Kesempurnaan Part 38

0
1322

Kesempurnaan Part 38

Impossible [Part 2]

“Hei nak, bangun, ngapain tidur di situ?” aku terbangun dan mendengar suara seorang pria tua yang menggoyang-goyangkan badan ku. Sayub-sayub aku juga mendengar suara adzan dari berbagai penjuru. Aku berusaha untuk bangun dan aku baru ingat kalau semalaman ini aku tidur di samping nisan papa.

Dengan wajah yang masih sangat ngantuk aku pandangi wajah pria tua yang sudah rapi mengenakan baju koko, kopiah dan juga sarung. Sepertinya dia hendak menunaikan ibadah sholat subuh di masjid atau mushola. Pria tua itu menatap ku balik dengan penuh heran. Aku mengucek mata ku lalu memandang pada batu nisan yang di atasnya tertulis rapi nama almarhum papa.

“Kamu muslim?” tanya pria tua itu lagi. Aku hanya mengangguk.

“Ikut bapak,” ucapnya sambil menarik lengan ku. Badan ku yang memang masih mengantuk dan lemas menurut saja pada tarikannya. Kami berdua berjalan menyusuri jalan setapak yang di kiri dan kanannya berjajar ratusan makam dengan rapi.

Tujuan kami berdua ternyata adalah sebuah mushola kecil yang masih berada di dalam area pemakaman ini. Sekilas aku melihat ke dalam mushola sudah ada beberapa orang yang sedang menunaikan ibadah sholat sunah qobliyah subuh.

“Tempat wudhu nya di sana,” ucap pria tua itu lagi sambil menunjuk ke area samping mushola. Aku menganguk dan bergegas menuju tempat yang di maksud oleh si bapak. Di deretan tempat wudzu itu juga sudah ada beberapa orang di sana.

Aku merasakan hawa dingin yang menusuk, ditambah lagi dengan dinginnya air yang kugunakan untuk membasuh muka ku. Tapi setelah itu aku merasakan tenang dalam hati dan damai dalam raga. Semua beban seolah luruh bersama dengan air wudhu yang membasuh muka, telinga, tangan dan kaki ku. Perasaan ku sekarang menjadi lebih tenang.

~*~*~*~*~*~

“Kamu punya keluarga?” tanya bapak tadi yang sekarang ku ketahui namanya bernama pak Ridwan. Dia adalah penjaga area pemakaman ini. Dia yang bertanggung jawab atas keamanan dan kebersihan dari tempat ini.

“Ada pak.”

“Lah terus kenapa semalem kamu tidur di sini?” tanyanya lagi sambil menikmati kopi dan gorengan bersama ku di teras samping mushola.

“Kangen sama papa…”

“Oh itu makam papa kamu?”

“Iya…”

“Ibu mu masih ada?”

“Masih.”

“Terus masih ada siapa lagi?”

“Adik pak.”

“Jadi ceritanya kamu kabur dari rumah?”

“Bisa iya, bisa tidak,” balas ku dengan malas sambil meraih rokok ku dan menyulutnya.

“Anak seusia mu memang sedang galau-galau nya, kata anak muda jaman sekarang…”

“Dulu bapak begitu juga tidak?”

“Boro-boro, jaman bapak dulu pas seusia kamu yang ada di pikiran cuma satu, gimana caranya cari duit buat beli beras.”

“Kadang itu bikin saya malu sih, tapi apa yang saya alamin kali ini saya rasa berat banget.”

“Kamu tahu kenapa bahu laki-laki lebih lebar dari bahu perempuan?”

“Karena tanggung jawab yang harus laki-laki pikul jauh lebih besar.”

“Itu tahu, jadi jangan pernah ngeluh sama hidup.”

“Pengennya sih ga mau ngeluh pak, tapi…”

“Jadi rencana mu ke depan apa?”

“Bapak tinggal di sini?”

“Iya, kenapa?”

“Saya boleh ikut tinggal di sini tidak, untuk sementara waktu saja, saya pengen nenangin pikiran.”

“Hahaha, memang benar apa kata orang, kalau mau nyari ketengan datanglah ke kuburan, karena semua orang pasti akan kembali ketempat ini.”

“Jadi boleh pak?”

“Kalau keluarga mu nyariin aku harus bilang apa?”

“Bilang saja saya pernah ke sini tapi langsung pergi.”

“Tapi tidak gratis…”

“Iya, yang penting boleh.”

