Kesempurnaan Part 37

0
1207

Kesempurnaan Part 37

Impossible [Part 1]

“Kan bener apa kata gue dulu…” ucap Ratna dengan penuh percaya diri. Kami sedang berbincang di sebuah kafe kecil tidak jauh dari tempat tinggal dia yang sekarang di daerah dekat Ragunan. Lucu sih aku punya kafe sendiri tapi nongkrong di kafe orang. Hari ini senin dan kafe ku libur. Dan kosongnya jadwal ku ini dimanfaatkan oleh Ratna untuk menemaninya daftar kuliah. Gantinya aku curhat saja ke dia, siapa tahu bisa kasih solusi.

“Apaan sih?” balas ku dengan sedikit kesal karena aku tadi sudah cerita panjang lebar tapi sepertinya tanggapannya keluar dari jalur.

Aku sudah cerita semuanya ke Ratna. Mulai dari awal mula aku jadian dengan Gadis, bagaimana ketidak sengajaan ku mengutarakan isi hati kepadanya, bagaimana hatinya Gadis yang luluh karena sikap ku selama ini, masa-masa awal membuka kafe, hingga pembicaraan ku dengan mama beberapa hari yang lalu yang sukses membuat ku pusing.

“Gue dulu kan pernah bilang, lo itu pasti ada perasaan sama Gadis, pakai ngelak segala lu.”

“Masalahnya sekarang bukan itu neng…”

“Hihihi, iya-iya maaf… jadi gimana?”

“Apanya?”

“Lo bakal milih siapa? Mamah? Atau pacar?”

“Justru itu yang gue pengen masukan dari elu, jangan malah nanya balik…”

“Susah sih… lagian tante kenapa sih begitu?” tanyanya dengan penasaran. Aku hanya mengangkat bahu ku karena aku memang tidak tahu. Mama tidak memberikan alasan apapun waktu itu. Aku sudah mendesaknya tapi tetap saja aku tidak mendapatkan penjelasan apa-apa darinya. Jawabannya hanyalah jika masih menganggap mama maka turutin saja apa kata beliau. Hadeh.

Lalu bagaimana dengan Gadis? Aku terpaksa berbohong kepadanya. Iya aku berbohong dengan mengatakan kepadanya kalau semuanya baik-baik saja, padahal tidak baik sama sekali. Bagaimana orang tua lo satu-satunya tidak setuju dengan hubungan lo sama pacar lo. Apa gak ruwet itu? Jadi beberapa hari ini untuk sementara sebisa mungkin aku harus mengatur agar mama dan Gadis tidak bertemu dulu. Tapi sampai kapan?

“Tante belum siap kali anak laki satu-satunya ini diambil sama cewek lain, hihihi,” ledek Ratna dengan muka jahilnya.

“Ga lucu!” balas ku sewot sambil mematikan puntung rokok ku. Entah sudah berapa puntung rokok tadi yang aku hisap. Ratna pun sampai geleng-geleng kepala melihat kekalutan yang aku rasakan. Dan aku ngerokoknya sendirian. Iya, Ratna berhenti merokok. Dia berhenti sejak pindah ke bandung waktu itu.

“Cie yang ga dapet restu langsung sensi.”

“Gue bener-bener bingung, belum pernah gue sebimbang ini sebelumnya.”

“Wajar kok.”

“Gue belum pernah ngerasain perasaan yang seperti ini ke Gadis, tapi mama itu orang tua satu-satunya yang gue miliki, papa sudah ga ada, kalau ga ngebahagian mama lalu ngebahagiain siapa lagi?”

“Iya paham…”

“Jangan paham-paham aja…”

“Hahaha, galak lo ah, santai aja mas bro…”

“Iya santai, tapi gue harus gimana? Jujur ke Gadis soal masalah ini kayanya juga bukan pilihan bagus, dia orangnya nekat, bisa-bisa dia malah ngomong langsung ke mama.”

