Nirwana Part 41

0
869

Nirwana Part 41

Mencari Harapan

Bulan sabit yang bersinar dua hari yang lalu kini berganti bulan mati yang hitam, membuat langit Ubud demikian legam. Malam itu hanya ada cahaya bintang yang bersinar ragu-ragu, juga hening yang diselang-selingi suara salakan anjing yang melolong-lolong entah dari mana.

Sampai terdengar deru skuter butut menyeruak, memecah hening dengan bising yang mengganggu.

“Ajik sudah berangkat?” tanya Kadek, saat memarkir skuternya di halaman Villa.

“Sudah 3 jam yang lalu.” Sheena menyahut tanpa menoleh, sibuk menggoreskan pensil di atas sketch book di teras.

“Aduh.” Kadek menepuk kepalanya. “Padahal saya mau pinjam blakas[SUP](0)[/SUP], buat besok.”

“Oh, iya.. Ajik tadi nitip ini sama saya.” Sheena menyodorkan parang yang dibungkus koran.

“Oh, sip… sip…” Kadek mengangguk lega. “Eh, kamu nggak ikut ke Hotel Patra?”

Sheena menggeleng.

Dirinya bisa membayangkan situasi di pesta nanti, orang-orang yang tertawa-tawa dan gelas sampanye yang saling berdenting, dan malam ini Sheena sedang tak ingin mual.

Dan lagi, setelah kejadian di sungai kemarin, membuat hubungannya dengan Indira sedikit canggung.

“Eh, tadi Indira pergi pakai baju apa? Cantik, nggak?”

“Cantik,” Sheena menjawab pendek, dan kembali sibuk pada sketsanya.

Sheena menghela nafas. Ia tahu, dirinya bukan cinderella, dan tak akan ada ibu peri yang menyulap gaun dan kereta dari labu untuknya, terlebih lagi: malam ini ia sedang tidak ingin dibandingkan dengan bidadari.

Sheena menatap langit yang tak berbulan, mencari harapan.

0. blakas: parang

 

= = = = = = = = = = =​

Besok malam Pak De berangkat ke Paris untuk menghadiri pameran tunggalnya di Louvre. Malam ini dia mengadakan semacam perjamuan untuk kolega dan sesama seniman di The Patra Bali Resort, kompleks hotel dan Villa yang terletak tepat di utara Bandar Udara Ngurah Rai.

Kolam yang membentang tepat di tepi laut nampak berkilauan ditimpa nyala puluhan obor yang dipasang di sekitar lokasi acara. Beberapa tamu dan undangan, dari seniman hingga Gubernur Bali mulai tampak memadati taman dan meja-meja yang dipenuhi hidangan internasional, sambil diiringi alunan musik live yang dimainkan melalui grand piano dan seorang biduanita yang tak henti bernyanyi.

Lima layar raksasa dibentangkan dan di sorot dengan proyektor, memamerkan foto lukisan Pak De yang diberangkatkan ke Paris, membuat tamu yang datang berdecak kagum melihat keindahan tubuh-tubuh telanjang yang terpampang di sana.

Sang Mestro sendiri berdiri layaknya bangsawan flamboyan, berdiri gagah dengan segelas sampanye di tangan sambil dikelilingi tamu-tamu kehormatan yang menatap kagum ke arahnya, termasuk Ava. Pemuda itu hanya bisa berdiri dari kejauhan, memandangi seniman idolanya dengan takzim dan penuh kekaguman.

“Hei, bengong aja! Pasti ngeliatin cewek cantik, ya.” Indira sudah berdiri di samping Ava, melirik ke arahnya. “Ih, nggak rapi banget, sih!” omel Indira.

“Ah, masa?” belum sempat Ava menjawab, tahu-tahu Indira sudah berdiri tepat di hadapannya, memperbaiki kerah baju Ava. Sekujur otot Ava mendadak kaku, melihat bidadari mungil yang tersenyum cerah tepat di depan mukanya.

Malam ini Indira mengenakan dress backless panjang warna krem, menggantung anggun dari leher, dan menampakkan jelas lekuk tubuh sang bidadari.

“Masa nggak rapi sih, kan malu.. hari ini banyak datang kenalannya Ajik, tahum” Indira mengomeli Ava.

“I-iya.” Ava tergagap-gagap, berusaha tidak melirik sepasang payudara yang menyembul dari balik dress Indira..

“Nah, gini kan cakep…” Indira tersenyum. “Apalagi brewoknya sudah hilang, hihihi…”

Kamu juga cantik, batin Ava, memandangi wajah Indira yang dipulas make up warna nude.

“Hi, geourgeus!”

Indira segera menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

Begitu melihat siapa yang datang, sontak Indira berlonjakan girang, “Tante Lucille!” jeritnya.

Musik berdenting dari grand piano di pojokan, Sang Biduan menyanyikan lagu yang mengalun merdu, mengiringi sepasang langkah anggun yang saling beradu dengan lantai marmer, dan kian mendekat.

“You’re just too good to be true
Can’t take my eyes off of you
You feel like heaven to touch
I wanna hold you so much”

Wanita itu demikian anggun dalam balutan gaun gombrong hitam. Lehernya putih jenjang dengan kalung manik-manik yang menjuntai di antara rambutnya yang pirang tergerai. Di Kupingnya menggantung sepasang anting dari kulit kerang sebesar tutup gelas, dan di jarinya yang lentik penuh dengan berbagai macam cincin.

Kecantikan yang eksentrik, batin Ava sambil terus mengamati.

“Tante apa kabar? Rumahnya masih di Renon, kan? Tante ke mana aja? Aduuuuh, lama banget nggak ada kabar?” repet Indira sambil menghambur ke arah seorang wanita bule itu.

