Kisah Dokter Anak dan Ojol Part 17

0
1647

Kisah Dokter Anak dan Ojol Part 17

Sehabis mandi, Gilang keluar dari kamar mandi dan melihat Bu Wita lagi telponan. Bu Wita menyuruhnya diam dengan tangannya. Rupanya dia lagi menelepon suami. Gilang diam di tempat sampai Bu Wita selesai menelepon. Bu Wita enggak bilang kalau dia sekamar sama Gilang ke suaminya tentu saja dan sempat panik waktu ditelepon tengah malam. Kata Gilang suami istri punya ikatan batin yang bisa tahu kalau pasangannya lagi ngelakuin yang enggak-enggak.

Eniwei, habis teleponan Bu Wita langsung selimutan buat tidur. Gilang harus mencegah Bu Wita tidur. Kalau tidur kesempatan buat speak-speak iblisnya akan hilang dan Gilang harus SSI pas tengah malam supaya Bu Wita setengah ngantuk. Kata Gilang kalau kita ngobrol sama orang setengah ngantuk, maka orang itu bakal lebih mudah dipengaruhi karena omongan kita akan terbawa ke alam bawah sadar terutama pas nanti dia tidur. Teori ini sempat saya buktikan buat jual asuransi ke teman saya. Saya prospek dia jam sebelas malam pas dia lagi capek pulang kerja dan ngantuk. Malam itu saya jelaskan manfaat asuransi, omongan saya dibawa tidur, tiga hari kemudian dia menelepon buat buka asuransi. Jadi teori ini patut dicoba.

Gilang duduk di kasur sambil menghadap Bu Wita.

“Bu.”

“Ya?”

“Sudah mau tidur?”

“Iya.”

“Bu.”

“Apa?”

“Grogi.”

“Grogi apa?”

“Soal event nanti. Ini, kan, event pertama saya,” dan Gilang sok-sokan jadi orang yang insecure dan gugup soal kerjaannya sebagai pembuka topik. Ini membuat Bu Wita yang tadi rebahan jadi duduk lagi. Bu Wita memberikan tips-tips supaya Gilang tidak grogi. “Lagian, kan, kamu sudah matang persiapannya. Kamu itu jago, loh, cara presentasinya. Pemahaman materi juga bagus,” Bu Wita menjabarkan kelebihan Gilang. Di sini otak Bu Wita seperti dapat konfirmasi ulang bahwa Gilang ini adalah orang yang bernilai lebih dengan cara mengatakan pendapatnya dengan lisan.

Lalu Gilang menggiring percakapan ke obrolan yang menyinggung soal kejombloan Gilang.

“Iya, loh, makanya saya sempat heran kenapa kamu masih jomblo,” kata Bu Wita.

“Ngeri, Bu, pacaran. Banyak yang cerai.”

“Enggak semua Gilang.”

“Iya, sih, tapi banyak banget orang di sekitar saya yang cerai. Bukan orang tua saya, sih, tapi mungkin itu karena Bapak saya meninggalnya cepat jadi enggak sempat cerai,” kata Gilang bercanda.

Lalu Bu Wita bercerita soal pernikahannya. Bu Wita dan suami adalah tim yang baik walaupun pasti pernah bertengkar. Tapi ribut mereka biasanya enggak tahan lama. Cek cok sedikit terus baikan tidak lama kemudian.

“Enggak bosan, Bu, selama itu menikah sama orang yang sama?”

“Maksudnya apa? Kamu nyuruh Ibu punya suami dua?”

“Lah, enggak, Bu. Jadi gini, Bu, saya punya sepupu yang psikolog di Belanda,” eaa Gilang pakai narasi ini lagi, “sepupu saya bilang bahwa insting setiap manusia berakal sehat itu mencari hal yang lebih dari apa yang dia punya sekarang. Setuju, enggak, Bu?”

“Iya.”

“Maka sama dalam percintaan dan hubungan, banyak orang gonta ganti pasangan buat cari yang lebih. Betul, ya, Bu?”

“Betul.”

“Nah, konsep pernikahan monogami itu secara ilmu psikologi menentang insting manusia yang terus mau yang lebih. Makanya di Belanda ada konsep open marriage di mana setiap orang yang menikah boleh pacaran dalam tanda kutip dengan orang lain tapi di penghujung hari mereka tetap pulang ke rumah pasangannya dan berumah tangga.”

