Suradi Adventure Part 16

Suradi Adventure Part 16
CINTA PERTAMA SI GEMBIL 3
Melinda sebetulnya tidak begitu senang ketika di tempatkan di Bandung. Kota ini begitu penuh luka dalam kepalanya. Papa Handono seharusnya membiarkan dia terus memimpin Global Cipta Mandiri hingga menjadi raja properti di negri ini. Tapi Papa malah memberikannya kepada Suzana Halim, kaka iparnya. Papa harusnya tahu, Kak Suzie itu pemboros. Ah, sudahlah, toh Papa memberikannya kepada anak kandungnya sendiri, yang rugi Papa sendiri.
Langkah pertama yang dilakukannya ketika tiba di Bandung setahun yang lalu, adalah duduk di pojok lantai 2 Kafe Fizzis, memesan jus alpukat dan banros bulat, memandang pilu kursi kosong di depannya. Hatinya tersayat-sayat oleh luka cinta pertama yang tak tersembuhkan. Dia berharap mandor muda itu hadir duduk di situ, menatapnya lembut dan mengecupnya.
Melinda tak mungkin melupakan kecupan pertamanya di meja itu. 18 tahun yang lalu. Secarik pesan terselip di bawah pintunya kamarnya, “Selamat Ulang tahun sayang, aku menunggu di Fizzis lantai atas.”
Melinda membaca pesan itu dan memanggil Mang Ujang, PRT di rumahnya saat itu.
“Mang?” Tanya Melinda sambil memperlihatkan secarik kertas itu. Mang Ujang mengangguk.
“Ssttt.” Melinda menempelkan jari telunjuk di tengah-tengah bibirnya.
Mang Ujang menganguk-angguk.
Melinda merasa bahagia. Dia memakai pakaian terbaik dan berdandan sedikit agar tidak terlalu mencolok.
“Lin lin, kamu mau ke mana?” Tanya Mami.
“Ke simpang, Mi, mau lihat-lihat buku panduan.”
“Liat jalan ya, kalo tersandung nanti kamu menggelinding.” Kata Alek, kakanya, sambil tertawa.
“Mereka tidak ingat aku berulang tahun hari itu. Hanya Kaka yang tahu. Hanya Kaka yang mengerti.” Desis Melinda. “Hanya kaka yang menyayangi aku, memperhatikan aku.”
Waktu itu, Melinda terengah-engah menaiki tangga lantai 2 itu. Namun hatinya gembira melihat Suradi tengah menantinya dengan harap-harap cemas.
“Kaka…” Melinda setengah berlari memburu ke meja pojokan itu. “Sudah lama nunggunya?”
Suradi tersenyum. Senyumnya tulus.
“Aku tak keberatan menunggumu seharian di sini.” Katanya.
“Maafkan ya.”
“Jangan meminta maaf. Aku bahagia kamu bisa datang. Enggak mudah bagi kamu, Kan?”
Melinda terdiam.
“Apakah mereka tahu?” Tanya Suradi.
Melinda menggelengkan kepalanya.
“Mau pesan apa?” Tanya Suradi.
“Aku mau pesan semua.” Melinda tersenyum.
“Boleh.” Jawab Suradi. “Kalau aku punya uang, jangankan makanan, kafe ini aku beli buat kamu.”
Melinda tertawa.
“Kaka bohong.”
“Masa bohong sih. Kan kalau.”
Pelayan datang. Melinda memesan tiga jenis makanan. Suradi hanya memesan jus alpukat.
“Koq cuma jus? Kaka uangnya pas ya?”
“Lin lin… kaka enggak peduli.”
“Kaka… kalau kurang Lin lin tambahin ya.”
“Tidak. Tidak boleh.” Kata Suradi. “Udah ah, jangan bahas itu. Sekarang, bahas hari ini, hari istimewa. Hari yang spesial buat kamu.”
Sepasang mata Melinda mengerjap-ngerjap.
“Kaka bawakan hadiah.” Kata Suradi. “Ini kaka pesan sendiri ke Sukaregang. Dibuat secara khusus oleh ahli pembuat kalung terbaik yang ada di situ.” Katanya.
