Kisah Dokter Anak dan Ojol Part 25

Kisah Dokter Anak dan Ojol Part 25
Kita sebut adiknya Gilang sebagai Anita dan suaminya anggap saja bernama Mas Dedi. Kematian keduanya berimbas besar bagi banyak orang. Setelah menikah dengan Mas Dedi, Anita tinggal di rumah orangtua Mas Dedi karena ibunya sudah lama meninggal dan ayahnya yang sudah pensiun punya penyakit gula yang cukup parah jadi harus diurus. Di rumah itu juga tinggal dua adik Mas Dedi. Satu sudah kuliah, satu lagi baru masuk SMA. Mas Dedi, selain membiayai Anita sebagai istrinya, juga membiayai ayah dan kedua adiknya. Mas Dedi punya bisnis IT yang lumayan maju dan menjadi tulang punggung keluarga.
Ayahnya butuh biaya obat setiap minggunya sekitar dua juta, belum biaya rumah dan biaya sekolah dan juga biaya jajan adik-adiknya. Belum lagi biaya bulanan buat Anita yang juga sedang hamil. Pengeluaran keluarga Mas Dedi ketika hidup sekitar 16 juta per bulan. Ketika meninggal, keluarga Mas Dedi selain ditimpa kesedihan juga kelimpungan bagaimana mereka bisa membayar biaya sehari-hari.
Gilang merasa iba pada keluarga Mas Dedi ketika diberi kabar kalau dia meninggal. Semuanya menangis tidak berhenti di rumah sakit. Waktu dokter yang operasi Anita keluar dari kamar operasi dan mengatakan kalau Anita tidak selamat, Ibu Gilang juga menangis parah. Gilang, sebagai satu-satunya laki-laki yang sudah mapan tidak sempat menangis dan mengurus semua administrasi rumah sakit. Dari mulai pembayaran pengurusan jenazah Mas Dedi, biaya ambulans, biaya operasi Mas Dedi dan Anita, biaya pengangkatan bayi Anita, biaya perawatan bayi prematur Anita, pemulangan jenazah, dan pokoknya lebih banyak lagi urusan-urusan lainnya.
Salah satu takdir yang membawa saya bertemu Gilang melalui tim saya V itu adalah ketika Gilang ditanya oleh staf administrasi rumah sakit apa Anita dan Mas Dedi punya asuransi atau tidak. Ketika Gilang bilang tidak, staf administrasi itu iba karena total biaya yang harus dikeluarkan dalam satu malam itu saja mencapai 30 jutaan rupiah.
Besoknya, Mas Dedi dan Anita dibawa dengan ambulans ke rumah orang tua Mas Dedi. Mereka akan dimakamkan bersamaan di pemakaman keluarga Mas Dedi. Gilang sibuk lagi mengurusi pemandian jenazah, disalatkan, urus surat-surat meninggal ke RT dan RW, ke kantor Mas Dedi, dan segala tetek bengeknya. Gilang keluar uang lagi sekitar 2 juta untuk menyewa tenda, membeli minuman dan makanan untuk pelayat dan membayar beberapa petugas yang membantu administrasi pemakaman.
Setelah selesai dimakamkan, datang orang kantor Mas Dedi yang kebingungan karena kehilangan atasan yang memegang semua urusan kantor. Mereka sempat diskusi dengan Gilang soal pergantian kepemimpinan di kantor Mas Dedi tapi Gilang tidak banyak membantu karena tidak tahu menahu soal bisnis itu.
Sore harinya, Gilang dan ibunya kembali ke rumah sakit untuk memeriksa bayi Anita yang langsung terlahir yatim piatu. Bayi Anita harus diinkubator selama dua puluh hari. Kata dokter, bayi Anita baru bisa dibawa pulang kalau berat badannya sudah bertambah sampai lupa berapa kilo. Gilang pusing lagi memikirkan biaya perawatan si bayi, plus popok, plus susu, dan lain sebagainya.
Gilang mengambil cuti panjang dari kantor. Bang Bob pusing lagi mendengar Gilang yang harus cuti tapi dia tidak bisa melarang karena memang keadaannya cukup genting dan gawat. Bang Bob meminta maaf tidak bisa datang melayat karena sibuk. Dia juga meminta maaf karena kantor tidak bisa memberikan bantuan finansial apa pun. Gilang mengerti dan tidak meminta apa-apa.
