Nirwana Part 17

0
977

Nirwana Part 17

Smaradhana

Ratih Dewi, citra khayalku,
prana dalam diriku,
yang haus asmara…
Nikmatnya bercinta…

Andika Dewa,
sirna duli Sang Smara,
Merasuk sukma,
menyita heningnya cipta…
Resah ku jadinya…

Prahara nestapa seakan tak kuasa
membendung asmara insan sedang bercinta
Gelora asmara di samudra cita
melenakan daku dibuai cinta…

Adalah Sang Smara, Sang Dewa Cinta, yang dibakar menjadi abu oleh mataketiga Hyang Shiwa karena mengusik meditasi Sang Mahadewa. “Meski Sang Smara sudah tak mempunyai raga, dia akan tetap hidup. Hidup dalam raga mahluk dunia,” berkata Sang Shiwa. Maka, disebarkalah abu Dewa Smara ke Marcapada, dunia fana.

Didorong oleh rasa cintanya, Dewi Ratih, Sang Dewi Asmara ikut menyusul suaminya ke dunia. Smara hidup tanpa wujud dalam hati laki-laki, sementara Ratih bersemayam dalam hati perempuan. Rasa hati di dalam setiap manusia hadir dari peran mereka. Mereka yang selalu terpisah dan selalu ingin untuk bersatu, walau kesempatan itu tidak mudah. Terjal dan berbatu.

Keterpisahan dan penemuan kembali. Adam dan Hawa yang terusir dari Paradiso, Pohon pengetahuan atau dengan apapun ia digambarkan. Manusia menghabiskan setengah hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya yang terpisah jasad, yang dulu pernah berjanji di alam Ruh untuk saling menemukan ketika terlahir di dunia.

Indira mengira bisa menemukannya dalam diri Dewa, mahasiswa kedokteran tampan, panitia kejuaraan bola basket tempat sekolahnya bertanding 2 tahun yang lalu. Dewa memang tampan dengan darah setengah bule seperti dirinya. Apalagi pemuda itu tercatat sebagai mahasiswa kedokteran tahun kedua. Sebuah alasan mutlak yang bisa membuat gadis manapun tergila-gila padanya.

Namun bukan itu yang membuat Indira jatuh cinta pada Dewa. Ngurah si Ketua Osis atau Gung Putra si Center Klub basket jauh lebih tampan dan lebih macho dari Dewa – yang menurutnya cenderung metroseksual. Permasalahannya, ada yang unik dari diri pemuda itu. Dewa benar-benar sulit ditebak! Dewa seperti segelas minuman yang lezat, tapi dia tidak membiarkan Indira menenggak habis. Dibiarkannya bibir gadis itu mencicip sedikit, sebelum menjauhkan gelasnya. Hingga tinggal Indira yang penasaran setengah mati.

Hari ini ia memuji potongan rambut Indira yang baru; besoknya dia bisa mencela sifat manja Indira. Di dalam Mall dia menolak membawakan barang belanjaan Indira; namun di parkiran kepala Indira sudah dipayungi dari hujan dengan jaketnya. Pernah di hari jadian mereka, Dewa alpa membawa bunga hingga Indira menangis; namun ketika hendak pulang baru nampak seekor boneka beruang raksasa yang membuat tangis Indira makin menjadi.

Dewa tidak pernah terlalu memuji, tetapi menantang Indira untuk lebih baik. Dewa tidak mengejar-ngejarnya seperti cowok-cowok lain, tapi membiarkan Indira yang mengejar-ngejarnya. Dewa tidak melakukan apapun yang diminta Indira, Dewa dapat menolaknya dengan tegas terlebih bila permintaan itu tidak masuk akal, meski harus melihat Indira berguling-guling di tanah sekalipun.

Namun Dewa juga selalu berhasil memberi kejutan yang tak disangka-sangka bagi sang gadis kecil. Masih jelas teringat dalam benak Indira, ketika Dewa mengajaknya makan malam di rumah sang kekasih di daerah Bukit Ungasan, Jimbaran.

