Kesempurnaan Part 39

0
1283

Kesempurnaan Part 39

Jangan Ambil Dia Dari Ku

Aku merenung sendirian di dekat kolam kecil yang di pinggirnya terdapat air mancur di rumah besar ini. Suara gemericik air yang tidak pernah berhenti ini seolah menyoraki ku terhadap jalan hidup ku yang entah aku harus bersyukur atau menyesalinya. Di satu sisi aku bersyukur karena ternyata aku masih memiliki ayah kandung, di sisi lain aku menyesal pernah mencintai adik kandung ku sendiri. Air itu terus bersuara, gemericiknya patuh mengikuti alur relief buatan yang terukir dengan indah. Alur itu ada yang merancang, sama seperti jalan hidup dari masing-masing orang yang sudah ada garisnya.

Ini adalah malam ke dua aku tinggal di rumah ini. Rumah besar yang dulu aku tahu adalah rumah dari bos ku ini ternyata adalah rumah ku juga. Lucu memang. Layaknya sinetron, lingkaran kehidupan kami hanya berputar di sini-sini saja. Banyak sekali memory yang tersimpan di setiap sudut rumah ini. Pertama kali aku menjadi sopir dadakan bu Pristy, atau yang sekarang menjadi tante ku sendiri. Wanita yang pertama kali mengajarkan ku indahnya surga dunia. Antara malu dan mengutuk diri sendiri ku saat aku teringat dengan momen-momen ku bersamanya dulu.

Lalu awal mula kenal dengan Gadis. Hingga kejadian yang tidak kami inginkan waktu itu. Untung semuanya berakhir dengan baik. Lalu terbukalah semua tabir misteri antara aku, mama, Pak Wira, Gadis, dan Tante Pristy. Hahaha. Aku semakin yakin hanya tinggal menunggu waktu papa dan mama akan balikan. Dan Gadis akan menjadi anak mama juga pada akhirnya, meskipun tidak jadi menjadi mantu.

Kami berenam akan berlibur Bersama. Ide ini tercetus dari Gadis dan Rahma yang memang sedang dalam libur kenaikan kelas. Tidak terasa sudah satu tahun berlalu sejak dari pertama aku menuliskan cerita ini. Entah sampai kapan cerita ini akan menemukan ujung penantian. Selama sang khaliq masih memberikan nafas di raga ini maka sampai saat itulah harapan dan keinginan akan terus menyala.

Kami akan berlibur ke salah satu villa keluarga yang ada di daerah jawa sana. Iya salah satu karena aku yakin keluarga ini tidak hanya memiliki satu atau dua villa, pasti lebih dari itu. Dan pasti mewah-mewah. Dan pak Wira, atau ayah, atau ah entahlah aku harus menyebutnya apa, aku yakin beliau pasti sudah mulai menhitung-hitung mana yang nantinya akan di berikan kepada ku. Ah, entahlah. Aku tidak mau berfikir sampai kesana. Aku tidak peduli.

“Baju-baju kamu udah semua?” terdengar sebuah suara lembut dari belakang ku. Aku lalu menengok. Tante Pristy ternyata. Aku tersenyum kepadanya. Beliau juga tersenyum kepada ku dengan sangat manis. Seperti biasanya.

“Udah bu, eh Tan, hehehe,” balas ku dengan masih agak kaku. “Mama udah tidur ya?” tanya ku.

“Udah, mama mu mah emang selalu tidur cepet dari jaman dulu,” balasnya lalu duduk di kursi yang ada di depan ku.

“Hehehe, iya sih…Gadis sama Rahma?” tanya ku lagi.

“Udah pada masuk kamar, tapi kayanya sih belum pada tidur, lampunya masih nyala,” jawabnya. Duduknya menyamping menghadap ke arah air mancur yang ada di sebelah kiri kami sambil sesekali memperhatikan hand phone yang ada di tangannya.

“Ngapain?”

“Entahlah, dua cewek abg malam-malam gini tidur bareng pasti ada sesi curhat atau ngegosipnya dulu kayanya sih.”

“Hahaha, pengalaman masa muda ya?”

“Hahaha,” si tante tertawa lepas aku ledekin seperti itu.

“Udah siap Di?” tanyanya tiba-tiba. Diletakkannya hand phone nya di meja dan menghadap ke arah ku.

“Waduh, siap apa nih?” tanya ku balik denga nagak gugup. Jangan-jangan?

“Jangan mikir yang aneh-aneh,” balasnya sambil melotot.

“Hehehe,” aku tersenyum dengan garingnya. Dan sangat malu.

“Maksud ku apa kamu sudah siap menyandang nama keluarga Wiradana?”

“Sampai kapan pun nama belakang ku tetap Perdana, bukan Wiradana.”

“Ah masa?”

