Kesempurnaan Part 42

0
1297

Kesempurnaan Part 42

Sahabat Jadi Cinta (?)

Tempat sudah dapat. Tinggal mendekornya sesuai dengan konsep kafe yang akan kami buka nanti. Invest ke beberapa peralatan. Lanjut cari pegawai. Mulai menyusun laporan keuangan. Hah msaih panjang. Tapi ini awal yang bagus menurut ku. Entah kenapa seperti deja vu. Dulu waktu aku mulai bekerja di keluarga Wiradana aku mendapatkan tubuh tante Pristy. Lalu setelah buka kafe sendiri aku mendapatkan tubuh mba Sintya. Sekarang buka cabang aku juga bisa mendapatkan tubuh wanita lain. Bahkan semuanya dengan sukarela. Hahaha. Aku jadi tergelitik, kutukan kah ini? atau anugerah? Semoga tahun depan bisa membuka cabang yang ke dua. Siapa tau bisa nyicipin tubuh wanita lain lagi. Hahaha.

Mama sangat senang dengan perkembangan dari bisnis ku. Tentu saja, namanya juga orang tua. Aku pun juga semakin fokus dengan usaha yang aku tekuni ini. Alhamdulillah. Tapi masalahnya masih ada satu hal yang mengganjal di hati ku. Sampai dengan hari ini aku masih belum sempat menanyakan atau membahas hubungan mama dengan pak Wira. Melihat kedekatan mereka berdua pada waktu di villa membuat ku berada di posisi yang serba salah. Aku bisa melihat kebahagiaan mama yang mungkin kembali lagi. Tapi terkadang sosok papa kembali muncul di pikiran ku. Aku harus bagaimana?

Aku tidak tau. Rejeki, maut, jodoh, siapa yang tau. Orang yang berada di bawah bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi penguasa. Begitu juga sebaliknya. Orang yang hari ini sehat bugar bisa jadi besok hanya tinggal nama. Bahkan aku yang sudah terlanjur suka sama seseorang eh ternyata dia adik ku sendiri. Tidak ada yang tau. Karena hanya Allah lah yang maha tau. Yang maha mengetahui segalanya.

Hari ini kafe tutup. Memang dalam satu minggu, biasanya di hari selasa aku sengaja tidak membuka kafe ku itu. Tentu saja orang kerja perlu istirahat. Dan tidak baik juga terlalu di porsir. Hari ini akan aku manfaatkan untuk menemani Gadis belanja perlengkapan barista untuk kafe baru kami nanti. Karena Rahma tidak ada kerjaan maka dia aku ajak juga. Begitu juga dengan Ratna yang hari ini tidak ada kuliah. Formasi lengkap.

Tujuan kami di bilangan Jakarta selatan, tepatnya di daerah Radio dalam. Harpannya setelah mendapatkan apa yang kami cari kita bisa sekalian refreshing siapa tau ide-ide yang inspiratif akan muncul kalau kami jalan-jalan bersama. Seperti biasa untuk keperluan seperti ini selalu minjem mobil Gadis. Atau mungkin mobil ku juga itu sebenarnya. Tidak penting. Mobil itu sudah dari tadi pagi terparkir di kafe. Siangnya aku jemput Ratna. Makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol tidak jelas. Dan setelah menjelang sore bersama dengan Ratna aku jemput Gadis dan Rahma.

“Kalian berdua udah kelas tiga ya sekarang?” tanya Ratna yang duduk di depan pada Rahma dan Gadis yang ada di belakang.
“Iya dong…” jawab mereka berdua dengan kompak. “Kenapa mba?” tanya Rahma.
“Enggak, pantesan pulangnya sore, pasti ada ekskul yah?”
“He’em, kelamaan ya tadi nunggunya?” gantian Gadis yang nanya.
“Enggak kok, iya kan Di?” jawab Ratna sambil meminta konfirmasi ku.
“Hmm…antara iya dan enggak, iya karena emang agak lama, enggak karena gue jadi ga bisa lebih lama lagi berduaan sama elo,” jawab ku sambil sedikit menggoda Ratna.
“Idiiih…bau apek gombalnya,” saut Gadis.
“Aduuuh kakak gue ganjen amat sih…” tambah Rahma.
“Au nih, akutuh takut dari tadi berduaan sama diaa…” rajuk Ratna sambil menunjuk ke arah ku.

