnya.

Sementara di dalam kantornya, Suradi dengan tenang memilah-milah dan mensortir uang yang terdapat di dalam koper itu, yang isinya terdiri dari 5 mata uang yang berbeda: Rupiah, Dolar Singapura, Yuan China, Dolar Amerika dan Euro. Jumlah totalnya diperkirakan bernilai sekitar 50 Milyar lebih.

Filling kabinetnya perlahan-lahan mulai disesaki oleh uang itu.

Setelah seminggu berlalu, akhirnya selesai juga pemilahan dan pensortiran semua uang itu. Suradi ke luar dari kantornya dengan wajah pucat.
“Pak Amat, panggil Jajang dan Maman ke sini, bawa semua baju bekas saya dan peti kemasan itu serta karung dan dua koper merah itu, siram dengan bensin dan bakar di situ, dekat pohon nangka.”
“Baik, Pak.”

Ketika mereka sedang membakar semua barang itu, istrinya Iis, mendekati Suradi dan mengatakan ada tamu.
“Namanya Melinda, Pah.”
“Suruh pulang saja.” Kata Suradi tidak acuh.
“Orangnya sangat cantik, Pah. Wajar kalau Papah kesengsem.” kata Iis.

Iis mengikuti Suradi saat melangkah ke ruang tamu.
“Sur, malam ini meeting ya? Kenapa kamu enggak pernah mengangkat telponku?” Melinda berkata dengan nada yang kuat dan berwibawa, tanpa mempedulikan ada Iis di situ.
“Tidak. Aku akan beristirahat lagi satu minggu. Kasih saja proyeknya ke yang lain.”
“Yang lain tak ada yang sebaik kamu.”
“Sudahlah. Aku mau tidur. Aku capek.” Kata Suradi. “Sorri ya Lin, aku benar-benar capek.”

Suradi dengan sikap kurang sopan meninggalkan Linda, masuk ke kamar diikuti Iis. Tidak lama Suradi pun terlelap. Iis terdiam melihat wajah suaminya yang sedang mengigau.
“Ugi! Ugi!”

Iis kemudian tertawa sendirian di kamar itu.
“Mustahil si Papah berselingkuh dengan ugi.” Katanya dalam hati.***

Bersambung

Daftar part