“Yup. Dan kalo pun memang berubah menjadi Wiradana, itu ga akan ngerubah apa-apa, aku masih Adi yang dulu.”

“Kamu akan mewarisi sebagian besar harta keluarga Wiradana.”

“Aku tidak menginginkannya.”

“Tapi kamu akan mendatkannya.”

“Lalu?”

“Ya sukurlah kalau kamu masih jadi Adi yang seperti dulu. Teruslah seperti itu.”

“Pasti tante, aku anggep semua ini cuma kaya bonus aja. Perjuangan ku masih belum berakhir, justru aku akan semakin bersemangat. Papa aja bisa, aku harus bisa lebih dari papa.”

“Aku selalu bangga sama kamu, dan berharap besar sama kamu kalau suatu saat nanti kamu beneran bisa sama Gadis, eh taunya kamu malah anak kandung dari mas Wira sendiri. Aku tuh sebenernya sempet khawatir dengan kelanjutan bisnis keluarga ini karena kamu tau sendiri, kita semua Taunya mas Wira ga punya anak cowok.”

“Kan aku tadi udah bilang aku ga mau.”

“Suatu hari nanti kamu pasti mau.”

“Tau dari mana?”

“Percaya aja sama orang tua, hehehe.”

“Hahaha, yah suka-suka tante aja lah.”

“Aku cuma mau pesen, tetaplah jadi Adi yang seperti dulu, jangan pernah lupa dari mana kamu selama ini, jangan jumawa.”

“Siaap.”

“Ya sudah aku juga mau tidur dulu, kamu juga jangan tidur malem-malem, besok kamu yang bawa mobil, hihihi,” ucapnya sambil menahan tawa.

“Iya tan, bentar lagi kok.”

“Oiya satu lagi,” ucapnya sebelum pergi meninggalkan ku.

“Apa?”

“Yang…sudah terjadi di antara kita, aku mohon kamu mau melupakannya dan kita mulai lembaran baru ini dengan sesuatu yang lebih baik,” ucapnya dengan suara yang sedikit berat.

“Sebelumnya aku juga mu membicarakan itu, dan intinya aku juga mau aku dan tante juga melupakan semuanya, aku minta maaf kalau selama ini aku…”

“Sudah lah,” ucapnya sambil tersenyum. “Tidak ada yang benar, kita berdua sama-sama salah jadi tidak perlu meminta maaf. Yang penting kita berdua memperbaiki semuanya dengan tidak mengulangi perbuatan itu lagi.”

“Iya tante…”

“Oiya satu lagi,” ucapnya lagi. Satu lagi mulu batin ku.

“Sepuluh sekalian juga ga apa-apa tante…hahaha.”

“Hahaha, bisa aja kamu. Tadi mba Fatma sempet nanya kenapa Ratna ga kamu ajak? Ehem…ternyata ya…jadi setelah ga sama Gadis kamu sama…”

“Ratna itu sahabat Tan, tapi emang udah deket sama mama…”

“Sahabat bisa kok jadi mantu, hihihi…” ucapnya sambil tertawa geli lalu meninggalkan ku.

Iya bisa aja sih batin ku. Kalo sama-sama mau. Kenapa tidak? Tapi masa iya aku sama Ratna? Cewek tomboy itu? Eh mantan tomboy deng. Sekarang sudah tidak tomboy lagi. Kalo dipikir-pikir cantik juga sih. Tapi…ah pikir nanti saja lah. Masa depan ku masih panjang. Aku harus bisa membuktikan kalau aku bisa lebih sukses dari papa. Dan aku harus membangunnya dari sekarang. Ratna atau siapapun itu nanti saja.

“Ini masih salah satu dari sekian banyak Vila milik keluarga Wiradana,” ucap tante Pris tanpa ku minta penjelasan. Aku hanya mengangguk. Entah mengangguk karena apa. Mengagumi kekayaan orang tua ku yang ternyata banyak sekali. Atau meratapi nasib ku yang selama ini harus hidup dengan kondisi pas-pasan.

Vila ini lumayan besar tapi tidak besar banget. Lokasinya berada di Kawasan perbukitan tidak jauh dari kota Jakarta. Menghadap ke timur, matahari pagi yang hangat menyirami kami berenam yang nampak sangat menikmati udara segar hari ini. Liburan yang sangat murah meriah. Memang. Padahal papa sebenarnya mengajak kami semua keliling Indonesia, bahkan ke luar negeri, tapi mama menolak. Alasannya takut capek, dan sebagainya. Tapi aku yakin mama sebenarnya pasti masih menjaga jarak dengan papa. Jaim? Mungkin.