“Itu liberal. Karena mereka enggak beragama.”

“Setuju, Bu. Tapi di Islam laki-laki, kan, boleh beristri empat. Nah, itu membuktikan bahwa memang insting manusia mencari yang lebih.”

“Iya, sih. Tapi, kan, cuma laki-laki. Perempuan enggak.”

“Makanya di Belanda agama Islam enggak populer. Di sana, kan, kedudukan laki sama perempuan sama. Jadi open marriage itu jadi konsep yang lebih disukai.”

“Jadi kamu mau nikah pakai konsep begitu?”

“Enggak, Bu. Saya cuma jadi berpikir apa saya bisa kayak Ibu yang sudah menikah lama tanpa berpikir cari yang lebih. Bukan lebih di fisik, ya, Bu, tapi lebih ke pengalaman. Maaf, ya, Bu, yang namanya cowok mau sealim apa pun pasti kalau lihat cewek cantik, ya, minimal pasti nengok. Betul enggak, Bu?”

“Perempuan juga kadang begitu.”

“Nah, di psikologi ada teori yang bisa membuat pernikahan lebih langgeng, Bu. Cuma memang menjauhi agama, sih, jadinya.”

“Apa, tuh?”

“Sex buddy.”

Bu Wita mengernyit.

“Namanya aneh, ya, Bu? Jadi itu konsep di mana setiap yang sudah berkomitmen untuk menikah punya satu teman buat diajak seks selain pasangannya. Gunanya apa? Gunanya untuk merecharge orang itu secara seksual. Karena pasti ada bosannya, kan, kalau berhubungan sama pasangan yang sama. Nah, waktu bosan kita lari ke sex buddy, berhubungan sama dia, bikin mood bagus lagi, di rumah tangga mereka jadi fresh lagi.”

“Justifikasi selingkuh itu namanya.”

“Bisa jadi. Tapi menurut Ibu konsepnya masuk akal enggak?”

“Jelek.”

“Masuk akal atau enggak, Bu, kok, jawabannya enggak nyambung.”

“Oh. Iya, masuk akal, tapi dosa.”

“Betul, ya, Bu, dosa banget itu.”

“Dosa besar.”

“Ah, Bu, buat saya, mah, semuanya dosa besar.”

“Hah? Gimana?”

“Maksud saya orang-orang kadang-kadang kasih tingkatan ke dosa. Misalkan berbohong itu dosanya kecil, mencuri lebih tinggi, terus zina paling tinggi. Padahal kalau menurut saya dosa itu sama efeknya. Pas kita dosa kecil terus kita terbiasa dengan itu, nanti kita lebih mudah melakukan dosa lainnya dan lama-lama bisa ke dosa paling tinggi. Setuju enggak, Bu?”

“Iya.”

“Jadi kalau buat saya dosa berbohong sama makan babi sama levelnya. Toh, mau dosa yang mana pun kalau kita taubatnya betul-betul dimaafkan juga.”

“Ooh, pantas kamu beranggapan kalau sex buddy itu wajar karena buat kamu dosa sama semua bobotnya.”

Gilang nyengir. Kalau Bu Wita sudah bilang begitu berarti dia sudah menangkap dan mencerna dengan baik omongan Gilang. Waktunya Gilang mundur.

“Ya, gitu, deh, Bu. Kalau saya, mohon maaf, ya, Bu, belum berani menikah karena masih berada di situ levelnya. Sampai nanti saya dapat hidayah yang bisa mengubah persepsi saya baru saya mikir soal nikah.”

“Kamu sudah pernah ngeseks, ya, sama pacar kamu?”

“Sudah, Bu,” Gilang sok-sok malu-malu.

“Sudah kuduga,” Bu Wita tidak men-judge Gilang. Dugaan Gilang karena Bu Wita orang kota dan sudah lumrah dengan perilaku seperti itu.

“Ibu belum pernah, ya?”

“Sama suami. Waktu kami belum menikah.”

“Oh. Enggak mau coba sama yang lain?”

“Sudah tua.”

“Masih cantik.”

Lalu mereka tertawa dan Gilang pamit tidur. Tugasnya selesai. Tinggal menuai hasil. Hasilnya? Ada perubahan dalam sikap Bu Wita pada Gilang sewaktu mereka bangun tidur nanti.

Bersambung.

Daftar Part