Nirwana Part 20

Nirwana Part 20
The Rain’s Rhapsody
Matahari sudah agak tinggi ketika Ava melangkah menuruni tangga kayu gazebo kamarnya. Kadek yang menungu di bawah langsung terpingkal-pingkal begitu melihat penampilan baru sang adik kelas. Wajah Ava kini klimis. Segala jambang, kumis, ataupun janggut tebal yang tadinya menutupi, kini sudah hilang tak berbekas. Hanya tinggal seraut wajah khas Arab dengan hidung mancung dan tulang rahang tegas yang kini dibingkai rambut ikal sedagu.
Jangan ketawa kamu, Dek! Ava melotot ke arah Kadek yang tak juga berhenti tertawa.
Nah, gini baru mantap! Kadek berseru sambil mengacungkan ibu jari. Kalau gini kan jadi mrip Fachri Albar KW2! Hahaha!
Ava mendengus sebal, segera menyambar helm di bale-bale. Udah ah, katanya kita ada misi penting?!
“Oia! Hahahahaha!”
Tawa Kadek baru terhenti setelah Ava memitingnya.
Misi Penting. Pak De menugasi mereka berdua untuk mencari seorang model lagi untuk lukisan berikutnya. Agensi model Pak Nico, kolega Pak De di Seminyak sudah pasti akan menjadi tujuan utama, namun Kadek berinisiatif menghubungi cewek bertato yang ditemuinya di Pub Crossing Fate tempo hari. Wuih, pokoknya cantik, Pak De! Liar! Seksi! Promosi Kadek berapi-api. Sang Maestro lalu berkata bahwa, tidak ada salahnya mencoba. Model amatir seperti Ava kemarin malah bisa memberikan ekspresi natural bagi lukisan erotisnya.
Sudah barang tentu Indira yang paling antusias dengan ide Kadek. Ia malah memberikan kartu nama tempat Sheena membuka studio tato di Jalan Poppies II, bahkan kalau perlu Indira sendiri yang ikut ke sana untuk membujuk sang cewek tomboy.
Skuter butut Kadek segera meluncur ke jurusan barat daya menuju pantai Kuta. Hari beranjak siang ketika mereka sampai di sana. Kadek meliukkan skuternya dengan lincah menembusi jalanan yang ramai akan kendaraan. Spion mobil disikat, trotoar dikangkangin, tak takut mati apalagi takut polisi, begitulah motto sang pemuda yang konon terinspirasi dari sebuah lagu indie. Tak lama kemudian, suara skuter Kadek sudah terdengar terkentut-kentut ribut di tengah kemacetan Kuta di siang hari. Beberapa wisatawan asing nampak terganggu dengan suara knalpotnya yang lebih nyaring dari terompet tahun baru.
Yang kamu maksud ini, cewek yang tempo hari itu kan, Dek?! Yang waktu kita rusuh-rusuh di bar itu?! Ava harus sedikit berteriak agar suaranya tak tertelan bising.
Yoi!
Tapi perasaanku nggak enak, Dek!
Kenapa?!
Nggak tahu aja, pokoknya perasaanku nggak enak!
Kenapa sih, kamu?
Ava mengangkat bahu. Ia tidak bisa menjelaskan dengan dengan seksama. Persis seperti perasaan aneh yang menyergapnya ketika pertama kali sampai di Pulau Dewata, perasaan merinding yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Semua dirasanya serba ambigu dan abu-abu, bagai lingkar labirin yang ia bahkan tak tahu dari mana harus mengurainya.
Kasih gula aja, biar enak! sahut Kadek asal, lalu mengarahkan skuternya memasuki Jl. Poppies II tanpa mengurangi kecepatan.
Ada sebuah studio tato di antara leretan kios yang menyesaki jalan sempit itu. Eksteriornya dicat warna hitam-pink dengan mural bergaya gothic-loli. Papan nama besar dari neon banner terpajang di atasnya, bertuliskan Angel With Dragoon Tattoo yang dilukis bak poster film bioskop tahun 50-an.
Beberapa desain tato dipajang rapi di pigura di balik etalase. Dan Ava tidak bisa untuk tidak takjub ketika memandanginya. Sebagai mahasiswa seni rupa, dirinya sudah sering melihat ratusan lukisan atau desain. Namun kali ini ia menyaksikan lukisan yang seolah memiliki ruh, bagaikan lukisan Pak De, Sang Maestro.
Sheena sedang menyelesaikan sketsa desain tatonya yang baru, ketika pintu geser di hadapannya membuka.
Sheena segera mengenali Kadek sebagai pemuda yang terlibat baku pukul di Pub Crossing Fate tempo hari, namun ia terpaksa mengernyitkan dahi ketika Ava muncul dengan penampilan barunya.
Sheena langsung membuang muka.
Ada perlu apa? tanyanya ketus. Elu berdua ke sini nggak mau bikin tato, kan?
Kadek dan Ava berpandang-pandangan, tak tahu harus memulai dari mana. Penjelasan tentang Sang Maestro, pameran lukisan, dan model telanjang mendadak menyerbu benak keduanya bagaikan benang kusut.
Ogah! Gila aja, masa gue dijadiin model bugil?! sergah Sheena, langsung menolak mentah-mentah ketika Kadek mengutarakan maksud kedatangannya.
Mbaknya salah mengerti, kita di sini semua sesama profesional seni rupa. Nanti pasti ada honornya.