“Keliling dunia!” Lucille berputar-putar riang seolah menegaskan bahwa dirinya sudah mengelilingi dunia 360 derajat penuh. “Tante belajar meditasi di India, terus belajar Reiki Tummo di Tibet, terus… eh,Indira gimana kabarnya? Aduuuh tambah jegeg aja ponakan tante!” katanya sambil mencubit pipi Indira.

Ava memahami dari mana asal dandanan tante Indira yang eksentrik itu. Memahami bagaimana wajahnya yang sudah sedikit berkerut itu, masih bisa memancarkan aura keanggunan yang menawan. Kalau Indira adalah Bidadari, maka Lucille adalah Ratu Peri. Caranya bergerak, dan caranya berbicara mengalun anggun begitu saja, seperti alunan lagu yang menari di udara.

“Pardon the way that I stare
There’s nothing else to compare
The sight of you makes me weak
There are no words left to speak”

“Let me guess…” Lucille melirik ke arah Ava yang masih bengong melihat wanita bule yang fasih berbahasa Indonesia. ”…ini pasti tunangannya Indira, yang sering dibilang sama Kak Gede, ya?”

Wajah keduanya sontak memerah. “B-bukan… b-bukan… kok…” Ava dan Indira saling menggeleng, salah tingkah. Ava mengambil sebuah pai buah, indira buru-buru menenggak segelas sirop. Lucille tersenyum-senyum melihat tingkah keduanya.

“Oh- i-ya… K-kenanil… eh… kenalin… Ava… ini tanteku, adiknya… mama…”

“A-va..” Ava ikut salah tingkah, bersalaman dengan kikuk.

“D-dira k-kira… keluarganya mama nggak ada yang ke sini…” Dira mencoba mengalihkan bola panas yang ada di tangannya.

Lucille tersenyum. “Enggak lah, itu adiknya Kak Gede juga ada, kan?” Lucille menunjuk ke arah seorang pria paruh baya berambut putih berbincang dengan Pak De di ujung seberang. Paman Indira dari keluarga ayahnya, Oom Mantra.

= = = = = = = = = = =​

“Hahaha selamat ya, Bli Gede.” katanya sambil memeluk akrab.

Pak De tergelak, “Suksma… suksma..[SUP](1)[/SUP] haha…”

“Beh, ikut bangga saya jadi adiknya Bli Gede… Jarang-jarang ada pelukis Indonesia pameran di sana.”

“Jeg jelas, toh![SUP](2)[/SUP]” Pak De tergelak, semakin Jumawa. “Mau cigar? Cuban ini.” Pak De menyodorkan cerutu ke arah adiknya.

Mantra menggeleng “Saya sudah stop…”

Pak De terkekeh. “Beh nduk sajan…[SUP](3)[/SUP]” Pak De menyalakan cerutunya, mengepulkan asap ke udara sambil terbatuk.

“Sing pedalem ragan bli’a… suba lingsir… da ja ngeroko buin… jeg pedalem paru-paru ne…[SUP](4)[/SUP]”

“Beh, sante gen[SUP](5)[/SUP]… hahahaha… uhuk… huk…” tawa Pak De tersedak asap cerutu.

“Jeg beler, gen! sing dadi orahin![SUP](6)[/SUP]” Mantra menggeleng-geleng, sebal.

1. Terima kasih… terima kasih…
2. Sudah jelas dong…
3. Wah, payah sekali
4. Nggak kasihan badannya kakak? Sudah tua. Jangan merokok lagi lah. Kasihan paru-parunya.
5. Santai saja…
6. Bandel banget, sih! Nggak bisa dikasih tahu.

Pak De kembali tergelak-gelak sambil diselingi batuk dan asap yang tak henti mengepul dari mulutnya.

“Oh iya, Dewa mana? saya nggak sabar pengen segera punya ponakan Dokter.”

Tawanya yang tadi jumawa mendadak menguap ke udara. “Sudah putus… sudah nggak sama Indira lagi…”

Mantra menghela nafas, menepuk pundak kakaknya. “Sudah saya kira sebelumnya. Keluarga mana yang mau anak laki-laki seganteng Dewa itu diambil orang.”

“Begitulah, memang susah nyari orang yang mau nyentana.” wajahnya yang dari tadi cerah perlahan berubah mendung.

“Terus bagaimana, bli..? Indira sudah besar, Bli Gede juga sudah semakin tua… Kalau misalkan Bli Gede sudah nggak ada, siapa yang mebanten…? Indira?”

Pak De memilih diam, mengangkat kedua bahunya.

“Bli, di antara keluarga kita, Bli Gede anak tertua, dan bli juga yang paling sukses. Tapi jangan sampai melupakan akar adat kita, merajan kita.”

Suasana pesta begitu ramai, namun Pak De merasakan kesepian yang teramat.

“Terus terang, i raga pedalem ajak bli… tusing ngelah panak muani…[SUP](7)[/SUP]”

7. Terus terang saya kasihan sama kakak, nggak punya anak laki-laki

Pak De melirik ke arah Indira dan Lucille yang terpingkal-pingkal mendengar lelucon Ava di kejauhan. Mendadak mata Pak De berkaca-kaca, mencari harapan.

 

To Be Continued​

 

Glosarium

Merajan: Tempat pemujaan sebagai hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan.

Merajan disini adalah Pura utama bagi keluarga besar yg masih terikat hubungan keluarga atau marga yg sama. Lokasi Merajan biasanya ada di rumah induk dari cikal bakal keluarga bersangkutan.

Mebanten: Sajen berasal dari kata sesaji artinya menyajikan, kalau di Bali disebut juga Banten atau Aturan, banten itu sendiri merupakan kata benda, kata kerjanya maturan/mebanten yang memiliki arti menyampaikan, mempersembahkan.

***

Bersambung

Daftar Part