Suradi Adventure Part 32

Suradi Adventure Part 32
METAMORFOSIS SURADI 7
Melinda membalas kecupan itu dengan lembut pula. Tangannya menarik leher Suradi agar rebah. Mereka berciuman miring sambil berrebahan di ranjang. Saling pagut dan saling mengemut dengan tenang.
Tak ada yang terburu-buru kali ini.
Mereka telah mengalami luka kehidupannya masing-masing dan sekarang saatnya untuk saling menyembuhkan. Melinda memejamkan mata dan menikmati seluruh getaran impuls-impuls syarafnya yang berdenyar lembut, merambat secara pelahan dan menyebar ke seluruh tubuhnya.
Selama bertahun-tahun menikah dengan Winardi, belum pernah dia merasakan ciuman yang menyeluruh dan sempurna seperti itu. Ketika sepasang jari jemari Suradi mengelus punggung dan pinggangnya, tahulah Melinda bahwa dia ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada pria itu. Apalagi ketika Suradi menyusuri dan menghujani wajahnya dengan ciuman bibirnya, Melinda merasakan otaknya berhenti bekerja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan curahan lembut kasih sayang seorang lelaki sejati atas dirinya. Tidak. Tidak ada.
Dulu, di masa mudanya, Melinda pernah merasa ketakutan dengan ciuman yang mendarat di kening, mata, hidung, pipi dan di tengah-tengah kelopak antara kedua matanya… ketakutan yang datang dari hatinya yang khawatir kehilangan. Namun 18 tahun bukan waktu yang pendek untuk merasakan kehilangan menjadi rasa sepi yang dalam. Dan untungnya, rasa sepi yang dalam itu ternyata tidak mengkristal menjadi keputusasaan, justru malah berubah menjadi harapan.
Dan harapan itu kini telah berubah menjadi kenyataan. Maka jalan terbaik satu-satunya adalah menikmati semua sentuhan itu dengan seutuhnya. Seutuhnya.
Suradi mengecupi telinga dan leher Melinda dengan lembut dan penuh perasaan. Ketika mengecup leher itu, bibir Suradi merasakan detak nadi yang berdenyut-denyut di urat leher Melinda. Bibirnya untuk sementara berhenti dan menikmati denyutan itu dengan penuh perasaan.
Suradi lalu mengunyah bagian leher di bawah dagu, menyisiri ke kiri dan ke kanan sampai bagian bawah telinga. Lalu mencaplok telinganya.
“Hmhmhh…” Melinda menggumam seperti bermimpi. Tetapi mulutnya tersenyum lebar. Gigi-giginya yang putih, kecil dan rata itu tampak kelihatan 3/4nya.
Sekarang Melinda merasakan buah dadanya menggembung dan mengeras. Dia belum pernah mengalami sensasi seperti ini selama hidupnya. Dia tidak pernah disentuh dengan cara seperti ini oleh siapa pun.
Melinda merasa sakit oleh BHnya yang terlalu ngepas. Dia secara refleks melepaskan kaos dengan BHnya sekaligus.
“Kamu menginginkannya sayang?” Tanya Suradi.
Melinda tidak menjawab.
Dia merangkul kepala pria itu dan membenamkannya ke tengah-tengah dua bukit kembarnya yang mengeras. Suradi mengerti. Wanita eksekutif yang memiliki segalanya ini ternyata melarat dari sentuhan pria sejati.
Dia menciumi pinggiran bukit kenyal itu dengan semangat. Menyusuri pinggiran sepanjang perut dan daerah yang membentang antara ketiak dan pinggulnya. Melalui bibirnya, Suradi ingin memberi tahu bahwa dia menerima setiap jengkal tubuh Melinda dan menikmatinya sebagai mana wanita itu juga menikmatinya.
Seumur hidupnya, Melinda belum pernah satu kali pun melakukan onani. Otaknya tidak pernah memikirkan kebutuhan sex yang berlebihan. Memang sekali dua kali muncul keinginan terpendamnya untuk dibelai dan disayang, tetapi jika itu terjadi, maka dia akan memejamkan mata dan dalam bayangannya, datanglah Mandor Muda itu untuk mencium bibirnya dengan lembut. Khayalan yang sederhana itu telah memenuhi kebutuhan sexnya.
