Nirwana Part 40

Nirwana Part 40
Bizzare Love
around inside my tummy
when i’m with you
Sheena tak mengerti kenapa bibirnya masih saja tak bisa berhenti tersenyum sedari tadi. Namun dirinya terlalu lelah untuk berpikir, segera dihempaskan pungungnya di gazebo. Matanya mengawang pada hiasan gantung yang berputar ditiup angin dan menimbulkan suara berdenting, indah. Disusul dengan sudut bibirnya semakin melebar dan merekah.
Blown by wind of spring
When im with you oh this tingling feeling
makes me wanna jump
makes me wanna shout
across the room
“Kak Na nyebelin!”
Senyumnya mendadak menguap ketika Indira tahu-tahu muncul di hadapannya dengan wajah memberengut.
“Eh, Indira… kenapa?”
“Iiiih Kak Na, gitu deh. Jogging nggak ngajak-ngajak!”
“Hehe… tadi kan udah diajakin, tapi Indira-nya yang nggak mau…”
“Iyaaa…” Bibir Indira makin manyun. “Tapi… tapi…” Indira memainkan ujung kausnya.
“Indira kan nggak tahu, kalau…” Anak itu terdiam dua detik, sebelum berkata, “kalau Ava juga ikut!”
Indira langsung tertunduk dengan wajah bersemu.
“Tadi ketemunya di jalan, kok…”
“Hu-uh.” Indira mengembungkan pipinya.
Sheena tersenyum melihat ekspresi lucu Indira. 6 bulan tinggal di bawah atap yang sama, Sheena tidak bisa memungkiri bahwa dirinya sudah juga terlanjur jatuh sayang kepada anak itu.
Sheena kembali merebahkan punggungnya di bale-bale kayu. Indira menyusul beringsut, masuk ke dalam dekapan Sheena yang membelai poninya. 6 bulan berbagi kisah yang sama, membuat Indira pun terlanjur sayang dengan perempuan berambut pendek itu.
“Kenapa lagi, Indira cantik?” Sheena mencubit pipi Indira. “Nyesel gara-gara nggak dapet jogging sama Ava?” Sheena berkata sambil memeluk tubuh Indira dari belakang, membuat anak itu sedikit meronta.
Huuu… geer, siapa yang cemburu sama Kak Na!
Terus?
Indira menggigit bibir bawahnya, melirik ke arah lain. Takut Kak Na diambil Ava! Soalnya Kak Na kan cuma buat Indira hehehe….
Ngapain lagi cemburu, Sheena mencium tengkuk Indira, mengusap payudara Indira yang tak ditutupi bh, aku cowoknya Indira, kan?
“Ugh, Bauuu kecuuuuuut.” Indira meronta jenaka, memekik geli sambil membaui tubuh Sheena yang penuh keringat.
“Hehe… namanya juga habis jogging, belum mandi,” Sheena mengekeh santai lalu mempererat dekapannya.
“Kak Na…”
“Hmmh…”
Mandi yuk…” Indira berkata dalam intonasi menggoda. Sepasang matanya membola, melirik sebuah gerbang batu misterius di pojokan, lengkap dengan tanaman keladi yang menutup rimbun di sekelilingnya.
Dan Sheena tahu, ke mana gerbang itu menuju.
Deru air dan aroma hutan hujan segera menyambut ketika Sheena melangkah menuruni tangga batu. Pernah ia sesekali penasaran dan mandi seorang diri di sini, namun dirinya masih saja terpana melihat sungai di belakang villa Pak De yang demikian bersih jernih. Suasana itu sungguh seperti di taman surga dengan air terjun kecil yang menimbulkan suara gemuruh, juga paku-pakuan dan keladi yang merambat menghijau di tebing curam di sekelilingnya.
Indira melangkah di atas batu-batu kecil. Angin yang timbul dari air terjun memusar dan menerbangkan air dalam bentuk partikel mikron ke udara. Perlahan, sekujur tubuh ranumnya dipenuhi tetes-tetes yang menggiurkan, membuat kausnya menapak ketat dan menampakkan sepasang payudara remaja beserta puting mungil yang tercetak jelas dari baliknya.
Kerlingan genit mengerdip dari mata sang bidadari ketika melolosi penutup tubuhnya, menampakkan tubuh berlekuk ranum yang kini hanya ditutupi oleh rona kemerahan dan bulir air yang mengilat di atas kulit telanjangnya.