Aku sendiri tidak mempermasalahkannya. Tidak peduli mau kemana, asal bisa Bersama mereka aku sudah senang. Bisa Bersama Rahma dan Gadis, dua adik ku yang cantik-cantik. Bersama tante Pris yang cantik juga. Bersama pak Wira yang…aku tidak tau bagaimana tapi aku bersyukur rasa hormat ku kepadanya kini kembali lagi. Tapi tekad ku masih bulat. Semua ini bukan milik ku. Aku akan memiliki yang seperti ini. Tapi dengan usaha dan jerih payah ku sendiri.

Setelah selesai menikmati udara yang segar ini kami lalu menurunkan barang-barang. Aku dan papa mengambil bagian yang berat-berat. Koper dari masing masing wanita yang besar-besar, padahal cuma dua malam. Rahma dan Gadis membantu menurunkan yang ringan-ringan. Mama dan tante Pristy membantu merapikan yang sudah kami turun kan. Terutama persediaan makanan yang kami bawa dari rumah dan memasukannya ke dapur. Karena sudah tidak ada pekerjaan aku lebih memilih berjalan-jalan di sekitar area Vila, yang tanpa ku sadari Rahma dan Gadis membututui di belakang ku.

“Kakak mau kemana?”

“Ke kali…,” sungai maksud ku.

Saat kami tiba tadi memang terdengar suara air yang mengalir cukup deras. Pasti ada sungai atau semacamnya di dekat sini.

“Mau ngapain kak? Kakak jangan bunuh diri…” ucap Rahma dengan seenaknya. Yang langsung di tegur oleh Gadis.

“Siapa juga yang mau bunuh diri?”

“Kirain masih belum bisa move on dari cewek yang atu ini, hihihi,” ledek Rahma kepada ku dan Gadis tentunya.

“Rahma apaan sih…udah janji kan semalem ga bahas itu lagi…” balas Gadis dengan kesal.

“Hehehe, maaf…abisnya ga tahan gemes aja pokoknya pengen ngeledekin. Maaf yaaah…”

“Hmmm…”

“Hihihi, jangan cemberut atuh…senyum dong…”

“Hiiii…udah tuh tersenyum…”

“Hehehe…eh iya, kak, Rahma baru inget sesuatu…” ucap Rahma namun sepotong-sepotong.

“Apaan?” tanya ku yang sudah mulai melanjutkan perjalanan menuju arah sumber air dan di ikuti mereka di sebelah kiri ku.

“Aku mau nanya, kira-kira aku sama Gadis siapa yang jadi kakaknya siapa yang jadi adiknya?”

“Ya elah, kirain apaan, penting gitu?”

“Hahaha…” Gadis malah tertawa.

“Penting lah, kalau bisa aku yang jadi adiknya, kan enak jadi anak bungsu, pasti di manja. Gadis kamu jadi yang di tengah-tengah aja ya, kamu kan ga tau rasanya punya kakak dan adik, jadi di tengah aja biar tau rasanya sekaligus…”

“Hihihi, terserah kamu aja deh Ma, yang penting aku sama kalian…” balas Gadis lalu menggandeng lengan ku dan lengan Rahma berbarengan sambil melanjutkan perjalanan.

“Asiiik…” bals Rahma dengan girang. Gadis melirik ke arah ku dan tersenyum. Aku juga tersenyum. Memang benar apa yang dikatakan oleh Gadis. Bersama mereka berdua adalah yang terpenting saat ini.

Tidak lama berselang apa yang kami cari mulai terlihat juga. Sungai kecil itu mengalir tidak jauh dari Vila. Dari kejauhan sudah nampak air sungai yang sangat jernih. Ditambah hawa perbukitan yang sejuk seperti ini aku berani jamin kalau air di bawah sana pasti sangat lah dingin. Namun ada yang membuat ku janggal, dan mungkin juga Rahma dan Gadis. Ada seseorang di bawah sana yang sedang mandi. Seorang pria tua tepatnya. Umur pertengahan empat puluhan sepertinya. Iya, tidak salah lagi. Karena orang itu adalah, papa. Sejak kapan papa ada di sana? Pantes dari tadi tidak keliatan ternyata beliau sudah mencuri start duluan.

“Papa curang ah ga ngajak-ngajak mau main air…” rajuk Gadis kepada papa setelah kami berada tidak jauh dari tepian sungai. Pak Wira sudah keluar dari sungai dengan hanya mengenakan celana kolor yang menutupi lututnya dan yang pasti basah. Sedangkan baju kaos yang tadi tidak dia gunakan saat main air yang masih kering dia kalungkan di pundaknya menutupi punggungnya.

“Kalau papa ijin dulu tante mu pasti tidak ngijinin, yang bilang dingin lah, nanti masuk angin lah…”

“Lagi ngapain sih main basah-basahan?” tanya Gadis lagi.

“Papa lagi usaha…”

“Usaha apa coba?” cibir Gadis underestimate pada ayahnya.