“Pilihan ke dua?” tanyanya.

“Mutusin Gadis, tapi gue ga mau, kalaupun terpaksa harus melakukan itu, lo bayangin deh cewek macem Gadis kalau kecewa bakalan gimana?”

“Iya sih.”

“Belum lagi kalau pak Wira tahun, bisa berabe, kapan itu gue udah ketemu sama doi dan bahas soal Gadis.”

“Serius?”

“Iya, pak Wira aja udah kasih lampu ijo, asal gue nya serius dan ga main-main, doi seneng-seneng aja, lah ini malah mama yang ga setuju.”

“Lo bener-bener anak kesayangannya tante, hahaha.”

“Becanda mulu ah.”

“Maaf…”

“Pokoknya gue ga mau salah langkah, dulu aja cuma karena masalah ga sreg sama tantenya dia nekat kabur, gimana kalau masalahnya seperti sekarang ini?”

“Tapi karena masalah itu kalian jadi deket kan…?”

“Iya tapi sekarang masalahnya lain…”

“Berarti, opsi untuk ngelawan mama ga ada dong?”

“Ga deh, ga berani, takut dosa.”

“Hmm…” Ratna mendeham pelan. Wajahnya nampak berfikir. Dan aku malah salfok dengan wajahnya. Gila cuma hitungan bulan tapi wajahnya sudah benar-benar berubah. Lebih putih, pebih bersih, dan lebih berseri. Pakai skincare apa ya dia batin ku. hahaha. ga penting.

“Kalalu menurut gue sih mau ga mau lo harus jujur sama Gadis.”

“Jujur kalau mama ga setuju?”

“Iya, tapi lo harus pastiin Gadis ga gegabah dan nemuin langsung tante…”

“Sambil mencari solusi ya?”

“Iya, intinya sekarang lo harus bisa nenangin dan ngeyakinin Gadis kalau semuanya akan baik-baik aja.”

“Kayanya sih memang itu satu-satu nya jalan tengah yang bisa gue ambil untuk sementara.”

“Iya, gue doain deh semua yang terbaik buat lo.”

“Thanks, tapi lo belum cerita ke gue.”

“Apaan?”

“Kenapa lo balik ke Jakarta lagi…” ucap ku dan Ratna langsung murung. “Kenapa?” tanya ku lagi.

“Sebenernya… nenek udah meninggal…”

“Inalillahi… kok ga ngabarin?”

“Ga kepikiran elu waktu itu, hahaha.”

“Emang kapan?”

“Cuman sebulanan gue waktu itu sama nenek, jadi waktu itu nenek emang udah sakit-sakitan, terus beliau ga sengaja denger kabar soal gue, makin jadi deh, terus minta gue sama bokap pindah ke bandung aja, ya dari pada dari pada kan ya ga bisa nurutin permintaan terakhir, akhirnya pindah deh, ga taunya itu emang udah jadi permintaan terakhirnya…”

“Turut berduka cita ya, sorry gue ga tau.”

“Thanks, no problem…”

~*~*~*~*~*~​

Setelah pagi hingga siang aku nemenin Ratna, sore hingga menjelang malam ini giliran waktu ku habis untuk Gadis. Aku sedang di rumah Gadis. Siang tadi dia minta jemput, tentu saja aku sanggupi dengan senang hati. Tapi sebenarnya agak deg-degan juga aku ketemu sama Gadis. Takut tiba-tiba dia nanyain soal mama. Aku paling grogi kalau dia sudah memberondong ku dengan segala pertanyaannya. Dan aku tidak pernah bisa membohonginya.

“Kamu kenapa sih?” tanyanya.

“Aku kenapa? Ga kenapa-napa kok…”

“Bohong!”

“Yeee…”

“Udah jujur aja…”

“Ga ada apa-apa…”

“Aku kenal kamu udah lama Adi…”

“Ya terus?”

