Petualangan Telanjang Part 19

Petualangan Telanjang Part 19
Epilog Bebas
Hanyalah denting genta dan suara mantra yang terdengar di antara sesaji yang bertumpuk-tumpuk. Selain itu hanya hening, hening bersama wajah-wajah yang memejam khusyuk. Bapak Bendesa, bersama Inspektur Jaya, dan seorang Pendeta memimpin upacara. Sementara beberapa petugas Inafis dibantu warga desa mengeluarkan satu persatu tulang belulang yang berselimut tanah dan lumut.
Badeng berada di situ, di antara kerangka-kerangka manusia yang dikeluarkan dari sebuah kuburan massal di lereng gunung. Rezim Militer yang berganti membuat kebohongan itu terkuak satu persatu, termasuk pembersihan etnis sebuah suku pedalaman yang dianggap berkeyakinan menyimpang.
Seorang pendeta berbaju putih menghaturkan sesaji besar dalam upacara Pecaruan untuk mensucikan arwah para korban genosida. Suara mantram. Aroma dupa. Denting bajra yang mengiringi perjalanan Atman menuju kehidupan berikutnya.
Bahaya tak selalu datang dari sisi Sekala, tapi juga bisa Niskala. Maka, jangan sekali-kali kau berbuat tak senonoh di gunung, Badeng selalu memegang kata-kata itu. Puncak gunung yang suci adalah tempat ber-stana-nya para Dewata, dan dalam lebatnya hutan bersemayam para Butakala, dan kau tak perlu tahu makhluk apa saja yang mendiami jurang-jurang curam nan gelap.
__________________________
Pecaruan, Mecaru = Upacara untuk menjaga keharmonisan dengan alam, penyucian Butakala dan segala kotoran yang ada, serta sebagai pengharapan segalakeburukan tidak dialami lagi pada masa mendatang
Bajra = genta emas kecil untuk upacara
Atman = roh
Sekala = dunia material
Niskala = dunia gaib
Wongsamar = sebangsa makhluk yang tak tampak
______________________________
Empat tahun berlalu, tapi masih menjadi misteri bagi Badeng tentang apa yang terjadi kepada Kinan dan Siska waktu itu. Apakah mereka disembunyikan oleh Wongsamar? Ataukah hanya halusinasi karena kelelahan dan hipotermia? Adalah keganjilan, karena keduanya sama-sama mengaku diperbudak selama 12 Purnama oleh suku pedalaman. Mimpi yang sama. Halusinasi yang sama pula. Bagaimana bisa?
“Naskleng! Pengen ndas cang’e!” umpat Badeng sambil mengacak-acak rambut.
______________________________
Sialan! Pusing kepalaku!
_______________________________
Badeng hanya tamat SMA, tapi dari tamu-tamunya yang cendikia, Badeng mengetahui bahwa ada kalanya pendaki tersesat di dunia yang tak kasat. Orang Bali mereka menyebutnya dimangsa oleh Kala, Sang Dewa Waktu. Orang-orang yang lancang memasuki teritori Hyang Kala akan menghilang selamanya dalam pusaran waktu.
Sama seperti para pendaki yang menghilang di lereng Lawu, kemungkinan paling logis adalah Siska dan Kinan tak sengaja memasuki jembatan Einstein-Rosen, lubang cacing yang menghubungkan dunia ini dengan ‘dunia satunya’, atau katakanlah, ‘alur waktu yang satunya’, di mana tujuh hari di dunia ini sama artinya dengan satu tahun di dunia sana, dan itupun, kalau kau tak ingin menyingkirkan campur tangan ghaib untuk menghukum dua orang itu.
Karena, kau tahu, semesta selalu memiliki rencana.
Kasus hilangnya wisatawan yang dipandunya empat tahun lalu membuat Badeng kehilangan pekerjaan tentu saja, tapi jangan sebut ia Sang Pejantan Alfa kalau menyerah pada takdir Dewata.
Menganggur sebentar, Badeng diterima kerja di kapal Pesiar. Sebulan saja ia berlayar, sebab dari tante-tante perlente yang ditidurinya di kapal pesiar, Badeng mendapat rekomendasi pekerjaan di sebuah resor di Agde, kota kecil di tepi laut Mediterania.
