Nirwana Part 26

0
828

Nirwana Part 26

Blatant

“Nyebelin. Banget.” Indira menggembungkan pipi seperti ikan fugu. “Kenapa sih, harus pakai ngomong kaya gitu?”

“Lagian kamunya mendadak naif gitu. Geli tahu dengernya,” balas Dewa dingin. “Kita ini hidup di dunia nyata, nggak dalam dongeng murahan, di mana kisah pangeran dan putrinya selalu berakhir happilly ever after.”

“Terus aku nggak boleh punya mimpi, gitu?”

“What comes after the dream ends?” Dewa bertanya retoris. “Reality.”

“Kamu kena sih, Wa?! Akhir-akhir ini kamu udah nggak kaya dulu lagi. Tambah sinis, tambah nyebelin, tambah angkuh, tambah pemarah, tambah mesum!”

Dewa tertawa sinis. “Yang terakhir kayanya jadi mutual benefit deh, ya…”

Sepanjang perjalanan itu Indira menekuk wajahnya, dan Dewa hanya menanggapi dingin sambil terus menyetir.

Mobil yang mereka tumpangi melambat ketika memasuki kota Denpasar, jalanan mulai dipenuhi oleh kendaran. Sekolah Indira adalah salah satu sekolah swasta terkenal yang terletak di bilangan Jl. Sudirman, berdekatan dengan Fakultas Kedokteran tempat Dewa kuliah.

“Nanti aku dijemput, kan?!”

“Nggak janji, ya. Habis ini aku ada praktikum anatomi, terus siangnya mau lepas jahitan sama Vi.”

Kening Indira langsung berkerut. “Kenapa harus sama Vi? Kenapa harus sama mantanmu? Udah nggak ada ko-ass lain?”

Dewa terkekeh. “Kenapa? Cemburu?”

“Cemburu? Siapa bilang aku cemburu? Aku nggak cemburu!” Indira menukas, membalas dengan nada yang mulai meninggi.

“Terus?”

“Kamu sengaja, kan? Biar bisa deket lagi sama Vi? Jujur aja.”

“So

“Dasar player

Dewa memilih tak menanggapi, meski urat-urat sudah nampak mengeras di wajahnya yang merah padam.

“Jawab, dong! Jangan cuma bisa diem aja jadi cowok!” cecar Indira.

Senyum sinis membersit di bibir Dewa.

“Terus apa bedanya sama kamu?”

“Maksudmu?”

“Maksudku, mas-mas brewok sok jagoan itu. Kalian tinggal serumah, kan? Aku nggak heran kenapa dia belain kamu sampai segitunya.”

“A-a-apa sih? K-kenapa sih kamu sekarang sering banget ngajakin ribut! Bilang aja kalau pengen nyari-nyari alasan buat putus!” Indira mengalihkan pandangannya dari mata Dewa, seolah kekasihnya itu bisa melihat kejadian di air terjun, atau saat ia dilukis dengan Ava dari balik pupilnya yang bergerak gelisah.

Dewa tersenyum sinis menyadari perubahan riak di air muka Indira.

“Ow… ow… ternyata… ck ck ck…“

“PLAK!” tamparan keras mendarat di pipi Dewa. ”Kamu… kasar…” Indira menyusut seutas airmata yang melintas. Suaranya perlahan bergetar, “aku aja… yang terlalu banyak berharap… kamu memang sudah berubah…”

“Jadi cuma gara-gara itu, kamu sama dia…”

“Wajar, kan? setidaknya Ava bisa buat aku bahagia, dia bisa buat aku kembali bermimpi!”

“Double standard,” Dewa berkata, pendek.

“Maksudmu?” Indira melirik wajah yang nampak tenang, namun sebenarnya memprovokasi.

“Satu, kamu bilang aku kasar? Sekarang siapa yang kasar?” Dewa menunjuk pipinya yang memerah terkena tamparan. “Dua, cewek boleh selingkuh kalau nggak dibahagiakan cowoknya. Kamu bilang wajar. Tapi kalau cowok selingkuh? Kamu bilang player.” Dewa mendengus kemudian berdecak kesal, “women’s logic.”