“Ya sudah kalau begitu, hari ini tugas mu bersihin area sebelah sana, kamu pungut kalau ada sampah, terus kalau ada rumput liar kamu cabut, pokoknya harus rapi,” pesan pak Ridwan. Dan akupun langsung mengangguk dengan semangat. Aku memang sedang tidak berniat pulang dalam waktu dekat ini. Aku juga tidak tahu harus pergi kemana. Di sini lah satu-satunya tempat dimana aku bisa setiap saat mengunjungi tempat istirahat papa.

Gadis, jujur untuk sekarang ini aku tidak berani untuk bertemu dengan mu. Aku tidak berani untuk menguatkan diri ku sendiri bahwa kamu adalah adik ku. Aku tidak berani kalau ternyata aku tidak cukup kuat untuk menerima kenyataan ini. Biarkan papa mu dan mama ku yang menyelesaikan ini semua. Untuk sementara aku ingin menyendiri dahulu.

~*~*~*~*~*~

Selama satu hari ini aku lebih banyak membantu pekerjaan pak Ridwan. Mulai dari bersih-bersih pemakaman, hingga bersih-bersih mushola. Semuanya aku lakukan dengan suka rela dan senang hati. Aku ingin melupakan semua masalah yang ada. Aku ingin melupakan kenyataan kalau wanita yang aku cintai adalah adik ku sendiri. Aku ingin melupakan semuanya walaupun hanya untuk sementara.

Malamnya atau tepatnya ba’da magrib, setelah melakukan sholat magrib berjamaah dengan beberapa orang yang kebetulan lewat dan beristirahat, dan juga beberapa orang yang berjualan di luar area pemakaman, aku dan pak Ridwan kembali berbincang. Pak Ridwan ini orangnya sangat baik, dan berwibawa. Aku tidak berani untuk mengorek lebih jauh tentang kehidupan probadinya.

“Gara-gara kamu tadi siang aku harus berbohong pada ibu mu,” ucapnya. Memang benar, pak Ridwan berbohong pada mama. Jadi ceritanya tadi siang mama datang ke sini mencari ku. untungnya pak Ridwan mau di ajak kompromi dengan mengatakan aku tidak berada di sini saat ini.

“Maaf…”

“Ya anggep aja buat kebaikan, kebaikan mental kamu sampai kamu bisa lebih tenang.”

“Iya pak…”

“Tapi aku masih bingung sama masalah yang kamu hadapi.”

“Rumit.”

“Lebih rumit dari cobaan yang para nabi?”

“Saya yakin tidak, kesabaran mereka pasti jauh di atas saya, dan semua manusia biasa pastinya.”

“Lalu kenapa kamu kabur?”

“Saya kabur untuk kembali kok, hanya butuh waktu untuk merenung saja.”

“Kamu bisa merenung setiap pagi, di WC.”

“Hahaha, bapak bisa saja…” balas ku sambil tertawa.

“Seorang muslim tidak butuh merenung, tapi berdzikir, shalawat, sholat tahajud.”

“Ya makanya saya kaburnya ke sini, kalau ke club yang ada saya hancur.”

“Lima waktu nya jangan sampai bolong.”

“Iya pak.”

“Kamu bisa ngaji?”

“Bisa pak dikit-dikit.”

“Dalam sehari jangan sampai ga ngaji, barang sedikit.”

“Siap.”

“Ya sudah, aku mau makan dulu, mau bareng?”

“Bapak duluan saja.”

Pak Ridwan lalu pergi meninggalkan ku. Agak jengah sebenarnya di nasehatin ini itu, apa lagi soal agama yang sebenarnya nilai ku mungkin cuma tiga dari sepuluh. Tapi ya apa boleh buat, untuk sementara mendekatkan diri pada sang pencipta mungkin adalah yang terbaik.

“Lo percaya ga sama gue?” tiba-tiba sebuah pesan masuk dari Ratna. Pesan yang tidak jelas pikir ku, tidak seperti mama dan yang lainnya yang seharian ini entah sudah berapa kali mengirimi ku pesan wasap dan telp menanyakan keberadaan ku sekarang ini berada di mana. Dan semuanya tidak ada yang aku balas.

“Ga jelas lu,” balas ku dengan malas.

“Alhamdulillah di balas, eh jawab pertanyaan gue…”

“Apaan si?”

“Kalo lo percaya sama gue, share loc! Gue janji ga ember sama yang lain, nanti gue samper,” balasnya. Jadi dia ngetes aku percaya sama dia atau tidak.

“Jaminannya apa lu ga ember?”

“Lo boleh ambil keperawanan gue, huehehehe :D“ balasnya ngasal seperti biasa di akhiri dengan emoticon tertawa lebar.

“Emang masih perawan?”