Lalu kami tertawa bersama. Aku sangat menikmati momen seperti ini, momen kebersamaan ku dengan mereka. Punya dua adik perempuan yang sama-sama cantik dan kompak. Punya sahabat perempuan yang juga cantik. Ku arahkan mobil sedan mewah ini ke arah Jakarta selatan dengan ditemani canda tawa mereka.

###

Aku jadi ingat saat dulu pertama kali aku dengan Gadis pergi ke tempat ini untuk membeli beberapa perlengkapan barista. Kalau tidak salah waktu itu tidak lama setelah aku mengajaknya pergi dari rumah berdua dan tidak pulang yang membuat aku dan dia di cari-cari sama tante Pristy. Tidak lama setelah kejadian itu yang menjadi awal mula terbuka tabir misteri keluarga ku dan keluarga Wiradana. Untungnya semua masa sulit dan cobaan itu sudah lewat dan sekarang semua baik-baik saja.

Aku dan Gadis sibuk mengamati ke beberapa Coffee maker yang beberapa type terpajang di gallery ini, sedangkan beberapa type lainnya hanya tersedia catalog nya saja karena barangnya hanya ready stock di gudang. Kami focus pada beberapa mesin Espresso. Karena ini untuk kelas mall, pemikiran ku dan Gadis akan mengambil yang kelas medium, bukan seperti yang kami miliki sekarang di kafe. Ya meskipun kembali lagi tangan barista nya sendiri juga berpengaruh namun kemumpunian sebuah alat tentu berpengaruh juga.

Dilain tempat Rahma dan Ratna tengah asih melihat beberapa perlengkapan penunjang seperti teko, cangkir, dan beberapa perabot lain yang juga disediakan oleh toko ini. ini salah satu daya tarik dari toko ini, hampir semua ada. Bahkan hampir semua kebutuhan satu kafe bisa di supply dari satu tempat ini saja.

“Gimana menurut mu?” tanya ku pada nya yang tengah fokus membaca spesifikasi.
“Yang ini oke nih, tapi dananya cukup ga ya buat yang lain?”
“Hahaha.”
“Kenapa ketawa?”
“Dulu waktu pertama belanja di sini, ke kuatiran seperti itu yang aku ucapin.”
“Masih inget aja, hahaha.”
“Dan pada akhirnya ke kuatiran ku berhasil kamu yakinin dengan optimis mu, sekarang malah kamu yang ragu-ragu.”
“Duit orang ini masalahnya…”
“Iya juga sih…”
“Jadi gimana?”
“Aku sih yang ini setuju aja, budget juga masih ada kok, jadi aman…”
“Bener?”
“Iya mba Gadis…” canda ku seperti dulu.
“Hahaha, geli ah manggil aku kaya gitu lagi, ntar aku baper lagi tanggung jawab.”
“Hahaha, ntar aku comblangin sama Arga aja kalau gitu,” balas ku menggodanya.
“Iihhh…kok tiba-tiba ke mas Arga?” protesnya namun muka nya langsung memerah.
“Ih, kok mukanya merah…?
“Rese iihhh…”
“Hahaha.”

Gadis… Gadis… sebenarnya dulu aku sudah sangat bahagia dan berharap kamu lah yang akan jadi pendamping hidup ku. Menyempurnakan kehidupan ku. Sekarang hingga kelak tua nanti. Bahkan mungkin hingga di alam akhirat juga nanti. Sayangnya takdir berkata lai. Kita dipersatukan dengan ikatan yang berbeda. Karena kamu tidak akan mungkin mendampingi ku diatas pelaminan nanti.

###

Selesai dari toko coffee maker tadi aku dan mereka bertiga langsung meluncur ke PIM. Kecuali Gadis, sebenernya kami bertiga enggan untuk pergi ke sana. Karena jelas kami bertiga belum terbiasa jalan-jalan ke mall semewah itu. Tapi Gadis memaksa kami. Ya sudah kami nurut aja. Toh kalau pengen apa-apa ya dia sendiri yang kudu tanggung jawab karena dompet kami tidak cocok dengan tempat itu.