“Aku liatin dari tadi kamu itu ga fokus ke aku, kamu emang ada di sini tapi pikiran kamu kemana-mana.”

“Sok tau!”

“Ngaku nggak!” paksanya lagi sambil berusaha mencubit dan menggelitiki pinggang ku. Tentu saja aku menghindar dan dengan sigap langsung berbalik menyerangnya. Ku dekap tubuh mungilnya dan ku peluk dari samping, lalu ku raih kepalanya dan langsung ku kecup rambutnya yang lembut itu. Gadis yang awalnya berontak langsung luluh dan melunak.

“Ga ada apa-apa kok,” ucap ku lagi. Tapi aku bohong. Mama ku tidak setuju kamu jadi calon mantunya.

“Kamu masih Adi yang dulu kan?” tanya nya.

“Iya lah, emang ada Adi yang sekarang dan Adi yang jadul?”

“Sifat kamu yang terlalu baik sama aku selama ini justru membuat ku takut, takut kehilangan kamu.”

Aku menatap Gadis dengan lembut. Siapa sangka cewek yang dulu hanya ada dalam angan-angan ini sekarang benar-benar berada di pelukan ku. Terkadang menjadi orang baik itu tidak pernah ada rugi nya karena tidak tahu balasan apa yang akan Tuhan berikan kepada kita.

“Aku yang takut kehilangan kamu, Gadis ku…” ucap ku lembut lalu menariknya lagi dan mengecup keningnya. Kami berpelukan lagi dengan lembut. Jujur, sekarang ini adalah momen paling intim yang pernah aku rasakan bersama Gadis selama dua bulan terakhir berpacaran dengannya. Selama itu pula aku tidak pernah macam-macam dengannya. Gadis adalah wanita yang terlalu berharga untuk sekedar di macem-macemin menurut ku. Dia jauh lebih berharga dari pada kesenangan sesaat seperti itu. dan kadang kepala ku langsung nyut-nyutan saat menyadari betapa beruntungnya aku mendapatkan hati seorang Gadis tapi faktanya mama tidak menyetujui hubungan kami. Oh Tuhan…

“Ehmm…” tiba-tiba terdengar suara wanita dewasa berdehem dari arah depan. Kami berdua langsung belingsatan membenarkan posisi duduk kami berdua yang sudah setengah tiduran saling menindih. Astaga.

“Ada Adi toh rupanya… udah lama?” tanya bu Pristy dengan senyum nakalnya kepada ku tapi tanpa sepengetahuan Gadis yang sempat membuang muka mungkin karena malu terhadap tantenya itu.

“Dari sore tadi bu, tadi habis jemput Gadis ke sekolahan.”

“Ooo… eh belum mau pulang kan tapi? Ntar makan bareng berempat ya?”

“Berempat?” tanya ku dengan sangat kaku. Bu Pristy hanya mengangguk sambil tersenyum nakal kepada ku tanpa sepengetahuan Gadis. Entah apa maksud dari senyumannya itu. Senyuman ingin mendapatkan pelukan ku lagi atau senyuman karena berhasil memergoki ku dan Gadis sedang berpelukan. Gadis? mukanya masih merah. Mungkin ini adalah pertama kalinya dia kepergok hampir macem-macem oleh keluarganya.

~*~*~*~*~*~​

“Saya pikir siapa tadi bu Pristy ngajakin makan berempat, ternyata bapak?” ucap ku basa basi di sela-sela acara makan pada orang yang duduk di depan ku. Orang ke empat yang di maksud oleh bu Pristy ternyata adalah pak Parto.

“Di paksa aku…” ucapnya agak malu-malu.

“Jadi terpaksa nih?” balas bu Pristy dengan nada sindiran.

“Yang maksa ibu?” tanya ku.

“Bukan, papanya Gadis yang minta.”

“Oooo… ya bagus sih, kalau ada pak Parto mah udah pasti terjamin keamanannya… hehehe.”