Sheena tergelak menyambut, melepaskan tanktop dan sport bra yang sudah lengket oleh keringat. Legging ketat warna hitam menyusul terlipat, menyisakan secarik kain cawat yang menutup tubuh atletis bertato dengan seperangkat buah dada yang tak pernah berhenti membuat Indira iri. Senyum bangga membersit, menyadari tatapan Indira pada bagian paling pribadinya. Dalam gerakan perlahan, Sheena membungkuk dan menurunkan penutup terakhir tubuhnya, memberikan waktu bagi anak itu untuk mengagumi bongkahan pantat dan relung kesuburan yang mengintip dari sela-sela tungkai jenjangnya sebelum anak itu mencebur ke dalam cerukan dalam di bawah air terjun.
“Kak Naaa… Siniiii…” Indira tersenyum. Payudara ranumnya nampak timbul tenggelam di atas permukaan air, penuh dengan rintik air, berkilat dan menggemaskan.
“Ayooo…” rengek Indira sambil berenang riang ke sana-kemari dan sesekali bersenandung. Tangannya merentang, menyambut Sheena yang menyusul turun ke dalam deras air terjun. Setelah apa yang terjadi semalam, keduanya merasa tak lagi rikuh untuk saling menyembunyikan ketelanjangan.
Indira tersenyum saja ketika Sheena merangkul punggungnya, hingga payudara mereka saling berhimpit. Dan kini ia hanya bisa memejam, menikmati kenyal dan hangat dada Sheena, serta jantung yang saling berdegupan.
Untuk sesaat hanya ada deru air, serta sepasang tubuh telanjang yang saling belai di bawah ribuan tetes air.
“Hayoh, mulai nakal, yah,” Indira menggeliat ketika merasakan jemari Sheena mulai merambah jauh ke bawah. Namun tangan yang menepis setengah hati tentu tak cukup untuk mencegah remasan-remasan si gadis tomboy di pantat ranumnya.
“Uuuunggh…,” rengek Indira pelan.
Sheena hanya menjawab dengan pagutan kecil yang mendarat di leher Indira.
“Kak Na nakal, ih. Kalau Indira sampai belok beneran, Kak Na harus tanggung jawab. Nikahin Indira.”
Terdengar suara tergelak. “If I were a boy…” bisik Sheena, mengusap butir-butir air yang membulir di payudara Indira.
Indira memejamkan mata rapat-rapat, membenamkan bibirnya di leher Sheena. “Kak Na tahu, nggak? Waktu pertama kali kita ketemu di kedai tato, aku tuh ngerasa kita udah pernah ketemu sebelumnya, loh…” rintihan sayup terdengar menyelingi, ” mungkin aja… kita sepasang kekasih… di kehidupan lampau…”
“It could be…” Perempuan berambut pendek itu tersenyum, mengusap wajah Indira yang mulai mengeluarkan rona-rona sensual.
Sejengkal sebelum bibir keduanya menempel, Sheena mengekeh pelan. Berenang menjauh ke sisi satunya. “What can we say, eh? Jenis kelamin, agama, bahkan kelahiran adalah keterlanjuran yang diinjeksikan ‘Tuhan’ dengan semena-mena. Orang bilang itu takdir, Samsara. Tapi sekali lagi…bisa apa kita dengan itu semua?”
“Kak Na itu cantik, tahu! Pinter kaya tante Lucille. Cool kaya Dewa. Berbakat kaya Kak Raka. Seiman lagi….” Indira mengembungkan pipi. “Huaah! Coba aja kalau Kak Na cowok. Beneran deh bakalan jadi menantu idealnya Ajik.. hu-uh… nggak usah sampe ribet gini nasibnya Indira… pake acara dijodoh-jodohin segala… kaya Indira nggak bakalan laku aja…”
“Dijodohin?” Alis Sheena langsung mengernyit.
“Nggak! Ng-nggak apa-apa…” cepat-cepat Indira memalingkan wajahya.
“Emang Indira mau dijodohin sama siapa?”
Indira membenamkan bibirnya yang memberengut di bawah permukaan air.
“Awas jangan bilang-bilang ke Kadek atau Ava!”
Sheena mengangguk.
“Bener?”
Anggukan kedua mengkonfirmasi.
“Indira mau dijodohin.”
“Hah?! Serius?”
“Ajik… nggak sedang bercanda, kan…?” takut-takut Ava bertanya, namun senyum getir yang membayang di wajah sang guru sudah menjawab semua.
Hening panjang. Deru nafas dan desau angin menyisip sesekali. Ava hanya bisa tertegun lama mendengarkan penuturan gurunya. Kadek sudah pamit undur diri beberapa saat lalu, meninggalkan sepasang lelaki yang kini duduk berisisian di dangau kayu di tepian sawah.
Saluran irigasi mengalir di bawah mereka, membawa sekawanan kecebong yang berjuang melawan arus dan lumpur. Matahari mulai menampakkan muka di balik gunung batur, menerangi hamparan padi yang merupa beludru dan dua batang kara yang bicara dari hati ke hati
“Dibanding sodara-sodara saya di kampung, saya yang dari remaja sudah belajar di Amerika tergolong liberal.” Pak De menepuk pundak muridnya.” Saya ndak akan mempermasalahkan dengan apapun pilihan Indira nantinya…”
Ava menahan nafas.
