Kesempurnaan Part 40

0
1331

Kesempurnaan Part 40

Serah Loe Deh Ah

Seperti hari-hari sebelumnya setelah makan siang aku berangkat ke kafe. Setelah mempelajari trend selama ini yang mana pengunjung lebih rame pada waktu sore hingga malam, aku memang lebih sering membuka kafe dari siang menjelang sore hingga tengah malam.

Jadi aku lebih suka memanfaatkan pagi hari untuk mengisi kembali tenaga setelah tidur agak telat malamnya. Ada yang baru di kafe ku, Ratna ikut kerja dengan ku bersama mba Sintya. Sedangkan Rahma dan Gadis sudah semakin jarang ke kafe karena mereka sekarang fokus dengan sekolah masing-masing. Maklum sudah kelas tiga dan sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional.

Pak Wira sudah kembali ke US. Hubungan ku dengannya? Baik-baik saja. Entah ada hubungannya atau tidak, tapi semenjak balik dari liburan beberapa waktu yang lalu aku memang sedikit menjaga jarak dengannya. Pun begitu dengan mama, aku sedikit menunjukkan sikap yang agak dingin. Mama sepertinya menangkap sinyal ketidak siapan ku. Mungkin beliau bercerita pada pak Wira dan mungkin pak Wira sendiri juga tidak mau terburu-buru. Entahlah. Aku tidak tau. Aku tidak berniat membahasnya dengan mama karena beliau sepertinya sudah mengerti.

Kalau ditanya pendapat ku bagaimana, aku sendiri juga tidak paham. Meskipun aku masih remaja tapi aku cukup dewasa untuk memahami pada kasus ini pak Wira tidak salah sama sekali. Masalahnya adalah di mama. Mama yang menyembunyikan semuanya, dan bahkan mungkin terhadap almarhum papa. Aku tidak tau. Tapi kalau aku harus marah atau membenci mama, aku juga tidak bisa. Aku sudah pernah kabur satu minggu dan itu sudah membuat ku merasa bersalah karena telah membuat beliau sedih. Sesalah-salahnya mama beliau pasti punya alasan tersendiri kenapa melakukan ini semua. Aku tidak tau. Mungkin aku hanya belum siap. Waktu satu tahun dari meninggalnya papa buat ku masih terlalu cepat untuk mendapatkan pengganti beliau. Meskipun orangnya sebaik pak Wira. Ayah kandung ku sendiri.

Seperti biasa sebelum memulai hari ku di kafe ini aku memastikan semua peralatan tempur ku siap. Aku sedikit memiliki sifat perfeksionis, jadi aku akan selalu memastikan semuanya siap dalam keadaan sempurna. Karena baik Ratna maupun mba Sintya sama-sama sambil kuliah, maka aku tidak memberikan jam kerja khusus buat mereka. Baik banget kan? Tentu saja.

Kalau mereka ada kuliah sore, biasanya pagi datang terlebih dahulu sekedar beres-beres dan membantu ku mempersiapkan segala sesuatu. Kalau ada kuliah pagi atau siang, mereka baru akan datang pada sore hari. Dan untungnya, entah di sengaja atau tidak, jadwal kuliah mereka tidak pernah bentrok dalam satu minggu. Saat yang satu ada kuliah pagi, yang satu sore. Begitu juga sebaliknya. Mungkin mereka sudah janjian agar tidak bareng. Jadi setiap harinya aku tidak pernah sendiri di kafe.

Hari ini giliran Ratna yang ada kuliah dari sore hingga malam sehingga siang tadi dia sudah ke kafe terlebih mengerjakan apa yang bisa kerjakan. Kebetulan dia ambil kost di dekat kafe ini jadi tidak terlalu membebaninya. Dari kafe nanti langsung ke kampus. Sedangkan mba Sintya kuliah dari pagi dan baru akan ke kafe sore nanti hingga malam saat kafe tutup. Pembagian tugas, Ratna mengambil alih kerjaan kopi dan teman-teman minumannya. Dia lebih paham dan cepat belajar dari Gadis. Sedangkan mba Sintya lebih ke melayani tamu dan kasir. Sedangkan aku masih seperti biasa, koki cap abal-abal. Hahaha.