“Iya, soalnya kalau nunggu kamu jadi mantu di rumah ini nunggu Gadis lulus kuliah dulu, hihihi,” ledek bu Pristy dengan semangatnya.

“Hahaha, si ibu bisa aja… kenapa ga pak Parto aja yang jadi kepala rumah tangga di rumah ini?” balas ku menyerangnya.

“Apaan?” tiba-tiba Gadis menyaut. Dia seperti habis mendengar sesuatu yang aneh dan janggal tapi telat untuk mencernanya.

“Pak Parto jadi om kita Dis,” balas ku sambil nyengir.

“Hmm… boleh tuh, biar tante ga kesepian terus, weeek…”

“Heeh kamu itu ya… mas Parto itu udah tante anggep seperti kakak sendiri, papa mu juga udah nganggep mas Parto itu seperti kakak sendiri.”

“Hehehe, maaf tante…”

“Berarti fix nih tinggal di sini lagi?” tanya ku memastikan.

“Iya Di… aku butuh sopir juga…”

“Ooo…” aku manggut manggut. “Ngomong-ngomong pak Wira kapan ke Indonesia lagi?” tanya ku.

“Nunggu ada masalah lagi paling, hehehe.”

“Gadis… ga boleh dong sayang ngomong begitu…”

“Hehehe, maaf tante…”

“Ngomong-ngomong kamu juga belum jadi ngajak mba Fatma main ke sini loh Di…” ucap bu Pristy menanyakan mama. Aku memang belum jadi mengajak mama dan Rahma main ke sini semenjak kejadian waktu itu.

“Hahaha, iya mama sibuk terus…”

“Ajakin dong…”

“Mungkin mama nunggu calon besannya balik dari US, hehehe…”

“Cieee…” ledek bu Pristy yang membuat Gadis tersipu malu. Kami semua pun tertawa dan kemudian melanjutkan acara makan dengan obrolan-obrolan ringan yang tidak terlalu penting. Dan diselingi dengan canda tawa. Dari kejauhan kami pasti sudah terlihat seperti keluarga bahagia.

Jam delapan malam aku pamit pulang. Masih terlalu sore tapi aku akut mengganggu belajar nya Gadis, itupun kalau dia belajar. Selain itu besok pagi-pagi sekali aku juga harus belanja untuk kebutuhan kafe yang sudah mulai menipis.

~*~*~*~*~*~​

Jam sepuluh malam dan seperti malam-malam sebelumnya, aku mulai merapikan peralatan karena hari biasa seperti ini tamu tidak ada yang nongkrong hingga larut, berbeda dengan saat weekend yang bisa sampai tengah malam. Aku dan mba Sintya memiliki tugas masing-masing. Dan dia sudah selesai dengan tugasnya. Sedangkan aku masih berkutat dengan uang yang ada di laci dan menghitung berapa cash masuk hari ini.

“Jadinya belum jadi juga nih bicara sama mba Gadis?” tanya mba Sintya membuka pembicaraan.

“Iya belum, masih belum berani ngebayangin bakal seperti apa reaksinya.”

“Kesannya jadi kaya Gadis itu cinta mati sama kamu…”

“Hehehe, siapa tau…”

“Tapi selama ini doi ga nanyain tante?”

“Nanyain lah, tapi aku bilang semuanya baik-baik aja mba…”

“Halah…”

“Salah ya?”

“Iya salah, kamu udah ngasih harepan…”

“Ya abis gimana? Waktu itu aku cerita ke Ratna, dia kasih saran juga suruh aku untuk terbuka sama Gadis, sambil nyari jalan keluarnya…”

“Memang begitu seharusnya…”

“Ga tau lah mba, aku bingung…”

“Udah jangan terlalu dipikirin, jalanin aja sambil banyakin doa, sama rilekin pikiran aja…” pesan mba Sintya sambul berjalan ke belakang ku dan mendaratkan kedua tangan lembutnya ke pundak ku.

