Kesempurnaan Part 41

Kesempurnaan Part 41
Kontrak
Rencananya hari minggu kemarin aku dan Gadis akan ke Bellevue Mall tempat dimana rencana kami untuk buka cabang kafe baru. Tapi dengan bodohnya kami baru ingat kalau yang namanya hari minggu pasti office nya libur. Dan setelah mencoba menghubungi orang tua dari temannya Gadis itu, dapatlah jadwal ketemu di hari ini, jumat sore, selepas pulang sekolah aku jemput Gadis beserta temennya dengan meminjam mobilnya Gadis. Jumat sore parkiran mall yang sekaligus ada perkantoran di belakangnya ini belum terlalu rame. Baru jam empat dan dengan mudah aku mendapatkan parkir untuk si sedan mewah keluaran negara Adolf Hitler ini.
“Lantai berapa?” tanya Gadis pada temannya yang ku ketahui bernama Sandra itu.
“Tiga Dis.”
“Oke, yuks…”
Dua gadis cantik itu akhirnya jalan duluan di depan ku setelah sebelumnya aku memastikan mobil terparkir dalam keadaan aman. Dari basement ini rupanya ada lift yang langsung terkoneksi dengan perkantoran yang berarti kami bertiga tidak harus masuk melalui mall. Tapi kami harus berjalan ke arah belakang karena memang lokasi gedung perkantorannya berada di area belakang.
Tiba di lantai tiga kami langsung masuk ke dalam area resepsionis kantor. Si customer services langsung mengenali siapa Sandra terlihat dari caranya berbicara dengan Sandra. Dan itu berarti ada dua kemungkinan, Sandra sudah sering ke kantor ini sekedar untuk menemui papa nya, atau memang papa nya itu punya jabatan penting di perusahaan ini sehingga hampir semua karyawan yang ada kenal atau tau tentang Sandra.
Setelah Sandra ngobrol beberapa saat, dan sambil sedikit bercanda juga dengan mba-mba CS, dia lalu mengajak ku dan Gadis masuk ke dalam sebuah ruangan, ruang meeting sepertinya. Aku dan Gadis dipersilahkan duduk oleh Sandra, seolah Sandra ini karyawan di perusahaan ini. Dia sendiri mengambil tiga botol air mineral yang tersedia di pojokan ruangan dan dua diantarannya diberikan ke pada ku dan Gadis.
“Santai aja ga usah tegang, papa orangnya enak kok, dan doi paling suka sama anak muda yang ambisius kaya kalian, pasti di kasih murah deh, gue udah cerita sebelumnya soalnya,” terang Sandra. Alhamdulillah pikir ku dalam hati. Untuk hal-hal seperti ini aku benar-benar menyadari pentingnya sebuak koneksi dan jaringan dalam dunia bisnis.
“Thanks ya San sebelumnya, ini berarti banget buat gue dan kakak gue, ya ga?” ucap Gadis.
“Iyess… moga jadi awal yang bagus buat bisnis gue sama Gadis ya,” balas ku.
“Komisi nya gue gratis ngopi seumur hidup yak, hihihi,” canda Sandra.
“Gampang, kalau perlu sehari satu teko gue bikinin buat elo, hahaha,” balas Gadis.
“Hahaha, lo mau bikin gue kaya sapi gelonggongan? Hahaha, canda kok.”
“Serius juga ga apa-apa, cincai lah…” balas ku.
Aku yang penasaran dengan kedekatan Sandra dengan mba-mba CS tadi, atau lebih tepatnya ke tidak sungkanannya dengan tempat ini menanyakannya pada dia. Dan salah satu dari kemungkinan tebakan ku tadi tidak salah. Papa nya sandra ternyata memang Sales Manager di perusahaan ini dan Sandra sendiri sudah sering ke sini. Obrolan lalu berlanjut pada hal-hal yang ringan. Momen ini tentu saja aku gunakan untuk mengorek info seputar kehidupan Gadis di sekolah. Sandra nya dengan senang hati mau cerita, tapi ditahan sama Gadis. Dan tidak lama setelah itu papanya Sandra datang juga bersama dengan seorang cewek, atau wanita, atau sama saja mungkin, yang hmmm…mampu menggeser status mba Sintya sebagai cewek yang memiliki curve paling sempurna yang aku kenal. Ini jauh lebih sempurna dari lengkungan milik mba Sintya. Udah begitu ditunjang dengan pakaiannya yang sangat mendukung. Mendukung terpacunya syahwat dan birahi seorang pria. Aku tebak wanita ini adalah stafnya papanya Sandra, alias seorang sales.