Asik melayani tamu, tidak terasa waktu sudah sore. Mba Sintya sudah di kafe sejak jam empat tadi. Untuk sebelum itu pelanggan belum terlalu banyak. Memang justru mulai banyak-banyaknya itu nanti mulai selepas maghrib. Saat orang-orang kantoran mampir dari pulang kerja. Itu jika hari biasa. Kalau malam sabtu bisa sampai tengah malam karena besok nya libur. Sedangkan malam minggu, ya kebanyakan anak muda, banyak orang pacarannya. Tapi tidak sedikit juga keluarga-keluarga muda yang memang sengaja keluar untuk malam mingguan.
“Stok kopi aceh sama toraja nya udah mau abis mas,” ucap mba Sintya pada ku saat aku menghampirinya. Hanya ada tiga pasang pengunjung yang mampir ke kafe ku. Tapi lumayan lah, alhamdulillah. Semua pesanan sudah aku dan mba Sintya sajikan. Tinggal stand by saja menunggu kalau-kalau ada pesanan tambahan atau siapa tau ada pengunjung lain yang datang.

“Oh ya? Ya udah besok pagi aku belanja dulu kalau gitu,” balas ku yang memperhatikannya seperti sedang menghitung uang dan merekapnya.

“Alhamdulillah mas omset bulan ini naik lho, pasti tante Fatma doainnya ga berhenti-berhenti,” ucapnya lagi.

“Insyaallah, dan alhamdulillah, kalau ga karena mba Sintya yang selalu ramah sama pengunjung juga belum tentu makin rame,” balas ku.

“Hahaha, mas Adi bisa aja,” balas nya lagi lalu melanjutkan aktifitasnya. Aku sendiri juga sambil mengecek sana sini siapa tau ada yang bisa dikerjakan.

“Oiya mas, temen kantor ku dulu nanti ada yang mau main ke sini mas,” ucap mba Sintya tiba-tiba.

“Eh, maksudnya?”

“Iya, temen kantor ku sebelum aku berhenti kerja dulu ada yang mau main, kan kapan itu liat di IG ku aku posting kafe ini, katanya bagus, mau nyobain.”

“Oh gitu, alhamdulillah, gitu dong, ajak kenalannya ke sini semua, hehehe.”

“Siap mas…”

###

Teman yang dibicarakan mba Sintya tadi akhirnya datang juga. Ada empat orang ternyata. Lumayan nambah omset pikir ku. Tapi ternyata dari empat itu hanya satu yang kenalannya, karena tiga lainnya adalah teman dari temannya itu. Ah aku tidak peduli siapa mereka, yang penting mereka datang, pesan, makan, dan bayar. Itu saja.

Yang pertama namnya Ega, orang inilah yang merupakan mantan rekan kerja mba Sintya dulu. Lalu ada Arga, ah mirip-mirip namanya, apa mereka ada hubungan saudara? Yang ke tiga namanya Rere. Lalu yang terakhir Aida. Semuanya dikenalkan dengan ku. Ah mereka ini selain memiliki penampilan yang rapi juga terlihat intelek. Jau banget sama penampilan ku. Hahaha.

“Mereka berempat pasti satu geng,” bisik ku sambil terus menyiapkan makanan pesanan mereka. Sedangkan mba Sintya sudah bersiap untuk mengantarkannya. Untuk minuman sudah terlebih dahulu disiapkan tadi.

“Iya, tapi belum lama kok, kan yang dua itu anak baru, dan yang cewek satu itu orang lama tapi baru masuk lagi,” jelasnya.