“Usaha ilmu kebatinan… hahaha,” balas pak Wira dengan garingnya. Aku, Gadis dan Rahma sempat saling lirik. Businessman sekaliber pak Wira percaya dengan ilmu kebatinan?

“Papa jangan aneh-aneh deh…” protes Gadis yang mungkin kuatir papa kesambet setan di tempat ini mungkin.

“Siapa yang aneh-aneh? Ini semua papa lakuin demi usaha papa biar mama nya Adi kecantol lagi sama papa, hehehe,” balas nya dengan penuh percaya diri. Dan kami bertiga semakin garing mendengarnya.

“Sumpah iiihhh papa centil banget…udah tua juga…”

“Enak aja…masih muda ini,” balas pak Wira yang tidak mau kalah beradu argument dengan Gadis sambil berakting memamerkan otot nya yang masih sedikit terlihat.

“Usaha mah kasih perhatian, ajak jalan-jalan, belanja, ini malah bertapa di kali, dooooh…”

“Hahaha…liat aja hasilnya nanti. Di kamu harus cobain air nya, seger banget… nyesel kalau udah sampai sini ga nyebur…” ucap pak Wira sambil berjalan ke arah rerumputan yang terkena sinar matahari dengan tujuan ingin berjemur. Mungkin sambil mengeringkan tubuhnya yang basah karena air.

“Ga bawa baju ganti, pa…” balas ku dengan sediki kaku karena memanggilkan dengan sebutan pa untuk pertama kali nya. Pak Wira sempat menengok dan tersenyum.

“Lepas aja bajunya, cuek aja sama Gadis mah…”

“Iiiihhh papa porno ih…” teriak Gadis yang mungkin tidak siap melihat aku yang sudah bersiap ingin melepas celana ku. Tentu saja aku hanya berpura-pura. Hahaha.

“Ya ga perlu sampai basah semua, cukup basahin kaki dan muka kalian, seger banget…” ucap pak Wira lagi.

“Diiih, maksa banget. Nyari temen ya biar nanti kalo balik basah-basahan ga di omelin?”

“Hehehe, kamu emang anak papa, tau aja…”

Aku, Rahma dan Gadis pun akhirnya mengikuti saran pak Wira meskipun harus berdebat terlebih dahulu. Tidak sampai basah sebadan. Aku hanya melepas sendal ku dan melipat celana panjang ku hinga sedikit di bawah lutut. Begitu juga Gadis dan Rahma yang juga melepas sandal mereka dan melipat celana mereka.

Kami bertiga turun ke sungai kecil ini berbarengan dan merasakan dinginnya air ini berbarengan pula. Kuat juga pak Wira pikir ku mandi dengan air sedingin ini. Hampir sedingin es batu. Tapi segar sih. Dan membuat tubuh menjadi lebih relax. Apalagi ditambah dengan perpaduan suara gemericik air yang membuat hati menjadi semakin tenang. Dan kami pun mulai bermain air. Saling mencipratkan air. Dan akhir nya baju kami sedikit basah juga.

Setelah puas bermain dengan air, kami berempat pulang. Rahma da Gadis berjalan di depan, sedangkan aku dan pak Wira di belakang. Rasanya sejuk banget udara pegunungan seperti ini.

“Seandainya, aku hanya berandai-andai,” ucap pak Wira terhenti.

“Ya?”

“Aku berikan tanah ini untuk mu, apa yang akan kamu lakukan?” tanyanya tiba-tiba.

“Ehm… apa ya?”

“Jawab saja apa yang ada di pikiran mu,” pinta pak Wira lagi.

“Hmm…pertama mungkin aku akan mencari investor,” balas ku.

“Terus?”

“Kedua, mungkin aku akan melobi pemda sini juga untuk membangun akses menuju tempat ini.”

“Terus?”

“Terakhir aku akan bangun resort mewah dan akan mengembangkan kemampuan memasak ku dan aku sendiri yang akan menjadi kepala koki di sini, hahaha,” pungkas ku disertai dengan tawa ku sendiri karena aku sadar itu semua hanya berandai-andai.

“Good, aku akan menjadi investor mu, kamu mau mengerjakannya?” ucap pak Wira sambil berhenti dan menatap ku dengan tajam. Tidak ada kesan berandai-andai kali ini. Matanya terlihat serius. Tidak ada candaan.

“Ba-bapak ser…”

“Papa, panggil aku papa…”

“Papa serius…?

“Kita berbicara antar laki-laki, sama saat dulu aku berbicara dengan mu tentang Gadis. Waktu itu Gadis saja aku bisa percaya sama kamu, ini hanya harta, tidak mungkin aku tidak serius.”