“Sorry ya jadi lama nunggunya,” ucap papanya Sandra membuka obrolan dan langsung menjabat tangan ku dan Gadis, lalu mencium pipi Sandra.
“Ronggo,” ucap bapak itu saat menjabat tangan ku.
Wanita yang mengikutinya tadi juga ikut menjabat tangan ku dan Gadis. Goyangan pinggulnya saat berjalan ke arah ku sungguh sangat memabukan bagi siapapun laki-laki yang memandangnya. Mba Vina mengenakan celana bahan berwarna krem ketat dipadu dengan kemeja warna biru gelap yang ketat juga dan sedikit menggantung dan di bagian dadanya terdapat logo perusahaan. Logo itu mengalihkan pandangan ku. Bentuknya kenapa cembung ya??
“Adi…” ucap ku.
“Vina…” balasnya dengan lembut. Mba Vina toh namanya. Aku menyebutnya mba karena aku yakin usianya sudah hampir kepala tiga atau malah sudah lewat. Masih terlihat sangat cantik dan awet muda namun tingkat kedewasaan tidak bisa berbohong.
“Gadis…” ucap Gadis saat menjabat tangan mba Vina.
“Vina…”
“Oh iya San, kenapa papa ajak mba Vina karena kita musti segera pulang, jadi nanti yang akan bantu jelasin semuanya mba Vina,” ucap pak Ronggo.
“Eh, emang kenapa pah?”
“Papa lupa ada acara di komplek malam ini sama bapak-bapak, jadi musti pulang cepet.”
“Haiaaah…”
“Kecuali kalau kamu mau pulang sendiri belakangan ya papa pulang duluan…”
“Sandra bareng papa aja lah, Dis, sorry gue duluan aja ya dari pada nanti musti ngerepotin minta anterin sama abang lo…”
“Hehehe, ya elah, slow aja kali San, mau pulang duluan atau bareng no problem…”
“Gue duluan aja, jadi nanti semuanya di bantu sama mba Vina ini?” tanya ulang Sandra pada papanya.
“Iyess, mba Vina ini salah satu marketing senior di sini, jadi semua yang dibutuhkan pasti bisa bantu, syarat dan ketentuan sewa dan menyewa property
kita dia udah hapal diluar kepala, teknis administrasinya kalau butuh bantuan pasti dibantu, tentu kalau harganya sudah deal ya, hehehe,” jelas pak Ronggo.
“Ah bapak ini bisa aja,” ucap mba Vina malu-malu.
“Ya udah kalau gitu, Sandra jadi tenak dan enak ninggalin mereka, Dis gue tinggal ya.”
“Okeh, ga apa-apa kok…”
Sandra dan papa nya pun pergi meninggalkan aku, Gadis, dan mba Vina. Agak kaku sih, kerena sebenarnya aku ingin diskusi langsung dengan pak Ronggo yang notabene adalah orang tua dari Sandra, teman Gadis. Dengan faktor kedekatan itu aku berharap bisa bertanya-tanya atau saran dan masukan lebih pada beliau. Tapi ya bismillah sajalah.
“Mas sama mba nya ini kakak ade ya? Hihihi,” tanya nya membuka pembicaraan.
“Kok tau?” tanya ku dan Gadis barengan.
“Mirip sih…”
“Masa?”
“Iya mba…kalau bukan kakak ade pasti kalian jodoh, kan katanya kalau jodoh itu wajahnya mirip.”
“Hahaha, kita emang bener hampir berjodoh, tapi sayang ga jadi,” balas ku sekenanya.
“Eh, maksudnya?” tanya nya bingung.
“Hahaha, enggak mba, lupakan, jadi gimana nih? Kita langsung mulai saja ya keburu malem,” balas ku mengalihkan pembicaraan.
Mba Vina lalu mulai menjelaskan satu satu persatu secara terperinci. Pertama, tipe-tipe spot apa saja yang bisa di sewakan. Luas area dari masing-masing tipe. Benefit apa saja yang diterima. Harga sewa dari masing-masing area. Syarat dan ketentuan kontraknya. Mekanisme perjanjian dan pembayarannya. Semuanya dijelaskan dengan sangat rapi dan detail. Intonasi penyampaiannya pun juga sangat pas. Memang bakat menjadi seorang sales.
“Tanya dong, kalau dari pengalaman, yang biasanya jadi spot yang paling menguntungkan itu yang mana ya mba?” tanya ku.
