Nirwana Part 31

Nirwana Part 31
Inseparable Oath
Malam semakin menua dan membuai satu persatu penghuni villa ke dalam lulabi. Sayup-sayup hanya percakapan dua orang dari dalam studio lukis yang terdengar. Sepasang asap rokok mengepul dari dua orang laki-laki yang berbincang akrab layaknya sepasang ayah dan anak. Sementara sepasang lagi terlibat perbincangan intim di bale-bale kayu.
Kejadian sore tadi membuat keduanya lebih intim dari biasa. Indira mengambil tempat duduk di samping Sheena, melingkarkan sepasang tangannya di pinggang cewek tomboy itu, membolak-balik puluhan sktesa yang telah digambar sang seniman muda selama berada di tempatnya.
Derik jangkrik terdengar sayup mengiringi Ubud yang berubah sunyi begitu menginjak jam 10 malam. Ava dan Pak De tengah sibuk berdiskusi di studio, dan pembantu rumah tangga villa memilih menghabiskan waktu menonton televisi dalam bilik masing-masing.
Dan kesunyian seperti temali yang menautkan keduanya lebih erat, lebih lekat lagi
“Hayo, tadi sore nakal, ya,” rengek Indira manja, memukul pelan lengan penuh tato yang perlahan memeluknya. “Untung nggak dilihat ajik.”
“Salahnya sendiri,” Sheena mengekeh cuek, membuat Indira semakin penasaran dibuatnya. Dikecupnya pipi Indira sekali, namun kali ini anak itu hanya mengekeh sambil meronta jenaka.
“Kalo gitu kak Na harus tanggung jawab!” Indira lalu membisikkan sesuatu di telinga Sheena.
Tawa keras segera menyembur. “Thanks, tapi aku suka cewek yang lebih tua,’ jawabnya enteng, lalu kembali menyibukkan diri dengan sketsanya.
Indira mengikik melihat wajah Sheena yang berlagak cool tapi sebenarnya bersemu kemerahan. “Sok jual mahal, ah!” dicubitnya pinggang Sheena. “Kak Na mau kopi nggak? Indira mau bikinin kopi buat Ajik sama Ava.”
“Hmmmh,” jawab Sheena pendek. Indira melengos lucu, mengambil salah satu buku sketsa yang tergeletak di dekatnya.
Berbaring di atas pangkuan Sheena,Indira membolak-balik lembar demi lembar buah karya sang seniman muda.
“Kenapa semua gambarnya Kak Na hujan, sih?” Indira menunjuk lembaran-lembaran sketsa yang selalu dilatari hujan yang tak pernah putus.
Sheena cukup mengangkat bahu, meneruskan kegiatannya membuat sketsa di bale-bale. Pak De seringkali mendorong agar Sheena lebih sering melukis dengan media kanvas dan akrilik, tapi seniman muda itu nampaknya lebih menyukai buku sketsa dan pensil arangnya. Menurutnya, efek monokrom dapat memberikan tambahan nuansa muram di mana dunia dipotret hanya dalam dua warna.
Sebuah mahakarya, batin Indira menakjubi. Sketsa sang seniman muda nampak seperti adegan-adegan film noir tahun 50-an yang digambar hiper-realis hingga mendekati aslinya. Gambar-gambar itu memang sekilas nampak acak, namun jika diperhatikan baik-baik sebenarnya satu sama lain saling berjukstaposisi membentuk jalinan cerita.
Awan. Nama itu adalah satu-satunya titik di mana dongeng mereka bertemu. Sheena pernah bercerita tentang teman masa kecilnya itu. Hanya sahabat, sampai saat ini Sheena selalu mengatakan itu kepada Indira, meski dirinya tahu hubungan keduanya lebih dari itu.
” Wirawan, panggil saja Awan.”
“Aku Sheena Rainia.”
“Aku nggak pernah lihat kamu pas MOS?”
“Iya, waktu itu aku sakit.”
“Kamu dapat kelas apa?”
“I-3, kamu?”
“Wah, sama! Aku juga kelas I-3!”
“KLOTAK!”
Sebuah gayung dilempar.
“Woi! Pacarannya nanti aja! Bantuin napa? C’mon, man! Apa kata Bob Marley kalau kita nggak kompak!”
Seorang cowok kurus dengan rambut keriting mengomel sambil menyikat kakus berkerak dan berbau pesing.
“Hahahaha! Yang itu namanya Bob, Bobby Saputra, dia juga sekelas.”
“Hai, Bob!”
Betapapun Sheena mencoba merahasiakannya, kepada Indira, kepada Bob, bahkan dirinya sendiri, namun berjalan di samping Awan selalu dapat membuat Sheena merasa dipayungi oleh suatu keteduhan yang tidak dapat ia jelaskan. Berbincang dengan Awan senantiasa membuat Sheena remaja mengeluarkan segenap sampah hatinya ke dalam ruang lapang yang seluas langit biru.
Awan adalah seseorang yang meneduhi Sheena di saat ia sedih, dan dengan sabar menghiburnya saat remaja itu patah hati. Perhatian Awan seperti butiran air yang dicurahkan langin, menyiram benih-benih asmara dalam hati gadis kecil itu, membuatnya bertunas, dan seiring waktu bertumbuh subur menjadi sebuah klise.
Namun Awan tetaplah seperti itu, sekumpulan uap air: bergumpal putih di biru langit. Terlihat, tapi tak tersentuh.
Tak apa, batin Sheena. Karena yang perlu ia lakukan hanyalah memandang langit, menunggu hujan.
Sampai di ujung lembaran, ada sesuatu yang mengusik perasaan Indira.
Mungkin hanya perasaaannya saja, Indira mencoba menghibur diri, namun ketika dirinya mengakrabi tatapan mata dan ekspresi muka pemuda yang selalu ada dalam sketsa Sheena, Indira tidak bisa memungkirinya lagi. Ada sedikit dari riak dalam hatinya yang terusik.
“Mirip Ava, ya…,” Indira tak tahan lagi, ketika halamannya sampai pada lukisan seorang pemuda bermata teduh yang memayungi gadis berkacamata yang diyakininya sebagai Sheena. Pensil sang seniman yang tadinya bergerak lincah seketika terhenti.
Terdengar suara teko berdenging dari arah dapur. Indira cepat-cepat mohon diri, hanya untuk menghindari rasa jengah yang tiba-tiba melanda keduanya.
Bersambung