“Aku pikir-pikir lagi…bukan duit kecil masalahnya…”

“Kamu tidak akan pernah jadi seorang businessman kalau kamu masih terus berfikir, just do it, son…” pungkas pak Wira yang lalu berjalan duluan meninggalkan ku menyusul Rahma dan Gadis. Ah…ini impian ku punya bisnis resort seperti ini, dan aku sendiri yang akan mengelola restorannya. Cita-cita masa kecil ku. Tapi aku tidak ingin mendapatkannya dengan instan. Aku ingin memulainya dari nol. Dan aku sudah memulainya dair café. Aku mau semuanya dari sana. Pa…ini sangat bagus tapi mungkin tidak untuk saat ini. Ya, mungkin nanti, aku pasti akan membangun tempat ini.

Kami berenam baru saja menyelesaikan makan siang saat tiba-tiba sebuah sepeda motor datang dengan ditumpangi oleh dua orang masuk ke pekarangan villa dan berhenti di sana. Aku sempat memicingkan mata melihat dari dalam rumah melalui jendela ruang tamu yang tirainya terbuka. Lah? Pak Parto? Ratna? Kenapa mereka berdua bisa ada di sini?

“Itu Ratna sama pak Parto kali itu ya?” ucap mama dari arah dapur. Mama udah tau?

“Ratna ma?”

“Iya…”

“Kok mama tau?” tanya ku masih dengan bingung. Iya lah aku bingung. Ya kali aku malah ga tau Ratna nyusul ke sini. Kalau mau ikut kenapa tidak bareng aja bawa dua mobil sekalian?

“Bukain pintu dulu sih kalau mau nanya-nanya nya nanti aja…” ucap mama dengan khas ibu-ibu yang sedang mengomel. Aku langsung bangun dan berjalan ke depan. Dan ternyata aku keduluan Rahma dan Gadis yang juga ikut berjalan ke arah pintu depan villa.

“Lo ngapain di sini?” pertanyaan yang agak tidak sopan sebenarnya, tapi aku yakin Ratna paham sih.

“Angkatin tas nya mba Ratna sih kak, malah nanya gitu, ya mba ya…” protes Rahma.

“Iya ih, cowok masa gitu…” tambah Gadis.

“Hehehe, ga apa-apa kali, kakak mu ini pasti kaget,” balas Ratna dengan sangat lembut. Asli ini anak makin ke sini makin lembut dan mulai pudar sifat tomboy nya. Bagus lah.

“Ga usah mba, biar saya saja,” ucap pak Parto sambil hendak mengangkat tas Ratna.

“Hehehe, selow aja pak, sini saya bantuin,” ucap ku sambil meraih tas yang sebelumya ada di tangan pak pak Parto dan kini sudah berada di tangan ku. Kami berlima lalu masuk. Eh enggak deng, cuma kami berempat, Gadis, Rahma, Ratna dan aku di paling belakang yang membawa tas. Pak Parto hanya sampai di teras dan duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Mungkin ingin beristirahat, meregangkan kaki dan tangannya, sambil menikmati udara yang segar ini.

Sampai di dalam pun Ratna langsung di sambut dengan antusias oleh mama dan tante Pristy. Wah pertanda sih ini. Hmmm… setelah menaruh tas, aku memutuskan untuk pergi ke depan saja menemui pak Parto. Ngobrol dengan Ratna nya nanti saja setelah sesi dengan para wanita itu selesai.

“Gimana ceritanya pak? Saya saja malah ga tau Ratna sama bapak mau nyusul ke sini, tau gitu bareng aja tadi pagi bawa dua mobil,” ucap ku membuka obrolan sambil duduk di kursi tidak jauh dari nya.

“Hahaha, dadakan juga kok. Jadi ceritanya si Ratna itu ke rumah dan pas banget sebelum aku mau jalan, rumah sepi kan ya bapak bilang aja kalau kalian pada ke sini. Terus sempet ngobrol sebentar, saya bilang aja ke bu Pristy, mungkin bu Pristy cerita ke mama nya mas dan mama nya mas minta bu Pristy untuk ngajak mba Ratna ke sini. Ya kalau udah bu Pristy yang nyuruh sih mana bisa saya nolak mas, hahaha,” jelas pak Parto panjang lebar. Bukan ga bisa nolak pak, karena memang bapak ada rasa sama tante gue itu, hahaha.

“Jadi ngerepotin dong…”

“Ngerepotin apa sih? Kan searah, kampung saya kan ibarat nya tengah-tengah antara Jakarta dan daerah sini, jadi ya sekalian jalan-jalan aja lah, udah lama juga bapak ga ke sini.”

“Oh iya ya…” baru inget juga aku kalau dari Jakarta ke sini itu ngelewatin kampung pak Parto yang dulu pernah aku datengin guna minta bantuannya saat Gadis dan Rahma hilang. Kenapa aku jadi pikun ya. Aku merenung sebentar sebelum buyar karena tante Pristy jalan lewat depan ku sambil membawa secangkir kopi dan beberapa makanan.

