Nirwana Part 14

0
984

Nirwana Part 14

Angel and The Dream Painter

Adalah ‘The Beautifull Creature’, proyek terbaru Sang Maestro. Beberapa bulan lagi, mahakarya Pak De akan dipajang di Perancis. Jika pameran ini benar akan terlaksana, maka Gede Subrata akan menjadi satu-satunya pelukis Indonesia yang masih hidup yang memperoleh kehormatan bersanding dengan nama-nama besar seperti Affandi dan Basoeki Abdullah.

Hadir dengan ciri khasnya yang menampilkan tubuh-tubuh telanjang manusia, dalam karya-karyanya yang megusung tema ‘Lustfully Beautifull’ ini, Sang Maestro akan tampil dengan lebih pretensius. Erotis, Provokatif, tapi Indah! Seru Pak De berapi-api kepada Ava.

Hari yang dinanti tiba. Sang Mestro memilih senja hari untuk memulai melukis mahakaryanya. Di saat matahari sudah condong ke barat dan cahaya putihnya dipendarkan oleh atmosfer menjadi spektrum berwarna jingga-kekuningan. Angin berhembus sepoi-sepoi dari arah sawah yang bertingkat-tingkat, membawa bunyi rindik, sejenis gamelan yang terbuat dari bambu yang mengalun dari Bale Banjar di kejauhan.

Sinar senja menelusup dari jendela kayu, membentuk garis-garis cahaya di udara. Indira melintas di antaranya. Sekilas pandangan mata Indira menyapu mata Ava yang resah menunggu. Angin berhembus, membuat rambut dan kimono batik coklat yang dikenakan sang bidadari berkibar di udara. Sepersekian detik kemudian kimono tipis itu tejuntai jatuh ke lantai, meninggalkan telanjang tubuh yang tak tertutup sehelai benangpun.

Ava memandang tak berkedip ke sosok indah di hadapannya. Rambut Indira yang coklat dan bergelombang tergerai indah menutup payudaranya yang ranum, menyisakan sepasang benda merah muda misterius yang mengintip dari ribuan helainya.
Indira menunduk tersipu, menyadari pandangan Ava ke arah tubuhnya yang tak tertutup sehelai benangpun. Malu-malu, disilangkannya tangan mungilnya di atas tato mawar, menutupi bagian terpenting tubuhnya.

Indira duduk di sofa panjang di depan Ava, menyilangkan paha sambil tangan kirinya sibuk mendekap dadanya rapat-rapat, seolah enggan mewariskan misteri yang belum juga terkuak ke dalam benak sang pemuda.

Ava hanya bisa berdiri jengah melihat Indira dalam keadaan tak berbusana. Mati-matian ia berusaha menahan diri kejantanannya agar tak mengeras tanpa izin resmi.

“Gimana, Ava? Indira cantik, kan?” Pak De bertanya sambil mengaduk beberapa warna cat minyak menjadi satu dalam palet.

“Enggak cantik, Pak De… tapi jegeg.”

Tawa Pak De dan Indira pecah mendengarnya. Dua kata itu memang berarti sama.

“Ih! Ava sok-sokan bisa bahasa Bali! Pasti diajarin Kadek!” cemberutnya bercampur tawa.

“Jeg jelas, toh!” Pak De berdehem, memandang lekat-lekat tubuh puterinya. “Indira adalah model saya yang terbaik kedua.”

“Yang pertama siapa kalau boleh tahu?”

“Almarhumah istri saya.”

Ava tidak enak hati mendengarnya. “M-maaf, b-bukan maksud saya.”

Pak De mengekeh getir. “Haha, santai saja. Hidup ini ujungnya cuma satu. Mau Hindu, Selam, Budha. Kamu, saya, kita sebenarnya menuju akhir yang sama. Semua tinggal masalah waktu. Saya hanya berharap mudah-mudahan dia bereinkarnasi jadi cucu saya. Ah, ngomong-ngomong soal cucu. Indira! Kapan kamu nikah?” Pak De menoleh kepada Indira.