“Eh yang mana?” tanya ku lagi karena agak kurang nangkep maksudnya.

“Itu yang namanya Rere sama Arga, mereka belum ada enam bulan, nah yang namanya Aida itu dulu pernah resign terus masuk lagi.”

“Ooo…I see, kalau yang temen mba itu yang namanya Ega?”

“Iya…eh mas?”

“Hemm…?”

“Mas lagi ngincer yang mana? Ngeliriknya sampe segitunya? Hihihi,” ledek mba Sintya yang sepertinya memperhatikan ku yang mencuri pandang ke arah mereka. Aku memang sesekali melihat ke arah mereka. Dalam hati aku berandai-andai, kadang aku juga ingin punya kehidupan seperti mereka. Kerja tetap. Pulang kerja nongkrong. Kumpul bareng temen.

“Kepo…”

“Saran aku sih yang namanya Rere aja mas, kayanya sih masih muda, kalau Aida udah tua, lebih tua dari aku, hihihi,” jelasnya.

“Hah? Lebih tua?”

“Iya, dua delapan atau dua sembilan kayanya, mas sendiri berapa? Dua puluh? Hihihi.”

“Walah, udah tua toh, kok masih keliatan muda banget ya?”

“Perawatannya kencend kali mas, kulitnya mulus ya? Eh, udah ah itu fokus mas masaknya, nanti rasanya campur aduk lho…”

“Eh, iya, kamu sih ngajakin ngobrol.”

“Hehehe…”

###

“Mas…” sapa sebuah suara lembut dari seorang gadis cantik jelita. Ternyata Rere. Suaranya khas banget. Lembut-lembut manja gimana gitu. Aku segera menghampirinya. Sekarang sudah jam sepuluh dan tinggal mereka berempat penggunjung saat ini. Malam ini memang tidak terlalu ramai, untungnya mereka berempat pesan makanan berkali-kali jadi lumayan juga pesenan mereka.

“Ada tambahan lagi kak?” tanya ku dengan ramah.

“Air mineral aja deh, mba Ai mau pesen lagi ga?”

“No, thanks.”

“Elo ga? A’a?”

“Apa ya? Ga deh, udah kembung gue…”

“Sama…”

“Oke, ga ada mas, air mineral aja yah…”

“Dingin atau yang biasa kak?”

“Biasa aja.”

“Oke, mohon ditunggu…”

Aku langsung mengambil pesanan dari cewek bernama Rere ini dan tidak lama kemudian aku sudah kembali.

“Mas-mas,” sapa salah satu dari mereka yang bernama Ega.

“Eh, iya,” aku langsung berbalik dan berharap ada pesanan lagi. Naluri orang jualan.

“Udah sepi kan?” tanya nya lagi. Tapi aku tidak paham maksudnya.

“Maksudnya?”

“iya, udah sepi kan kafe nya, mas nya boleh gabung sama kita-kita ga?” pintanya. Eh?

“Hehehe, ya boleh-boleh saja, tapi masa saya duduk bareng sama kakak nya?”

“Udah cuek aja ga usah sungkan. Ini usaha sendiri kan? Justru kita-kita pengen belajar sama mas nya.”

“Eh, maksudnya gimana ya?” tanya ku dengan penuh heran, tapi tidak membuat ku menolak gabung bersamam mereka. Karena aku sekarang sudah duduk di antara mereka. Di sebelah kanan cowok yang bernama Ega yang sedikit memundurkan kursinya. Sedangkan aku sendiri mengambil kursi dari meja sebelah. Arga berada di samping kiri Ega. Aida di depan Ega sedangkan Rere ada di depan Arga.

“Jujur gue suka dengan konsep kafe lo, nyaman, sentuhan seninya ada, dan yang pasti instagramable,” itu yang paling penting.”

“Oh gitu ya?” aku menanggapi dengan berlagak begok, menanti akan kemana arah pembicaraannya.

