Nirwana Part 25

0
883

Nirwana Part 25

Memento

“BRAAAAAAAK!” terdengar meja digebrak. Beberapa pengunjung segera melirik ke asal suara.

“Baru aja minggu lalu kita rusuh di Pub, sekarang berantem lagi! Minggu depan apa?! Tembak-tembakan?!” omel Kadek, ketika ketiganya duduk satu meja di sebuah rumah makan Padang murah meriah di salah satu sudut Jl. Poppies II. Pertanyaan polisi yang berbelit-belit, rupanya membuat konslet urat syaraf pemuda itu.

“Ya jangan salahin gue, dong! Kan mereka duluan yang ribut!” belot Sheena tak mau kalah. “Iya nggak, Va?”

“A-apa? I-iya! Iya!” Ava menjawab tergagap-gagap, mencomot ayam pop di hadapannya. Delikan bengis Kadek segera tertuju ke arahnya.

“Pokoknya, apapun itu gue terima! Jadi model telanjang atau apapun! Asalkan kalian bawa gue pergi dari sini!”

“Aku yang nggak setuju, Va!” tegas Kadek. “Cewek ini terlalu berbahaya!”

“Berbahaya gimana? Memang salah siapa kalo gue sampai dikejar-kejar preman? Salah gue? salah temen-temen gue?”

Lama-lama Ava makin malas menanggapi Kadek dan Sheena yang kini berdebat sengit. Pemuda itu hanya menyeruput teh manis yang sudah hampir habis, sambil sesekali matanya melirik ke kanan dan ke kiri seperti menonton pertandingan ping-pong.

“Nggak!”

“Please…”

“Nggak!”

“Please…”

“Pokoknya, nggak!”

“Plis… plis… plis… plis… Va, tolongin aku…. pliiiiis….”

Ava tersenyum geli melihat tingkah dua orang dewasa yang mendadak kembali menjadi anak-anak. Lekat-lekat diperhatikannya wajah cewek berambut pendek di hadapannya. Ada sesuatu dari gesture dan cara Sheena berbicara yang akhirnya membuat dirinya tergerak untuk ikut angkat suara.

“Sudahlah, Dek, ditanyain dulu saja sama Pak De. Lagian kan kamu yang pertama ngotot mau merekrut dia jadi model.”

“Nah, kan? Apa gue bilang?” Mata Sheena langsung berbinar merasa mendapat dukungan dari Ava.

“Tapi, Va! Dia ini…”

“Terus aku harus bilang apa, Dek? Semua ini kan musibah, mungkin kita harus tunggu biar semuanya cooldown dulu, baru kita pikirin langkah berikutnya.”

Kadek langsung mendelik kejam.

“Kalau gitu, di mana lagi kita nyari model, Dek?” Ava balas menantang tatapan Kadek. “Ingat. Lagipula siapa di sini yang paling kecap promosinya ke Pak De? Kamu tahu, apa yang bakal dibilang beliau kalau kita pulang dengan tangan hampa?”

“Tapi… kan… dia….”

Ava cukup mengangkat bahu, menandaskan argumentasinya dengan senyum kemenangan.

“Haduh! Haduh! Dewa Ratu! Pengeng sirah tititang[SUP](1)[/SUP]!” Kadek membanting bungkus rokok dengan gusar. “Pokoknya jangan macam-macam! Kalau sampai masalahmu merembet ke tempat Pak De, awas!” tandas Kadek sambil mengumpat.

(1) Duh Gusti, pusing kepala saya!

 

= = = = = = = = = = = = = = =​

Setelah mendapat persetujuan dari Sang Maestro, Kadek pulang terlebih dahulu dengan skuternya sambil terus mengomel. Sementara Ava dan Sheena rencananya menyusul belakangan. Studionya harus lebih dulu diamankan.

Seutas garis kuning dari pita vynil kini merentang di depan studio tato Sheena yang berantakan. Beberapa kaca pecah, dan rak buku berisi majalah sudah hancur tak berbentuk. Cewek tomboy itu hanya bisa menunduk lesu, mengecek peralatan tatonya yang jatuh bergeletakan. Masih berfungsi.

Jek dan Bagus, teman-teman satu band Sheena akan datang malam ini, mengangkut inventaris studio yang masih bisa diselamatkan. Sebuah studio tato di bilangan Jl. Teuku Umar berminat membeli alat-alat itu dengan harga miring. Cukupan untuk menutupi hutang sang seniman pada seorang pengusaha hitam di Jakarta.

“My life is messed up,” keluh Sheena, memasukkan mesin tato ke dalam dus. “Penuh debris.”

“Nggak usah dibilang juga udah kelihatan, kok…”

Sheena melengos kesal, malas menanggapi.

“…tapi bukan berarti nggak bisa dibereskan, kan?”

Sheena langsung mendengus sinis. “Naif.”

“Optimis,” tandas Ava, mantap.

Sheena tersenyum tipis, Ava semakin mirip dengan orang itu. Lekat-lekat diperhatikan wajah Ava, sambil tetap menghindari terjadinya kontak mata. “Kita… emang pernah ketemu sebelumnya?”

“Di Pub

“Sebelumnya. Elu emang pernah sekolah di Bali?”

“SD-SMP-SMA aku di Kroya.”

“Kuliah?”

“ISI Jogja.”

“Oh, ya? gue IKJ.”

“Ya, mungkin aja pernah ketemu pas pameran Ruang Rupa, siapa yang tahu? Dunia kan sempit! Eh, ngomong-ngomong serius kamu anak IKJ? Pantas desain tatonya keren-keren! Kemarin ambil jurusan apa?”

“DKV… ah… udah ah, ribet gue…” Sheena terlalu malas mengingat-ingat lagi. Cewek berambut pendek itu melanjutkan kegiatannya, mengepak barang-barang yang masih bisa diselamatkan ke dalam dus air mineral.

Diam-diam Sheena mencuri lirik ke arah Ava yang tengah sibuk menyapu pecahan kaca. Dari sudut matanya, Sheena berusaha mencari petunjuk; gerak-gerik, bentuk muka, atau apapun yang tersembunyi di balik pemuda bernama Mustava Ibrahim itu.

Siapapun bisa melihat dengan jelas, perawakan Ava yang kearab-araban jauh berbeda dengan Awan yang orang Bali asli. Namun semakin ia memperhatikan, semakin lorong ingatannya dipenuhi dengan deja vu. Mata itu. Gerak tubuh itu. Bahkan cara sang pemuda berbicara membawa Sheena berkelana jauh dalam lubuk-lubuk ingatannya yang terdalam. Dari mana logikanya?! Suara batin Sheena mencoba berontak, menyadari kesalahan ontologis dalam kerangka berpikirnya.

“Ini apa?” Ava membuka kotak kayu kecil berukir di antara barang-barang Sheena.

Sontak Sheena terperanjat. “Ah, jangan! I-i-itu….”

Kotak itu terlanjur membuka, sebentuk tabung mungil tergeletak di atas lapisan beludru merah di dalamnya: sebuah rol film.

Bersambung

Daftar Part