Nirwana Part 22

0
869

Nirwana Part 22

You Are (not) Alone

“Diangkat nggak?”

Ava menggeleng. Berkali-kali coba dihubunginya nomor di bawah tulisan “Angel With Dragoon tato” yang tertera di kartu nama di tangannya, namun yang terdengar hanyalah nada tunggu.

“Dek, apa aku tadi salah ngomong, ya…?” Ava menoleh putus asa ke arah Kadek yang duduk lemas di emperan butik mewah di bilangan Seminyak.

“Haduh, kamu ini! Harusnya tadi kamu biarin aku aja yang ngomong! Dasar amatir!” sahut Kadek gusar, mengusap peluh di keningnya.

Matahari mulai condong ke barat. Beberapa wisatawan melintas di depan dua orang pemuda bertampang kucel yang berteduh di bawah kanopi sebuah butik yang menjual tas bermerk. Jalan beranjak ramai oleh wisatawan yang hendak menikmati matahari terbenam di pantai yang membentang di pesisir barat pulau Bali itu.

Pencarian mereka tidak membuahkan hasil. Sudah 5 agensi model mereka datangi, termasuk agensi Pak Nico di Seminyak. Namun tak satupun yang memberikan hasil memuaskan. Memang ada beberapa model seperti kriteria yang diinginkan Pak De, namun Kadek merasa mereka tidak cukup liar seperti Sheena. Natural born model, Ava juga bisa mengakui kualitas itu ada di dalam diri si gadis bertato.

“Maapin aku, huhuhu…” Ava berkata lagi.

“Hmmmh.”

“Dek…”

“Hmmmh.”

“Lagian tadi aku emang ngomong apaan, coba?”

“Udah deh, nggak udah dibahas lagi! Sekarang yang penting gimana caranya kita dapetin model!”

Ava langsung menunduk, kembali memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan nada tunggu.

“Balik ke sana lagi aja, Dek. Kita bujuk lagi,” Ava menjawab lemas. “Aku akan menebus kesalahanku, huhuhuhu….”

“Caranya?”

“Aku akan mengorbankan honorku buat Sheena, huhuhu…”

Kadek menghela nafas berat. Sepertinya mereka tidak punya pilihan lain.

“Gimana, diangkat nggak?”

Ava menggeleng, kembali menempelkan telepon ke telinganya. Berharap-harap cemas menunggu nada tunggu di seberang sana diangkat.

“Halo?”

= = = = = = = = = = = = = = = =​

“Ngapain nelepon gue lagi?” Sheena menjawab ketus.

“Jangan galak gitu, dong..”

“Gue udah bilang, ntar nunggu bulan depan baru bisa gue transfer!”

“Halah, Bulan lalu situ juga udah ngomong gitu. Kalau berani ngutang, harus berani bayar, Non!”

“Kalian nggak ngerti, gue harus ngejual semua inventaris gue dulu, baru bisa…”

“Nggak usah banyak cincong…”

“Udah ah, ribet gue!”

“Jangan bilang elu mau kabur.”

“Siapa yang kabur?! Gue nggak kabur!”

“Oh, ya?” telepon ditutup. Namun dari balik kaca etalase, Sheena kini bisa melihat sosok 5 orang bertubuh kekar sedang menyeringai ke arahnya.

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Skuter butut Kadek melaju kencang. Suara cempreng knalpotnya membelah Jalan Poppies II yang ramai oleh pejalan kaki. Kadek sigap berkelit, menghindari beberapa bule yang menenteng papan selancar. Hari menjelang sore ketika mereka berdua sampai di depan depan kedai tato Sheena.

Ava mengernyitkan dahi, beberapa motor besar sudah lebih dulu terparkir di depannya. Perasaan pemuda itu menjadi semakin tidak enak, dari dalam studio kini terdengar suara pertengkaran. 5 orang lelaki bertubuh kekar sedang terlibat adu mulut dengan Sheena. Pemimpinnya adalah lelaki bertubuh pendek, berambut gondrong, dan berkumis tebal, mirip Mad Dog dalam film The Raid, yang kini sedang menuding-nuding ke arah cewek tomboy di depannya.

“Bulan depan elu kontrak elu di sini sudah selesai, kan? Jangan kira elu bisa lari begitu aja, Non!”

“Siapa yang mau lari gue nggak bakalan lari. Gue bakalan lunasin hutang-hutang gue ke Boss Jaya. 20 juta, gue lunasin akhir bulan ini!”