Ketika Melinda menikah dengan Winardi, khayalan sederhananya berubah menjadi lebih brutal. Winardi tak pernah menyentuh Melinda sebagaimana umumnya sentuhan lelaki kepada perempuan dalam hubungan suami istri. Wajar jika siang dan malam Melinda selalu terbayang kepada mandor muda itu. Selama bertahun-tahun dia mencari keberadaan Suradi. Dia bahkan menyewa seorang detektif swasta, Desti. Tapi tidak berhasil. Sampai akhirnya tanpa sengaja dia menemukan mandor muda yang telah berubah menjadi lelaki matang itu, ditemukannya di sebuah hotel di Singkawang.
Ketika untuk yang pertama setelah 18 tahun tak pernah merasakan sebuah ciuman di bibir, maka ketika Suradi menciumnya tadi, beberapa saat yang lalu, Melinda menjadi setengah tidak waras. Dia membalasnya dengan kasar, terburu-buru dan penuh nafsu. Tepat pada saat itu, Melinda merasakan suatu kenikmatan yang sangat “menggemaskan” pada kemaluannya.
Pada ujung vagina V nya, dia memuncratkan suatu cairan yang membuatnya tersenyum bahagia. Lalu ciuman demi ciuman itu datang lagi, berkali-kali dia memuncratkan kenikmatan yang menggemaskan itu pada ujung memeknya. Ya, berkali-kali. Mungkin, puluhan kali.
Ketika Suradi menyusuri tubuhnya, muncratan itu berubah menjadi kucuran air ledeng pada kran yang bocor. Sensasi awal berupa rasa “gemas” pada ujung memeknya berubah menjadi sensasi “kosong yang indah”.
Ketika Suradi mengulum dan mengisap puting susunya, kucuran air ledeng itu berubah menjadi letupan-letupan hangat yang meledak lembut pada ujung memeknya. Sensasinya pun berubah, dari sensasi “kosong yang indah” menjadi sebuah ekstasi.
Ekstasi itulah yang membuat gigi-giginya menggigit bibir sendiri.
Melinda tak sanggup menahan letupan-letupan hangat yang meledak-ledak lembut dan membuatnya menggelinjang-gelinjang dalam kegelisahan yang nyaman dan nikmat. Satu kata yang dirintihkannya secara berulang-ulang, “Kaka… hhhh… kaka… ghhhh…” Sementara itu, pikirannya menjadi kosong dan seluruh tubuhnya kehilangan tenaga karena tulang dan dagingnya menjadi lelehan es krim yang mencair.
Melinda tersenyum bahagia dalam keadaan memejamkan mata. Saatnya kini telah tiba. Suradi telah menarik celana jeansnya hingga lolos melewati paha, betis dan akhirnya kakinya. Lalu melemparnya entah ke mana. Melinda tidak peduli. Sejumput perasaan malu menghinggapi ujung hatinya. Tapi itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan harapannya pada pertemuan yang dinanti-nanti, yang ditunggu-tunggu, yang diharap-harap, akan segera tiba.
Ya. Pertemuan antara dia dengan lelakinya yang sejati. Pertemuan yang akan menyatukan dua tubuh menjadi satu.
Suradi melepaskan baju dan celananya. Sejenak dia berdiri di sisi ranjang. Tegak tak bergerak. Melinda merasa jarum jam berhenti berdetak. Dia tak sabar menunggu aksi berikutnya. Pelahan Melinda membuka matanya dan menatap Suradi yang tengah menatap matanya.
“Apa yang kau tunggu, Kaka?” Bisiknya dalam hati. Lalu dia melihat Suradi agak membungkuk dan melepaskan celana dalamnya.
Melinda terlambat untuk terkejut. Dia mengira semua kontol lelaki sama seperti kontol suaminya yang sebesar cabe rawit dan bersifat pengecut. Tapi kontol lelaki sejatinya sebesar pisang tanduk. Daging coklat yang melengkung gagah dan berwibawa. Kokoh bagai moncong tank baja.
Seluruh tubuh Melinda gemetar ketika Suradi menarik celana dalamnya.
“Apakah dia akan memasukkan kontol itu ke dalam diriku seperti Winardi melakukannya?” Melinda berkata dalam hati. “Apakah dia akan menyakitiku?”