Mba Vina lalu menunjuk pada sebuah titik di lantai satu yang dekat dengan pintu masuk dan dekat dengan area terbuka di dalam mall. Wah ini sih memang spot premium. Harganya juga kalau dari penuturannya tadi yang paling mahal. Tapi masuk akal juga sih. Setiap ada pengunjung mall yang datang pasti akan melihat kafe ku jika jadi. Secara otomatis itu akan memasarkan brand dari kafe ku sendiri secara gratis.
“Lagi mikirin budget nya ya?” tembak mba Vina.
“Tau aja, hehehe,” balas ku.
“Mba sama mas nya tenang aja, tadi pak Ronggo udah pesen, khusus untuk mas dan mba nya kita kasih diskon gede…”
“Ah yang bener mba?” tanya ku.
“Bener, cuma aku belum sempet buatin itungannya…”
“Gimana Dis?”
“Hmm…menarik sih Di, ini bisa jadi high end kafe di mall ini, ya kalau mau serius kita musti ambil peluang ini,” balasnya dengan sangat mantab. Aku suka dengan ade ku yang satu ini. Ambisius dan penuh dengan percaya diri.
“Terus, kapan bisa kasih rincian biaya dan kontrak nya mba?” tanya ku pada mba Vina.
“Besok bisa kok.”
“Loh bukannya sabtu minggu libur mba Office nya?”
“Hehehe, libur mah yang back office nya, kita-kita mah sales justru masuk pas weekend,” jelas mba Vina.
“Lah, kalau gitu kenapa ga dari minggu kemarin aja Dis ketemunya?”
“Kan rencana awal maunya ketemu sama om Ronggo langsung…”
“Oh iya ya, jadi kamu besok bisa tidak?”
“Ga bisa…” balas Gadis dengan wajah yang innocent.
“Ya udah besok aku sendir aja ga apa-apa kali ya, jam berapa mba Vin besok kira-kira?”
“Jam sembilan atau sepuluhan aja mas biar ga buru-buru dan belum panas juga.”
“Oke deh.”
“Jadi sore ini sampai di sini dulu ya, malam ini juga aku siapin draft kontraknya, ada yang mau ditanyain lagi ga mas?”
“Ga sih mba, cukup kayanya.”
“Okay, sampai ketemu besok yah,” ucap mba Vina sambil berdiri dan mengulurkan tangannya. Aku juga bangkit dan menyambut telapak tangan lembutnya.
Aku dan Gadis pun pamit pulang.
“Laper ga?” tanya nya saat aku dan dia baru saja masuk ke dalam lift. Posisi kami masih di lantai tiga.
“Laper lah, kenapa emangnya?” tanya ku sambil menekan tombol B alias basement. Aku berdiri di pinggir dekat dengan deretan tombol lantai. Sedangkan Gadis ada di samping kiri ku. Pandangannya lurus ke depan ke arah pintu lift yang mulai tertutup.
“Kencan lagi yuk, kaya dulu,” ajaknya sambil menjulurkan lidahnya dengan sedikit cengengesan ke arah pintu lift yang memantulkan bayangannya seperi cermin.
“Hahaha, ayuk lah…” balas ku dengan yakin lalu menekan lagi tombol angka satu. Lift akan berhenti di lantai satu dan Gadis tersenyum dengan penuh arti.
###
Jangan bayangkan aku dan Gadis kencan beneran semalem. Aku dan dia hanya makan malam berdua. Dan karena kebetulan sedang di area mall ya sekalian saja kami kencan ala-ala makan di restoran berdua. Tentu saja kami berdua pamer pada Rahma dan Rahma hanya tertawa-tertawa saja meliat kami berdua.
Sudah pukul sembilan lewat dan aku sudah berada di ruangan yang sama dengan kemarin. Suasana mall tadi masih sangat sepi karena semua toko masih tutup. Di kantor ini pun juga sudah sepi karena beberapa marketing yang tadi ada di kantor ini sudah pada pergi. Kemana? Nyari opportunity tentu saja. Ya mereka biasanya hanya absen pagi dan menyiapkan apa yang perlu di siapkan dan pergi keluar kantor sebagai ujung tombak perusahaan.
Aku menunggu mba Vina yang sedang nge-print draft kontrak yang nanti akan aku tandatangani jika harga yang ditawarkan cocok.
“Maaf ya lama, tadi ngantri printernya,” ucap mba Vina saat masuk ke ruangan. Pagi ini agak berbeda dengan kemarin tapi sama. Beda tapi sama. Penampilan mba Vina sedikit beda karena dia menggunakan dress terusan selutut namun tetap sama, sama-sama membangkitkan birahi ku yang sudah lama tidak tersalurkan. Satu ruangan dengan wanita sebohay dan sexy kaya mba Vina mana bisa aku tidak terangsang. Hmm…ya sudah lah. Buang jauh-jauh pikiran itu. Tujuan ku ke sini adalah untuk berbisnis.
