Kisah Dokter Anak dan Ojol Part 18

0
1438

Kisah Dokter Anak dan Ojol Part 18

Gilang bangun sekitar jam setengah enam pagi. Bu Wita tidak ada di kamar. Gilang mengirimkan pesan padanya dan sambil menunggu jawaban, Gilang mandi. Waktu Gilang mandi, terdengar pintu kamar dibuka dan suara Bu Wita. Rupanya Bu Wita habis video call sama suaminya. Karena di kamar ada Gilang dan dia tidak mau Gilang kelihatan suaminya, dia pura-pura sedang jalan-jalan pagi.

Sekeluarnya dari kamar mandi, Bu Wita sedang dandan. Gilang lumayan kaget melihat Bu Wita yang dandanannya syari sedang memoles wajahnya dengan jilbab yang tidak rapi. Jadi jilbabnya cuma ditaruh di kepala dan dibiarkan menggantung sampai ke dada. Gilang bisa melihat lehernya. Dan betul saja prediksi Gilang, lehernya putih.

Gilang mungkin geer tapi dia beranggapan bahwa jilbabnya yang tidak dipakai dengan benar itu merupakan tanda bahwa pertahanan Bu Wita sudah cukup turun. Jadi dia coba-coba bereksperimen dengan membuka kausnya di belakang Bu Wita dan memosisikan tubuhnya supaya kelihatan dari kaca.

Gilang hendak mencopot handuknya dan memakai celana di situ tapi dia mengurungkan niatnya. Takut Bu Wita takut kalau dia buka celana tiba-tiba dan dia harus tarik ulur. Jadi Gilang membawa celananya ke kamar mandi untuk berganti.

Sekitar sepuluh menit kemudian mereka siap dan turun ke restoran. Di sana mereka menyambut tamu undangan, staf, dan kru yang akan sarapan. Di sana juga Gilang dikenalkan pada JE sebagai penanggung jawab acara. Itulah pertemuan pertama Gilang dengan JE secara face to face.

Acara akan dimulai jam 4 sore jadi semua orang, kecuali EO, punya waktu untuk jalan-jalan di Lombok sampai kira-kira jam 1 sebelum dilakukan gladi resik. Selesai para tamu sarapan, Gilang dan Bu Wita yang sarapan. Mereka makan satu meja sambil ngobrol.

“Ibu tadi pagi saya lihat waktu dandan kayaknya enggak jauh beda, Bu.”

“Maksudnya?”

“Ibu enggak pakai make up juga wajahnya kayak pakai make up. Cantiknya sama,” kata Gilang sambil mengunyah untuk memberikan kesan kalau itu bukan pujian tapi hanya mengatakan kenyataan.

Bu Wita nyengir. “Kamu kurus, tuh, kurang makan kayaknya.”

“Kok, tahu, Bu?”

“Ya, kamu ganti baju di kamar santai banget kayak enggak ada cewek.”

“Eh, iya, ya. Ya, ampun, sori, Bu. Habis sejak semalam ngobrol jadi kayak nyaman sama Ibu. Untung enggak buka celana, ya, Bu.”

Mereka bercanda ketawa ketiwi dan sesekali Bu Wita menepuk pundak Gilang. Gilang sedikit-sedikit mulai berani menyentuh lengan Bu Wita atau lututnya kalau sedang bercanda. Bu Wita tidak keberatan. Aman.

Karena masih ada waktu sampai jam satu, Bu Wita dan Gilang memeriksa kondisi venue dan sudah lengkap semua. Terus mereka jalan-jalan di tepi pantai. Gilang sengaja jalan agak dekat dengan Bu Wita supaya kalau ada apa-apa dia bisa skin contact dengannya. Beruntung, Bu Wita beberapa kali harus berpegangan ke tangan Gilang ketika melewati pasir karena dia pakai sepatu yang tebal dan satu tangannya harus memegang roknya yang panjang. Skin contact: 1.

Habis jalan-jalan mereka kembali ke hotel. Ada tangga yang menuju ke hotel dan Gilang menawarkan tangannya untuk dipegang Bu Wita waktu naik. Bu Wita memegang tangan Gilang dan membiarkannya menuntun sampai ke atas. Skin contact: 2.

Mereka masuk kamar lagi dan berganti baju ke pakaian lain. Gilang pakai setelan jas yang mahal dan disewakan oleh kantor. Waktu pakai dasi, dia melihat Bu Wita sedang touch up dengan posisi jilbab seperti tadi pagi yang cuma disampingkan di kepala. Tring. Ada ide.

“Bu, maaf, bisa ikat dasi?”

Bu Wita menoleh ke Gilang dan mengangguk. Dia bangun lalu berjalan mendekat. Bu Wita mengikatkan dasi Gilang dan tahu sendiri, dong, kalau orang mengikatkan dasi pasti posisinya berdekatan. Muka Gilang dan Bu Wita paling cuma berjarak sepuluh senti. Bu Wita salah mengikat dasi beberapa kali lalu tertawa.

“Kok, susah, sih?”

Gilang ikut tersenyum dan memegang dasinya. Mau tidak mau tangan mereka bersentuhanlah.

“Tangannya awas,” kata Bu Wita.

Skin contact: 3.

Tring. Muncul ide lain.

“Sendiri saja, deh, Bu,” Gilang mundur.

“Loh, itu belum selesai.”

“Saya lihat youtube saja.”

“Kenapa, sih, kok, tiba-tiba?”