Sebenarnya tujuan utama kami adalah makan karena sekarang sudah jam tujuh malam lewat dan kami belum makan malam. Tapi ya yang namanya pergi ke mall tidak afdol kalau tidak sambil keliling dan lihat-lihat dulu. Apalagi aku pergi bersama dengan tiga orang wanita. Ya ikuti saja jalan dibelakang mereka. Sambil lihat-lihat sekeliling juga dan eh, itu kan mas Ega? Dia di sini juga? Ada mba Rere, mba Ai, dan mas Arga juga. Ah tentu saja, mereka berempat kan sahabatan juga jadi ya pasti bersama-sama. Mereka berempat pasti habis pulang kerja dan makan di sini. Aku terus menatap ke arah mereka dengan harapan mas Ega juga melihat ke arah ku juga dan meminta kami untuk join. Ya allah, receh banget hamba mu ini. Tapi Allah emang maha baik. Mas Ega benar-benar melihat ke arah ku dan melambaikan tangannya. Aku pun langsung merespon. Dari gestur tubuhnya sih sepertinya meminta ku untuk bergabung. Aku lalu memanggil ke tiga wanita di depan ku ini.

“Apaan?” tanya Gadis.
“Itu…” balas ku sambil menunjuk ke arah mas Ega.
“Eh…”

Singkat cerita kami berempat bergabung dengan mas Ega dan teman-temannya. Karena berdelapan akhirnya kami menggabungkan dua meja jadi satu. Kebetulan tempat duduknya yang memepet ke tembok. Di paling ujung depan ada mba Ai, samping kirinya ada mba Rere, sebelah kiri nya lagi ada Rahma, lalu di paling pinggir ada Gadis. Di depan Gadis ada Ratna, lalu aku, sedangkan di sebelah kiri ku ada mas Ega, dan yang di paling kiri ada mas Arga.

“Ih ga nyangka lho ketemu kalian di sini, abis dari mana?” tanya mba Rere dengan antusias.
“Belanja dong…” balas Rahma.
“Mana belanjaannya?”
“Di mobil.”
“Kok di mobil?”
“Kan belanjaannya coffee maker mba…berat…ya kali kita bawa-bawa, capek, hehehe.”
“Oalah jadi kalian tadi udah belanja alat-alat kafe?” tanya mba Rere.
“Udah dong…”
“Mantab, gercep banget,” balas mas Ega. “Terus gimana? Kira-kira budgetnya cukup ga? Kapan bisa mulai jalan?”
“Dua atau tiga minggu lagi sih, kita lagi matengin konsep kafe nya, trus kan kita juga butuh waktu buat design interiornya mas,” jelas ku.
“Keren-keren, santai aja ga usah buru-buru kalau gitu, yang penting konsepnya mateng dan kalau bisa se perfect mungkin.”
“Iya mas, pokoknya kita nanti akan bikin se cozy mungkin, dan instagramable pokoknya.”

Aku yang biasanya lebih dominan dalam hal kedewasaan diantara Gadis, Rahma atau bahkan dengan Ratna sekalipun entah kenapa jadi merasa seperti bocah kalau udah di depan empat orang ini. Apalagi mas Ega, aura kedewasaannya lebih terasa dari pada yang lain. Ya meskipun kadang aku bingung kalau sudah berantem sama mba Ai sifat bocahnya langsung keluar. Dari sisi umur mereka memang berada di atas ku dan wajae saja kalau mereka terlihat lebih matang. Dengan mba Rere yang paling muda pun aku masih lebih muda lagi. Tapi lucu sih.