“Sial lo ya, udah buru share loc!!!”

Dan akhirnya aku tidak bisa menolak permintaan Ratna. Entah kenapa aku jauh lebih percaya kepadanya ketimbang mama ku sendiri, bahkan juga Gadis atau Rahma yang seharian tadi juga mencoba mengontak ku berkali-kali namun tidak ada hasil. Dengan Ratna aku justru dengan gampangnya memberikan tempat dimana aku bersembunyi.

“Loh kok di sini? Ini kan?” tanyanya.

“Iya, gue ada di situ.”

“Lah nyokap lo tadi bilang lo ga ada di situ?”

“Yang jaga makam udah gue lobi biar ga ember, makanya kalo lo sampe ember beneran gue perkosa lu,” canda ku ngasal.

“Hahaha, ember ah biar di perkosa sama Adi.”

“Geblek, udah buru ke sini kalo mau ke sini, keburu malam,” pinta ku. dan sekarang justru aku yang minta dia untuk datang.

Jam setengah delapan Ratna tiba. Dia belum makan dan akhirnya kami berdua makan bareng di tukang jajanan pinggir jalan yang tidak jauh dari area pemakaman.

“Tadi sore itu tante nemuin gue nanyain elu, tante pikir elu itu sama gue, katanya udah dari semalem ya elo kabur?”

“Iya, tapi gue ga kabur, gue cuma lagi nyari ketenangan.”

“Ya, whatever lah ya, intinya lo cowok dan lo pergi dari rumah karena masalah asmara, trus Gadis gimana?”

“Dia tadi siang juga nyariin gue, tapi abis itu udah ga lagi.”

“Fix berarti dia juga sudah tahu.”

“Masa?”

“Ya kalau feeling gue sih dia sudah tahu dan lagi galau sama kaya kakak nya, ops…”

“Kakak se ayah beda ibu, hadeh.”

“Gimana ceritanya sih itu tante, eh maaf ga bermaksud ikut campur ya.”

“Gue juga ga tahu, belum tahu, semalam udah terlanjur males duluan, gue pergi gitu aja dari rumah, sampai makam papa, cerita ke papa, duduk sandaran bentar tiba-tiab udah pagi.”

“Jadi lo semalam tidurnya bener-bener di makam?”

“Iya…”

“Warbiasaaah…”

“Lebih luar biasa lagi keluarga gue sama keluarga nya Gadis, entah misteri apa lagi yang gue belum tahu.”

“Makanya pulang…”

“Males…”

“Mau di sini terus? Sampai kapan?”

“Ya enggak, tapi gue ga bisa kalau sekarang.”

“Pulang gih… kasihan tante sama Gadis…”

“Lo bantuin gue dong.”

“Bantuin apa?”

“Cari tahu kabar Gadis, cuma elo yang gue percaya saat ini.”

“Iya… nanti gue cari tahu deh, tapi lo janji lo bakalan pulang.”

“Iya gue janji, gue bakalan pulang, tapi ga hari ini,” ucap ku dengan yakin dan mantab. Semantab saat aku dengan tiba-tiba merengkuh tubuh Ratna yang duduk di samping kiri ku dengan tangan kiri ku dan aku langsung mengecup kepala bagian atasnya. Ratna kaget namun tidak melawan, begitu juga dengan ku yang bingung tadi mendapat dorongan dari mana bisa.

“Pokoknya cepet pulang ya, demi Gadis, anak itu pasti butuh elo sekarang ini.”

“Iya,” balas ku dengan senyum seikhlas yang aku bisa. Dan aku janji, saat ikhlas itu sudah datang dengan sepenuh hati maka aku akan pulang.

~*~*~*~*~*~

Satu minggu lamanya aku tinggal di mushola yang berada area pemakaman papa. Bersama dengan pak Ridwan banyak sekali pelajaran hidup yang aku dapatkan dari beliau. Sabar, ikhlas, nerima, menjadi makanan ku sehari-hari. Dan setelah memantabkan hati hari ini aku memutuskan untuk pulang. Seperti yang pernah di ceritakan oleh Ratna, Gadis sudah tahu semuanya dan dia juga terpukul seperti ku. Yang pasti selama satu minggu berada di sini mama dan pak Wira sudah dua kali mencari ku ke sana. Mama pasti sudah memberi tahu semuanya ke pak Wira. Dan pak Wira pasti sudah tahu siapa aku sebenarnya.

