Nirwana Part 45

0
846

Nirwana Part 45

4 Sosok yang Kembali Memeluk

Bandara Ngurah Rai sedang dalam tahap renovasi. Harus berjalan cukup jauh dari tempat parkir menuju terminal keberangkatan Internasional. Maka Ava mengarahkan mobil Lucille ke Lobby terminal keberangkatan, agar Pak De tidak perlu berjalan terlalu jauh.

“Ajik yakin berangkat?” Kata Ava, saat mobilnya dipotong oleh taksi yang menurunkan penumpang.

“Hahahaha… lihat saya sudah seger gini.”

Ava melihat gerak-gerik gurunya yang sudah kembali lincah, dengan sinar mata yang kembali menyala-nyala. Setelah mendapatkan transfer enegi dari Lucille, mendadak Pak De kembali bugar, nafasnya yang tadinya sesak, sekarang ringan, dan rautnya yang tadi kuyu kini nampak cerah dan bersemangat, dan Ava tahu tidak ada kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan kejadian ini melainkan: keajaiban energi kosmos itu memang eksis.

“Tapi sampai Paris jangan lupa cari dokter ya,” pesan indira

“Halah, buat apa, hahaha…” pak De berkata sambil mengeluarkan kotak rokoknya. Indira segera merebut dan memasang wajah cemberut.

“Eh, bandel, ya! Pokoknya Ajik nggak boleh ngerokok lagi!” Indira berkacak pinggang, dan Pak De cuma cengar-cengir hingga sulit membedakan yang mana ayah, yang mana anak.

Ava menghentikan mobilnya di lobby, Lucille turun, mengeluarkan koper dari bagasi, dan dengan sigap segera dibantu sang pemuda.

“Jik, saya parkir mobil dulu ya.” kata Ava sebelum meninggalkan Pak De, Indira, dan Lucille bertiga.

= = = = = = = = = = = =​

Pak De menghela nafas panjang merangkul Indira, sementara Lucille memperhatikan dari kejauhan, memberi kesempatan ayah dan anak itu berbicara empat mata.

“Indira, Ajik sudah tua… Mama dan Kak Raka sudah nggak ada…” Pak De menarik nafas, berat. “sebentar lagi Ajik berangkat ke Paris… kalau misalnya ada apa-apa sama Ajik…”

“Ajik!” Indira menyelak cepat. “Jangan ngomong aneh-aneh, deh!”

“Hidup ini… cuma sementara, Gek… kita cuma mampir…”

“Ajik! Dira nangis, nih! Kalau Ajik masih ngomong yang aneh-aneh!” Indira setengah mengancam, karena memang matanya mulai berkaca-kaca.

Pak De terbatuk pelan. “Ajik, sudah pesan sama Ava. Buat jaga kamu, kalau Ajik nggak ada.”

“Ajik ngom-“ Indira tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, Pak De keburu menukas.

“Ajik sudah minta Ava jadi suami-nya Dira, kalau ada apa-apa sama Ajik.”

Indira terhenyak sejenak, sebelum berkata, “Jangan ngarep yang aneh-aneh, deh! Ajik kan tahu kita sama Ava itu beda! Ava yang nggak bakal mau, Ajik ngerti?”

“Kalau misalnya Ava mau?”

Kali ini Indira tak menjawab.

“Indira… tresna teken Ava?[SUP](1)[/SUP]”

(1) Indira cinta sama Ava?

Indira masih tidak menjawab. Namun sepasang mata yang takut mengharap itu, bisa menjawab pertanyaan sang ayah.

Sesaat kemudian, hanya ada keheningan di tengah keramaian, mereka berdua seperti meresapi kebersamaan yang terasa semakin singkat berlalu. Hingga akhirnya, Ava berlari tergopoh dari arah tempat parkir, menghampiri Pak De.

“Tempat parkirnya jauh… banget…. saya kira Ajik sudah berangkat….”

Pak De tersenyum, melihat pangeran harapannya datang.

“Ajik, sehat-sehat ya…” Ava memeluk tubuh tua Pak De, tulus, erat. Hingga membuat mata Pak De sedikit berkaca menerima peluk yang hangat itu.

Pak De menepuk-nepuk punggung Ava, dan berkata. “Ava, kamu tahu? Tahun 1990, Freddie Mercury yang sedang sekarat nekat take vokal untuk lagu The Show Must go on. Hahaha…”

Bulu kuduk Ava merinding mendengar kata “Sekarat”

Pak De merentangkan tangannya, membiarkan Indira ikut menghambur ke dalam rentangan lengannya. Pak De melirik ke arah Lucille yang tersenyum melihat mereka, sebuah anggukan kecil dari Pak De cukup sebagai isyarat bagi Lucille untuk bergabung, menjadi 4 sosok yang saling memeluk.

Hangat, sekaligus perih. 10 tahun merupakan waktu yang lama bagi Indira untuk kembali merasakan pelukan yang lama ia rindukan. Dan sebentar lagi ia akan berpisah dengan kehangatan yang singkat ini. Malam ini tangis Indira pecah tanpa bisa ditahan lagi.

“Indira jegeg, jangan na’e nangis gitu…” Pak De menepuk-nepuk kepala Indira. “Ava, jaga Indira ya…”

Ava mengangguk.

“Sama yang tadi saya bilang itu…”

Kali ini Ava mematung, membiarkan Pak De diantar Indira sampai pintu masuk.

Lucille menggigiti bibir bawahnya, memandangi Pak De yang sedang diperiksa tiketnya oleh petugas.

“Kak Gede!” Lucille berseru.

Pak De menoleh, belum sempat menyahut, dan Lucille kembali menghambur kikuk ke dalam pelukannya.

“H-hati… hati ya…” Lucille terbata.

Pak De mengangguk, menggenggam tangan Lucille erat. “Titip anak-anak saya ya, Gek.” Pak De tersenyum, karena ia lagi-lagi mengucapkan bentuk jamak untuk kata ‘anak’.

Pak De melambai ke arah Ava dan Indira yang saling menggenggam tangan, sebelum menghilang di balik pintu geser dan roda mesin x-ray yang terus berputar. Seperti roda kehidupan.

Indira mengusap matanya yang tak henti berair. Ia merasa, kali ini sepertinya ayahnya akan pergi jauh, sangat jauh.

Bersambung

Daftar Part