“Enggak, Bu. Maaf. Jadi ingat obrolan semalam.”

Bu Wita diam lalu mengangguk. Dia kembali duduk di depan kaca untuk berdandan. Gilang sebetulnya bisa mengikat dasi tapi dia lama-lamain pakainya. Gilang berdiri tepat di belakang Bu Wita untuk berkaca. Pelan-pelan dia bergerak maju sampai pinggulnya, si jenderal, sih, lebih tepatnya, menempel ke punggung Bu Wita. Bu Wita merasakannya dan berhenti berdandan. Dia menengadah melihat Gilang. Gilang menatapnya balik. Lama mereka bertatapan dan Gilang berpikir keras apa maksudnya tatapan itu. Apa itu semacam kode supaya Gilang maju? Atau Bu Wita marah karena Gilang menempelkan si jenderal ke badannya? Tapi Bu Wita diam saja dan lama banget.

Gilang takut jadi dia mundur. “Lurus, ya, Bu, dasinya?”

“Lurus.”

Bu Wita selesai dandan dan mereka bersiap keluar kamar. Bu Wita melirik jam tangannya lalu diam. Dia duduk lagi terus membongkar isi tasnya. Lalu diam lagi.

“Kenapa, Bu?”

“Masih ada waktu, ya, setengah jam lagi sebelum gladi?”

“Iya.”

“Di sini dulu saja?”

“Mending turun, Bu, siapin venue.”

Bu Wita mengangguk. Dia bangun dan berjalan ke pintu tapi berhenti lagi. Bu Wita berbalik dan menatap Gilang. Gilang bingung lagi tapi dia harus mengambil risiko. Tatapan Bu Wita seperti tatapan Tante Yuli kalau lagi sange tapi Gilang takut kalau dia salah dan bakal dipecat.

“Di sini saja dulu kali, Lang.”

“Mending turun, Bu,” kata Gilang. Jujur, karena dia enggak tahu harus ngapain kalau kelamaan berdua di kamar, dia pengin cepat turun.

Bu Wita mengangguk. “Ya, sudah,” dia menyodorkan tangannya untuk dipegang Gilang. Gilang membeku sedetik lalu menyambut tangan Bu Wita.

Bu Wita membuka pintu kamar dan berjalan keluar. Gilang ngerem. Dia menarik Bu Wita supaya berhenti. “Kenapa?”

“Bu. Maaf banget, ya, Bu, ya? Please jangan dipecat.”

Bu Wita diam. Gilang menarik Bu Wita pelan supaya masuk kamar lagi, memegang belakang kepalanya dengan satu tangan dan mencium Bu Wita. Cepat tapi terarah. Bibirnya mendarat tepat di bibir Bu Wita. Tidak disangka Bu Wita mencium balik Gilang.

Bu Wita berubah agresif. Dia mendorong Gilang sampai menempel ke tembok dan mereka berciuman heboh sekali. Gilang tidak menyangka kalau Bu Wita seenak ini dicium. Jenderalnya langsung naik dengan semangat. Tangannya meremas pantat Bu Wita. Uh! Sumpah empuknya bikin nagih.

“Jangan pegang jilbabnya. Sudah rapi. Susah lagi ditata,” kata Bu Wita.

Gilang menyanggupi. Gantinya, Gilang membabat habis payudara Bu Wita dengan kedua tangannya. Ukurannya lebih besar dari standar. Yah, namanya juga ibu anak dua. Tapi tidak kendor, coi. Punya Tante Yuli sedikit lebih kendor. Kalau Bu Wita. Masih enak dimainkan, bro!

Asiknya berhubungan dengan yang lebih tua dan menikah itu adalah: mereka langsung tahu harus ngapain ketika Gilang membuka celana. Bu Wita berlutut dan mengulum penis Gilang. Gilang sempat menahan napas karena Bu Wita jago banget. Dihisap, dijilat, dan dimainkan dengan lidah. Sumpah! Dia pro banget!

Gilang memegang kepala Bu Wita dan dimarahi. “Jangan pegang jilbab!”

“Iya, Bu.”

Bu Wita terus menghajar penis Gilang sampai sudah tidak kuat lagi menahan crot. “Bu, mau keluar.”

“Duduk, duduk,” Bu Wita menggiring Gilang ke kasur. Gilang duduk dan Bu Wita duduk di sampingnya.

“Loh, sudahan, Bu, enggak diemut lagi?”

“Nanti kena baju, ah,” Bu Wita mengocok penis Gilang pakai tangan sambil menciumnya. Tidak masalaaaah. Yang penting crot.

Duar! Muntahlah si jenderal.

Bu Wita terdiam lalu menunjuk Gilang. “Awas kalau bilang-bilang.”

“Ya, enggaklah, Bu. Tapi ini, tuh, apa? Kok, barusan kita….”

“Enggak tahulah. Salah kamu ngomongin sex buddy.”

Bu Wita bangun, merapikan bajunya dan memakai lipstik ulang.

“Bu.”

“Apa?”

“Kita, kan, semalam lagi di sini.”

“Kenapa?” Bu Wita melirik Gilang sinis.

Gilang dag dig dug tapi memberanikan diri bilang, “Saya beli kondom, ya?”

“Iya.”

WUANJIR! BERHASIL MENEMBUS BOS SENDIRI! SETELAH IBU ANAK DIGARAP! GUA BERHASIL GARAP BOS SENDIRI! BANZAAAAAI!

Bersambung

Daftar Part