Bayi Anita diberi nama Kayla dan akhirnya boleh pulang setelah empat belas hari. Sebelum pulang, dokter yang menangani Kayla bilang kalau ada dokter anak yang jago menangani bayi prematur. Gilang menurut dan akan membawa Kayla ke doktor itu. Ketika dibawa pulang, Gilang pikir dia bisa kembali bekerja, tapi ternyata tidak. Bayi prematur butuh perawatan intensif. Kayla tidak boleh tidak digendong, harus disusui paling tidak dua jam sekali, dan tidak boleh kedinginan atau kepanasan. Gilang dan ibunya kewalahan. Apalagi ibu Gilang yang sudah tua. Ibu Gilang tidak bisa menangani Kayla sendirian jadi setelah diskusi yang sangat sangat panjang, Gilang memutuskan untuk berhenti bekerja.
Untuk berhenti bekerja, Gilang pergi ke Ibukota dan datang ke kantor. Dia minta ijin ke ibunya untuk pamit selama dua hari supaya bisa membereskan segala tetek bengek kerjaan. Di kantor, Bang Bob langsung pening mendengar keputusan Gilang. Bang Bob lumayan marah tapi tetap dia tidak bisa mencegah Gilang untuk resign. Gilang sempat khawatir soal keputusannya ketika ditanya oleh Bang Bob dia bakal kerja apa setelah resign. Gilang tidak bisa jawab. Gilang hanya bisa bilang ada bayi yang harus dia urus.
Bang Bob menyetujui dan meminta Gilang untuk mengoper segala pekerjaan yang tersisa pada ARO junior terhandal di kantor. Gilang rapat dengan ARO didikannya dan memastikan dia siap meneruskan pekerjaan Gilang. Tentu saja Gilang menyiapkan semua keperluan seperti SOP, rundown acara proyek terbaru, dan semua-semuanya sebelum dioper ke ARO junior.
Hari itu, Gilang lembur sampai jam setengah sembilan malam di kantor menyiapkan pemindahan pekerjaannya ke ARO junior. Di sela dia bekerja, Gilang mengintip HP-nya. Sudah hampir setengah bulan dia tidak mengecek HP kecuali untuk menghubungi Bang Bob atau mengurusi urusan rumah. Ada banyak pesan yang masuk dan telepon tidak terjawab. Ada yang dari Regina, beberapa dari klien, dan ada satu pesan dari JE.
Isi pesan JE:
Lang, mau ketemu, dong. Mau curhat.
Gilang terdiam membaca pesan itu. Dulu, sebelum Anita meninggal, Gilang pasti bakal langsung terbirit-birit mengejar JE. Itu kesempatan emas untuk bisa mendapatkan artis. Tapi malam itu Gilang tidak ada niatan untuk bahkan membalas pesannya. Lalu, tanpa sadar si Gilang jadi sedih luar biasa dan menangis. Capek banget.
Gilang dikejutkan oleh bunyi printer di tengah ruangan yang biasa dipakai oleh karyawan. Waktu Gilang menoleh, ada Sandra yang sedang menggunakannya. Gilang lupa kalau di awal bulan seperti ini, Sandra suka lembur untuk cetak ribuan lembar invoice.
“Sori, ganggu,” kata Sandra.
Gilang menggelengkan kepalanya lalu bekerja lagi. Tidak lama, Sandra menghampiri meja Gilang membawa segelas teh manis. “Turut berduka, ya, Mas.”
Gilang tersenyum. Lalu melihat wajah Sandra, Gilang jadi ingin menangis lagi. “Saya kalau lihat Mbak Sandra bawaannya malu.”
“Kenapa?”
“Saya banyak dosa, Mbak. Banget. Mungkin ini lagi dihukum sama Tuhan. Kemarin yang membuka mata saya soal dosa itu buku yang Mbak kasih waktu saya diopname. Gara-gara saya selalu bikin dosa setiap hari tanpa absen, kantor dan keluarga saya kena musibah yang enggak main-main besarnya.”