Suradi berdiri di atas ranjang dengan lututnya. Dia telah merenggangkan ke dua paha Melinda dan melihat gundukan berjembut halus itu sedang merintih. Dia mencium celana dalam Melinda yang telah kuyup ujungnya, mencicip lendir yang menempel pada bahan katun terbaik dengan lidahnya. Mata Suradi terpejam untuk meresapi rasa dan aromanya.
Lalu Suradi membungkuk.
Melinda sama sekali tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh lelaki sejatinya itu. Seluruh pori-pori pada sekujur tubuhnya tiba-tiba merinding ketika dengus nafas dari hidung Suradi menghembus ke arah pubisnya.
“Ini memek terindah yang pernah aku lihat.” Kata Suradi dalam hatinya. Matanya dengan nanar menikmati seluruh arsitektur bangunan bibir-bibir yang menggembung indah. Belahan yang belum mekar itu tampak seperti guratan takdir khusus hanya untuk kontolnya.
Pelahan Suradi menciumi pahanya. Lalu pubis dan area lipatan antara bibir luar dengan pahanya.
“Akhkh… kaka…”
Lidahnya menyusuri bibir-bibir luar memek melinda yang putih berbentuk elips. Menciuminya dengan lembut.
“Oughkh… kaka…”
Kemudian lidahnya menyusuri bibir-bibir bagian dalam yang berwarna merah hati. Mencelupkan ujung lidahnya pada liang yang masih malu-malu untuk merekah itu.
“Uhkhh…hukh…huhk…khakha… khakha… khakha…”
Sekarang Suradi baru bisa melihat itil memek Melinda yang menggeliat mendenyar lembut. Disentuhnya itil itu dengan ujung lidahnya.
“Aaaaaaaaaakkhhh….. khaka…..khaka… khakaaaaaaaa….. ”
Dia mengecup itil itu, mengulumnya, mengigitnya dengan gemas menggunakan bibir.
“Aaaaaaaakkkkkkkk…. khakaaaaaaaaaaaaa…..”
Terdengar sebuah ledakan hangat menyemprot dagu Suradi. CCCCCrrrrrooottttt…. Prot! Crot! Crot! Crot!!!
Suradi tersenyum. Dagunya kini berjanggut oleh lendir hijau keputihan yang mirip seperti ingus.
Suradi lalu membeliakkan bibir-bibir memek Melinda bagian luar dengan ke dua jempolnya, sehingga liang memek itu membuka. Lidahnya menari-nari beberapa lap di bibir-bibir bagian dalam, lalu memonyongkan mulutnya dengan ujung lidah menjulur untuk mematuk liang yang terbuka itu dan menyusup masuk. Menyesap lendir yang manis. Menghisap aroma memek yang wangi.
Tubuh Melinda mengejang.
Suradi membasahi batang dan kepala kontolnya dengan lendiri yang menjanggut di dagunya.
“Memek ini sudah siap.” Bisiknya.
Sebuah jeritan yang melengking dan menyayat menggema di kamar losmen ketika Suradi menancapkan kontolnya dan menekan-menjejalkannya hingga amblas 3/4nya.
Jleb!!!
“Adduuhhh… sakit kaka… huk… huk… sakiiit….”
Suradi terlambat menyesali apa yang telah dilakukannya. Ketika dia menarik kontolnya, darah membasahi seluruh kepala kontolnya. Dan kini, pada ujung Memek melinda mengalir darah kental.
“Ya… Tuhan… Lin lin… kaka enggak tahu… kamu… kamu… masih perawan… maafkan…”
“Huk… huk… sakiiittt… kaka… pediiihh…”
Suradi turun dari ranjang dan mengambil saputangan pada saku kemejanya, dia lalu melap darah pada kepala kontolnya dan pada ujung memek Melinda. Setelah darah terhapus bersih, Suradi melipat sapu tangan itu dan menyimpannya kembali di saku kemejanya.
(Suatu saat nanti, Melinda akan menemukan saputangan itu di lemari baju Suradi dan memarahi: Kaka, jorok! Sapu tangan penuh darah disimpan di sini! Lalu Suradi terbelalak dan tertawa kecil, dia akan memeluk Melinda dan membisikkan kisah indah di Losmen Harapan)
Bersambung