Indira membatu, mendapati lagi tatapan mata yang tajam namun pedih dari kekasihnya. Persis ketika Dewa berkata hendak nyentana demi dirinya

”Aku nggak ada apa-apa sama Vi. Ko-ass di Sanglah hampir semua teman seangkatanku, dan jahitan ini harus dikontrol oleh ko-ass yang merawat.” Dewa menandas, nadanya mengeras.

Kemudian hanya ada hening yang panjang, juga Indira menunduk malu tanpa bisa balas menatap ke arah Dewa. Argumentasinya tandas di tengah perkataan cerdas kekasihnya. Bola panas itu kini berada di tangannya. Indira mati langkah, skak mat sudah.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

“Dewa…. maaf…”

“Hmm…”

“….Indira yang salah…”

“Hmm…”

“Maafin Dira, ya…”

“Hmm…”

“Dewaaaaa…” Indira merengek, menarik narik ujung kemeja Dewa. Namun Dewa tidak peduli, ia malah melongokkan kepala ke luar jendela.

“Double Cheese Burger satu, Sundae Strawberry satu. Indira, kamu apa?”

“Sama.” Indira memberengut, merasa tidak dipedulikan semenjak bertengkar tadi pagi. Berkali-kali dirinya sudah mencoba minta maaf, namun sang kekasih hanya menanggapinya dingin.

Dewa membayar pesanan di Drivethrough McD di bilangan Simpang Kampus Bukit. Siang itu, setelah menjemput Indira di sekolah, Dewa membawa Indira ke arah selatan, menuju villa-nya di daerah Bukit Ungasan. Tak lama, mobil Volkswagen New Beetle putih itu segera meluncur membelah jalan By Pass yang dipenuhi kendaraan dari jurusan Nusa Dua.

“Memang saya sudah sebegitu berubahnya, yah?” Dewa akhirnya berkata ketika mereka terhenti di sebuah persimpangan.

Indira tidak langsung menjawab, melirik pangeran yang dulu menyiapkan kejutan untuknya namun kini menjelma menjadi pemeran antagonis yang mengamuk sambil mengacungkan pisau di Pub.

“Indira boleh bilang saya brengsek, saya player, saya tempramental.” Dewa terdiam. “Saya tahu, kok. Saya memang berubah…” Getir, Dewa memalingkan pandangannya ke arah kemacetan yang mengular di hadapannya, memandangi kerumunan manusia dengan pandangan menerawang. Ia memang sedang berusaha menyembunyikannya, namun Indira bisa melihat di dalam mata sang kekasih: seorang lelaki yang sedang terluka.

“Maafin Indira…” Indira menunduk, tak mampu lagi memandang ke arah kekasihnya. “Dira udah kelewatan ngomongnya.”

“Nggak apa,” Dewa menyahut dingin. “Saya emang berubah, kok.”

Indira semakin menunduk, memainkan ujung baju sambil menggigiti bibirnya.

“Tapi Indira harus tahu….”

Dewa tak pernah mengucapkan sepatahpun kata cinta, tidak sepanjang yang diingat Indira. Namun kali ini, kalimat berikutnya yang diucapkan Dewa seakan membuat Indira kehilangan daya bahkan untuk menumpu berat badannya sendiri. Indira hanya bisa memandangi wajah Dewa dengan mata berkaca. Dan Indira tak sempat berkata, karena di detik berikutnya, bibir Dewa menempel begitu saja di bibirnya…

“Maafin, Dira,” bisik Indira pelan, di antara ciuman mereka.

“Maaf, saya juga…” Dewa membisik lirih, sebelum melanjutkan ciuman itu. Indira sedikit gelagapan juga pada awalnya sebelum ia akhirnya balas melumat bibir Dewa, hingga nafas keduanya sedikit memburu.

Mobil di belakang mereka mengklakson, antrian sudah bergerak sedari tadi

Dewa tersenyum kecil, lalu balas mengklakson dan memajukan mobilnya.

= = = = = = = = = = = = = =​

Volkswagen New Beetle itu melaju pelan ke arah barat, membelah perbukitan kapur di mana Universitas Negeri paling top di Bali dibangun di atasnya. Di antara pohon merangas, Indira perlahan menyadari bahwa ciuman tadi ternyata membuat sekujur tubuhnya tak berhenti merinding.