“20 juta dari Hongkong? 30 Juta, Non! Tiga puluh!”

“Hutang gue sama Boss Jaya, kan cuma 50 JUTA! Terakhir kali malah Udah gue cicil 30 juta! Sekarang kenapa nambah 10 juta!?”

“Bunga, non… bunga…”

“Makan riba, lu!”

“Jangan banyak bacot lu, Neng!” jerit ‘Mad Dog’ dengan tangan terangkat siap menggampar.

“Tenang… tenang… ada apa ini bapak-bapak?” Kadek memasuki ruangan dan mencoba menengahi.

“Eh, elu siapa? Jangan ikut campur!” bentak si lelaki kecil berkumis, hingga Kadek langsung keder dibuatnya. Keributan dan saling dorong segera terjadi, terutama dipicu tindakan Sheena yang cepat naik darah.

“Woi! taruh nggak!” hardik Sheena melihat preman-preman yang mulai mengacak-acak ruang studio.

“Halah, ngutang juga!” si kurus menendang jatuh peralatan tatonya.

“BANGSAT!”

Sheena menerjang dengan tangan terkepal, namun wajahnya segera dihantam tinju dari arah kiri.

Kalah jumlah, Sheena segera terjerembab ke atas rak berisi majalah dan ditendangi beramai-ramai. Tidak satupun di tempat itu yang bisa mengetahui apa yang bisa diperbuat oleh naluri. Tidak Sheena, ataupun orang-orang yang sedang menendanginya yang pernah menyangka-nyangka ketika Ava menerjang ke arah kerumunan. Tanpa berteriak. Hanya ekspresi dingin. Just one pure killing intent.

Pemuda itu melayangkan tendangan ke arah lelaki yang mengenakan jaket kulit. Tak sempat memasang kuda-kuda, lawannya segera terhuyung ke belakang terkena tendangan yang bersarang di dadanya. Tentu saja rekan-rekannya segera membalas. Ava dipukuli berkali-kali, namun pemuda itu masih sempat menyarangkan tinju beberapa kali. Hingga akhirnya sebuah bogem menghantam tepat di rahangnya.

Ava terhuyung. Kepalanya terasa ringan. Bahkan tubuhnya yang menghantam lantai keras tak dirasakannya lagi.

Kadek datang dengan bala bantuan. Warga setempat bersama pecalang ikut menengahi. Hingga makin lama orang-orang semakin ramai berkerumun di sekeliling studio tato Sheena. Sadar terjebak di dalam kerumunan massa, 5 orang Debt Collector memilih meninggalkan tempat itu. ‘Mad Dog’ menabrak tubuh Kadek kasar lalu keluar sambil mengumpat. “Jangan coba macam-macam dengan nama Mahessa Jayapratama! Kami akan membuat perhitungan!”

= = = = = = = = = = = = = = = =​

Yang pertama dilihat Ava ketika membuka mata adalah seraut wajah perempuan berambut pendek di hadapannya. Pandangannya masih kabur, dan kepalanya masih pening. Hanya suara berdenging yang terdengar di telinganya, sebelum akhirnya sayup-sayup ia bisa menangkap perkataan lawan bicaranya.

“Elu nggak apa-apa?”

Ava memicingkan mata. Dunia nampak beberapa kali lebih terang dari perspektifnya.

“Va…. Va… bangun, dong…” di sampingnya, Kadek sudah nampak khawatir menggoyang-goyang lengannya.

Sheena berlutut di samping Ava yang tergeletak. Mengompres kepala pemuda itu dengan es batu. Diusapnya wajah Ava yang babak belur karena membelanya barusan, meskipun wajahnya sendiri dipenuhi lebam.

Ava melirik prihatin ke arah wajah Sheena.

“Kamu… ng-nggak apa… apa…?” ujar Ava yang tergolek lemah, mengusap wajah Sheena yang lecet dan memar.

Ada beberapa detik ketika mata mereka saling bersitatap. Beberapa detik yang cukup lama untuk membuat kilasan-kilasan imaji kembali berkelebatan liar dalam ingatan Sheena. Dan di detik berikutnya Sheena merasa seperti jatuh ke dalam lubang hitam yang menelan kesadarannya. Semuanya gelap. Selamat datang di Limbo.

Bersambung

Daftar Part