Pertanyaan itu segera dijawab dengan juluran lidah Indira yang kini asyik tidur-tiduran di sofa panjang sambil memain-mainkan sepasang tungkainya. Ava mencoba tak melirik. Belahan nan tembem dan putih di antara paha Indira tak sengaja berkelebat ke dalam matanya.

“Ajik serius, nih!” kata Pak De untuk kedua kalinya.

“Si Dewa PACARMU itu mau nyentana, kan?”

“Mau! Sapa lagi yang mau kalau bukan dia!”

Nyentana? Ava tidak jelas mengerti yang ayah beranak itu bicarakan. Meski dalam hati dia berharap Pak De berkata “Ava, kamu mau jadi menantu saya?”

Senyum pahit mengembang di bibir Ava, menyadari betapa muskil angan-angannya itu.

= = = = = = = = = = = = = = =​

“Ava, kamu juga buka baju! Ambil posisi!” perintah Pak De tegas.

Jantung Ava seolah berhenti berdetak. Hidup ini penuh ketidakpastian yang mustahil dibingkai dalam keteraturan. Ava menyadari itu. Takdir hanyalah konsep yang diciptakan agar manusia tetap waras dengan segala ketidakteraturan dalam alam semesta. Namun dirinya pun tidak pernah menyangka-nyangka bahwa “sesuatu” yang dimaksud Indira kemarin adalah menjadi model lukisan telanjang bersama sang gadis untuk pameran tunggal Sang Maestro di Perancis.

Pak De berkata bahwa dalam lukisannya kali ini dirinya ingin mencari model sebagai counterpart Indira yang feminim. “Saya mau mencari model cowok yang berwajah liar! Liar! Benar-benar liar! Seperti Raaaawwr!” kata Pak De berapi-api seperti kesurupan setan harimau.

Tentu Pak De merujuk pada brewok dan bulu dada yang merimbuni tubuh Ava. Entah ia harus merasa tersinggung atau malah beruntung dengan hal Ini.

“Pak De… y-yakin…? B-badan saya kan biasa aja… u-udah, Kadek aja…” tergagap Ava berkata. Dirinya benar-benar ingin mengelak di saat-saat terakhir ini.

“B-bukannya gimana… S-saya… nggak enak sama Pak De… masa saya sama Indira….” Sungguh, meskipun ingin, ia benar-benar jengah apabila harus berpose mesra bersama Indira terlebih lagi di depan sang ayah.

“Santai. Hilangkan pikiran bahwa Indira itu puteri saya. Kita sama-sama profesional saja. Nanti ada honornya,” kata Pak De, sambil menepuk pundak Ava. Apalagi begitu mendengar nominal yang cukup sebagai DP sebuah motor bebek, makin membuat hati sang pemuda bimbang.

“Udah… buruan, ah! Dingin, nie,” Protes Indira sambil tidur-tiduran di sofa panjang. Kali ini dengan santainya ia menelungkup di atas sofa, sehingga memamerkan lekuk pinggang dan pantatnya yang membulat sempurna bak gunung dan lembah nan berkelok indah ditimpa sinar sore yang berwarna keemasan.

Tentu saja, hal ini seharusnya membuat ‘sesuatu hal’ hendak mencuat dari balik kimono batik yang dikenakan Ava. Pemuda itu menarik nafas panjang mencoba mengembalikan fokus pikirannya.

Barusan Ava sudah membuat persiapan matang agar ia tampak seperti model profesional. Model pro tidak boleh ereksi saat dilukis. Ava harus masturbasi beberapa saat sebelumnya hanya agar tidak menyinggung perasaan Pak De.

Malu-malu Ava melepas kimononya, sehingga memperlihatkan tubuh berotot yang sudah tidak tertutup apa-apa dari baliknya. Pak De menepuk pantat Ava, berkata bahwa kontur otot tubuh sang pemuda benar-benar bagus, terutama otot-otot paha dan pantatnya. Apalagi ditunjang dengan bulu-bulu lebat yang memenuhi dada hingga perutnya, benar-benar akan memberikan aksentuasi liar pada lukisannya nanti. Savage! pungkas Sang Maestro antusias.

