Nirwana Part 46

0
873

Nirwana Part 46

Sepasang Jantung yang Saling Bedegup

Lembayung warna jingga memayungi areal persawahan dan mobil mini cooper yang melintas perlahan. Ava menurunkan visor, agar matanya tidak terlalu silau tertimpa sinar matahari yang menyeruak dari balik pohon kelapa di kejauhan. Di bangku belakang, duduk Indira yang tercenung memandangi barisan pematang yang bertingkat, setelah barusan menerima telepon dari ayahnya yang hendak boarding.

“Jangan dipikirin, gek… nanti Kak Gede juga ikut kepikiran…” Lucille yang duduk di samping Ava membuka suara. Indira tidak menjawab, hingga hanya ada hening sampai mobil tiba di candi bentar Villa Pak De.

Kadek yang duduk di teras, menyerbu Ava dengan pertanyaan, “Ajik gimana? Sudah berangkat? Sehat?”

“Sehat Dek, sudah boarding barusan.”

Kadek manggut-manggut. “Oh iya… Sheena…”

“Kenapa?”

“Ng… anu… Tadi pamit…” Kadek terdiam lama.

“Hah? sekarang anaknya mana? Udah berangkat?” Ava berkata, sedikit panik.

“Hoi!” Sheena berteriak, tiba-tiba muncul dan cengar-cengir sambil menggotong ranselnya. Ia sudah mengenakan pakaian kebanggaannya celana jins belel dan jaket jins lusuh penuh emblem band punk, lengkap dengan kaca mata hitam model retro.

“Kak Na? mau ke mana?” Indira berkata, agak khawatir.

“Pulang kampung, hehehe.” Sheena mencoba tertawa, tapi ada riak di wajahnya yang tidak bisa dibohongi saat Indira menggenggam tangan Ava. “Ini mau dianter Kadek sampai terminal Batu Bulan. Yuk, Dek.” Sheena melangkah buru-buru ke arah vespa Kadek saat Indira menggamit lengan Ava semakin erat.

Kadek menghela nafas menyadari raut Ava yang juga mendadak berubah. “Aku harus bantu ngelawar di rumah… Ava aja yang nganter ya…”

“Apa?”

Kunci motor melayang di udara, dan segera ditangkap Ava. Bersamaan dengan Indira yang menghambur memeluk Sheena.

“Kak Na!” Indira mendekap tubuh Sheena, erat. “Kak Na, balik lagi, kan?”

“Iya… Balik lagi kok… Pasti…” Sheena membelai rambut Indira. “Pasti…” Sheena berbisik lagi, kali ini untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Indira tertawa, tapi sedikit tercampur tangis yang tercetus satu-satu. “Sedih, banget sih… tadi habis ditinggal Ajik, sekarang ditinggal Kak Na…”

Sheena mencoba tersenyum. “Kan udah ada Tante Lucille… dan…” Sheena terdiam, “Ava…”

Indira tak mejawab, hanya memeluk Sheena erat-dan lebih erat lagi. “Dira… sayang Kak Na….”

Dan Sheena pun tahu, ia juga sudah jatuh sayang pada Indira, dan Sheena tak ingin Indira kehilangan lebih banyak lagi.

= = = = = = = = = = = =​

Demikianlah, hidup seperti dua sisi uang logam yang saling bertautan. Gelap-Terang, Hidup-Mati, Paradiso-InfernoRwa Bhineda[SUP](1)[/SUP]. Dan pada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan setiap yang hilang akan digantikan oleh yang datang. Semua berputar terus dan saling balik membalik, seperti roda kehidupan, yang terus melaju tanpa tahu kapan akan terhenti.

Dan sepanjang perjalanan itu, mulut Sheena tetap mengatup. Sheena hanya bisa melingkarkan tanganya di pinggang Ava, meresapi. Menikmati perjalanan yang pasti akan berakhir. Seperti hidup, yang hanya menempuhi satu titik ke titik lain sebelum berakhir di penghujung.

“Have to go…” kata Sheena begitu sampai di tujuan.

“Hati-hati, ya…” Ava tersenyum, dan Sheena mendapati lagi tatapan itu.

Sheena mengangguk, tak sempat menjawab. Karena sedetik kemudian ia sudah mendapati tubuhnya berada dalam rengkuhan Ava.

Sheena memejam, sedapatnya menikmati hangat yang membungkus seluruh tubuhnya, dan pasti akan terlepas, entah sedetik atau tiga detik yang akan datang. Sheena menyadari itu: ia, kamu, kita, semua… tidak pernah memiliki. Bumi yang ia pijak, juga langit yang membentang berlapis-lapis di atasnya bukanlah kepunyaannya.

Bahkan nyawa yang mengalir di darahnya, dan sepasang jantung yang saling berdegupan hanyalah barang titipan yang bisa diambil sewaktu-waktu. Dan Sheena, sudah dipinjami tiga hari terindah dalam hidupnya.

Juga 15 detik dalam dekapan yang tak pernah ia lupakan.

Semua hanya titipan.

Dan kita tidak akan pernah merasa kehilangan.

Karena kita tak pernah memiliki.

Sedetikpun.

Bersambung

Daftar part