“Makasih loh pak udah nganterin Ratna ke sini, tuh mba Fatma seneng banget, sini Adi ini sih bandel punya temen deket ga di ajak.”

“Laah, aku lagi yang kena.”

“Hihihi…”

“Mas Adi emang suka begitu bu, masih suka malu-malu.”

“Eh malu-malu kenapa nih?”

“Hahaha si ibu kaya ga pernah muda aja…”

“Oh…paham saya…hihihi.”

“Kalian ngoomongin apaan sih?” tanya ku pura-pura tidak paham. Padahal aku paham. Mereke meledek ku dan mengira aku punya hubungan spesial dengan Ratna. Padahal untuk saat ini tidak ada sama sekali. Hanya sahabat.

“Auuu…ya udah ah mau masuk lagi mau lanjutin ngerumpi nya, hihihi, di minum ya pak kopi nya…”

“Hehehe, oh iya siap, makasih loh, jadi enak di buatin kopi sama majikan, hehehe,” canda pak Parto.

“Hahaha, si bapak bisa aja.”

Tante Pristy lalu masuk. Tinggal aku dan pak parto lagi. Obrolan lanjut ke hal-hal seputar kehidupan. Dan tidak jauh dari obrolan khas laki-laki. Politik. Pekerjaan. Hobi. Semuanya.

“Ga usah cerita, gue udah denger semuanya dari pak Parto,” ucap ku pada Ratna yang aku tau dari gelagatnya pasti ingin menceritakan semuanya. Hanya ada aku dan Ratna di ruang tengah villa ini. Mama dan tante Pristy seperti nya sedang tidur, mereka satu kamar, begitu juga dengan Gadis dan Rahma yang semakin hari juga semakin lengket kaya perangko. Pak Wira sepertinya juga sedang tidur di kamar nya. Pak Parto juga sedang tidur, tapi dia lebih memilih tidur di bale ujung pekarang villa. Semuanya sepertinya sedang menyiapkan tenaga untuk acara nanti malam. Sedangkan aku sendiri memejamkan mata saja rasanya lelah. Pikiran ku kemana-mana. Terisi oleh ucapan pak Wira tadi pagi. Membangun tempat ini. Apa aku bisa?

“Idih, pede banget sih lo…” balas Ratna sambil menjulurkan lidahnya.

“Biarin, emang kenyataannya gitu…lagi kalau mau ikut kenapa ga bilang sih, kan bisa bareng dan bawa dua mobil.”

“Jangankan bilang, emang lo ngasih tau gue?”

“Emang enggak ya?”

“Masih muda udah pikun aja lu,” ejeknya.

“Hehehe,” aku nyengir kuda.

“Lagian kalau bilang pun masa aku nawarin di ajak sih?”

“Emang kenapa? Udah biasa kan?”

“Aku kan pengen berubah, ga mau jadi tomboy lagi yang cuek kaya dulu…”

“Aku?”

“Iyaa…akoooh…”

“Alay lu…”

“Hahaha.”

“Ada yang lagi lo incer ya?” tanya ku.

“Maksudnya?”

“Iya, lo berubah karena pengen narik perhatian seseorang kan?”

“Ih jahat banget sih, gue kan emang beneran pengen jadi cewek tulen…”

“Hahaha, emang sebelumnya ga tulen?”

“Kan sebelumnya lo sendiri yang sering bilang kalo gue setengah cowok…”

“Oiya ya…hahaha.”

“Oiya ya mulu. Eh, nanya dong,” ucapnya tiba-tiba setelah kami saling diam setelah sebelumnya aku tertawa.

“Apaan?”

“Tante makin makin cerah aja sekarang wajahnya, fix sih ini pasti CLBK sama pak Wira, hihihi.”

“Doain yang terbaik aja sih kalau gue mah, asal mama bahagia gue nya seneng-seneng aja.”

“Ikut seneng deh pokoknya gue…”

“Thanks…”

Angin sore yang sejuk khas daerah perbukitan berhembus sedikit kencang. Merasuk menembus sukma. Matahari perlahan sudah mulai condong ke arah barat menandakan tugasnya hari ini sudah akan berakhir. Pun begitu dengan beberapa penduduk lokal yang sudah mulai pulang dari kegiatannya hari ini. Kembali pulang ke rumah masing-masing. Sama seperti ku yang akhirnya juga pulang ke keluarga besar ku.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Acara bakar-bakaran sekaligus makan malam sudah selesai. Seru. Semua nampak bahagia dengan tawa dan ceria masing-masing. Pak Parto akhirnya tidak jadi pulang dan ikut menginap di sini. Seperti biasa setelah di rayu oleh tante Pristy beliau langsung luluh. Kini jumlah kami seimbang. Maksud ku antara generasi muda dan generasi tua sama banyaknya. Dan pada akhirnya membentuk dua kelompok. Pak Wira, mama, tante, dan pak Parto ngobrol di teras villa sambil menikmati makanan ringan. Sedangkan aku, Gadis, Ratna dan Rahma masih duduk lesehan di tikar yang kami gelar di halaman villa. Suasana yang sangat hangat, ditambah bara api yang masih menyala di dekat kami sisa pembakaran tadi.