Ava hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Pemuda itu menutupi bagian bawah tubuhya dengan telapak tangan dan berjalan rikuh ke arah Indira. Ia pernah telanjang di depan orang lain sebelumnya, namun untuk menjadi model nude painting? Bahkan membayangkannya saja ia tidak berani!

Pak De mulai mengatur posisi modelnya. Ava diperintahkan tidur telentang di atas sofa panjang, bersandar pada beberapa bantal warna krem yang ditumpuk. Sementara Indira diarahkan dalam posisi berbaring menghadap tubuh pasangannya. Kepala Indira disandarkan di atas pundak Ava, sementara tangan Indira memeluk leher sang pemuda. Sepasang tungkai jenjang Indira mengangkangi paha Ava, membuat posisi mereka seperti sepasang kekasih yang kelelahan setelah berhubungan intim.

Dalam posisi ini, jelas sekali Ava bisa merasakan payudara Indira yang lembut kenyal terhimpit di atas tubuhnya yang berbulu lebat. Hangatnya, mulusnya, kenyalnya payudara ranum remaja itu demikian terasa, sehingga memaksa jantung sang pemuda mempercepat debarannya. Berliter-liter darah beserta hormon testosteron kini dipompakan menuju bagian bawah tubuhnya. Dan Ava tak bisa lagi mengelabui birahi. Tanpa bisa diantisipasi, pelan tapi pasti ia merasakan organ reproduksinya mulai memberikan reaksi.

Indira tersenyum menyadari ada sesuatu yang menegang di bawah sana. Gadis itu mengangkat pinggulnya sedikit, memposisikan batangan yang semakin mengeras di antara sepasang pahanya.

“Sorry,” bisik Ava. “Aku nggak sengaja. Ini nggak bisa ditahan.”

“Ng-nggak apa-apa… Udah, diam saja,” balas Indira dengan suara tak kalah pelan. “Kamu mau dimarahin Ajik?”

Ava menahan nafas dengan tegang bercampur rikuh. Kejantanannya yang mengeras kini terhimpit paha Indira, bergesekan langsung dengan lepitan di antara dua paha yang entah kenapa dirasanya semakin lembab.

Pak De menangkupkan sehelai kain batik sutra tipis di atas pinggul mereka berdua, hanya agar lukisan itu tidak terlalu vulgar. Meski batas antara pornografi dan seni itu sungguh tipis.

“Ini baru artistik.. ck-ck… saya memang maestro… ini bakal jadi masterpiece…” Pak De bicara sendiri sambil mengukur-ngukur frame dengan jari-jarinya yang dibentuk seperti kotak.

Ava belum menyadari, bahwa nafas remaja blasteran di pelukannya itu mulai beranjak memburu. Riak birahi juga mulai bergejolak ramai di dada Indira. Terlebih lagi kini urat-urat di sepanjang batang kejantanan Ava mulai menggesek-gesek bibir kewanitaannya saat mereka berdua diperintahkan memperbaiki posisi, memaksa kelenjar-kelenjar di selangkangan remaja itu mulai mensekresikan cairan pelicin.
“Ooooh!” Indira mengejang. Ujung kejantanan Ava tak sengaja menyenggol klitorisnya!

Mata Indira seketika memejam, dan tubuh ranum sang gadis remaja gemetar hebat menahan nikmat! Indira terpaksa mengatupkan bibirnya kuat-kuat hanya agar tidak mendesis dan mengerang di depan ayahnya.

“Ck-ck.. Dira… Dira… kok tumben kamu grogi gini? bukannya kamu sudah sering jadi model Ajik. Kemaren yang sama Bli Hendra kan lebih dari ini!”

“Beda lah, Jik. Bli Hendra kan homo,” protes Indira membela diri.

Ava membatin dalam hati. Astaga, adakah ayah yang menjadikan putrinya yang masih SMA sebagai model lukisan telanjang bersama laki-laki lain? Ada, orang itu adalah Pak De, pelukis terkenal yang karyanya melanglang buana sampai ke Perancis!