“Coffee maker yang kalian beli tadi harganya berapa?” tanya mba Ai tiba-tiba. Aku sempat befikir sejenak. Dia bertanya dalam rangka apa ya? Audit? Masa iya.
“Ga sopan nanya seperti itu, percaya aja sih manajemen mereka,” saut mas Ega. Kan mulai lagi. Baru juga di batin
“Siapa juga yang ga percaya, emang nanya harga cuma karena ga percaya?”
“Biasanya sih gitu…”
“Gue bukan cewek biasanya ya…”
“Terus, karena apa?”
“Kepo!!”
“Kan…ga bisa kasih alasan…”
“Gue ga mau jawab bukan berarti gue ga bisa kasih alasan…”
“Tinggal jawab aja…” balas mas Ega sambil mencibir.
“Sumpah ihh…ngeselin…” gerutu mba Ai.
“Aa’…!!” tegur mba Rere. Semua diam. Mba Ai tampak kesal tapi mas Ega nya cuek aja. Heran aku yang begini mau aja jalan bareng.

“Udah-udah, aku kasih tau harga nya aja ya…”
“Eh jangan dijawab, itu rahasia keuangan kalian…” potong mas Ega. Eh? Iya juga sih. Tapi ga enak juga sama mba Ai. Aku nengok ke arah Gadis Rahma dan Ratna minta pendapat. Mereka juga nampak bingung. Itu memang sepenuhnya rahasia dapur kami. Kesepakatan di awal adalah mereka invest dengan angka sekian dan kami akan menyiapkan semuanya.

“Gue nanya bukan untuk tau soal itu ya, gue mau beli sendiri buat bokap gue, puas lo?” ucap mba Ai dengan ketus. Wajar sih ketus. Mas Ega mulut nya rese juga pikir ku.

“Kalau gitu state di awal kalau lo minta pendapat, jangan langsung naya harga,” offense mas Ega.
“Yang nanya pakai mulut siapa?” counterattack balik mba Ai. Dan Goooolll!!!
“Ga heran sih kalau lo yang nanya.”
“Terus masalahnya apa?”
“Udah-udah aduuuhhh…please deh kalian ini bisa ga sih kalau sehari aja ga berantem?” protes mba Rere. Agak risih juga sih aku mendengar perdebatan mereka, tapi kadang pengen ketawa. Saut-sautan nya itu kompak banget.
“Ga!!” jawab mereka berdua dengan tegas.

“Hehemm…” aku berdehem. “Kalau lagi ada hal pribadi yang mau di bicarakan kayanya kita-kita cari tempat lain aja deh ya, hehehe,” ucap ku berbasa basi.

“Kalian tetep di sini, kalau ada yang pindah tempat itu dia,” ucap mba Ai dengan tegas. Nah kan marah beneran.
“Dih, kenapa jadi gue? Kan di sini yang di ajak itu elo, kalau mau lo aja yang pindah.”
“Hiiih…udah-udah, kalau Rere denger kalian berdua masih berantem abis angkat telepon ini kalian berdua Rere rantai berdua!” ucap Rere lalu berdiri dan permisi sambil menjawab panggilan yang masuk ke handphone nya.

Mba Rere pergi sedangkan mas Ega dan mba Ai masih saling mengintimidasi. Mas Arga menatap ke arah ku dan dengan mimik wajah yang tidak enak seperti meminta maaf kepada ku atas tingkah laku kedua senior nya itu yang sangat kekanak-kanakan. Aku berbisik kepada Ratna untuk tetap di sini atau pindah, Ratna bilang di sini aja ga enak sama mba Ai. Gadis dan Rahma pun juga sepemahaman dengan Ratna tapi feeling cuma pengen bisa lama-lama liatin mas Arga ataupun mas Ega.

“Oiya jadi lupa kan mau pesen apa, ayo Gadis, Rahma, Ratna, Adi, mau pesen apa? Kita udah pesen duluan kok, Gadis Rahma sini, kaka kasih tau yang enak di sini itu…”

Dan bla bla bla. Mba Ai dengan telaten ngejelasin makanan apa aja yang favourit di sini pada Gadis dan Rahma. Duduk mereka sekarang berdekatan. Gadis dan Rahma pun juga dengan antusias mendengarkan penjelasan mba Ai. Dan sesuai dengan arahan mba Ai kami berempat pun pesan makanan masing. Aku sih ikut saja dipesenin apa sama para wanita itu.