“Kita ke mana?”

“Istirahat dulu di tempatku. Mau, ya? Nanti sore kita ke pantai dreamland

Indira menggamit tangan Dewa, dan pemuda itu balas menggenggam tangan kekasihnya, erat, hingga di pertigaan di depan, mereka kembali terhenti oleh lampu merah. Dan kini keduanya tidak bisa menahan hasrat lebih lama lagi untuk tidak kembali saling melumat. Penanda waktu yang masih berada di detik ke-73 tak mengharuskan keduanya berlekas-lekas.

Suara bibir dan lidah mereka segera tedengar saling berkecipak mengiringi lagu yang mengalun dari radio. Ciuman kali ini lebih buas dari sebelumnya. Remasan-remasan pada dada Indira dan belaian yang mengundang di selangkangan Dewa kini ikut membumbui percumbuan mereka.

Lampu menyala hijau, menyisakan sepasang kekasih yang terengah dengan tubuh yang masih dipenuhi gairah. Keduanya tak bisa memungkiri, bahwa jantung masing-masing kini saling berdegupan kencang, mengalirkan hormon-hormon erotis yang kini makin bertumpuk-tumpuk di selangkangan keduanya.

“Hayoh, Dewa mulai nakal, yah!” Indira melotot, mendapati tangan kekasihnya tak juga beranjak dari pahanya walau mobil sudah bergerak. Indira berusaha menepis, namun hanya sebatas formalitas.

Dewa tercengir kecil. “Bilang aja, dari dulu kamu suka, kan?”

Indira menjawab dengan lenguhan pelan.

Merasa tak mendapat perlawanan berarti, tangan Dewa mulai mengusap paha mulus kekasihnya, bergerak pelan ke atas. Birahi yang sudah di berada di ubun-ubun, membuat Indira tak kuasa menolak, bahkan ikut menaikkan pinggul hingga Dewa bisa leluasa menyingkap rok abu-abunya sampai bawah perut.

Sementara mobil matic itu melaju pelan ke arah selatan, melewati beberapa warung kecil, dan kedai penyewaan papan surfing. Mobil yang tak berpersneling itu membuat Dewa leluasa membelai selangkangan Indira, merasakan garis tipis yang membasah di atas thongs yang dikenakan Indira.

Indira meremas busa jok kuat-kuat, jemari Dewa kini semakin berani menggelitik klitorisnya yang menegang. Senyum kecil membersit di bibir Dewa, dari sudut matanya, pemuda itu bisa menangkap, pembuluh kapiler yang mulai berdilatasi membuat wajah Indira perlahan bersemu kemerahan. Mata Indira membeliak dan memejam, menahan geli yang berkumpul di selangkangannya dan makin lama bertumpuk-tumpuk hendak meledak! “Dewa nakal… Dewa nakal… uuunggh…. nnngggh….” Indira hanya bisa merintih-rintih dengan bibir yang membasah dan tubuh menggeliat pasrah.

Seorang pengendara motor melintas tepat di samping mobil mereka, melirik Indira yang menggelinjang tidak karuan. Indira sontak menjerit sambil menutup muka dengan telapak tangan. Malu bukan main, tapi nikmatnya luar biasa dipandangi ketika sedang dipermalukan seperti itu! Tanpa bisa diantisipasi, tatapan itu malah membuat pinggul Indira menggelepar liar dihempas arus birahi yang membesar seketika. “Dewa…. Dewa… ngggggh! nnnnggggggggh!” ia menutup bibirnya dengan telapak tangan, berusaha menahan diri agar tidak pipis di celana, namun polisi tidur di ujung jalan, membuat tangan Dewa mencelat, menohok tepat ke arah pusat kenikmatan Indira.

Mata Indira sontak membeliak. Dan hal terakhirnya yang diingatnya adalah ketika sekujur tubuhnya berkelojotan hebat dan cairan cinta bercampur urin memancar deras melelehi paha mulusnya. Selebihnya? Adalah ekstase yang membius dan membuatnya kehilangan kesadaran…

Bersambung

Daftar Part