“Yak, ditahan begitu…. yak… bagus!” seru Pak De sambil mengacungkan ibu jari.

Ditahan, ditahan gundulmu! batin Ava lagi, karena saat ini Indira mendekapnya dalam posisi yang mesra. Sangat mesra malahan. Pemuda itu bisa merasakan sekujur tubuh telanjang Indira yang melekat di kulitnya, begitu lembut, begitu kenyal, begitu hangat, begitu… basah…

Hah? Ava terpaksa mengernyitkan dahi.

Belahan kewanitaan Indira ternyata sudah membasah sedari tadi. Ava tidak bisa dengan jelas memastikan, tapi samar-samar ia bisa merasakan lendir hangat mulai melumuri kajantanan hingga buah zakarnya.

“Sorry, can’t control it…” bisik Indira di antara nafasnya yang sudah sedemikian memburu. Jantung mereka yang berhimpitan semakin berdegup kencang, saling bersahutan ramai.

Di tengah badai birahi yang mendera pasangan itu, Sang Maestro dengan tekunnya melukis mereka. Sesekali kening Pak De berkerut-kerut sambil mengaduk cat minyak pada palet di tangan. Disusul bibirnya yang bergumam-gumam tidak jelas saat kembali berkonsentrasi menggoreskan kehangatan sepasang insan itu di atas kanvas.

Ava melirik ke arah Indira. Dari jarak sedekat itu, dengan jelas ia bisa melihat wajah gadis pujaan hatinya mulai merona. Birahi ikut mewarnai wajah cantik setengah Indira dengan semburat rona kemerahan di pipinya. Dengan jelas pula Ava bisa membaui nafas Sang Bidadari yang luar biasa harum, keluar dari bibir ranum yang mengenggah dan terbuka secelah.

Indira melirikkan bola matanya ke arah Ava, sehingga untuk sesaat pandangan mereka bertemu. Indira ikut tersenyum padanya. Sayu. Sendu. Pasrah. Seolah ingin menyerahkan seluruh tubuh belianya pada pemuda brewok itu.

Alunan angin dan rindik yang mengalun tak terdengar dengan jelas lagi di telinga keduanya. Karena yang ada hanyalah degub jantung yang saling kejar mengejar. Dan engkau tak pernah tahu tentang apa yang sanggup dilakukan oleh sebuah insting hewani bernama birahi. Ia hadir bagaikan ombak, yang bermula riak namun pelan-pelan membesar menjadi gemuruh dan badai. Dan kini Indira tidak dapat lagi menahan badai yang berkecamuk hebat di antara dua pahanya. Entah setan apa yang membisiki Indira, hingga ia mulai menggerakkan pinggulnya, -entah sengaja ataukah tidak- menggeseki batang kejantanan Ava dengan bibir kewanitaannya yang luar biasa licin.

“Mmmmh…. ” Lengguhan pelan tak bisa tertahan lagi, menyusup keluar dari bibir ranum sang bidadari.
Pak De tiba-tiba mengernyit, melihat lagi ke arah mereka ketika hendak melukis lekuk pinggul Indira. Anak itu langsung menghentikan kegiatannya, pura-pura kembali berkonsentrasi menjadi model. Barulah ketika perhatian ayahnya teralihkan, Indira kembali menggerak-gerakkan pinggulnya, sehingga kejantanan Ava seolah-olah bermain perosotan di lembah indah nan meliuk licin di antara pangkal paha remaja itu.

Gila! Apa yang dilakukan Indira! batin Ava panik! Bagaimana kalau Pak De tahu?! jerit Ava dalam hati.

“D-Dira, jangan nakal!” bisik Ava panik.

“N-nggak apa-apa…. Hhhh-hh…. hh-h… Ajik… nggak lihat….,” sahut Indira dalam bisikan yang tersamarkan oleh gairahnya. Sekujur tubuh remaja itu gemetar didera nikmat yang teramat sangat tatkala batangan Ava yang berurat kembali menggesek-gesek bibir kewanitaan sekaligus klitorisnya yang sudah diliputi cairan cinta.