“Mba Rere kemana? Kok belum balik?” tanya ku pada mas Ega yang baru menyadari kalau mba Rere cukup lama juga terima telepon nya. Kami sudah setengah jalan makan. Dan aku yakin bukan sesuatu yang tidak penting jika telepon sampai selama ini saat sedang berkumpul dengan kawan. Masalahnya hal penting itu hal yang positive atau negative?

Kami celingukan dan mendapati mba Rere yang ternyata duduk sendirian di meja terpisah. Wajahnya serius dan salah satu tangannya menutupi bibir nya agar orang lain tidak dapat melihat gerak bibirnya. Aku menatap ke arahnya dan sesekali dia juga menatap ke arah ku, atau kami dengan tersenyum. Aku tidak tau pasti tapi aku yakin ada sesuatu masalah yang sedang dihadapinya.

“Oh iya Di, kafe itu tiap selasa tutup yah?” tanya mba Ai dengan lembut.
“Iya mba…”
“Minggu depan juga dong?”
“Iyess, kenapa?”
“Anterin ke toko langganan mu itu dong…please…”
“Jadi beneran mau beliin buat papanya?”
“Iya dooong…papa suka ngopi juga, mau buat kado aja sih soalnya bentar lagi ultahnya, hihihi, tapi kayanya ga yang mahal-mahal juga, buat di rumah sendiri ini…”
“Oh gitu…iya kalau buat sendiri mah ga usah yang mahal-mahal dulu, kalau serius sama kopi baru nanti naik kelas, siap deh pasti di temenin.”
“Nanti pilihin yang bagus yah…”
“Siap…”
“Eh tapi…aku musti minta ijin sama siapa nih? Ratna ga apa-apa kan kalau aku minta tolong sam Adi…?” tanya mba Ai agak ragu karena sepertinya dia baru sadar mengajak ku pergi tanpa memastikan aku dengan Ratna tidak ada hubungan apa-apa. Walaupun memang tidak ada hubungan apa-apa.

“Eh, kok gue mba? Hahaha, minta ijin mah sama dua adik cewek nya itu aja, hehehe, gue mah sahabatan doang mba sama Adi, sans…”
“Bener?”
“Hahaha, ngapain bo’ong sih mba?”
“Asiiik…minggu depan kaka nya kaka pinjem ga apa-apa ya Dis, Ama?” tanya mba Ai pada Gadis dan Rahma.
“Dipinjem selamanya juga ga apa-apa kok mba, hahaha,” balas Rahma. Seperti biasanya aku selalu menjadi kaka yang tidak di anggap.

“Kok ga minta temenin mas Ega aja mba?” giliran mas Arga yang nanya. Mba Ai langsung melotot. Yah singa betina yang udah jinak malah di gangguin lagi.

###

Kami ngobrol panjang lebar hingga malam. Mba Rere pun juga akhir kembali setelah ngomong panjang lebar di telepon, entah dengan siapa. Aku jadi semakin yakin ada masalah yang sedang dia hadapi. Tatapan matanya berubah drastis. Tapi aku tidak tau apa. Jam sembilan malam kami selesai makan. Sebenernya sudah selesai dari tadi tapi kami masih berada di restoran ini sambil ngobrol sana sini. Kalau bukan karena Rahma dan Gadis besok sekolah, mungkin kami akan tetap di restoran ini sampai tutup.

Sebenarnya rumah mba Ai searah dengan rumah mas Ega, namun mba Ai keukeh tidak mau dianter sama mas Ega, dan mas Ega sendiri seperti nya juga enggan untuk mengantar mba Ai pulang, incase mba Ai nya mau. Endingnya mas Arga yang jadi korban harus nganterin mba Ai, meskipun harus muter jauh. Mas Ega akhirnya pulang sendiri. Sedangkan rumah mba Rere sebenarnya paling jauh, tapi malam ini dia mau nginep di rumah saudaranya yang ternyata searah dengan rumah ku. Jadi akhirnya mba Rere ikut dengan mobil ku.

