Suradi Adventure Part 19

Suradi Adventure Part 19
CINTA PERTAMA SI GEMBIL 6
Satu-satunya tujuan Melinda pergi ke Singkawang adalah merebut posisinya di Global Mandiri, andai dia bisa memenangkan proyek 1,3 Triliun itu, sudah pasti dia akan pindah ke Jakarta. Tapi dia gagal.
Kegagalan yang membawa berkah.
Pertemuan yang tak disengaja itu membuatnya ingin terus bertemu Suradi. Dia menelpon Kak Suzie dan memintanya untuk tidak membatalkan proyek kecil bernilai 2,2 M di Kertajati.
“Biar saya kerjain, Kak.” Katanya. “Lumayan buat nambah-nambah kepercayaan PT Angkasa Pura.”
“Tapi untungnya kecil, Mel. Kamu lagi butuh duit?”
“Enggak. Buat ngetes seorang kontraktor.”
“Oh, begitu. Tapi kamu langsung mensurvisinya kan?”
“Ya, iya lah. Saya sendiri yang akan langsung mengawasi.”
“Sip, udah mau bantuin. Nanti Kak Suzie telpon Pak Zein, kepala BUMNnya.”
“Siap, Kak.”
Sore itu juga dia menelpon Suradi untuk bertemu pada malam harinya. Melinda sangat tidak sabar menunggu saat itu tiba. Dia sudah mempersiapkan ruang VIP khusus untuk meeting berdua. Hanya berdua.
Jantungnya berdegup kencang ketika melihat Suradi. Dia mengenakan kemeja flanel putih lengan panjang, yang digulung sampai sikut. Sopirnya yang tinggi kurus, mengenakan safari biru tua, mengintilnya dari belakang.
“Pak Suradi, mohon maaf jika sambutannya kurang berkenan. Saya Melinda Liem, yang tadi siang menelpon bapak. Silahkan, Pak.” Katanya. Melinda merasa suaranya gemetar.
“Sopir saya boleh ikut, bu… saya pangil Ibu Mel atau Bu Linda?”
“Jangan pake Bu, Pak. Koq rasanya saya jadi lebih tua 10 tahun. Panggil saja, Linda. Boleh. Nanti di belakang ada ruang khusus untuk sopir.”
“Kalau begitu, Linda juga jangan memanggil saya Pak, Suradi saja. Kalau dipanggil bapak rasanya saya lebih tua 12 tahun.”
“Ha ha ha, Suradi bisa saja.” Katanya. Dia masih lucu seperti dulu.
Apakah dia sudah mengenali Lin linnya ini? Apakah dia tahu Lin linnya ada di sampingnya, berjalan berrendengan dan tak tak tahan ingin memeluk lengannya? Apakah dia masih mencintai Lin linnya atau hatinya telah berubah?
“Tidak. Dia tidak mengenali aku.” Bisik Melinda dalam hatinya.
“Silahkan Pak Sur, eh, Sur. Silakan.” Kata Melinda. Suradi duduk di sofa di depannya. Wajahnya seperti ketakutan.
“Terimakasih, Bu. Eh, Linda. Ini ruang VIP ya?” Suara Suradi terdengar gemetar. Dia dua kali membuang muka dan mengusap dengan kedua tangannya. “Apakah dia sedang mencoba mengingat aku?” Bisik Melinda dalam hatinya.
“Ya, biar lebih santai.” Kata Melinda.
“Rasanya agak terlalu berlebihan.” Katanya sambil tersenyum.
“Tidak juga. Biasa saja. Saya sudah pesankan minuman. Mau sekalian dengan makan malam?” Kata Melinda, dia yakin Suradi pasti menolak.
“Itu lebih dari cukup. Tidak. Terimakasih.” Kata Suradi. Tiba-tiba saja dia menjaga jarak. “Bagaimana kalau langsung berbicara bisnis?” Katanya.
Melinda diam. Dia tidak tahu bagaimana caranya agar dia bisa memulai sedikit saja untuk membuka pembicaraan yang lebih pribadi.
“Bagaimana keluarga di rumah?” Tanya Melinda.
“Mereka baik-baik saja, terimakasih sudah bertanya.”
“Sudah punya istri, Pak, eh, Sur?”
“Sudah. Anak saya satu, laki-laki.”
Melinda melihat lelaki itu tidak begitu suka membuka dirinya. Dia sepertinya menjaga jarak dan hanya ingin berbicara bisnis. Itu artinya, dia pasti tidak tahu kalau Lin linnya yang dulu, sedang duduk di hadapannya.
Melinda tersenyum.
“Begini, Pak, eh, Sur. Kami punya proyek di kertajati, nilainya 2,2 M, semua spek dan SPKnya ada di sini.” Melinda mengeluarkan sebuah map tebal. Suradi mengambilnya dan langsung membacanya dengan tekun dan teliti.
“Perkiraan keuntungannya 10%. Saya tawarkan 6:4.” Katanya. Tapi lelaki itu tidak segera menjawabnya, dia terus saja bertekun dengan berkas-berkas itu dan membolak-baliknya.
“Dia sangat teliti.” Kata Melinda dalam hati. Sepasang matanya nyaris tak kuat menahan rasa haru.
“Kami bisa mengerjakannya. Tapi tawarannya di balik ya jadi 4:6.” Kata Suradi. “10% itu masih kotor, Bu. Tapi kalau mau, dari keuntungan bersih, bagaimana kalau fifty fifty.” Katanya. “Itu lebih masuk akal.”
Melinda ternganga. Suradi ternyata sangat jago bernegosiasi.
“Ini pasti langsung disupervisi sama Bu Linda, Kan? Saya berani jamin ibu tak perlu bersusah-susah melakukan evaluasi, langsung saja Uji Petik dengan Angkasa Pura jika sudah selesai. Bagaimana?”
Melinda terdiam. “Sebagus itukah dia? PD sekali.” Katanya dalam hati. “Kita lihat nanti.”
“Baik, fifty fifty dan langsung uji petik. Bagaimana kalau gagal atau kurang memuaskan?”
“Ibu tidak perlu membayar saya.” Katanya dengan penuh keyakinan. “Gila, berani bener dia.” Kata Melinda dalam hati.
“Baik. Deal.”
“Deal.”
Mereka bersalaman.
“Boleh selfie dulu sebentar, Pak, eh Sur.” Melinda mengeluarkan HPnya dan mereka berfoto selfie bersama.
“Terimakasih, Bu. Saya permisi.”
Dua minggu kemudian, Melinda menyusul Suradi ke Majalengka. Dia sudah membuat skenario untuk membuka Lin lin.
Melinda mengajaknya makan siang di sebuah kafe di kawasan Bandara Internasional itu. Setelah berbicara tentang pekerjaan dan lain-lain, dia mulai melancarkan skenarionya. Tapi ternyata itu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan besar!
Bersambung