“Katanya di deket sini ada alun-alun yang kalau malam suka ada pasar malamnya,” ucap ku pada mereka bertiga.

“Terus?” tanya Rahma.

“Jalan ke sana yuk, cari jajanan,” balas ku.

“Udah malem kali kak…”

“Baru jam sembilan…”

“Diih…dibilangin juga, lagi serem ah, jangan-jangan itu pasar setan kaya yang ada di film-film,” ucap Rahma lagi.

“Kebanyakan nonton film horor kamu, gimana Dis? Rat?”

“Aku juga males ah, udah malem juga, hehehe,” jawab Gadis.

“Rat?”

“Gue sih ayok aja, ijin sama tante dulu tapi,” jawab nya. Ini baru sohib.

“Pastilah, kalian berdua beneran ga mau ikut?”

“Enggaaak kakak…” balas mereka berdua kompak.

“Ya sudah.”

Aku lalu bangkit dan bicara sama mama. Untungnya mama ngijinin tapi tentu saja disertai dengan pesan ini itu yang intinya hati-hati, jangan pulang malem-malem, Ratna nya di jagain. Dan lain-lain. Kalau aku tuliskan mungkin akan jadi satu bab sendiri.

Setelah mengganti dengan celana panjang agar tidak terlalu dingin, tak lupa menggunakan jaket juga, aku dan Ratna berangkat. Ratna juga sudah berganti baju dengan yang lebih hangat. Perlu waktu sekitar lima belas menit untuk bisa sampai di alun-alun ini. Bukan alun-alun yang seperti ada di bayangan ku ternyata. Hanya sebuah lapangan rumput kecil yang ternyata adalah lapangan dari kantor kelurahan. Untuk ukuran kantor kelurhan cukup besar sih menurut ku. Tapi untu di sebut alun-alun masih sangat kecil. Warga yang ada di sana pun juga tidak sebanyak yang aku bayangkan. Mungkin karena mungkin sudah jam sembilan malam jadi sebagian warga yang tadi datang ke sini sudah pulang juga. Entahlah.

Aku dan Ratna lalu jalan berkeliling melihat apa saja yang ada. Jajanan baik yang makanan berat atau hanya cemilan. Beberapa permainan anak yang sudah mulai sepi. Beberapa lapak ada juga yang menjajakan baju-baju, beberapa lainnya menjajakan beberapa kerajinan tradisional. Tujuan ku dan Ratna akhirnya berhenti pada sebuah lapak kecil yang menjajakan minuman wedang jahe. Setelah memesan dua gelas aku duduk di atas rumput yang beralaskan tikar bersama Ratna.

“Gimana kabar bokap lo?” tanya ku membuka obrolan.

“Sehat, beberapa kali nanyain lo juga kok,” balasnya.

“Oh ya?”

“Iya…”

“Masih di Bandung ya?”

“Betul…kenapa?”

“Ga apa-apa, elo…ga akan balik ke bandung lagi kan?”

“Hehehe, eh, kenapa nanya gitu?”

“Terakhir gue nangis itu pas nganterin elo ke stasiun waktu itu.”

“Serius? Kok gue ga liat?”

“Eh, terima kasih pak,” ucap ku pada bapak tukang wedang jahe, belum sempat aku menjawab pertanyaan Ratna, wedang jahe pesenan kami berdua sudah siap.

“Beneran elo nangis?”

“Hehehe, iya, pas gue balikin badan buat pulang, langsung keluar gitu aja…”

“Hahaha, cengeng lo, gue aja enggak nangis, sedih iya sih, tapi sampai nangis.”

“Dan kalo lo mau tau, semenjak gue kenal elo lagi pas kerja di resto, elo itu beberapa kali masuk ke dalam mimpi gue.”

“Maksud lo anak kecil yang lo pernah ceritain itu gue?”

“Iya.”

“Tau dari mana?”

“Ya siapa lagi? Soalnya setelah semua misteri kebongkar, elo ga masuk mimpi gue lagi.”

“Soalnya gue capek masuk mimpi lo tapi di abaikan terus.”

“Maksudnya?”

“Eh, hahaha, maksud gue dari cerita lo tiap gue ada di mimpi lo, lo nya ga pernah inget, boro-boro mau di kasih makanan atau apa gitu, inget aja enggak, hahaha.”

“Hahaha, sian banget ya elo,” ledek ku.

“Sialan, makanya gue ga pernah masuk mimpi lo lagi.”