Rok mba Vina model span yang sempit dan ketata. Kalau saja tidak ada belahan di bagian belakangnya aku yakin mba Vina akan susah untuk berjalan saking ketat nya rok itu. Belahan itu tidak terlalu tinggi tapi justru membuatnya terlihat elegan. Sexy yang alami. Bukan sexy yang norak dan berlebihan. Atasannya sendiri mba Vina mengenakan semacam cardigan yang dibiarkan terbuka bagian depannya. Cukup santai tapi sangat elegan karena mba Vina juga menggunakan sepatu yang ada hak nya, tidak terlalu tinggi tapi cukup menambah kejenjangan kakinya yang putih mulus. Tidak ramping tapi juga tidak besar. Berisi tapi pas dan sangat proporsional.
“Oiya, mau minum apa?” tanya mb Vina dengan sangat lembut.
“Air putih itu aja mba…”
“Eh, jangan gitu, masa dari kemarin air putih mulu, udah bilang aja mau minum apa tak buatin, teh? Kopi? Atau…susu? hihihi,” tawarnya dengan sedikit menggoda.
“Yang terakhir, emang ada mba?” pancing ku.
“Ada dong, nih?” balas nya dengan sangat berani sambil membusungkan dadanya. Jujur aku terkejut dengan entah keberanian atau keisengan mba Vina. Tapi aku tidak terlalu menganggapnya serius karena takut terlalu berharap. Berharap apa? Hahaha. Aku pikir mba Vina melalukan itu agar supaya suasana cair dan lebih santai. Yang ada justru bikin aku tegang.
“Hihihi, canda ya mas, aku buatin kopi ya, mas Adi baca-baca dulu aja draft kontrak nya ya, lima menit lagi aku kembali,” ucapnya lalu pergi tanpa menunggu jawaban ku.
Aku lalu membaca lembar demi lembar kontrak yang ada di depan ku. Jujur aku juga tidak paham. Tapi aku mencoba memahaminya. Paling tidak pada point-point pentingnya. Masa berlaku kontrak dan besaran sewanya. Syarat-syarat yang harus dipenuhi. Denda atau pinalti yang harus dibayar jika telat bayar. Dan sebagainya. Aku pelajari semampu ku.
Tidak berselang lama kemudian mba Vina sudah kembali. Benar-benar tidak sampai lima menit. Ditangannya sudah ada secangkir kopi yang dialasi dengan piring kecil. Mba Vina menaruh kopi itu di meja dekat ku duduk lalu balik lagi ke pintu.
Cklek!!
Aku menoleh dan mendapati mba Vina yang mengunci pintu ruangan ini. Aku mengernyitkan dahi. Mba Vina berjalan ke arah ku lagi dengan ekspresi yang biasa saja seolah membuat dirinya dan diri ku terkunci berdua di ruangan ini bukan lah sebuah masalah.
“Sudah menjadi SOP di sini kalau saat penandatanganan kontrak tidak boleh ada yang mengganggu, siapapun,” jelasnya yang kemudian duduk di sebelah kiri ku lalu mengambil sendok kecil yang sebelumnya ada di atas piring kecil dan mengaduk kopi ku dengan perlahan. Setelah dirasa cukup lalu meletakkan kembali sendok kecil itu dan menggeser kopi itu agak mendekat ke arah ku.
“Ooo…begitu…”
“Di minum ya mas kopi nya,” ucapnya lagi dengan lembut. Aku tersenyum mengiyakan namun masih fokus dengan lembaran kontrak yang akan aku tandatangani ini.
“Oiya, kalau ada yang mas nya ga paham jangan sungkan tanya, kontrak ini musti atas kesepahaman bersama dan miss understanding di belakangnya,” ucapnya sambil menggeser posisi duduknya ke arah ku lalu menyilangkan paha kanannya di atas paha kiri nya. Dan paha mba Vina yang semok itu semakin terlihat jelas oleh ku meski sebagian masih tertutup oleh rok terusannya.
“Sejauh ini paham sih mba, yang penting kan bagian-bagian tertentu aja, angka, durasi, syarat, pinalti.”
“Hehehe, ya syukur kalau mas Adi paham, masalahnya calon customer kit ga sedikit yang bawel mas, hihihi.”
“Bawel gimana?”