Tapi kali ini aku tidak akan kabur lagi. Dan setelah aku pikir-pikir lagi seharusnya aku memang tidak pantas kabur. Aku yang harusnya menenangkan Gadis saat dia kacau, aku yang harus menegarkannya bila dia hancur. Aku tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang. Selama satu minggu ini aku benar-benar mengasingkan diri ku. Satu-satunya komunikasi yang aku bangun hanyalah dengan Tuhan pencipta semesta alam. Bagaimana aku bisa mendekatkan diri ku dengannya lah yang menuntun ku kembali pulang ke rumah yang telah membesarkan ku ini.

“Kakak?” ucap Rahma saat melihat ku masuk ke dalam rumah. Seperti yang sudah akuperkirakan sebelum, pak Wira dan bu Pristy juga berada di rumah ku, tapi aku tidak mengira bila ternyata ada Gadis juga.

Mereka semua menatap ku, mama, pak Wira, Rahma, bu Pristy dan Gadis. Aku melihat mama seperti tak kuasa menahan tangis. Beliau langsung bangkit dan berlari ke arah ku dan memeluk ku dengan erat. Isak tangisnya langsung memenuhi ruang tamu rumah kecil ku ini.

“Maafin mama ka, maafin mama… hiks…”

“I-iya ma… kaka juga minta maaf,” balas ku sambil mengusap punggung dan belakang kepalanya, mencoba menenangkan wanita yang paling aku hormati ini.

“Ma-mama sudah penuhi permintaan mu, mas Wira dan Gadis sudah tahu semuanya, maafin mama ka… hiks…”

“Iya kakak sudah maafin semuanya…”

“Cuma kamu sama Rahma yang mama miliki saat ini, mama ga bisa kehilangan kalian…”

“Iya, kakak janji ga akan pergi-pergi lagi.”

Aku lalu menuntun mama untuk duduk di sofa. Di sana sudah duduk bu Pristy, mama duduk di antara kami berdua.

“Mba Fatma, jangan pernah bilang mba hanya punya Adi dan Rahma ya, aku, mas Wira, dan Gadis sekarang ini adalah keluarga mba Fatma juga, kita semua yang ada di sini adalah keluarga.”

Aku tersenyum kecut mendengar ucapan dari bu Pristy setelah mengetahui semua kebenaran antara diri ku dan dirinya. Kepala ku mengingat kembali bagaimana affair yang selama ini pernah kami lakukan. Dan aku mengutuk diri ku sendiri yang selama ini sudah berbuat tidak pantas terhadap tante ku sendiri. Aku harus berbicara empat mata dengannya lain waktu.

Aku lalu menatap pada pak Wira. Pria tua yang sebelumnya aku anggap sebagai calon mertua itu ternyata adalah ayah ku sendiri. Pantas saja saat aku melihat foto nya untuk pertama kali dulu waktu di rumah bu Pristy aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasakan getaran aneh yang membuat ku sangat kagum dan hormat kepadanya. Ternyata aku dan beliau memang memiliki hubungan darah.

Setelah pak Wira, pandangan ku beralih ke arah Gadis yang duduk di sebelahnya. Gadis manis dan cantik yang selama ini selalu aku puja. Gadis manis dan cantik yang dulu galak dan jutek yang sekarang sudah berubah menjadi gadis yang benar-benar manis. Gadis manis dan cantik yang ternyata adalah adik ku sendiri. Dan sekarang aku bingung harus bersikap bagaimana terhadapnya.

“A-aku mau bicara berdua dengan Gadis,” ucap ku dengan agak terbata. Gadis yang dari tadi hanya diam pun menatap ke arah ku. Aku bisa melihat bagaimana bola mata nya masih terlihat merah. Kantung matanya bengkak. Entah sudah berapa lama dia tidak tidur atau sudah berapa lama dia menangis.

“Kenapa harus berdua?” tanya mama.

“A-aku juga,” balas Gadis. Rupanya dia juga ingin berbicara dengan ku.

“Ga apa-apa mba, yang penting kan sekarang Adi nya sudah pulang,” bu Pristy menenangkan mama.

“Kalian berdua kalau mau salahin mama ga apa-apa, ini semua salah mama, hiks…” ucap mama lagi masih dengan rasa bersalahnya.

“Udah mba, Adi dan Gadis butuh waktu untuk bicara berdua, aku yakin mereka sekarang sudah cukup dewasa untuk menghadapi ini semua, jadi sekarang kita berikan waktu untuk Gadis dan Adi untuk berbicara berdua dulu, iya kan mas?”

“Iya…” jawab pak Wira.