Badeng tersenyum kecil, sama sekali tak mengira akan kembali ke tempat ini lagi. Lembah-lembah sungai itu selalu tampak familiar. Hangat dengan sawah-sawah bertingkat yang dipenuhi menghampar bagaikan beludru. Badeng menghentikan mobilnya di sebuah jalan tanah. Tempat itu tak jauh berubah. Ada sebuah setapak kecil yang mengarah pada sebuah sungai berarus deras, tempatnya memandu arung jeram dulu, tempatnya pertama kali melihat bidadarinya yang kehilangan selendang.
Hidup, adalah satu petualangan besar. Kau memulainya dari satu petak awal, status quo di mana kau adalah seorang bocah kecil dalam istana yang serba aman.
Lalu kau melangkah keluar dari zona nyaman, memasuki Terra Incognita, dunia yang tak diketahui, menjelajahi lembaran-lembaran peta dunia yang baru, petualangan-petualangan yang baru.
Dan ketika suatu saat kau kembali ke rumah, kau tak akan lagi sama, pengalaman akan membuatmu tak bisa memandang dunia sebagaimana engkau melangkah dulu, karena setelah semua itu, kau, bukan lagi orang yang sama.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Juli 1995
Kinan kembali ke rumah setelah berhari-hari menghilang. Kedua orangtuanya murka tentu saja, kau tak perlu heran kalau nama baik keluarga lebih penting dari nyawa anaknya, dan Kinan terlalu letih untuk peduli.
Seharusnya ia merindukan ini semua. Seharusnya ia menginginkan itu semua. Tapi setelah satu tahun tidur di tanah keras tanpa pakaian sehelaipun, rasa empuk dari bantal itu, justru membuatnya merasa tak nyaman!
Kinan beringsut ke lantai, lalu tersenyum sendiri menyadari betapa punggungnya kini menjadi lebih familiar dengan tekstur keras ketimbang permukaan empuk kasur pegas. Siska merentangkan tangan lebar-lebar, berusaha meresapi rasa dingin lantai marmer itu dengan telapak-telapaknya, dingin, membuat Kinan ingin menghayati semua itu dengan seluruh pori-pori.
Tangannya seperti memiliki keinginan sendiri, bergerak melepasi kancing demi kancing blouse putih semi transparan, tubuhnya terasa panas, dan entah kenapa, pakaian di tubuhnya ini terasa terlalu menganggu, dan kutang itu, huh! Betapa buah dadanya kini membenci seperangkat kait dan kawat dirasa membelenggu!
Dalam satu gerakan cepat bra berwarna hitam dengan renda merah hati itu menyusul terlempar ke sudut ruang, bersama rok panjang, dan celana dalam lycra semi transparan. Wajah Kinan perlahan merona, menyadari bahwa tubuhnya yang montok tak ditutup apapun selain pakaian kelahiran. Anehnya, Kinan justru merasa lega.
Belasan tahun berlalu, tapi Kinan belum juga bisa menjawab pertanyaan itu. Kenapa ada nilai-nilai yang menempatkan ketelanjangan pada konteksnya, kenapa ada nilai lain yang menganggapnya tabu. Bahwa dunia tidak bisa hanya dipandang dalam dua warna; hitam-putih, benar-salah, halal-haram.
“Kenapa ndak pakai baju?” (Kinan terkenang lagi percakapan dengan sang ibu)
“Ya, namanya saja mandi, pasti ndak pakai baju”
“Tapi apa mereka ndak malu bertelanjang di depan banyak orang? Ramai-ramai seperti itu? Bagaimana rasanya mandi di sungai, bu?”
Ibunya tak langsung menjawab. Pandangannya mengawang sejenak, sebelum akhirnya beliau berkata:
“Bebas…”
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
24 Desember 1999
“TUHAN YESUS!” suara Leo terdengar syok dari arah pintu. “Siska! Apa yang kau lakukan?!”
Siska terlonjak bangkit, sama sekali tak menduga kakaknya akan muncul dari pintu.
“Kau itu, kenapa membiarkan pintunya tak dikunci?!”
Siska hanya tercengir, tanpa berusaha menutupi ketelanjangannya.
“Ini kan kamarku! Lagipula kau yang salah, masuk tanpa mengetuk!”
“Bagaimana kalau bukan bukan aku yang masuk?”
“Lalu memang kenapa kalau orang lain yang masuk?”
“Bagaimana kalau kau diperkosa?!”