“Ya gitu deh, udah paham tapi pura-pura paham trus nanya-nanya ribet, atau ada juga yang udah paham tapi ribet banyak maunya, akhirnya adendum di sana sini.”
“Oh gitu…hmmm…sebenernya ada satu yang aku masih bingung sih mba…” ucap ku agak ragu.
“Ya mas? Bagian mana?”
“Ini…” ucap ku sambil menyodorkan kontrak padanya. Mba Vina menyambutnya dengan posisi duduk yang masih menyerong. Dengan posisi ini aku agak kesulitan mendekat ke arahnya karena terhalang kakinya yang tanpa sengaja tersenggol lutut ku. Mba Vina paham lalu merubah duduknya dengan lurus kedepan. Aku yang tadi berusaha mendekat malah menggeser kursi ke arah belakang dan entah kenapa aku malah membuka paha ku lebar-lebar sehingga saat aku berusaha mendekat ke arah mba Vina untuk menunjukkan bagian yang tidak aku mengerti membuat kursi mba Vina ada di antara ke dua kaki ku.
“Mana mas?” tanyanya lagi. Aku lalu menggeser kursi ku lebih dekat lagi hingga membuat lutut kanan ku menempel di paha luar mba Vina.
“Ini mba, pinalti ini apa tidak terlalu berat ya? Apa tidak bisa diberikan keringanan?” tanya ku pada bagian pinalti jika tidak atau melakukan pembayaran tidak pada tanggal yang sudah di tentukan.
“Hmm…ooo ini…mas Adi mau kelonggaran berapa lama?”
“Kalau bisa sampai akhir bulan sih…”
“Ya udah, sini aku ganti jadi akhir bulan ya dispensasinya, lewat dari akhir bulan akan dikenakan denda dan apabila bulan berikutnya masih belum bisa melunasi tunggakan beserta tagihan bulan berjalan maka terpaksa kontrak akan putus dengan sendirinya,” ucapnya dengan santai. Hah? Semudah itu negosiasi?
“Enak kan negosiasi sama aku? Hihihi,” ucapnya setelah selesai mengganti tanggal menjadi akhir bulan. Mba Vina menoleh ke arah ku hingga membuat jarak antara wajah kami sangat dekat. Aku bisa merasakan hembusan nafas dan wangi parfumnya. Aku yakin mba Vina pasti juga bisa merasakan hembusan nafas ku.
“Ga apa-apa itu mba?”
“Ya ga apa-apa, kafe nya mas Adi udah jadi account ku jadi segala resikonya itu nanti jadi tanggungan ku,” jelasnya lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi tanpa lengan itu.
“Ooo…gitu…”
Mba Vina menoleh lagi dan memberikan senyum tipis kepada ku. Jujur aku semakin bergairah dengan situasi seperti ini. Body tubuh mba Vina benar-benar membuat akal sehat ku tidak berakal lagi. Wangi tubuhnya membuat diri ku melayang-layang.
“Mas Adi ngerasa gerah ga sih? Kok aku kegerahan ya?” ucapnya sambil mengibas-ngibaskan bagian depan cardigan nya.
“Gerah? Enggak mba, dingin kok…” balas ku.
“Gini nih ga enaknya AC central, kalau ngerasa kurang dingin ga bisa langsung di sesuaiin.”
“Gimana dong mba? Pindah ruangan aja? Apa kita lanjut di mall aja? Hehehe,” canda ku.
“Hihihi, modus, week…”
“Hahaha…” aku tertawa. Mba Vina hanya tersenyum dan masih mencoba mengibas-ngibaskan cardigan berharap bisa menjadi kipas untuknya.
“Panas ih, aku copot cardigan ku ga apa-apa ya mas, maaf ya…” ucapnya sambil melepas cardigan yang dia kenaan tanpa menunggu jawaban ku.
Ternyata dress yang dikenakan mba Vina tanpa lengan. Kini aku bisa melihat lengan putihnya yang mulus. Leher jenjangnya yang menggoda. Bahkan aku sedikit bisa melihat belahan dadanya karena bagian leher dari dress itu yang cukup rendah. Kalau seperti ini lama-lama aku yang kepanasan juga.
“Jadi gimana mas? Ada yang masih kurang jelas ga?” tanyanya.
“Udah jelas banget sih, jadi aku tanda tangan sekarang ya?”
“Alhamdulillah kalau begitu, tapi bentar…” ucapnya sambil menahan tangan ku yang mau meraih ballpoint yang ada di atas meja.