Aku lalu menyeruput wedang jahe yang sudah mulai dingin karena pengaruh udara malam yang dingin ini. tidak tau kenapa aku tiba-tiba tersenyum dengan sok cool pada Ratna. Dia kaget dan nampak sedikit salah tingkah.

“Kenapa?” tanyanya.

“Gue baru sadar kalau rambut lo udah jauh lebih panjang dari waktu pertama kita ketemu,” ucap ku dengan percaya diri.

“Eh? Masa sih? Enggak ah…” ucapnya berusaha menyangkal dengan sambil memegang dan memainkan rambutnya sendiri yang kini panjangnya sudah hampir sedadanya.

“Iya…padahal baru satu tahun lebih tapi cepet banget ya panjangnya?”

“Ih kok elu merhatiin gue banget gitu sih? Tapi emang sih setaun belakang ini gue ga pernah potong rambut.”

“Kan kita sohib…”

“Hihihi, iya yak, sahabat kan saling memperhatikan.”

“Terima kasih waktu masih kecil dulu elo selalu belain gue kalau ada anak yang bandel ngisengin gue.”

“Hahaha, masih inget aja, terima kasih juga sekarang gantian elu yang selalu ada buat gue.”

Aku dan Ratna saling tersenyum. Entah senyum dengan maksud apa. Senyum seorang sahabat? Tapi apa iya sahabat akan jadi se sweet ini? Apa iya muncul benih-benih cinta antara aku dan dia yang kembali memainkan rambutnya yang tergurai ke depan sambil sedikit menunduk dengan simpul yang malu-malu. Masa remaja memang masa-masa yang indah. Sangat indah dengan segala pertanyaan yang muncul di dalam sukma. Sukma ku dan diri nya.

Aku meghentikan langkah ku saat diri ku dan Ratna sudah hampir tiba di villa. Sudah jam sepuluh lewat dan suasana sudah sangat sepi dan gelap. Tapi tidak villa tempat ku menginap yang memang ukuran bangunannya lebih besar dari bangunan di sekitar ditambah pencahayaan yang ada lebih terang dibanding dengan yang lain. Dan dengan cahaya yang lebih terang itu pula dari kejauhan aku dapat melihat siapa yang masih berada di teras depan villa.

“Sstthh…” aku memberikan isyarat kepada Ratna untuk berhenti sebentar. Ratna sepertinya langsung paham dan segera memicingkan matanya agar lebih fokus pada apa yang aku maksud.

“Itu kan…?” tanya nya.

“Iya, itu…mama sama pak Wira,” balas ku.

“Bilan papa aja sih dari pada pak Wira, kaku amat,” protes nya dengan berbisik.

“Kadang aku juga manggil dia papa kok, tapi masih suka lupa manggil dia pak lagi,” ucap ku menerangkan.

“Astaga itu?” ucap Ratna tiba-tiba dengan ekspresi terkejutnya. Aku lalu kembali menatap kearah villa. Aku melihat papa sama mama duduk bersebelahan dengan tangan papa memeluk erat tubuh mama dari samping. Lalu tiba-tiba…aku segera merengkuh kepala Ratna dan menutup matanya. Papa dan mama berciuman. Aku tidak mau ada orang lain yang melihatnya.

“Iihhh apaan sih?” protesnya dan langsung berusaha melepaskan diri dari diri ku.

“Hehehe, sensor tadi, gue ga mau liat apa yang nyokap gue lakuin barusan.”

“Mereka…?” tanyanya dengan isyarat yang berarti sebuah ciuman. Aku hanya mengangguk.

“Hihihi, aduh so sweet banget iihhh…”

“Hmm…” balas ku cuek karena bingung harus bersikap apa. Marah? Ga mungkin, karena mama sepertinya sangat menyukainya.

“Eh itu…” ucap Ratna lagi dengan sedikit panik. Aku lantas menatap kembali ke arah villa.

Shit. Mama dan papa beranjak dari duduk nya sambil bergandengan tangan dan masuk ke dalam villa.

“Tante Di, tante mau di ajak masuk kamar itu sepertinya sama pak Wira, lo ga cegah? Hihihi.”

“Au ah,” balas ku sewot dan berjalan meninggalkannya duluan menuju villa. Aku benar-benar tidak tau harus bersikap apa. Aku tidak ada masalah dengan pak Wira alias papa kandung ku jika dia akan menjadi orang tua sah ku juga secara hukum, tapi aku tidak mengira akan secepat ini mama menerimanya kembali. Apakah ini artinya mama masih sangat mencintai papa? Tapi masih ada yang sedikit mengganjal di dir ku. Sesuatu dari lubuk hati yang paling dalam. Aku cemburu. Aku muak. Aku marah karena papa tiba-tiba muncul lagi setelah semua yang kami lalui tanpa diri nya selama ini. Dan akan mengambil mama?

[Bersambung]

Daftar Part