Nirwana Part 24

0
935

Nirwana Part 24

Recto & Verso

Perjalananmu, kata kau dulu:
adalah perjalanan yang akan
mengingatkan mereka yang lupa.
Termasuk aku.Keterpisahan adalah ilusi.
Dunia jasad dan dunia roh,
dunia materi dan dunia energi;
hanyalah dua sisi dari koin yang sama.

(Rimba Amniotik, Dee)

Ada yang percaya, jiwa berputar dalam lingkar reinkarnasi, berjuang terlepas dari Samsara, untuk menuju Nirwana.

Ada yang percaya, jiwa saling berjanji di Alam Ruh, terlahir ke Dunia, dewasa, dan mati hanya demi kembali mewujud ruh sebelum akhirnya dibangkitkan dalam keabadian.

Satu hal yang pasti, kita hanyalah sebutir debu kosmos yang terdorong melampaui masa. Melewati ribuan eon[SUP](1)[/SUP] tahun cahaya semenjak penciptaan alam semesta. Bersama, kita menempuhi perjalanan tanpa akhir, saling mencari belahan jiwa yang bermain petak umpet dalam Jagat Pramudhita [SUP](2)[/SUP].

(1) 1 eon = 10[SUP]9[/SUP] tahun
(2) Alam Semesta

Indira dahulu pernah merasakan itu dari kekasihnya. Bahwa di suatu masa yang ia tidak bisa dengan jelas mengingatnya, mereka pernah berjanji, meski harus saling melupakan ketika menjejakkan kaki ke Marcapada, dunia fana.

Mobil Volkswagen New Beetle itu bergerak membelah daerah persawahan Ubud yang masih sunyi. Pagi masih membekap desa seniman itu dengan awan dan kabut tebal, namun Hyang Surya mulai menampakkan wibawanya dengan membagi kehangatan bagi kaum tani yang melangkahkan kaki di atas pematang.

Indira memandangi lanskap menakjubkan di hadapannya, membiarkan sinar fajar yang mengintip dari Gunung Batur membelai lembut wajahnya. Senyum cerah mengembang di bibir Indira, secerah cercah sinar matahari yang menyeruak dari balik awan gelap.

Gadis itu menajamkan panca indera, menikmati detik yang sejenak terhenti demi menemukan kembali apa yang dirasanya hilang selama ini. Barangkali yang dikatakan Ava semalam benar, dirinya harus berani berharap, berani bermimpi bahwa Dewa akan kembali menjadi seperti apa yang dulu pernah dikenangnya. Semoga saja.

“Kenapa?” Kekasihnya bertanya, menyadari muncul air muka tidak wajar dari cara Indira memandanginya.

Indira mengangkat bahu ringan. Tersenyum manis ke arah sang pemuda. “Pengen aja.”

“Kamu berubah. Nggak seperti biasanya,” Dewa berkata, sambil terus berkonsentrasi mengemudi.

“People changes…” Indira membelai punggung tangan Dewa, “…tapi bisa juga berubah jadi lebih baik, kan?”

Dewa tertawa. “Kenapa jadi naif gini?”

“Optimis,” tandas Indira mantap.

“Semua butuh waktu.”

“Then i’ll wait

Dengusan nafas sinis terdengar.

“Emang kamu yakin kita bakal terus sama-sama?”

Bersambung

Daftar Part