Bukannya melepas tangan ku, mba Vina malah justru menggenggam tangan ku dan meremasnya dengan sedikit belaian. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, aku hanya bisa diam saja dan mengikuti setiap gerakannya. Mba Vina berdiri dan dengan sedikit gerakan kursi yang tadi didudukinya ia dorong menjauh ke belakang. Kini dia berdiri di antara kedua paha ku.
Tangan ku yang masih digenggamnya lalu dituntunnya menuju pinggangnya yang ramping. Dengan mantab aku diposisikan seolah memeluk tubuhnya. Mba Vina lalu memegang pundak ku dan kemudian menyusur kebelakang dan berakhir di tengkuk ku. Matanya sayu. Lalu tersenyum. Menoleh kebelakang dan mengambil kopi yang sedari tadi masih belum aku sentuh.
“Diminum dulu yah mas kopi nya,” pintanya masih dengan posisi yang sama seolah tidak ada yang salah dengan posisi ku dan diri nya saat ini. Sedikit demi sedikit aku mulai paham akan berakhir seperti apa penandatanganan kontrak ini namun masih tetap belum bisa mengembalikan akal sehat ku. Logika ku perlahan kembali namun jiwa ku seakan tidak mau menolak apa yang mungkin akan terjadi. Dengan yakin aku meminum kopi yang diberikan mba Vina.
“Enak?” tanyanya.
“Tentu saja, mana mungkin kopi bikinan wanita secantik dan sesexy mba Vina ga enak sih,” canda ku sambil dengan iseng meraba pantat semoknya dan meremasnya dengan kuat.
“Aaaww…nakal ih…” protesnya namun bukannya berontak justru malah semakin mendekat dan meraba belakang kepala ku.
“Hehehe.”
“Kalau enak diabisin dong mas…” pintanya.
“Sesuatu yang enak itu dinikmatinya harus pelan-pelan mba,” ucap ku sambil membelai bongkahan pantatnya dengan pelan. Seolah mengekspresikan bahwa pantatnya yang bohay itu musti pelan-pelan untuk dinikmati.
“Hihihi, apa kata mas Adi aja, ruang meeting ini udah aku book sampai jam sebelas kok,” balasnya sambil mengerlingkan mata.
Aku lalu menyeruput kopi ditangan ku perlahan. Dua kali dan meletakkannya di meja. Aku memajukan tubuh ku yang membuat wajah ku menempel pada gundukan empuk di dada nya. Mba Vina hanya tersenyum manja melihat kelakuan ku. Bahkan saat aku kembali menyandarkan tubuh ku ke sandaran kursi tubuh mba Vina malah ikut condong kedepan seolah membantu ku agar wajah ku tetap berada di dekat payudaranya yang membusung dengan indah itu.
“Mas nya udah pernah?” tanyanya dengan rancu.
“Maksudnya?” tanya ku balik.
“Aaa…itu mas…”
“Oh, sejujurnya sudah…” jawab ku sambil menarik tubuhnya hingga selangkangan bagian depannya menempel di selangkangan ku dan bukit kembar di dadanya benar-benar menekan wajah ku.
“Great…aku mau kasih bonus untuk kerja sama kita mas, semoga mas Adi suka yaah…” ucapnya dengan manja. Aku lalu melepaskan remasan ku pada pantatnya. Membuka paha ku sedikit melebar dan membuatnya merosot kebawah hingga berlutut di depan ku.
Mba Vina lalu meraih ikat pinggang ku dan melepaskannya. Melucutinya dengan sangat terampil. Sempat berfikir apakah setiap deal dengan customer selalu di akhiri dengan bonus seperti ini? atau ini hanya untuk ku saja? Aku tidak mampu melanjutkan fikir ku karena mba Vina sudah membelai kemaluan ku dari luar celana dalam ku. Mba Vina lalu menarik celana jeans ku hingga semata kaki. Tak lupa celana dalam ku juga di tarik nya ke bawah.
Dan seperti yang pasti akan terjadi, mba Vina mengoral penis ku dengan lahap. Sambil di kocoknya kemaluan ku yang sudah setengah mengeras itu dengan tanpa sungkan. Mahir. Profesional. Aku kembali berfikir. Pada awalnya aku sempat GR dan tersanjung dengan perlakuannya. Tapi apa benar ini hanya untuk ku? Atau untuk semua customernya? Atau dia mahir seperti ini karena dia sudah bersuami? Aku bahkan tidak tau apa mba Vina sudah berkeluarga atau belum. Kalau sudah, beruntung sekali suaminya.