“Sekarang, tinggal kamu-nya…” pungkas Pak De getir.
“Yang bener aja, Kak Na. Masa Ajik bilang Indira mau ditunangin sama Ava?”
“Oh… wah… well… serius?”
Sheena cepat tersenyum, ada riak dalam hatinya yang terusik ketika nama itu disebut. Sementara Indira terus menerus berceloteh tentang dirinya yang tidak se-desperate itu sehingga perlu dijodoh-jodohkan bak Siti Nurbaya.
“Tapi tetep aja, dijodohin? Ngapain juga Ajik pakai bikin wacana yang nggak mungkin?” Indira mendengus sebal. “Ajik harusnya tahu, kalau Indira dan Ava itu beda.”
“Beda? Agama maksud Indira?” walau terpaksa, Sheena mencoba mengikuti.
“Hu-uh,” Indira menunduk putus asa.
“Ava itu atheis, lagi.” Sheena melengos malas, memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Ih, Kak Na segitunya ih, sama temen sendiri.”
“Emang Indira pernah lihat Ava solat?”
“Kapan terakhir kali kamu bicara sama Tuhan?”
“Kenapa… ajik… tanya… gitu?”
“Jangan salah sangka dulu. Saya ndak bilang ini ke kamu kalau dari awal saya sudah tahu kamu orang yang taat. Tapi nyatanya…?” Pak De menatap dalam-dalam ke lubuk mata Ava. “Enam bulan kamu tinggal di rumah saya, kamu sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Saya perhatiken bener gerak-gerik kamu…” Ditepuknya pelan pundak Ava. “Kamu boleh nggak jujur sama saya, tapi sekarang coba kamu tanya sama diri kamu sendiri, ‘Siapa Tuhanmu’?”
Perkataan Pak De membuat Ava terdiam lama. Dipandanginya pantulan wajahnya sendiri di permukaan air yang balik menatap dari sisi dunia yang satunya, sedih.
Tuhan mencampakkan Adam dari Paradiso dan membiarkan keturunan saling menuntut darah sesamanya. Kain, Habel, dan jutaan manusia setelahnya. Ava menengadahkan kepala dan bertanya, ‘untuk tujuan apa?’
Namun hanya hening yang hadir sebagai jawaban.
“Orang-orang yang ditinggalkan Tuhan,” desis Sheena sambil memandangi pantulan wajahnya sendiri di sungai.
“I-iya juga ya…” Indira manggut-manggut mendengar penuturan Sheena. “Tapi kenapa sama Ava, sih…? Huaaaah…. padahal dulu pas pertama-tama dateng ke sini, kerjaannya dia tuh gangguin indira terus! Bayangin. Udah brewokan, orangnya serba nggak jelas, kerjanya ngerecokin aja… untung ketolong sama selera humornya yang najis,” repet sang gadis blasteran tanpa henti. Tapi Sheena tahu, bibir yang sedang berusaha menyembunyikan senyum itu seolah menunjukkan antitesa dari isi perkataan sang gadis.
Sheena bisa melihat bagaimana raut gundah Indira perlahan menghilang, mata bundarnya kembali menyala-nyala seperti dipenuhi seribu cahaya kehidupan saat bercerita tentang Ava, juga senyumnya yang merekah-rekah saat teringat lelucon-lelucon bodoh Ava.
Sheena memaksa tersenyum, berusaha memungkiri bahwa percakapan ini makin membuatnya tak nyaman. Ia hanya bisa mengikuti dalam diam, Indira yang terus menerus berceloteh.
“Ih, Kak Na diajakin ngomong malah ngelamun.” Indira memberengut lucu, mengerjap-ngerjap di depan wajah lawan bicaranya.
“Oh, ya, apa?”
“Kak Na, tahu? Momen paling menyenangkan sama Ava?”
“Semalem?”
Indira menggeleng, dan dengan senyum yang makin melebar Indira menarik nafas dalam, sangat dalam sebelum akhirnya berkata, “Waktu aku lari pagi sama Ava…”
Sheena hanya mampu mendengarkan sambil mencari petunjuk dalam hatinya sendiri. Air terjun menderu deras, mengamini sebuah perasaan asing yang menyeruak di dada Sheena. Perasaan yang menggelitiknya untuk bertanya. “Indira… sayang sama Ava…?” tapi urung ditanyakan, karena perpaduan antara senyum tersipu dan pandangan mata yang berbinar-binar di wajah Indira sudah cukup menjawab pertanyaannya.
Sheena ikut tersenyum, namun makin lama senyumnya mulai terasa menyakitkan.