Suradi Adventure Part 29

Suradi Adventure Part 29
METAMORFOSIS SURADI 4
Dua buah mobil pick up yang berisi penuh dengan aneka barang-barang, berhenti di depan halaman Losmen Harapan yang sempit. Suradi ke luar dari mobil dan melangkah menuju lobby losmen. Dia menemukan resepsionis itu tengah menonton TV.
“Pak Indra sudah tidur belum?” Tanya pada respsionis yang mengalihkan padangan dari TV ke Suradi.
“Saya, kurang tahu, Pak.”
“Bisa dilihat dulu, enggak? Kalau belum tidur, bilang Suradi ingin bertemu.”
“Tapi, Pak… saya tidak berani.”
“Lihat saja dulu, jam segini biasanya dia belum tidur.” Kata Suradi sambil meletakkan uang pecahan 50 ribu di atas meja lobby. “Ini akan membuatmu sedikit berani.” Katanya, tersenyum.
Resepsionis itu memandang Suradi dengan pandangan misterius. Mengambil uang dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Dia ke luar dari meja resepsionis yang kedua ujungnya melingkar seperti huruf U, menaiki tangga dan beberapa menit kemudian dia datang diikuti Indra.
“Sur, ada apa?” Kata Indra. Dia mengerling sebentar ke arah dua mobil pick up yang terparkir di luar. “Itu punyamu?”
Suradi mengangguk.
“Rumahmu yang di Kompleks Sanggar Hurip itu udah laku dikontrak orang belum?”
“Belum. Baru kemarin kan direnov sama Pak Amat.”
“Aku pinjam seminggu, boleh enggak?”
Indra menatap Suradi.
“Aku tahu kamu enggak suka barang gratisan.” Kata Indra. “Bayarin biaya listrik dan air ledengnya untuk bulan ini, kamu boleh memanfaatkannya seminggu.”
“Deal.” Kata Suradi. “Makasih, nDra.”
“Kamu mau nginap di sini?”
“Ya, saya ambil dua kamar.”
“Oh. Bersama rombongan anak buahmu, ya?”
“Ya.”
“Baiklah, saya akan persiapkan kamar terbesar di belakang.”
“Trims.”
Melinda tiba di Losmen Harapan sekitar pukul 00.05.
Dia menggusur koper yang memiliki roda pada bagian bawahnya dengan tangan kiri dan menjinjing tas tangan serta tas kerja dengan satu tangan kanannya. Dia tak mempedulikan resepsionis itu yang menegurnya untuk memesan kamar.
“Saya sudah pesan.” Katanya. Dia melangkah melewati ruang lobby dan melihat Suradi di kejauhan tengah merokok di kursi teras kamar. Dia menuju kamar Suradi dan menolak dibantu.
“Bukain pintunya.” Kata Melinda. Suradi terdiam. “Cepat, tolong bukain pintunya.”
Suradi membuka pintu kamarnya. Melinda masuk dan menyimpan ketiga tasnya di dalam. Dia ke luar lagi dan duduk di sebrang meja.
“Aku tidur sekamar denganmu.” Katanya pendek.
“Saya akan pesankan kamar.”
“Tidak perlu. Kamu keberatan?”
Suradi terdiam. Dia menunduk.
“Kamu keberatan?” Ulang Melinda.
“Saya.. saya tidak tahu. Saya akan pesan kamar satu lagi.” Kata Suradi, nada suaranya gugup.
“Jangan.”
“Saya sudah banyak merepotkan, Bu Linda, maaf.”
Melinda tidak menjawab.
“Apa di sini bisa pesan kopi tidak ya… Tidak, tidak perlu meminta maaf.”
“Bisa.” Kata Suradi. “Tapi cuma kopi biasa.”
“Aku, rasanya penat sekali.” Katanya. “Lin lin tidak bahagia. Dia sudah menikah dan tidak bahagia.”
Suradi menoleh ke arah wanita cantik itu. Wajah Melinda tampak gemerlap oleh luka. Suradi mengingat-ingat kapan dia pernah melihat ekspresi wajah seperti itu di masa lalunya. Kapan, di mana, siapa? Tapi dia gagal menemukannya.
“Di sebelah losmen mungkin masih ada kafe yang buka… ” Suradi tak meneruskan kalimatnya. Dia melihat Melinda duduk menelonjorkan kakinya dengan wajah mendongak di atas sandaran kursi. Kedua jari jemari tangannya yang lentik menutupi sebagian wajahnya.
“Aku capek sekali… aku tak bisa berpikir.” Keluhnya.
Suradi menatapnya. Lembut. Tapi hatinya ketakutan. Melinda memiliki kejelitaan seperti Winda, bahkan bentuk wajah dan bentuk tubuhnya sangat mirip. Tapi Melinda lebih tinggi dan lebih padat tubuhnya. Kelelakian Suradi menginginkan tubuh sintal putih itu tetapi logikanya mengatakan sangat berbahaya. Handono Halim Group memiliki kedekatan dengan kekuasaan dan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Suradi tak ingin menghancurkan salah satu orang terpenting di perusahaan raksasa itu. Lagi pula, entah bagaimana, dia memiliki perasaan yang sangat lembut terhadap wanita itu. Sebuah perasaan yang sangat aneh, perasaan yang terbit dari lubuk terjauh, terdalam, di relung hatinya.
“Apa tidak sebaiknya Bu Linda tiduran di dalam dulu.” Kata Suradi, tenang dan lembut.
“Tidak. Jika aku tertidur kau akan pesan kamar yang lain.” Kata Melinda gemetar. “Malam ini, aku ingin menjelaskan semuanya tentang Lin lin.” Katanya.
Suradi terpana.
“Jika Lin lin merasa kangen kepada kekasih yang disayanginya, maka dia akan memejamkan mata… dia akan merasakan kecupan terindah di bibirnya.” Melinda berkata dengan nada serak. Airmatanya menetes di pipi.
“Mereka telah merencanakan akan menikah… di hotel.” Katanya lagi.
Suradi tiba-tiba berdiri dari duduknya. Sepasang matanya memerah. Dia melangkah ke depan Melinda dan berdiri di atas lututnya, seperti sedang memohon sesuatu kepada wanita cantik itu.
“Ceritakanlah padaku, mengapa Lin lin meninggalkan kekasihnya. Ceritakanlah semuanya, Bu Linda. Saya mohon.” Kata Suradi.
Tapi Melinda tidak menjawab permintaan lelaki itu. Dia malah menangis terisak-isak. Eksekutif wanita yang dikenal sangat keras dan dingin itu, tampak terlihat rapuh.
“Aku capeeekkk!” Katanya setengah menjerit, lalu bangkit berdiri dan melangkah tergesa, masuk ke dalam kamar losmen.
Dia menelungkup di atas ranjang dan menangis sejadi-jadinya.
“Aku cape…. huk… huk.. huk… Aku cape. Aku kangen kaka.” Katanya di sela-sela tangisnya.
Suradi berdiri di ambang pintu dan membeku. Seperti patung perunggu.
Bersambung