“Ini mobil siapa?” tanya mba Rere yang nampak bingung dan ragu untuk masuk ke dalam mobil sedan mewah milik Gadis. Ya tentu saja bingung. Kami hanyalah anak muda biasa. Bahkan aku tidak lanjut kuliah dan memilih untuk berbisnis karena awalnya memang tidak ada dana. Dan mba Rere taunya baik Gadis maupun Rahma adalah adik ku. Sedangkan Ratna sendiri dari penampilan juga keliatan dari kalangan biasa aja.

“Milik Gadis,” jawab kami bertiga.
“Bohong, milik kita berempat kok,” balas Gadis.
“Hahaha, yang penting bukan mobil dapat dari nyuri ya,” balas mba Rere.

Kami berlima lalu masuk. Di depan tetep aku dan Ratna sedangkan mba Rere duduk bertiga di belakang bersama Gadis dan Rahma.

“Mba Ai sama mas Ega itu kenapa sii mba?” tanya Rahma yang kepo dengan kejadian tadi. Mobil kami sudah keluar dari PIM.
“Hahaha, aku juga ga tau sih pastinya karena apa, aku kan juga belum lama-lama banget satu kantor sama mereka de,” balas mba Rere.
“Oh gitu, emang berapa lama?” tanya ku.
“Aku baru empat bulan, mba Ai baru satu bulan, tapi kalau mba Ai dulu pernah kerja di tempat aku kerja, resign, terus masuk lagi,” jawab mba rere.
“Mungkin dulu sempat ada masalah kali mba…” ucap Gadis.
“Kayanya sih gitu…tapi aku belum tau kenapa, eh kok kalian berdua jadi kepo sih? Penasaran sama mas Ega ya…”
“Hehehe,” jawab Gadis dan Rahma sambil nyengir.
“Mas Ega mau aku comblangin sama mba Ai…”
“Yaaah…” balas Gadis dan Rahma dengan kompak tapi dengan nada yang lesu.
“Hihihi, sama mas Arga aja, kasian lho dia jomblo sepanjang masa, hehehe.”
“Comblangin dong mba…” ucap Gadis dan Rahma yang lagi-lagi berbarengan.
“Aduuu…dua-dua nya? Menang banyak si Arga.”
“Hahaha.”
“Suit dulu deh kalian, hehehe.”

“Lulus dulu baru pacaran,” ucap ku memotong obrolan ketiga cewek itu.

“Nyaut aja!” balas Rahma.
“Biasa yang kalah pamor, hahaha.”
“Hahaha.”

“Pokoknya abu-abu putih ga boleh pacaran!” ucap ku lagi.

“BAWEL!!” balas mereka berdua.

Mobil terus melaju. Rute terdekat rumah Ratna. Lalu Gadis dan Rahma, terakhir mba Rere. Aku terpaksa menurunkan Gadis dan Rahma dulu karena sudah terlalu malam dan lebih baik aku mengantar mba Rere sendiri dari pada Gadis dan Rahma kemalaman. Iseng-iseng juga siapa tau bisa ngobrol lebih dekat sama mba rere. Hehehe.

###

“Eh Di ini aku makasih banget lho udah di anterin, padahal tadi naik ojol juga bisa kok, kasian kamunya musti muter-muter,” ucap mba Rere dengan lembut nya dan dengan perasaan bersalah ala cewek-cewek. Ya elah mba, ga perlu memelas gitu aku juga pasti luluh kalau mba Rere yang bilang batin ku.

“Ah, biasa aja mba, sekali-kali, ga tiap hari juga,” balas ku.
“Berarti kalau tiap hari ga mau dong, huft…” balasnya lagi. Eh, aduh salah ngomong aku.
“Eh enggak gitu mba, maksudnya…”
“Oh jadi kalau anter jemput tiap hari mau juga, gitu? Hihihi, Adi baik anet ciii…”
“Hehehe, ga gitu mba, kalau tiap hari ya ga bisa juga, kan musti jaga kafe…”
“Oiya ya, hihihi, aku canda juga kok. Tapi makasih banget sekali lagi, pusing aku hari ini, mba Ai sama mas Ega pakai ada drama kaya gitu lagi…”
“Mereka berdua sering kaya gitu ya?” tanya ku iseng cari tau.