“Heh! Jadi model nggak boleh ngobrol!” tegur Pak De. Sesaat kemudian beliau kembali berkonsentrasi pada kanvas sambil bergumam-gumam sendiri.

Indira mulai beraksi, lagi. Sepasang bibir kewanitaan yang sudah licin mulai membelai kejantanan Ava di balik tabir kain sutra batik. Menimbulkan sensasi geli yang teramat-sangat-nikmat bagi keduanya. Indira menahan nafas. Mengatupkan bibirnya kuat-kuat agar tidak merintih-rintih. Terlebih ketika ujung kejantanan Ava membelai titik sensitifnya dengan lembut, sangat lembut, hinggga menimbulkan suatu sensasi yang membuat matanya membeliak dan memejam dengan binalnya.

“Hah… hah… hhh-h.. hh…” Nafas Indira semakin memburu. Wajah cantik setengah bule-nya semakin sayu, dan semakin bertambah seksi karena rona merah di pipinya mulai dibasahi oleh bulir-bulir keringat. Dan Indira semakin larut dalam orkestrasi birahi. Pinggulnya terus bergerak mengikuti irama Sang Dirijen Nafsu. Desah nafasnya mengalun sedemikian rupa seperti alunan Fantaisie-Impromptu-nya Frederic Chopin.

“Nah, begitu… eskpresinya dihayati begitu… bagus… bagus… Aah! Ini bakal jadi masterpice! Saya memang maestro!” jerit Pak De dari kejauhan.

Sudut mata Ava menatap tajam ke arah Pak De, kalau-kalau beliau memperhatikan tindakan puterinya itu. Jantung sang pemuda kini berdebar-debar tidak karuan, antara dimabuk nikmat dan khawatir Sang Maestro jatuh murka bila mengetahui perbuatan mereka. Namun sepasang bibir yang yang hangat, lunak, dan basah demikian bergerinjal-gerinjal di selangkangannya, membuat semburat nafsu binatang menyeruak mematikan akal sehat Ava.

Indira pun merasakan debaran yang serupa, namun debaran ini memberikan sensasi tersendiri baginya! Sungguh, perasaan takut-takut dipergoki dan geli ini, memberikan rangsangan seksual yang berlipat-lipat-lipat-lipat sampai ubun-ubunnya!
Pak De berdehem, mengukur-ukur pencahayaan dengan tangannya. Indira sontak berhenti. Pak De kembali melukis, Indira kembali beraksi. Demikian berulang-ulang, sehingga birahi Ava seolah dipermainkan oleh Indira. Ava benar-benar ingin melesakkan kejantanannya ke dalam tubuh Indira, namun akal sehatnya yang masih tersisa sedikit membuatnya tidak sampai hati melakukan hal itu.

Ava melirik ke arah Indira dan mendapati bidadarinya itu menatap dengan tatapan nanar. Wajah sayunya seolah berkata: Masukin aja, Va…nggak papa…

“Tulilut♪♪ Tulilulilut♪♪♪ Tulilut♪♪” Ponsel Pak De berbunyi. Beliau mengangkatnya.

“Bonjour, monsieur…” Pak De berbicara dengan bahasa Perancis, tentu saja Ava tidak paham. Sang Maestro nampak beranjak dari tempat duduknya, mungkin karena sinyal di ruang itu jelek untuk menerima panggilan luar negeri.

“Halo.. haloo?” jerit Pak De berkali-kali sebelum akhirnya berbalik ke luar studio lukis. Melangkah menjauh.

Indira tak bisa menahannya lagi. Dalam nafasnya yang memburu, sang gadis meraih kejantanan Ava dan diarahkannya tepat ke belahan kewanitaannya yang sudah licin dan menjerit-jerit ingin segera didatangi.

“Eh, Dira.. Kamu mau apa?”

“U-udah, t-tenang ajah.. aah… hah.. hh… h-h…” Wajah Indira sudah memerah didera birahi yang membuncah.