“Dewa, apaan sih, gelap nie…,” rengek Indira lucu, karena matanya sedang ditutup kain. Indira yang terbalut gaun panjang warna putih tentu kesulitan untuk berjalan. Dalam tutup itu, sanubari Indira dipenuhi ratusan debaran yang demikian penasaran. Benaknya dipenuhi sekian gerangan, mencoba menerka kejutan apakah yang akan diberikan Sang Pangeran?

Tabir dibuka.

Indira tidak bisa untuk tidak terhenyak. Ia hanya bisa menutup bibirnya dengan tangan, karena pelupuk matanya sudah penuh dengan perasan haru yang siap membuncah. Seumur hidup belum pernah ada yang melakukan hal seperti ini untuk dirinya:

Rimbun pepohonan di hadapannya demikian indah dihiasi ribuan lampu yang berkelap kelip seperti gugus-gugus bintang. Sementara di ujung membentang kain tetoron raksasa, disorot dengan proyektor LCD bertuliskan “Happy Birthday Indira” yang kemudian berganti dengan montase video dari Dewa dan teman-teman Indira diiringi lagu “If You’re not The One”-nya Daniel Bedingfield yang mengalun dari sepasang amplifier di pojokan.

“Dewa… ngapain kamu buat kaya ginian?” Bidadari itu sesengukan dalam pelukan Pangerannya.

Dewa bahkan tidak perlu menjawab. Pemuda itu cukup mengalungkan sebentuk kalung berbentuk cinta di hati Indira, yang membuat semburat tangis bahagia pecah dalam pelukannya.

“If you’re not the one
then why does my soul feel glad today?If you’re not the one
then why does my hand fit yours this way?

If you are not mine
then why does your heart return my call?

If you are not mine would
I have the strength to stand at all?”

= = = = = = = = = = = = = = = = =​

“Bohong, masa Dewa romantis kaya gitu?” sambar Ava, tidak terima mendengar penuturan Indira.

“Dia dulu beda, Va,” sahut Indira getir. “Dia dulu nggak kaya gini…”

Kepada pemuda brewok di sampingnya Indira lalu bercerita, kehadiran Dewa dalam kehidupannya bagaikan sebuah oase segar bagi remaja belia yang haus akan kasih sayang orang tua. Indira masih ingat benar, waktu itu Dewa bukanlah lelaki yang kasar, dan dirinya bukanlah bidadari yang liar, atau begitulah setidaknya yang dikenangkannya. Semuanya terasa semakin jauh kini. Namun sedapatnya Indira mencoba kembali mengenang kembali saat-saat Dewa mendekap tangannya sambil berdansa berputar-putar setelah menyelesaikan makan malam romantis malam itu….

Mereka berdansa di halaman villa milik keluarga Dewa di Bukit Ungasan, Jimbaran, Villa yang terletak tepat di gigir tebing di mana Samudra Hindia bergolak ganas di bawahnya. Mereka terus berdansa di halaman yang dihias seperti Taman Langit dengan ratusan lampu. Sementara lagu dari The Carpenters mengiringi langkah keduanya.

“Why do stars fall down from the sky
Every time you walk by?
Just like me, they long to be
Close to you…”

Mereka saling bercekikikan. Dan Indira harus tersenyum-senyum melihat kekasihnya melangkahkan kaki dengan kikuk. Gadis remaja itu melingkarkan sepasang tangannya di leher dan bahu Dewa, sementara pemuda itu mendekap pinggang Indira lembut. Happiest momment of her life, begitulah setidaknya yang diingat Indira kini. Walau semakin tersamar, Indira masih bisa mengenang ketika bibir lembut kekasihnya menempel di bibirnya, atau ketika sepasang matanya memejam, membiarkan cinta mereka mengalir seiring desah nafas yang saling mengisi…

“On the day that you were born the angels got together
And decided to create a dream come true
So they sprinkled moon dust in your hair
Of golden starlight in your eyes of blue”

Blackberry Indira berdering dari tas kecil yang ditaruh di atas meja menyentak sang bidadari dari alam mimpi.