Sheena menelan ludah. Nominal yang disebutkan Kadek tentu bisa menyelesaikan masalah keuangannya dengan segera, tapi tetap saja; model telanjang? Yang benar saja! Suara batinnya terdengar berseteru.
Nggak! Sheena menolak untuk kedua kalinya, namun nadanya mulai terdengar ragu.
Duduk di sofa panjang, Ava hanya tersenyum dalam hati. Kadek ternyata berbakat menjadi sales MLM! Lihatlah bagaimana usahanya mempersuasi sang calon model. Dengan semangat 45, Kadek bahkan sampai menjual nama Sang Mastro dan pemeran tunggalnya di Perancis, namun tetap saja, Sheena bergeming dengan pendiriannya.
Kadek benar, cewek ini sebenarnya cantik, tapi sayangnya kumal! batin Ava berkata lagi. Lekat-lekat diperhatikannya perawakan Sheena. Meski sekilas tak terawat, Sheena memiliki sepasang tungkai panjang dan jenjang. Tubuh Sheena atletis, posturnya berada di antara langsing dan berotot dengan perut rata, pinggang ramping, dan pinggul berkurva yang menyokong sepasang buah dada indah yang dibungkus kaus ketat warna hitam. Mata Ava bergerak menelusur ke atas. Rambut pendek cepak membingkai wajah Sheena. Meski nampak kusut, namun tetap saja, tidak bisa menyembunyikan kesan sensual dari wajah cewek tomboy itu.
Gini… Lagi-lagi mbaknya salah mengerti. Kita bukan bicara pornografi…, ini seni murni! Fine art! Kadek masih berusaha mempersuasi.
Enggak!
Banyak orang ngantri cuma biar bisa dilukis sama Dewa Gede Subrata! Sang Maestro!
Thanks. Tapi gue nggak berminat jadi model.
Kenapa enggak? tiba-tiba Ava menimpali.
Kadek dan Sheena segera menoleh ke arah sumber suara.
Cocok, kok.
Sheena mengernyitkan dahi.
Kamu cocok jadi model! cetus Ava polos.
Nah, saya bilang juga apa! Mbak-nya ini punya potensi! pungkas Kadek pasti.
Mendengar itu, air muka Sheena seketika berubah. Awan mendung mendadak menggelayut melingkupi ruangan itu. Tidak Ava, ataupun Kadek menyadarinya, namun perlahan tapi pasti Sheena tidak berselera lagi menanggapi kedua orang itu. Pembicaraan diakhiri tanpa dicapainya kata sepakat. Hingga akhirnya Sheena mempersilahkan tamu-tamunya keluar. Nyaris tanpa bersuara.
Model? Yang benar saja! umpat Sheena sepeninggal Kadek dan Ava. Cewek berambut pendek itu memandangi pantulan wajahnya sendiri di cermin. Kumal dan menyedihkan. Andaikan dirinya memiliki wajah secantik Indira, siapa yang tak ingin? Tapi tetap saja, model? Puih! Sheena menertawai dirinya sendiri, getir dan sinis, menyadari bahwa dirinya tak akan mampu, walaupun ingin.
Sheena menghempaskan punggungnya di sofa panjang, berbaring memandangi langit-langit yang dicat warna merah darah. Harinya sudah cukup penat tanpa perlu ditambahkan sebuah wacana baru menjadi model telanjang. Sejak kemarin, penagih-penagih hutang dari Jakarta sudah mendatangi kos-kosannya.
Diperlukan modal besar untuk menyewa sepetak kios di Jl. Poppies II dan membeli peralatan tato bekas. Bank tidak akan meminjamkan uang begitu saja tanpa jaminan, membuat Sheena terpaksa meminjam uang pada seorang pengusaha di Jakarta, lintah darat yang berkedok koperasi. Tanpa agunan tapi dengan bunga yang menggila. Sheena tersenyum kecut, tak menyangka bahwa kisah hidupnya mendadak berubah menjadi cerita gangster di pertengahan cerita.
Tanpa sadar, cewek berambut pendek itu menimang-nimang kartu nama Pak De di tangannya, merunuti sebaris nomor telepon yang dicetak dengan font kecil. Cukup dengan satu panggilan saja ia bisa keluar dari permasalahannya, namun tetap saja…
Sheena menarik nafas, namun hanya hembusan keluh yang terdengar. Model…, bisik Sheena, dalam dan pelan. Sudah lama sekali angan-angan itu tidak pernah terlintas lagi dalam benaknya. Sheena mengira ia sudah mengubur jauh-jauh mimpinya itu, namun kali ini…
Sheena mendengus. Pandangannya kembali tertuju pada nama yang tertera di kartu kecil di telapak tangannya: Dewa Gede Subrata, itu berarti lukisannya akan ikut melanglang buana sampai ke Paris, kota mode. “Model, ya…. emang aku bisa?” Nafas panjang menghela untuk kali kesekian, hingga tanpa disadari ingatannya semakin lama semakin mengawang jauh…
Awan, sekarang aku harus gimana, bisik Sheena getir, ke arah udara kosong di hadapannya.
Pijaran lampu blitz berkilau sekilas. Membias ke atas wajah remaja manis dengan poni dan kacamata ber-frame tebal.
Cocok,
Cocok napa?
Cocok jadi model!
Kayaknya mimpinya ketinggian, deh.
Lho, apa salahnya punya mimpi?
Bersambung