“Kan ada kau yang melindungiku, Leo?” Siska mengerling jenaka.
Leo menghela napas putus asa, sampai kapanpun ia tak akan menang berdebat melawan adiknya.
Siska meregangkan badan, lalu kembali aktif pada seperangkat komputer lipat di meja sambil menyesap kopi sesekali, dan Siska melakukan semua itu di depan Leo seolah-olah ia berpakaian lengkap!
“Setidaknya tutupilah tubuhmu!” dengus Leo yang mulai bersemu wajahnya.
Siska tercengir di balik kacamatanya. “Kau tahu, Leo. Ternyata inpirasiku hanya bisa datang ketika aku sedang telanjang bulat.”
Tangan Siska bergerak cepat di atas tuts komputer, mengetik baris demi baris kalimat di atas MS Word 95.
“Alasan palsu. Bilang saja kau menikmati bertelanjang di depanku!”
“Kau? Pemuda yang tak laku-laku? Hah? Jangan gede rasa, kau! Siapa juga yang menikmati telanjang di depanmu!” wajah Siska kini juga agak bersemu.
“Buktinya kau tidak pernah memakai baju di depanku!”
“Aku memang tidak pernah memakai baju ketika di apartemen, tapi itu bukan berarti aku menyukai bertelanjang di depanmu!” sengit Siska.
“Tapi bagaimanapun juga aku kan tetap laki-laki!”
“Kenapa memang?!” Siska berdiri menantang. Membiarkan buah dada dan pangkal pahanya yang tak berbulu terpampang di depan mata kakaknya.
Wajah Leo makin bersemu, mati-matian ia menjaga kontak mata dengan tubuh adiknya yang kini telah dewasa, dan dadanya yang berisi implan itu, sialan! dada adiknya terasa semakin menggoda!
Siska mengerling jahil. “Jangan bilang kalau ternyata diam-diam kau berhasrat kepada tubuh adik kandungmu sendiri, Leo?”
Wajah Leo seketika berubah panas.
Siska tergelak puas.
“Aku nudis, Leo. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Ini adalah aku yang sekarang,” pungkas Siska, nadanya menegas.
Usaha keluarganya bangkrut dihantam Krisis Moneter tahun 1997, dan setelah Orde Baru jatuh dihantam reformasi tahun 1998, sang ayah ikut terjerat kasus korupsi BLBI. Departement Store milik keluarga besarnya di Jakarta habis dijarah dalam kerusuhan rasial. Kakeknya yang anggota DPR mangkat, dan ibu tirinya depresi berat.
Mungkin hanya Siska yang tidak peduli dengan semua itu, karena ia tahu, bahwa segala kebendaan dan harta duniawi hanyalah kesementaraan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Petualangan itu yang mengajari itu. Setahun berada dalam kondisi yang lebih rendah dari hewan membuat Siska mengetahui bahwa selalu ada yang lebih buruk dari hidupnya.
Siska telah merasakan kematian, dan itu membuatnya bisa menghargai betapa indah kehidupan.
Beasiswa yang diperolehnya dari sebuah yayasan membolehkan Siska lepas dari kungkungan keluarga, kuliah seni Perancis, dan menjalani kehidupan seperti apa yang dinginkannya selama ini. Keluarganya bahkan tak berhak melarang, karena kini Siska samasekali tak menyentuh sepeserpun harta ayahnya, meski harus memulai semuanya dari nol.
Adalah Naked Adventure, novel petualangan dalam bahasa Inggris yang ditulisnya satu tahun lalu dan terinspirasi dari perbudakannya waktu itu, dan hey, siapa yang mengira cerita stensilan dewasa itu bisa laku terjual di benua Eropa! Penerbit menuntutnya menulis sekuel, Naked Adventure II yang sedang ditulisnya ini,(Siska membayangkan akan menulis cerita dengan latar dokter cantik yang diperbudak oleh suku pedalaman di pulau tropis di Samudra Pasifik!) tapi kita simpan itu untuk nanti, karena setidaknya royalti kini bisa membuatnya tidak terlalu bergantung dari honor model telanjang yang tidak seberapa.
Leo menghela napas berat, menatap mata Siska yang kini balik menantang tajam. Adik kecilnya itu sudah berubah kini.
“Kau berubah.”