“Lucu sih, tapi pusing juga aku lama-lama.”
“Kok bisa gitu ya? Aku liatnya kadang suka senyum-senyum sendiri, tapi kalau sampai kaya tadi takut juga mba.”
“Maklumin ya…eh btw kamu kelahiran tahun berapa?”
“Aku, sembilan enam mba, kenapa?”
“Ga usah manggil mba lah kalau gitu, cuma beda dua tahun kita…”
“Hehehe, ga enak mba udah kebiasaan.”
“Ihh…pokoknya ga boleh panggil mba lagi, aku kan masih muda…”
“Hahaha, iya-iya, Rere…”

Dia tidak mau di panggil mba. Ah apakah pertanda ini? atau hanya ke GR an ku aja. Hahaha. Menarik sih untuk terus seriusin. Ikannya udah menawarkan diri untuk di pancing. Atau yang sedang dipancing?

“Nah gitu kan enak…”
“Hehehe, tadi bilang hari ini pusing, emang kenapa mba? Tadi di telepon juga kayanya serius banget, hehehe, maaf ya kalau kepo, ga dijawab juga ga apa-apa.”
“Tuh kan mba lagi…”
“Eh iya maaf-maaf…”
“Hihihi, jadi mau di jawab ga nih?”
“Ya kalau mau alhamdulillah…”
“Ga usah deh, kapan-kapan aja, week…!!” balasnya sambil menjulurkan lidah meledek ku.

“Rese ya…” balas ku sambil berusaha mencubit lengannya tapi sengaja tidak aku kenakan supaya Rere semakin berada di atas angin. Dan seolah-olah merasa menang terhadap ku. Angkat dulu aja setinggi-tinggi nya. Kalau udah ngawang-ngawang baru di sliding. Kalau udah jatuh tinggal di tangkep, dalam pelukan.

“Lagian cowok kok kepoan sih. Hahaha. Eh kamu nganterin aku ga apa-apa kan? Kok aku ngerasa ga enak ya sama…”
“Ratna?”
“Iyaah…”
“Kita sahabatan kok, udah hampir dua tahun.”
“Dua tahun mah masih seumur jagung.”
“Yaaa tapi emang adanya begitu.”
“Kalau masih seumur jagung gitu masih ada probabilitas untuk sahabat menjadi cinta.”
“Itu mah cuma ada di lagu.”
“Ga ada yang tau kedepannya kan?”
“Kalau itu aku setuju.”
“Yup…”

Lalu hening untuk beberapa saat. Lagu melantun dengan syahdu dari radio yang sedang ku putar. Kebetulan memang jakarta habis di guyur hujan dan sisa-sisa perjuangan rintik air hujan masih terus mengguyur ibu kota ini meskipun tidak sederas tadi.

“Eh ini depan masuk gang atau masih maju lagi?”
“Belok-belok, maaf keasikan ngobrol jadi lupa kasih arahan, hehehe.”
“Aku masih mau dengerin ceritanya sih kalau kapan-kapan mau ngobrol lagi,” aku mulai melemparkan kail pancing ku.
“Kabarin aja yah kalau kafe mu lagi ada promo, hihihi, eh itu yang pagar hijau ya rumahnya,” ucap Rere sambil menunjuk sebuah rumah di sebelah kiri.
“Wah boleh juga tuh, aku malah ga kepikiran untuk bikin promo-promo gitu.”
“Yeey dapet ide baru…”
“Oke deh, nanti aku pikirin dulu ya promo yang menarik apa.”
“Ditunggu…” ucap Rere yang langsung membuka pintu setelah aku membuka lock pintu mobil. Sambil menutup kepalanya Rere berlari kecil menujuk gerbang rumah yang di maksud dan langsung masuk karena memang belum di gembok. Aku sendiri langsung mencari puter balik untuk pulang ke rumah. Sekilas aku kepikiran Rere barusan. Sahabat menjadi cinta? Apakah mungkin? Terlalu beresiko untuk menyelaminya. Mending yang pasti-pasti saja meskipun belum pasti. Paling tidak, tidak akan mengorbankan persahabatan ku dengan Ratna.

[Bersambung]

Daftar Part