“Yup, ditempat seperti ini aja bisa rame, apalagi kalau bisa dapet lokasi yang lebih strategis lagi.”

“Loh kok kakak nya bisa bilang rame, kan baru pertama kesini dan malam ini sepi?” tanya ku.

“Sebenernya gue udah sering lewat sini dan penasaran sama kafe lo ini, pas mau ke sini ternyata tempat kerjanya si Sintya, ya udah kebetulan.”

“Ooo…”

“Jadi gimana?”

“Apanya?” sekarang aku bingung beneran dengan pertanyaaannya.

“Gue beli franchise kafe lo.”

“Maksudnya kakak nya mau modalin buat buka cabang baru?” tanya ku dengan polos.

“Itu bahasa gampangnya. Tapi dibelakang itu ada perjanjian-perjanjian yang musti kita sepakati, yang tentunya sebisa mungkin memberikan keuntungan ke kedua belah pihak, gimana?”

“Ya kalau gitu sih diomongin lagi aja kak…”

“Sip. Yang pasti ga mungkin malam ini karena udah malem. Yang penting elo setuju dulu kan buat kita obrolin lebih serius?”

“Siap kak, setuju.”

“Satu lagi, jangan panggil gue kak ya, sekarang kita rekan kerja, panggil mas aja kalo lo sungkan manggil nama. Lo masih mudah kayanya?”

“Hehehe, iya tau aja…”

“Oke jadi kapan nih mau bahas lagi?”

“Kalau bisa sih sabtu pagi, karena kalo sore kan gue nya sibuk, kalo hari kerja mas nya yang kerja.”

“Sip lah, deal.”

“Ikuuut…” teriak Rere dengan tiba-tiba dan membuat suasana jadi awkward.

“Ngapain?” tanya Arga.

“Ga tau, kayanya seru aja dengerin orang bahas bisnis, ikut ga lo?” tanya balik Rere.

“Kalo bisa bangun pagi ya.”

“Halaaah, dasar lo. Mba Ai ikut ya? Biar rame…”

“Hah? Gue? Males sih, tapi liat nanti deh.”

“Kalau males ya di rumah aja, ga ada yang maksa juga,” saut Ega. Weleh, ada apa ini?

“Bukan elo juga yang ngajak, mending diem aja,” balas Aida. Wakwaaaw…

Aku langsung ciut dan lebih memilih untuk diam, mundur pelan-pelan dan pamit kebelakang. Aku tidak tau ada apa di antara mereka. Dan tidak mau tau. Bukan urusan ku.

###

Mas Ega dan Mas Arga ternyata memiliki hobi yang sama dengan ku, sepeda. Dan dari obrolan yang hanya iseng saja kami bertiga pagi ini, di sabtu pagi ini baru saja sepedaan keliling daerah Cinere, Depok dan sekitar yang di akhiri dengan tujuan akhir kafe ku. Setelah olah raga pagi ini rencananya kami baru akan membahas proyek yang akan kami kerjakan. Setelah menaruh sepeda aku duduk begitu saja di pelataran parkir dengan dengan kolam kecil yang di pinggirnya ada air mancurnya. Air mancur kecil yang sengaja aku bangun untuk menambah keademan kafe ini. Mas Ega duduk di emperan kafe tepat di depan ku, sedangkan mas Arga membelakangi kolam.

“Groupset sepeda lo itu udah lo upgrade yak?” tanya mas Ega.

“Hehehe, iya FD sama RD nya gw copot, gue jual lalu gue beliin RD yang diatasnya.”

“Sprocket lo kayanya juga bukan bawaan deh?”

“Iya, hub depan belakang juga gue ganti mas.”

“Hmm…berapa T itu?”

“Tiga enem mas.”

“Segitu tapi udah lumayan lah ya?”

“Lumayan banget mas, enteng kok apalagi chainring nya gue cuma pake yang tiga dua jadi tanjakan dikit mah masih bisa lah di libas.”