“Dan kau tetap menjadi orang yang membosankan, Leo,” dengus Siska sambil memperbaiki letak kacamata. “Kau datang jauh-jauh dari Indonesia hanya untuk menceramahiku? Kupikir kau datang ke sini untuk merayakan tahun Baru!”
Leo tersenyum.
Leo duduk di samping Siska yang bersila menghadap perapian. Di luar salju malam natal turun bersama Paris yang berubah putih oleh kabut. Gemertak bara membaurkan panas api kepada tubuh keduanya.
“Tapi aku senang kau bisa mencapai cita-citamu. Dan aku yakin Mama juga… seandainya ia masih ada.”
Siska ikut tersenyum.
“Kau sendiri? Leo Si Budak Korporat. Bagaimana rasanya meniti karir dari nol tanpa koneksi orang tua?”
“Bulan depan aku dipindahkan ke cabang Paris.”
“Oh, ya?” Siska membeliak antusias, “Kau tinggal di apartemenku saja! ya? ya? ya?”
“Aku tak mau merepotkan.”
“Tidak apa-apa, aku yakin cewekku tidak akan keberatan.”
“Eh?” Leo membelalak tak percaya, “Kau berpacaran dengan Kinan, Siska?”
Wajah Siska terangkat. “Bukan. Tapi kenapa kau bertanya seperti itu, Leo?”
“Kau masih berhubungan dengan Kinan?!” cecar Leo
“Kau tak suka aku berteman dengan Kinan?”
“Tak usahlah kau berurusan lagi dengan dia,” dengus Leo. “Lihat sendiri akibatnya! Kau pernah hampir mati gara-gara dijerumuskan oleh anak itu.”
“Aku memang salah waktu itu karena terlalu mempercayainya!”
“Dan sejak awal aku sudah menduga ada yang salah dengan anak itu!”
Siska terdiam, menatap balik kakaknya.
“Kinan memang tidak normal sejak awal. Dia diperkosa di umurnya yang keduabelas, kau tahu, Leo?!”
Leo tak menjawab.
“Korban perkosaan memiliki cara pikir yang rusak setelah dilecehkan, dia akan selalu mengganggap dirinya tak berharga. Keluarga yang seharusnya mendukung, malah menyalahkan Kinan karena menganggapnya sebagai aib keluarga!”
Selalu ada yang lebih malang dari dirimu, Siska berkata, kepada dirinya sendiri.
Kinan. Ah, Siska menghela napas berat, setelah sekian lama kenapa ia teringat lagi nasib sahabatnya itu.
Seperti janji yang telah dibuat, sepulangnya ia ke Jakarta berkali-kali Siska mengirim surat untuk berkorespondensi, tapi hingga bertahun-tahun Kinan tak pernah balik menyurati. Berkali-kali, tapi tak pernah ada jawaban. Hingga akhirnya ketika lulus sekolah, Siska berani bertandang ke rumah Kinan, tapi tak ada siapapun. Sahabatnya telah pidah tanpa pemberitahuan.
Dari Badeng yang menyuratinya kemudian, Siska baru tahu, kalau Kinan sudah lama dibuang oleh keluarganya.
Siska tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dalam surat itu Badeng mengatakan kejiwaan Kinan yang sakit sejak awal bertambah parah akibat penyekapan oleh suku gaib itu. Badeng sedang menengok Pekak Gedang di Sanatorium tak sengaja bertemu dengannya.
Dalam suratnya Badeng bercerita, setelah kejadian itu Kinan semakin binal dan lacur, telanjang bulat dan menjadi budak seks membuat Kinan seperti ketagihan untuk dilecehkan, dan mulai tidak bisa mengenakan pakaian. Puting payudara semakin sensitif, kulit kemaluannya klitorisnya nya semakin besar dan sangat peka terhadap rangsangan, sehingga anak itu bisa orgasme hanya dengan sedikit sentuhan.
Kinan masih bisa bertahan setahun hingga acara kelulusan, hingga ketika ia kembali dipukuli akibat ketahuan tidur tanpa busana, Kinan meledak. Ia melepaskan pakaian saat konvoi kelulusan, setelah sebelumnya membiarkan anak-anak cowok menggilirnya satu persatu di ruang kelas.
Ayahnya mengira si bungsu ketempelan jin penunggu gunung dan mengundang Ustaz untuk meruqyah Kinan, ibunya mengirim Kinan ke Psikiater, Budhe-nya mengundang orang pintar, lalu ketika semua usaha gagal, dan Kinan ditangkap polisi karena telanjang di tempat umum, keluarganya menyerah.