“Telepon, tuh,” kata Dewa sambil tetap memeluk Indira.

“Biarin, deh…”

“Angkat aja, siapa tahu penting.”

Indira tercengir lucu. “Hehe.. maaf yah, merusak suasana… bentar, yah…, hehehe…,” ucapnya lalu berjingkat jenaka ke arah sumber suara.

Dahi Indira seketika mengernyit begitu melihat nama si penelpon. “Apa?” sahutnya ketus, lalu terdiam karena lawan bicaranya nampak sedang mengomel di seberang telepon.

“Kenapa baru sekarang?” suara Indira bergetar. “Ajik tahu sekarang ini ulang tahun Indira?”

“Blah… blah… blah… Always like that.. yeah, I know that… Nggak apa kok, Jik… Ajik kan memang nggak pernah peduli sama Indira…hahaha…” Indira tertawa sinis, namun tangannya mulai resah meremas-remas ujung gaunnya.

“Dewa….” kata Indira kepada ayahnya, kemudian terdiam. “Memang kenapa?”

Ayahnya berbicara lagi di seberang telepon. Pundak Indira mulai naik turun semakin cepat dan wajahnya sudah sedemikian memerah menahan emosi yang membuncah.

“Biar! Dewa lebih peduli sama Dira daripada Ajik.”

Indira terdiam lama mendengar sang ayah yang sepertinya sedang mengomel.

Please … Jangan sekarang.. Jangan rusak kebahagiaan Dira malam ini, Jik.” Indira berkata pelan, mulai terisak. Dewa memeluknya dari samping, perlahan dibelainya rambut kekasihnya. “Jangan sekarang, Jik….”

“Ajik nggak pernah ada buat Dira! Ajik selalu sibuk! Selalu sibuk! Selalu! SELALU! SELALU! AJIK NGGAK PERNAH SAYANG DIRA! AJIK NGGAK PERNAH PEDULI! AJIK NGGAK PERNAH! KALAU AJA MAMA MASIH ADA…. KALAU SAJA MAMA… MAMA…. AAAAARHHH!” Indira berteriak histeris. “AKU SUDAH NGGAK PUNYA SIAPA-SIAPAAAA! “ Indira meraung-raung histeris sambil bersimpuh di atas rumput.

Dewa segera memeluk Indira yang menangis sesengukan di pelukannya. Didekapnya tubuh Indira yang bergetar hebat erat-erat.

“Dewaaaaaa, aku sudah nggak punya siapa-siapa lagi…” Indira tersedak dalam sedu-sedan. “Mama… mama….”

Dewa seperti tidak mampu berkata sepatah katapun, Ia hanya memeluk Indira erat, sangat erat sambil membelai rambut gadis itu. Meski tanpa sepatah pun kata, setiap dekap dan belainya seolah ingin berkata: kamu tidak lagi sendirian.

“He’s the one...” bisik Indira, ketika ingatannya kembali terjangkar ke saat ini.

Ava hanya bisa tertegun lama mendengar cerita Indira. Selama ini ia mengira Dewa tipikal cowok arogan dalam FTV-FTV murahan di televisi. Cowok ganteng tapi jahat yang digila-gilai pemeran utama wanita, sebelum akhirnya meninggalkan ceweknya di pertengahan cerita. Klise. Namun kini, barulah Ava menyadari alasan sebenarnya kenapa Indira tidak pernah bisa melupakan pemuda itu.

Ava menarik nafas berat. Dibanding sang pangeran, apalah arti dirinya selain kain kucel di antara cemerlang bintang?

Bersambung

Daftar Part