“Mantab…”

“Kalau punya mas itu sepaket pasti ya?”

“Apanya?”

“Groupsetnya…”

“Iya…Deore M6000.”

“Ajib…”

“Ajiban punyanya si Arga tuh, XT coy…”

“Eh, oh iya XT, udah level pro itu sih,” ucap ku sambil memandangi sepeda mas Arga yang ternyata group setnya sudah XT. Group set sepedanya mas Arga lebih mahal dari satu sepeda ku. Hahaha.

“Makanya kita musti semangat bangun proyek ini supaya bisa naik tingkat sepedanya.”

“Siaaap,” balas ku. “Demi Specialized,” lanjut ku pelan.

”Team Specialized lo ya, sama kaya mas Arga, kalo cita-cita gue sih Canondale”

“Hahaha, ayo kita liat siapa duluan nanti yang bisa beli sepeda itu,” tantang mas Ega.

“Wokeh,” jawab ku dengan penuh percaya diri.

Aku dan mas Ega memang sedikit memiliki kesamaan. Sama-sama lebih kalem, setidaknya jika dibandingin dengan mas Arga. Selera sepeda pun juga sama. Dan mas Ega ternyata juga rokokan sama kaya aku. Yah aku sih berharap yang terbaik aja buat niat dan usaha ku ini. Paling tidak ada orang yang memiliki visi dan misi yang sama dengan ku untuk mengembangkan bisnis ini. Dan aku akan membuktikan pada pak Wira kalau aku bisa sukses dengan keringat ku sendiri tanpa campur tangan beliau.

###

Kami berdelapan duduk bersama saling berhadapan di dua meja yang kami gabungkan. Masih jam sebelas siang dan kafe belum buka. Tapi aku sudah menyiapkan makanan untuk makan siang bersama nanti, tentunya setelah meeting ini selesai. Ya, kami berdelapan sedang meeting.

Jadi tadi pagi ceritanya tidak lama setelah aku mas Ega dan mas Arga selesai sepedaan, mba Rere dan mba Aida benar-benar datang ke kafe. Aku korek-korek ngakunya mereka ini tidak ada hubungan apa-apa selain teman atau sahabat. Tapi kok ya segitu ngintilnya pikir ku.

Tidak lama setelah itu, sekitar pukul sepuluh giliran Ratna yang sudah tiba di kafe. Jadilah kami ngobrol-ngobrol berenam. Bahan obrolan masih hal-hal seputar kehidupan sehari-hari dan yang ringan-ringan. Dari obrolan itu ku ketahui aku dan Ratna paling muda. Kami berdua yang tahun ini baru masuk kepala dua. Mba Rere dua puluh dua tahun, baru saja lulus dan mulai bekerja. Mas Arga juga sama, baru lulus dan mulai bekerja, tapi dia sudah duapuluh tiga tahun. Kalau mas Ega umurnya dua puluh enam, seangkatan dengan mba Sintya. Sedangkan mba Aida diluar dugaan ku ternyata jadi yang paling tua dimana umurnya sudah jalan duapuluh sembilan. Padahal wajahnya masih imut-imut banget, yang ga tau pasti ngiranya awal dua puluhan sama kaya mba Rere.

Lalu yang dua lagi siapa? Karena di sini ada delapan orang. Ya tentu saja ke dua adik ku, Rahma dan Gadis yang mau tidak mau, suka tidak suka juga punya saham di kafe ini. Jadi aku pikir mereka berdua juga harus dan berhak ikut dalam pembicaraan ini.

Disebelah kanan ku ada Ratan, kiri ku ada Gadis, dan di kiri Gadis ada Rahma. Kami duduk berderet. Sedangkan di depan kami mereka berempat juga. Di depan Ratna atau yang paling kanan ada mba Rere, lalu mas Ega yang ada di depan ku, di sebelah kanannya ada mas Arga, dan paling ujung mba Ai.