Kinan dimasukkan ke dalam Padepokan Spiritual di lereng gunung, sanatorium asri yang dikelilingi hamparan bunga krisan, tempat Pekak Gedang juga dirawat, kalau kau masih ingat.
─dan di situlah Badeng menemukan Kinan setelah sekian lama:
Kinan dipasung di balik jeruji kayu, telanjang bulat, dan menandak-nandak birahi di atas sebuah dildo kayu yang disiapkan untuknya.
Kinan menatap nanar ke arah Badeng, nyaris tak mengenali, hanya sepasang mata di mana Badeng seolah bisa melihat seorang gadis kecil yang terpenjara di alam bawah sadar.
Tapi saya diperkosa, isak Kinan kecil.
Tak ada anak yang diperkosa berkali-kali! Kau tidak diperkosa! Kau menikmati!!! jerit ayahnya murka, sebelum menghantamkan tinju demi tinju.
Kinan kecil hanya bisa menangis dalam diam.
Ada yang hancur tapi tak bersuara.
Ada yang perlahan mati, bersama dirinya yang lama.
─dan sejak hari itu, Kinan tak pernah lagi sama.
Empat tahun lebih tidak mengenakan pakaian sama sekali telah menggelapkan kulit Kinan menjadi tan kecoklatan yang eksotis. Lapisan lemak-lemak tubuhnya terbakar, menyisakan seperangkat tubuh sekal yang padat dengan sepasang buah dada yang montok dan kenyal. Rambut ikalnya yang memanjang sepunggung, digelung indah di kepala, mengungkap lehernya yang jenjang mulus.
Kinan berjalan percaya diri, di antara keramaian dan pejalan kaki. Di kirinya adalah resor mewah, dan di sebelah kanan adalah hamparan pasir dan gelombang biru, dan Kinan melenggang di antara semua itu tanpa pakaian ataupun alas kaki.
Dari jalan-jalan yang dikeraskan dengan batu-batu Kinan berjalan melewati deretan resto dan toko-toko cinderamata, bangunan-bangunan dengan fasad bergaya Mediterania yang memiliki jendela-jendela melengkung dan dinding-dinding dilapisi tanah liat.
Cahaya lampu jalan tampak remang dari tiang-tiang kehijauan yang berukir jatuh di atas tubuhnya yang tak berhalang. Dari Café dengan payung-payung hijau terdengar musik Bossanova yang dimainkan empat orang pemusik bergitar akustik dan bass betot. Sementara aroma ikan hering yang dibakar dengan bumbu zaitun tercium menguar dari deretan resto yang berjajar di pinggir pantai. Di kejauhan kau bisa melihat deretan lampu-lampu dan siluet layar yacht yang ditambat di dermaga kayu.
Sebuah Bar dengan dekorasi merah-kuning-hijau dan daun ganja memutar musik Reggae, beberapa turis berpakaian minim berjoget menandak-nandak, larut dalam pengaruh alkohol dan amfetamin. Lalu lalang wisatawan yang mengenakan celana bunga-bunga dan kaus kutang berjalan di atas pedestrian, bersama skuter Vespa yang terlihat sesekali.
Dan Kinan berjalan di antara semua keramaian itu. Telanjang, bulat, tanpa sehelai benangpun sebagai penutup aurat. Pandangannya tegak menantang, menikmati tatapan para pejalan kaki pada bagian-bagian intim tubuhnya. Kinan selalu menyukai ini, sensasi dimata putingnya mengeras dan klitorisnya ereksi penuh ketika dipandangi dalam kondisi tanpa busana. Dorongan erotis yang selalu berhasil membuat liang senggamanya berkedut-kedut dan membasah menuntut disetubuhi. Kinan sempat tergoda untuk menyentuh dirinya sendiri, mengangkang, di tengah alun-alun ramai itu, lalu masturbasi di antara para wisatawan, mungkin ia akan digilir oleh turis-turis kulit hitam dari Nigeria, sebelum diangkut oleh aparat hanya untuk diperkosa dalam penjara sambil diinterogasi.