Sandra tersenyum kecil. Dia diam sebentar menunggu apa Gilang akan bicara lagi atau tidak. Ketika Gilang diam, Sandra berkata, “Dosa itu tanggungan masing-masing orang, Mas. Setahu saya, dosa kita enggak memengaruhi orang lain. Allah, kan, maha adil. Masa orang yang bikin dosa, kita yang kena batunya?”
Gilang tersenyum mendengarnya. Mengobrol dengan Sandra selalu membuat tentram dan adem.
Sandra kembali bekerja dan meninggalkan Gilang. Selesai kerja, Gilang pulang ke apartemen dan ada Regina yang sudah menunggu di sana. Regina menangis karena kesal Gilang tidak bisa dihubungi. Gilang meminta Regina tenang dan dengan berat hati, Gilang menceritakan semuanya. Mulai dari Bu Wita, Linda, Tante Yuli, Hinako, sampai JE. Mendengarnya, Regina menangis sejadi-jadinya. Dia mengamuk sampai lempar-lempar gelas. Dengan frustrasi, Regina membanting pintu dan pergi sambil bilang, “Semua laki-laki itu babi.”
Gilang tidak melawan. Setelah Regina pergi, dia mandi dan berwudhu. Lalu salat jam dua belas malam sebanyak dua rakaat. Entah salat apa. Saking lamanya dia tidak salat, dia sudah lupa salat apa saja yang ada dalam Islam. Setelah salat dia tertidur di sejadah.
Besoknya Gilang ke kantor untuk berpamitan sama Bang Bob dan semua karyawan. Ketika dia pamitan dengan Sandra, Gilang jadi mau menangis lagi dan memeluk Sandra, tapi dia tahan-tahan. Selesai berpamitan, dia naik kereta pulang ke Kampung Halaman.
Dua hari pertama di rumah, Gilang sibuk mengurusi ibu dan Kayla. Dia juga sibuk mencairkan uang deposito dan menarik sahamnya. Setelah enam tahun bekerja keras bagai kuda, dia punya uang hampir setengah miliar di rekeningnya. Yang pertama dia lakukan adalah menyumbang uang seratus juta ke keluarga Mas Dedi. Lalu menyetorkan dua ratus juta ke rekening ibunya untuk operasional rumah, dan mendepositokan kembali seratus jutanya. Sisa seratus juta dia akan pakai sebagai uang sementara sebelum dia dapat kerja.
Gilang mulai mencari kerja di Kampung Halaman. Tapi dengan pengalaman dan gaji terdahulunya yang fantastis, tidak ada satu pun kantor yang mau mempekerjakannya. Kecuali satu, sebagai sales dealer mobil. Gilang sempat mau mengambil tawaran itu tapi dia harus bekerja dari jam delapan sampai jam lima. Dia keberatan karena Kayla butuh penangan khusus yang membuat Gilang mesti ada di rumah setiap jam delapan, dua belas, empat sore, dan tujuh malam. Akhirnya Gilang menganggur lagi.
Sekitar sebulan dia cari kerja tanpa hasil, ada seorang temannya yang menawarkan pekerjaan menjadi sopir ojol. Gilang tertarik karena waktunya yang fleksibel. Untuk urusan duit, dia bisa pakai dulu uang yang ada sementara mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Sebelum melamar sebagai ojol, Gilang meminta restu ibunya. Setelah dapat restu, Gilang tiba-tiba ingin meminta pendapat Sandra.
“Kerja, mah, apa saja oke, Mas. Uang, kan, mengikuti kalau kita rajin,” kata Sandra.
“Enggak malu kalau saya jadi sopir ojol, Mbak?”
“Kenapa harus malu? Bangga malah. Mas Gilang enggak jaim.”
Gilang tersenyum dan akhirnya melamar jadi sopir ojol. Mulailah dia narik ojol dari selepas subuh. Lalu kembali ke rumah setiap dua atau tiga jam sekali untuk mengurus Kayla dan ibunya.
Bulan depannya datang waktu Kayla kontrol. Sesuai arahan dokter, Gilang membawa Kayla ke rumah sakit ibu anak dan mendaftar ke dokter spesialis anak yang katanya jago. Nama dokter anak itu adalah Cecil.
Bersambung