“Jadi idenya bagaimana?” mas Ega memulai pembicaraan.

“Kalau gue sih kebayang buka kafe nya di mall, sesuatu yang menurut gue penuh dengan tantangan,” balas ku.

“Tantangannya dimana?” tanya mba Rere.

“Persaingan pasti lebih ketat, dan operasional juga pasti lebih mahal.”

“Boleh-boleh aja sih, tapi kira-kira modalnya cukup ga?” tanyanya lagi.

“Kalau itu sih gue balikin ke kalian sebagai investor, hehe,” balas ku.

“Hmm…iya juga ya, gimana A’”

“Kalian jadi ikut patungan ga?” tanya balik mas Ega.

“Gue ikut mas…” jawab mas Arga.

“Gue sih percaya sama komitmen lo, Rere dan sebelah kanan lo itu gimana?” tanya mas Ega dan lagi-lagi tidak menyebut nama mba Ai. Hahaha. Kocak sih.

“Gue punya nama yaaa…”

“Oh…” balas mas Ega singkat.

“Hiiih,” kesal mba Ai. Sontak kami semua senyum-senyum sendiri melihat tingkah laku mereka. Paling tua tapi kelakuan kaya jadi yang paling muda. Dan saat itu juga Gadis menyenggol ku dengan kaki nya. Ya dia sadar juga. Mungkin dia sadar dengan kelakuannya dulu kepada ku.

“Jadi gimana?”

“Ya udah ikuuut…”

“Rere?”

“Ikut deh mas.”

“Oke, opsi pertama kita buka di mall, untuk dananya coba nanti kita itung ulang dan besok kan masih minggu, lo sama gue survey ya, kita cari tau tarif dan lain-lainnya, nanti kita compare dengan dan yang kita berempat punya, kalau masuk ya udah gas pol, setuju?”

“Setuju…” jawab kami serempak.

“oke, di catat dulu.”

“Mall nya dimana? Kalau di Bellevue aja gimana? Baru kan tuh jadi harusnya sih masih banyak yang kososng ya, kebetulan juga papa temen aku ada yang kerja di manajemen mall nya, nanti aku bantu cari info deh,” ucap Gadis.

“Setuju…” jawab kami semua lagi dengan serempek.

“Catet.”

“Space nya akan seberapa besar kira-kira? Segede ini atau lebih lagi?”

“Sebesar ini cukup sih…”

“Iya kita sih bayangannya yang sebesar ini aja, dibuat semirip mungkin aja deh, menunya, tata ruang nya, design interiornya, semuanya, samain aja,” balas mas Arga.

“Iya, setuju sama Arga, kita samain aja konsep nya sama kafe ini, udah kebukti kan bisa bertahan dan semakin berkembang,” tambah mba Ai.

“Resource nya? Mau berapa kira-kira?” tanya ku. Karena ini yang pasti akan menjadi PR ku, mencari orang yang akan bekerja nanti.

“Minimal tiga sih, yang megang makanan, minuman, dan yang ngelayanin,” balas mba Ai lagi.

“Catet.”

“Perlu semacam supervisor ga ya? Semacam orang kepercayaan gitu?” tanya mba Ai.

“Kalau di antar tiga ini ada sodara dari kita atau yang kenal deket sih ya menurut gue ga perlu, kecuali ketiganya orang baru dan mungkin masih muda-muda ya mau ga mau kita harus nambah orang lagi yang ngawasin mereka,” balas mas Ega.

“Gue ada sih sodara yang lagi butuh kerjaan, ya siapa tau gitu…”

“Orangnya gimana?”

“Emm…baik kok…”

“Dedicated ga?”

“Dedicated kok…”

“Jawabannya kurang yakin.”

“Emang maunya gimana?”

“Yang yakin lah.”

“Ya kan gue jawab apa adanya.”