“Masih mau dijilat-jilat? Atau mau langsung ke bonus utama?” tanya nya dengan sangat menggoda. Lidah mba Vina menjelajahi setiap inci kemaluan ku. Pagi ini mba Vina menggelung rambutnya dengan sangat rapi, membuatnya terlihat semakin anggun dan menggairahkan.
“Ke bonus utama hanya kalau mba Vina sudah basah,” balas ku.
“Aaaww…gentle banget kamu,” ucapnya. “Basahin dong…” pintanya dengan manja.
Aku membimbing mba Vina untuk bangkit. Dengan sedikit arahan aku memintanya untuk naik ke atas meja dengan posisi menungging dan dengan siku sebagai tumpuan bagian depan tubuhnya. Sekarang terpampanglah pantat yang membulat itu menantang ke arah ku. Ku usap perlahan lalu…
Plaak!!
Ku tampar pantat bulat itu dengan pelan. Mba Vina mengerang pelan. Erangan yang dibuat dengan sangat manja. Memancing jiwa kelelakian ku untuk semakin mengeksploitasi tubuhnya. Ku pegang telapak kaki mba Vina yang masih beralaskan sepatu itu. Ku renggangkan secara perlahan yang membuat pahanya juga ikut melebar. Ternyata dress yang dikenakan mba Vina cukup tipis dan melar. Ku raba perlahan dari ujung kaki nya ke atas hingga menyentuh sisi luar pahanya. Kembali mba Vina mendesah disertain erangan manja.
Tangan ku sudah mendarat di pahanya. Ku usap dan ku raba perlahan sambil menarik bagian bawah dress itu ke atas. Karena bahannya melar, membuat ku tidak kesulitan untuk menyingkap kain tipis itu. Ku tarik perlahan hingga ke atas dan melewati pinggul mba Vina yang bulat itu. Sebuah celana dalam tipis kini yang menjadi penutup terakhir area kewanitaannya.
“Massshh…” panggil mba Vina disertai desahan pelan.
“Hmm…”
“Cipok…” pintanya sambil merengek dengan mimik wajah yang manja.
Aku pun langsung menghampiri bibirnya yang sensual itu. Ke kecup bibirnya dengan penuh nafsu. Mba Vina mengimbangi lumatan bibir ku dengan sangat bergairah. Badannya meliuk-liauk indah saat aku tambah rangsangan padanya dengan menyelipkan dua jari ku dari samping celana dalamnya yang bagian belakangnya hanya berbentuk tali itu.
“Aahhshh…eehhmmsshh…”
Ku usap lipatan daging yang berbentuk mirip seperti bibir itu. Naik turun dengan perlahan. Kadang kutekan sedikit ke dalam hingga membuat jari-jari ku terselip di antara bibir bawahnya itu. Lembab dan sedikit basah. Ku usap lagi dan semakin basah lagi. Akhirnya ku tarik celana dalam mba Vina ke bawah karena sudah tidak tahan lagi. Mba Vina membantu ku dengan mengangkat lutut nya satu persatu hingga akhirnya aku benar-benar melucuti celana dalamnya. Aku berdiri lagi tepat di depannya. Sejajar dengan tubuhnya. Ku gunakan ke dua ibu jari ku menarik bibir yang tembem itu ke kiri dan ke kanan. Mba Vina menggelinjang sambil mendesah. Saat aku sudah yakin dengan kebasahannya aku memegang kemaluan ku sendiri dan mengarahkannya ke lubang itu.
“Masshh…” panggilnya lagi dengan manja. Mba Vina tidak menjawab. Aku belum jadi melakukan penetrasi tapi kepala penis ku sudah menempel pada bibir vaginanya.
“Mas harus tanda tangan ini dulu sebelum masuk, hihihi,” ucap mba Vina sambil menaruh kontrak yang sudah selesai kami review tadi tepat diatas pinggangnya. Wajahnya menoleh kebelakang dan tersenyum dengan sangat genit.
“Harus begitu ya?” tanya ku berpura-pura.
“Iya masshh…aahhhsshh…mau ya mas tanda tangan…kan tanda tangannya diatas memek akuhhsshh…” godanya dengan menekankan pada kata memek nya itu.
Dengan seoalah terpaksa aku mengambil ballpoint dan langsung menandatanganinya. Mba Vina tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya.
“Dorong masshhh…ahhhsshh…” pintanya mesra. Dan aku pun mendorong pinggang ku ke depan. Uuhhh ternyata masih seret juga. Aku pikir tidak akan seperet ini padahal sudah basah.
“Uuuhhhsshh…susah ya mas? Punya mas kegedean sih…hihihi…”
“Punya mba Vina yang peret…” balas ku.