Melinda meraih kalung itu dan memperhatikannya dengan cermat. Tali kalung itu sangat unik. Warnanya coklat dengan bandul kulit berbentuk hati yang sewarna. Kedua ujungnya yang menyambung, bisa ditarik sehingga kalung itu bisa menjadi melebar dan mengecil.
“Koq, Kaka ngasih kalung kulit, bukannya coklat.” Kata Melinda saat itu.
“Kalau kaka ngasih kamu coklat, paling satu hari habis. Tapi kalau kaka ngasih ini, kata pembuatnya, kalung kulit ini bisa bertahan sampai 100 tahun, Kaka akan bertahan selama 100 tahun. Kecuali kalau Lin lin enggak suka.”
“Terus kalau Lin lin enggak suka, kalung ini mau diapain?”
“Dibuang aja ke tempat sampah.”
“Koq dibuang? Sayang kan.”
“Kalung itu sudah tidak artinya.”
“Kenapa?”
“Karena Kaka pesen khusus buat kamu. Kalau kamu engga mau, berarti kalung itu tak berguna.”
“Yang bilang Lin lin enggak mau siapa?”
“Tadi kamu bilang.”
“Deuu… cemberut. Lin lin enggak bilang enggak mau. Tadi kan kalau…”
“Pasangin sama kaka ya?”
Melinda mengangguk.
Suradi melebarkan kalung itu, lalu memasukkannya melalui kepala Melinda. Mandor muda itu kemudian menyibakkan rambutnya agar kalung itu tepat berada di dalam leher. Melinda gemetar oleh sentuhan tangan itu di pundaknya. Lalu, secara tiba-tiba, kedua jemari tangan pemuda itu meraih ke dua pipinya, menekannya lembut, kemudian dia menyorongkan wajahnya ke dekat Wajah Melinda, sangat dekat, sehingga hidung mereka bertemu; lalu tiba-tiba saja bibirnya mengecup bibir Melinda.
Seandainya ada halilintar meledak saat itu Melinda mungkin tidak akan terkejut. Tapi kecupan itu, sungguh terasa gila. Melinda seperti dikejut oleh setrum ribuan volt. Efeknya sangat dahsyat. Sedetik dia merasa melayang, tubuhnya mengejang, pipinya memerah karena jengah… bibir pemuda itu demikian lembut menyetrum seluruh syaraf-syaraf tubuhnya.
“Maaf.” Kata Suradi.
Melinda menatap wajah pemuda itu dengan nanar. Dia lebih ganteng dari Alexander Liem, kakaknya sendiri. Tubuhnya lebih tegap, lebih berisi. Walau kulitnya coklat terang, bahkan agak kuning, tapi itu sama sekali tidak mengurangi kegantengannya.
Apa yang barusan dilakukan Suradi sangatlah indah. Tetapi terlalu cepat. Melinda merasa malu tapi dia menginginkannya lagi.
“Kaka… barusan maksudnya apa?”
“Maksudnya… maksudnya… Kaka sayang sama Lin lin.”
“I ya tapi maksudnya apa?” Suara Melinda bergetar saat itu, seperti ingin menangis.
“Maafkan kaka jika Lin lin engga suka, kaka sudah lancang.” Suradi menunduk.
“Kaka… Lin lin suka.”
Suradi mendongak. Mereka bertatapan lagsung di mata. Lama sekali. Sepertinya, mereka tengah saling menakar kedalaman hati masing-masing.
Melinda ingat tatapan yang hangat dan lembut itu. Ya. Dia ingat persis. Tatapan itu membuatnya yakin bahwa pemuda itu benar-benar mencintainya. Lalu ciuman itu datang lagi. Lebih lama. Lebih nikmat. Mengkeremus jiwanya menjadi serpihan-serpihan bulu-bulu angsa, berterbangan dan berhamburan di langit luas… melayang-layang.
Mustahil Melinda melupakan itu semua. Mustahil.
Bersambung