“J-Jangan, n-nanti k-kamu..” Ava panik ketika pelan-pelan ujung kejantanannya mulai mendesak dan membelah bibir kewanitaaan Indira.

“Ng-nggak apa-apa… aku udah… enggak… virgin… ooooh… uungggh…” Indira mendesis kecil ketika kejantanan Ava melesak memenuhi tubuhnya. Suatu sensasi yang sudah diidam-idamkannya sedari tadi. Sensasi berupa geli dan kenyal yang meyeruak di dinding-dinding kewanitaannya yang basah dan saling berkontraksi.
“Oooooouuuuh.. gilak… kontol kamu…. gede bangeth, oouuuuh.. hah.. hh… hh…” Indira meracau tidak karuan saat kejantanan Ava mentok sampai ujung rahimnya. “Auuuuhhh… aaauuuh……. gini ternyata rasanya dientotin kamu…. uuuungggh…”

“Mmmnnnnh..” Ava tidak menjawab, hanya mengeram tertahan sambil memejamkan mata. Lorong Indira dipenuhi kerat-kerat nikmat yang begitu sempit dan legit, jauh berbeda dari lorong-lorong yang pernah dijelajahinya selama ini.

“Oh, maaf-maaf… ini ada telepon dari Mr. Piere. Oh, sampai mana kita? Oh iya…” Pak De bicara pada dirinya lagi. “Oh iya, eng… kenapa kalian tegang gitu? Capek? Mau istirahat dulu?” kata Pak De sambil duduk di atas kursinya.

“B-Biar… nggak usah, Jik…” sahut Indira parau, menahan nikmat dari kejantanan Ava yang menancap dan berkedut-kedut di tubuhnya. Sebuah kenyataan yang hanya terhalang pandang oleh secarik kain batik tipis dari mata ayahnya.

“Ah, sebentar-sebentar… kok ada yang aneh?” Pak De beranjak mendekati mereka.
Deg!
Deg!
Deg!​
Deg!​
Deg!​

Jantung Ava sudah berasa hendak melompat ke lantai seiring langkah kaki Pak De yang kian mendekat.

Ternyata beliau memperbaiki letak kain batik itu. Jantung Indira pun berdebar tidak karuan. Namun sensasi ini, sensasi berdebar-takut ketahuan-ini benar-benar membuatnya terangsang dan meradang.
Birahi yang ditahannya sekuat tenaga membuat perutnya bergetar-getar tak karuan!

Pak De memperbaiki letak rambut Indira yang menutupi dadanya, tangan Pak De menyenggol-nenggol payudara Indira, membuatnya tidak bisa lagi menahan desisnya.

“Oouuuhh!” Indira mendesis kecil sambil menggigit bibirnya “Geli, Jik…”

“Ck-ck-ck… biasa aja kali,” jawab Pak De enteng.

“Beres, gini baru estetis!. Saya memang maestro, hahaha!”

Pak De kembali ke tempat duduknya semula dan mulai melukis sepasang Insan -yang ia tidak tahu- sedang bersetubuh itu. Tubuh telanjang mereka menyatu, berhimpitan, dan melekat erat. Sebuah persenggamaan yang hanya dihalangi sehelai kain tipis dari mata sang ayah.

Kejantanan Ava yang tenggelam dalam lorong gelap itu mulai berkedut-kedut menahan sensasi geli dan hangat yang menjalar berlapis-lapis sampai otaknya.
Wajah Indira semakin merona merah. Sepasang matanya berubah sayu, menatap nanar ke arah Ava. Nafas remaja itu sudah menghembus-menggegah tak beraturan. Sensasi disetubuhi orang asing di depan mata ayah kandungnya membuat Indira tidak bisa berpikir jernih lagi.

Gadis belia itu mulai mengkontraksikan dinding otot-otot kegelnya, membuat kejantanan Ava seperti tersedot-sedot dalam ruang hampa. Lorong yang sempit dan becek itu semakin sempit dan sempit, seperti memijat-mijat kejantanannya, bukan… lorong sempit itu seperti hidup! Seolah sedang mengunyah kejantanan Ava dalam kenikmatan tak berujungpangkal!