“Ludahin memek ku massshh…” pintanya. Aku menurutinya. Ku ludahi vagina mba Vina dari belakang dan meratakannya dengan kepala penis ku. Ku putar-putar dan ku gesek-gesek lagi dengan ujung kemaluan ku ini.
“Dorong mashh…”
Aku mendorongnya. Dan benar saja sekarang menjadi lebih licin. Ku dorong pelan penis ku dan semakin tertelan oleh vagina mba Vina. Semakin ke dalam dan semakin amblas. Akhirnya penis ku itu bisa merasakan lagi enaknya jepitan vagina setelah beberapa bulan terakhir harus puasa.
“Kontraknya aku taruh di meja ya mba,” ucap ku.
“Iya masshh taruuhh di meja aja biar mas bisa sodok memek akuh lebih kenceng lagiii…” ucap mba Vina sambil menggoda ku dengan meremasi payudaranya sendiri dari luar dress nya.
“Teteknya dikeluarin aja,” pinta ku.
“As you wish masshh…”
Mba Vina lalu menarik bagian dres di pundaknya ke samping dan menarik juga lengannya sehingga kini dress itu tersingkap ke bawah. Dasar mba Vina ini pandai menggoda. Dia tidak langsung membuka atau menunjukkan gunung kembarnya melainkan malah menutupi dengan kedua telapak tangannya dan menindihnya sebagai tumpuan sehingga aku tidak bisa melihatnya.
“Kok ditutup?” tanya ku yang sudah mulai memompa vaginanya dengan tempo pelan.
“Hihihi, penasaran yah…aahhsshh…”
“Iya, penasaran sama tetek kamu mba…” balas ku sambil menyodokkan penis ku dengan lebih karas karena dibuat gemas dengan sikapnya.
“Aaawhhsshh…hhhsshhhsshhh…uuuhh…kenceng banget masshhh sodokan kamu…”
Plokk!! Plokk!! Plokk!!
“Gemes mbaaa…memek mu sempiiit banget…bokong mu bulet mba…tetek mu…ahhh…”
“Aahhsshh…masshh…kencengin lagi mashhh…”
Plokk!! Plokk!! Plokk!!
“Mba tetek mu mba aku mau remes…”
“Aahhsshh…nan…aahhh…ntii…buat aku nyampe dulu yah baru ntar aku kasih nenen yaahh…uuhhh…iya terussshh…aahhhshhh…”
Plokk!! Plokk!! Plokk!!
Mendengar tantangannya aku semakin terpacu. Birahi ku semakin terbakar.
“Aaawwhhhsshh…uuuhhh…yaahhsshh…mmmhhsshh…”
“Yaaayaaayaaahhhsshh…iyaahhhhshh…eehhmmsshh kencenggsshhh…fuuuckk…sshhh…”
Plokk!! Plokk!! Plokk!!
“Aaawww….ssshhh…sshhhshhh…iiyaaassshhh…aaakuuuuhhhhsshhh…aaahhhhsshh…”
Mba Vina mendapatkan orgasme pertamanya. Badannya mengejang. Desahannya tertahan. Jari jemarinya menggenggam. Gelungan rambutnya sudah terlepas hingga rambut panjangnya terurai membuat penampilannya semakin sensual.
“Udah sampai kan?” tanya ku dengan penuh bangga. Ku tarik penis ku perlahan hingga terlepas.
“Aaww…”
Mba Vina tidak menjawab namun hanya menoleh dan mengangguk pasrah. Dengan sisa tenaganya dia mencoba bangkit meski dengan isyarat dan meminta ku membantunya. Dengan bantuan ku mba Vina akhirnya duduk di tepi meja dengan kaki menjuntai kebawah. Dress yang ia kenakan tadi yang kini hanya menutupi area perutnya di tariknya ke atas hingga terlepas. Dari awal mba Vina memang sudah merencanakan ini sepertinya. Dia tidak mengenakan BH dan kini buah dadanya yang membulat indah itu terpampang jelas di depan ku.
“Mau nenen?” tanya nya. Aku mengangguk. Mba Vina memegang payudara kiri nya dari bawah dan mengarahkannya ke atas. Aku menyambutnya dengan bibir ku dan dengan sekali sedotan kuat…ehh…kok…keluar susunya?
“Mba? Kok?”
“Hihihi, aku emang lagi nyusuin anak ke dua ku, nanti tembak di dalam aja yah, aman kok aku pake KB,” bisiknya pelan di telinga ku.
[Bersambung]