Bu Pristy lalu memapah tubuh mama untuk bangkit dan meninggalkan ruang tamu yang di ikuti oleh pak Wira dan Rahma. Sekarang hanya tinggal aku dan Gadis. saling pandang untuk beberapa saat sebelum sebuah suara lembut yang selama ini keluar dari mulutnya aku dengar kembali.

“Kamu ngapain kabur? Mau nyaingin aku?” tanyanya setengah bercanda dan menahan tawa, tapi matanya memerah. Hampir aku tertawa bila tidak ingat dengan situasi sekarang ini yang tidak pas untuk tertawa.

“Kamu kabur juga?”

“Tidak, tapi dulu kan aku pernah kabur.”

“Iya…”

“Iya apa?” tanya nya.

“Iya aku kacau banget minggu lalu, ga tahu harus gimana, aku bingung sama keluarga kita ini…”

“Aku juga kacau sih,” balasnya pelan.

“Kok ga kabur?” tanya ku dengan bodoh.

“Orang yang bisa ngelindungin aku saat aku kabur kaya dulu udah kabur duluan.”

“Hahaha…”

“Aku serius, tega banget sih ninggalin aku?” ucapnya sambil mengusap pipi nya yang sudah basah dengan air mata.

“Maaf, waktu itu aku marah sama mama, aku bingung.”

“Kenapa ga datang pada ku?”

“Aku ga berani, aku ga kuat kalau harus lihat kamu nangis.”

“Kalau kamu saja begitu apa lagi aku?”

“Iya maaf…”

“Sebelumnya mama sudah minta kamu buat mutusin aku ya?”

“Iya…”

“Tapi kamu ga mau?”

“Iya…”

“Jujur hanya sikap kamu itu yang bikin aku tetap bertahan waktu itu, sikap kamu itu udah membuat ku yakin kalau kamu benar-benar sayang sama aku, ya meskipun kenyataannya kamu adalah kakak ku sendiri.”

“Siapa yang memberitahu mu?” tanya ku.

“Mama sama papa.”

“Bagaimana ceritanya?”

“Setelah dua hari kamu ga ada kabar aku nekad nemuin mama.”

“Terus?”

“Ternyata papa sudah balik ke indonesia, dan itu memang ada hubungannya dengan kita, mama sudah cerita ke papa, tapi papa belum cerita ke aku, jadilah mereka berdua ceritain semuanya ke aku.”

“Kamu tidak terpukul? Tidak marah?” tanya ku.

“Marah lah pasti, kamu ga lihat mata ku bengkak seperti ini?”

“Maaf…”

“Tapi akhirnya aku berfikir kalau tidak ada gunanya juga marah kepada mereka berdua, masih untung kita tahu semuanya sebelum kita punya hubungan lebih jauh.”

“Iya sih, ga kebayang kalau aku sampai macem-macemin kamu, dek…”

“Hahaha, untungnya kamu cowok baik, ka…”

“Jadi berapa lama?”

“Apanya?”

“Kamu menyendiri nya?”

“Dua hari, cukup bagi ku untuk merenungkan semuanya.”

“Kamu benar-benar sudah dewasa.”

“Semua karena kamu, ka…”

“Orang berubah menjadi dewasa karena orang itu mau berubah.”

“Aku ingat tahun lalu, aku masih sangat ceroboh, aku masih sangat manja, aku lemah, aku kurang perhatian dan aku menginginkannya, lalu aku bisa mendapatkan semuanya dari mu ka…”

“Mungkin semua kejadian itu memang sudah di atur oleh Tuhan bahwa yang seharusnya memberikan mu perhatian lebih adalah aku, kaka mu sendiri.”

“Sayangnya semua perhatian itu menimbulkan benih-benih cinta yang aku tidak bisa membantahnya.”

“Aku juga tidak bisa melawannya de…”

“Tapi sekarang semuanya menjadi tidak mungkin.”

“Iya, tidak mungkin, mustahil, impossible.”

“Tapi tidak ada yang tidak mungkin untuk sekedar memberikan rasa sayang, ka, rasa sayang dari ade ke kakaknya, begitu juga sebaliknya.”

“Iya,” balas ku sambil tersenyum dan merentangkan tangan. Gadis mengusap air matanya dan ikut tersenyum dan bangkit menghampiri ku. duduk di samping ku dan memeluk erat pinggang ku. aku lalu memeluk erat bahu rampingnya, mengusap rambut panjangnya. Mengecup kepalanya. Adik ku sayang. Rasa sayang ini tidak akan pernah berkurang sedikit pun, hanya dalam bentuk yang lain. Terima kasih Tuhan engkau telah mengembalikan seseorang yang seharusnya aku sayang dan jaga ini.

[Bersambung]

Daftar Part