Buah dadanya yang semakin montok berguncang indah. Vaginanya yang dicukur bersih mengkilap basah, bahkan jika kau jeli memperhatikan, kau akan melihat lelehan segar lendir kenikmatan di sepanjang paha dan betisnya yang kini sekal padat oleh otot-otot liat.
“Kau melupakan ini!” suara seorang pria terdengar di belakang Kinan. Tangannya bergerak mengulur, meyodorkan sebuah kalung kulit dengan rantai, kalung anjing.
“Guk! Guk!” Kinan menjulurkan lidahnya sambil menyalak jenaka.
“Kau harus mengenakan ini, kalau tidak aku khawatir kau akan menggila dan menyetubuhi pejantan tak dikenal!” selorohnya.
Kinan tersenyum ikhlas lehernya di pasangi kalung anjing, sementara Badeng yang berpakaian lengkap berjalan di belakangnya layaknya seorang majikan yang mengajak peliharaannya berjalan-jalan.
Ada sebuah Pasar Malam di sebuah alun-alun kecil di pinggir pantai, lengkap dengan tenda-tenda putih berbentuk kerucut berisi berbagai macam dagangan. Terdengar suara musik Polka yang mengalun dari badut yang mamainkan akordion di samping seorang penyembur api. Juga asap kanabis yang mengepul dari stand hash brownies seorang Belanda.
Badeng membelikan Kinan gula-gula kapas.
“Hubungan kita ini abnormal,” kata Kinan, sambil membiarkan Badeng menggandeng tangannya.
“Aku tahu, tapi akupun tidak mencari hubungan yang normal.”
“Badeng, aku gila. Kau tak harus mengeluarkanku dari Rumah Sakit Jiwa itu!”
“Lalu kenapa? Dulu sekali aku sudah pernah bilang, Kamu bisa jadi peliharaanku kalau mau, dan kamu tidak perlu mengenakan baju lagi, telanjang bulat untuk selamanya.”
“Kau tidak jijik denganku? Aku hiperseks!”
“Maka aku adalah Dewa Seks! Kau tahu Kinan? Sebenarnya ayahku adalah Dewa Zeus, dan aku diturunkan ke Bumi untuk menjadi pemuas nafsu para wanita. Kinan, aku adalah Penjantan Alfa-mu. Cuma aku yang berhak membuatmu ȯrgȧsme berkali-kali. Dengan cara apapun yang kau inginkan,” tegas Badeng.
Mata Kinan agak berkaca.
“Come,” Badeng menggandeng tangan Kinan. “Kalian berjanji akan bertemu di sini, kan?”
Di kejauhan mulai menyala kembang api mewarnai langit. Suara alunan musik tedengar makin rancak dari panggung besar pertanda malam pergantian tahun bergerak menuju puncak.
Tiga orang gadis Jepang memainkan musik Surf Rock di atas banggung, telanjang bulat, hanya dengan bando berbentuk telinga kucing, sementara di bawahnya ratusan orang menandak-nandak tanpa busana atau hanya dengan body paint, bersiap merayakan malam pergantian tahun di di Cap D’Agde, resor nudis, di kota kecil di Perancis Selatan, tempat Kinan dan Badeng tinggal selama 3 tahun terakhir.
Samar-samar barangkali, tapi Kinan mengenali Siska berjalan santai di antara para wistawan, tubuhnya jug tak ditutupi apapun. Hanya sepasang sandal jepit, tas selempang kecil, dan kacamata yang ada di atas tubuhnya yang semakin seksi.
“Siska, kau yakin ini legal?!” tanya Leo takut-takut.
“Ini Cap d’ Agde, Ibukota para kaum Nudis! Siapapun boleh bertelanjang di kota ini!” Siska melambai ke arah Kinan yang menghambur ke arahnya.
Siska berteriak merdeka, menggabungkan diri ke dalam ratusan manusia tanpa busana yang berlonjak-lonja merayakan kebebasan.
Ledakan kembang api membentuk ribuan garis-garis cahaya di udara. Dunia menuju abad baru, dan sama seperti semesta yang senantiasa bergerak menuju kebaruan, kau tak akan pernah lagi sama.
“Kinan?” Siska melirik jahil. “And congratulation for the wedding.”
Kinan tersenyum dan menggenggam tangan Badeng erat.
Di jari mereka berdua melingkar cincin.
Tapi Kinan tak keberatan kalau seumur hidup harus menjadi peliharaan…..
….dari orang yang paling dicintainya.
.