Ava mengejang hebat. Matanya memejam kuat-kuat demi menahan suatu gejolak yang hendak meledak di bawah perutnya.

“Ummmmh… Dira, j-jangan… n-nanti… nanti… aku keluar… di dalam… ohh…” Ava berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

“Nggak apa… ahh… keluarin aja… aaah… hahhh… hhh-h… h-h…” bisik Indira tak kalah pelan.

“Ea-ea-ea.. Model jangan bisik-bisik!” kata Pak De, tanpa mengalihkan matanya dari kanvas.

Indira semakin mempercepat kontraksinya, dengan irama 3 kali kontraksi cepat, dan 1 kali kontraksi yang kuat dan lambat, yang membuat Ava berada di ambang ejakulasi.

Nafas keduanya sudah demikian memburu, peluh sudah mulai membasah di antara tubuh telanjang yang berhimpitan itu. Mereka bisa meledak sewaktu-waktu! Entah apa yang terjadi kalau mereka mencapai puncak kenikmatan di depan ayah Indira.

“Tulilut♪♪ Tulilulilut♪♪♪ Tulilut♪♪” Ponsel Sang Maestro berbunyi untuk kedua kalinya.

“Ah! Dasar! Orang Perancis ini!” omel Pak De sambil mengangkat telepon dan berlalu agak jauh hingga mereka tidak mendengar suara percakapan lagi.

Kepergian Pak De seperti sumbat yang dibuka. Secepat kilat Indira langsung menyambar bibir Ava. Pemuda itu menyambutnya dengan pagutan liar yang saling membelai dan membelit.

Birahi yang serupa magma yang sedari tadi ditahan keduanya kini menggelegak bak kawah gunung berapi. Indira meliukkan pinggulnya dalam gerakan primordial membuat Ava merasa dirinya tersedot ke dalam liang hangat yang berdenyut nikmat. Tubuh mereka berguncang-guncang liar di atas sofa, sehingga kain yang menutup pinggul mereka jatuh di lantai, menampakkan pantat dan pinggul Indira yang putih ranum. Ava merengkuh pantat itu, meremas-remasnya kasar.

Sepasang tubuh telanjang yang sudah dipenuh peluh dan birahi yang demikian menggelora itu seketika bergelut, saling lumat, dan saling hisap, memasrahkan semuanya kepada birahi yang bergolak-golak!

“Ava… Ava… ooh… entotin aku Va…. entotin akuuuuuhhhh…. sssssshhhh…. sssssssh!”

Jeritan, dan rintihan mereka antara berteriak dan berbisik. Antara hendak memproklamirkan kepuasan seksual dan takut ketahuan.

“Ava… Ava… ooh… akuuuuuhhhh…. sssssshhhh…. sssssssh!” Indira mendekap Ava erat-erat. Wajah blasterannya nampak kesakitan, meski saat ini batas antara rasa sakit dan rasa nikmat yang datang bertubi-tubi agaknya semakin bias. Indira terus memompa, menggenjot tubuh Ava seperti tidak ada hari esok. Ya, sebab ayahnya bisa kembali sewaktu-waktu.

Ava balik memeluk Indira tak kalah erat sehingga tubuh mereka yang diliputi peluh seperti saling melekat, hingga tanpa sadar suara Pak De yang berbicara di telepon terdengar semakin mendekat.

“Dira… Ajik… datang…..”

“B-biar… b-bentar… aaa… a-aku udah mau… ungggh! Uuuuhhh! Uuuuuuuuh!”

Diburu waktu, keduanya mencoba mengejar puncak mereka yang sebentar lagi tiba. Tubuh ranum Indira menandak-nandak di dalam rengkuhan Ava, menggeliat erotis dibuai badai kenikmatan yang tiada terperi. Mata Indira membeliak nanar, ketika merasakan sensasi gatal yang mendadak menyeruak dari bawah perutnya.