“Kalo sendirinya ga yakin ga usah di saranin.”

“Gue tadi bilang yakin ya…”

“Tapi ragu-ragu!”

“Serah lo deh ah,” balas mba Ai dengan ketus sambil membuang muka ke kanan, menjauh dari kita semua.

“Udah-udah…” lerai mas Arga. “Malu itu sama Rahm ama Gadis juga,” lanjutnya.

“Si A’a ni ah kebiasaan nge gas mulu, sama cewek juga…”

“Kita ga denger kok…iya kan Di? Hehehe,” canda Ratna yang sepertinya ingin mencairkan suasana. Pantes aja mereka berdua duduknya di pisah gitu. Heran, sahabatan kon gas-gas an gitu dari kemarin.

“Hehehe, yoi…intinya gini deh, kan ini kesepakatannya franchise, jadi semua resource, tempat, peralatan, semuanya kita bantu atur. Urusan karyawan nanti jadi PR gue. Design interior akan di garap sama ade gue, Gadis ama Rahma, perlengkapan dan temen-temennya nanti sama Gadis juga dibantu Ratna. Soal sewa tempat nanti gue sama Gadis. Mas dan mba nya terima beres, kami terima modalnya, hehehe,” ucap ku. Mereka berempat kompak bertepuk tangan.

“Maafin kelakuan A’a dan mba Aku ini yaah, hihihi,” ucap mba Rere.

“Selow…”

Meeting singkat ini pun selesai. Paling tidak ada beberapa keputusan dan kesimpulan yang bisa kami ambil. Hal-hal teknis lainnya aku yakin pasti akan mengalir begitu saja. Yang penting tetep kompak saja. Dan tidak terasa sudah hampir jam dua belas. Perut pun lapar. Dan kami mulai makan bersama dengan canda tawa yang menghiasi keakraban yang mulai muncul diantara kami. Aku dan para cowok membuat group sendiri. Gadis, Rahma dan Rere juga membuat group sendiri. Tidak jauh dari mereka Ratna dan mba Ai yang terlihat ngobrol berdua meski sesekali Gadis dan Rahma menginterupsi.

###

“Kak kak,” seru Rahma pelan. Hari sudah sore dan tinggal kami berempat yang ada di toko. Aku, Ratna, Gadis, dan Rahma. Mas Ega dan temen-temennya sudah balik duluan karena sudah tidak ada urusan lagi dengan kami.

“Apaan?”

“Mas Ega ganteng banget yah…” ucapnya pelan, tapi Gadis yang kebetulan juga berada tidak jauh dari ku juga ikut mendengar.

“Hadeh…”

“Rahma jeli banget kalau liat yang bening-bening, eh tapi mas Arga juga keren sih, duh jadi seneng bakalan sering ketemu mereka, hihihi,” balas Gadis.

“Bener kan? Hihihi, kakak mah lewat…”

“Ada apaan sih?” tanya Ratna yang kebetulan lewat.

“Kita lagi bahas dua cowok ganteng tadi mba, mas Ega sama mas Arga, mba Ratna juga pasti setuju sama kita, kakak mah ga ada apa-apanya, hihihi.”

“Hahaha, kali ini gue setuju sama kalian berdua, sabar ye bro…” ucap Ratna sambil mengelus-elus pundak ku dan berlalu pergi meninggalkan ku.

“Kalian berdua juga ga ada apa-apanya kalo dibandingin sama mba Rere, weeek…” ejek ku.

“Hahahah,” kami lalu tertawa bersama. Menertawakan diri kami sendiri yang seolah tidak ada apa-apanya dibanding mereka yang memang sudah lebih dulu mapan dengan posisi dan pekerjaan masing-masing. Ya semoga suatu saat nanti kami akan menjadi lebih baik lagi. Menjadi orang yang bukan hanya berguna bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain. Aamiin.

[Bersambung]

Daftar Part