Nirwana Part 11

0
1163

Nirwana Part 11

The Afermath

Ruangan UGD RSUP Sanglah dini hari itu nampak lengang. hanya ada satu-dua pasien yang datang, itu pun karena permasalahan yang tidak seberapa parah: demam dan diare. Hanya satu orang di pojokan datang dengan pelipis yang berdarah-darah, korban perkelahian.

“Aduh! Aduh! Sakit, woi!” jerit seorang lelaki tampan sambil memegangi pelipisnya.

“Ya elah, cemen! Tahan dikit napa!”

“Anjrit! Dianestesi dulu, dong!”

“Pastilah dianastesi, ini apa!” yang disebut menunjukkan sebuah ampul kosong.

Wajah ganteng Dewa nampak berkerut-kerut hingga gantengnya tinggal tersisa sedikit saja. Pelipis kirinya tampak berwarna merah kebiruan sisa darah yang membeku. Di depannya seorang cewek cantik mengenakan jas putih sibuk mengusap luka itu dengan kapas dibasahi iod, sesaat kemudian tangannya kembali sibuk menggerakkan jarum berbentuk lengkung ke dalam kulitnya.

“Dah, beres… dasar ye tampang aja macho, tapi teriakan kaya cewek, cibir sang dokter muda sambil menutup bekas jahitan itu dengan perban. “Pacaran sama anak SMA sih! gini deh jadinya,” imbuhnya di belakang kalimat.

Dewa hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. “Ikut campur saja kamu, Vi.”

“Mending selesain dulu kuliahmu. Jangan pacaran aja. aKU aja sudah koass, kapan kamu koass, nyet?”

Senyum Dewa bertambah-tambah-tambah-tambah kecut.

“Kamu beneran sayang sama… siapa namanya?”

“Indira.”

“Ya, Indira..”

“Sayang, kok…” kata Dewa.

“Sayang toket-nya… sayang meki-nya…”

“Anjrit! Gila lu!” Dewa protes yang ditimpali derai tawa Vi.

“Aku beneran ngomomg. Kamu serius sama dia?”

“Serius, lah! Memang kamu kira aku cowok apaan?”

Vi menarik nafas panjang, berusaha menangkap keseriusan dari pemuda di sebelahnya.

“Kamu tahu kan, Indira itu anak cewek satu-satunya di keluarganya.”

Dewa terdiam, tentu saja ia tahu hal ini.

“Kamu tahu kan, konsekuensinya?”

Dewa terdiam lama, sangat lama. Ia tahu ada konsekuensi adat yang berat apabila seorang laki-laki menjalin hubungan dengan seorang perempuan, yang tidak memiliki saudara laki-laki dalam keluarganya. Namun dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, tidak juga Indira. Semua sudah berjalan terlalu jauh bagi mereka berdua.

= = = = = = = = = = = = = = =

-Indira-​

Sementara di Villa Pak De, Indira sedang menangis tersedu mendengar omelan Pak De yang gusar, dan bertambah gusar ketika mengetahui Indira membuat tatoo di tempat yang aneh.

“Mau jadi apa kamu, hah?!” Pak De tampak murka, wajahnya memerah menahan marah.

“Maaf, jik… maaf. Huk…”

“Sekarang kamu mabuk! Badan di tato! Besok kamu mau apa! Hamil!? Pulang jadi mayat?!”

“Huk-huk… Ajik… Maaf, Jik… maafin Dira..”

“Nggak malu kamu sama ibumu? Sama kak Raka?!” Pak De menghempaskan pantatnya di sofa dengan gusar.

Mendengar nama ibu dan kakaknya disebut-sebut, tangis Indira pecah. Ia memeluk lutut Pak De sambil tersedu-sedu. “Maaf, Jik… huk-huk…” Indira menangis meraung-raung.

Pak De luluh hatinya, ia mengusap rambut Indira. “Ajik sayang sama kamu… tinggal kamu yang Ajik punya…” Suara Pak De sedemikian bergetar menahan tangis.

Indira tidak menjawab, ia terus menangis yang lambat laun ditimpali isak Pak De. Ava mendengar tangis itu dari luar, sambil mengompres muka Kadek yang biru-biru.

= = = = = = = = = = = = = = = =

-Sheena-​

Untuk sesaat Sheena tidak bisa mendengar apa-apa, hanya suara berdenging yang ada di gendang telinganya. Berapa saat kemudian terdengar sayup-sayup suara.

“Sheena… Sheena… bangun woi!”

Pandangan mata Sheena masih mengabur, segalanya terlihat membundar seperti Lensa Fish Eye. Seorang lelaki berjambul Elvis -si bassist- menepuk-nepuk pipi Sheena.

“Gue… di mana… Jek?” Sheena mendapati dirinya terbaring di sofa.

Si bassist berjambul Elvis, yang dipanggil Jek menyahut. “Masih di Pub-lah, lu kenapa? Tiba-tiba jatoh gitu? Lu make ya?”

“Enggak..” Sheena memegangi kepalanya.

“Lu sakit? Gue anter pulang ya?” kata Jek.

“Nggak usah..”

Beberapa detik kemudian, bayangan masa lalu kembali berkilas, memenuhi benak dan dada Sheena. Ia menutup wajahnya, agar isaknya tidak terlihat rekan satu band-nya.

“Sheen, lu kenapa?”

“Pergi sana.” ia benar-benar tidak ingin terlihat seperti ini di depan Jek.

“Sheen?” Jek membelai rambut Sheena, namun ditepisnya kasar.

“Gue bilang pergi! Lu budek ya!” Sheena berteriak, namun teriaknya lebih terdengar seperti isak.

Ava, Indira Sheena. Dari persilangan takdir ketiganya, muncul sekian pertanyaan. Potongan-potongan teka-teki yang menanti untuk dirakit menjadi satu kesatuan utuh, menjadi sebuah perjalanan menuju: Paradiso.

To Be Continued…

Daftar Part