“Dira, a-a-a-aku h-h-hampir… oooh…”

“B-biar… b-bentar… aaa… a-aku udah mau… ungggh! Bentar lagi…. aku… uuuuhhh! Uuuuuuuuh! MMMMHHH”

Kedua pasangan itu saling mengejan bersiap menggapai puncak, namun suara langkah kaki Pak De terdengar semakin dekat…

Semakin dekat…
Semakin dekat…​
Semakin dekat…​
SEMAKIN DEKAT….​
SEMAKIN DEKAT!​

“MUNCRATIN DI DALEM, VA! MUNCRATIN DI DALEM!” Gerakan Indira semakin liar! Semakin ganas! Semakin buas! Semakin…

“Aaaaaah! Dira, aku mau… oooh… uuuuunggggh!”

“AKU JUGA! AKU JUGA! OOOH! OOH.. OOH OUUUUUH! UUUUUNGGGGH!”

Sepasang insan itu menyambut puncak kenikmatan dengan saling melumat. Puncak kenikmatan keduanya datang bagaikan ledakan gunung berapi yang memenuhi rahim Indira! Disusul guguran awan panas yang bergerak mendekat dengan cepat seiring dekatnya langkah sang ayah!

Indira langsung bangkit dan berlari menuju pojokan, sisa sperma Ava dibiarkannya meleleh-leleh keluar dari belahan kewanitaan sampai pahanya. Ia mengambil poci minum berisi air teh, ia pura-pura minum sambil menenangkan nafasnya. Sementara Ava bangkit dan mengusap kejantanannya yang penuh dengan lelehan cairan cinta dengan kimono batiknya.

“Lho, kok bubar?” kata Pak De.

“Ajik sih, lama…., kami kan pegel nunggunya… Iya nggak, Va?” suara Indira agak bergetar, seperti juga sepasang tungkainya yang bergetar hebat.

“Haha.. maaf-maaf, tadi Mr. Piere itu memang… aaah!” Pak De mengacak-acak rambutnya sendiri dengan kesal sebelum menghempaskan pantatnya di sofa panjang di samping Ava, membuat hati pemuda itu ketar-ketir tidak karuan.

“Gimana anak saya?” tanya sang ayah.

Enak, pak De… mekinya peret, saya sampe nggak tahan… (tentu tulisan yang di cetak miring ini tidak dikatakan Ava), “Cantik, pak De… saya sampe nggak tahan.”

“Hahaha.. nggak tahan buat apa?”

“Hehehe..” nggak tahan buan ngentotin Indira, Pak De.” Ava cuma cengar-cengir, (Sekali lagi, tentu tulisan yang di cetak miring ini tidak dikatakan).

“Nggak tahan buat ngentotin Indira?” kata Pak De.

“Uhuk! Uhuk!” Ava terbatuk-batuk mendengarnya. Teh yang diminum Indira pun ikut tersembur. Sungguh, mereka tidak menyangka bahwa Pak De akan berkata se-vulgar itu.

“Hahahaha! Jangan shock gitu! Saya cuma bercanda,” kata Pak de sambil menepuk-nepuk pundak Ava. “Oh iya, Dira, Ava, Ajik ada urusan. Barusan Ajik ditelepon disuruh rapat di museum Le Meyeur di Sanur. Nanti malam saja kita lanjutkan lukisannya.”

“O-oh…, B-beres, Jik,” sahut Indira yang sudah mulai terbebas dari sisa-sisa gelombang orgasmenya.

“Saya percaya sama kamu kok, Va,” kata Pak De sambil beranjak.

“M-makasih, Pak De,” jawab Ava terbata, meski dalam hatinya, ia merasa bersalah telah menyalahgunakan kepercayaan gurunya.

“Saya percaya kamu nggak suka cewek, haha….,” Pak De terbahak sebelum berlalu, keluar menuju bangunan utama Villa. Sesaat kemudian mesin VW Safari Sang Maestro sudah berbunyi pertanda sang ayah telah beranjak pergi.

Bersambung

Daftar Part