“Mba yakin pasti ada jalan keluarnya,” lanjutnya sambil memijat pundak ku dan rasanya sangat nyaman sekali.

“Semoga…”

“Pantes aja belakangan ini aku perhatiin kamu seperti banyak pikiran, ini urat-urat kamu pada kenceng semua…” lanjutnya lagi lalu menyandarkan sikunya pada pundak ku, sedangkan jari jarinya meremas-remas rambut di kepala ku dan sedikit memijatnya. Ah enak sekali rasanya.

“Aku pijit yah, biar agak enakan?” tanya nya dengan lembut. Entah dorongan dari mana aku langsung menganggukan kepala ku.

“Lemesin otot-otot kamu yah…” pintanya lagi dengan suara yang lebih lembut lagi, bahkan cenderung mendesah. Dan itu terdengar sangat merdu. Alunan nada dari pita tenggorokannya melantun dengan sangat memabukkan. Sekali lagi aku akan tenggelam dalam lautan birahi yang berombak akibat akumulasi emosi yang aku rasakan beberapa hari ini. Terima kasih mba Sintya yang sudah mau membantu dan menjadi pelampiasan ku.

~*~*~*~*~*~​

“Dis…”

“Iyah Adi…”

“Ratna ngajakin ketemuan, boleh ga? Kalau kamu mau ikut ya ayo, tapi kalau ga boleh ya aku ga ketemu.”

“Masa aku ngelarang kamu ketemu sahabat sih? Lagian kalian kan baru ketemu lagi setelah sekian lama kepisah, hihihi.”

“Hahaha, tapi kamu mau ikut ga?”

“Enggak, lagi banyak PR aku…”

“Makanya cepetan lulus biar ga dapet PR lagi, hahaha…”

“Hahaha, songong lu ya… ya udah sana nanti kapan-kapan aja kita jalan bareng.”

“Iya, makasih ya…”

“Iya sayang… muach…”

“Muach… luv yu…”

“Luv yu tooo…”

Itulah percakapan ku dengan Gadis melalu wasap tadi sore saat minta ijin untuk ketemuan dengan Ratna. Takut pacar? Tidak, aku hanya ingin selalu jujur kepadanya untuk semua hal, kecuali urusan ku dengan bu Pristy dan mba Sintya sih tentunya.

“Lo tau ga apa yang sedang gue pikirin sekarang ini?”

“Apaan? Kagak tau.”

“Agak extreme sih…”

“Apaan sih?”

“Tapi jangan marah ya…”

“Iya…”

“Mmm… gue ngerasa ada sesuatu di antara lo, tante Fatma, Gadis, dan pak Wira.”

“Hahaha, kalau itu emang benar ada sesuatu…”

“Jadi bener?”

“Apanya?”

“Ya yang gue pikirin…”

“Emang lo mikirin apa?”

“Yeee… kirain nangkep, emang ada apaan di antara kalian?”

Aku menghembuskan nafas saat ingin menanggapi pertanyaan Ratna. Mencoba membuang semua hal yang sudah aku tahu. Semuanya hanya membuat ku sakit hati. Kalau bukan karena Gadis tentu aku tidak mau lagi berhubungan dengan keluarga itu. Ku aduk minuman yang ada di depan ku. Ku pandangi wajah Ratna, sahabat masa kecil ku itu.

“Jadi sebenernya mama dan Pak Wira dulu memang pernah ada hubungan, dan ya… biasalah kayak di sinetron-sinetron, dua keluarga saling tidak merestui, pisah ga baik-baik, dan lo pasti tau lah endingnya jadi gimana…”

“Justru itu yang mau gue omongin ke elu…”

“Itu apaan?”

“Gini, sorry nih ya sebelumnya, tapi kok gue ngerasa… ehmm… lo sama Gadis itu emang ada hubungan…”

“Sorry, gue ga ngerti maksud lo…” ucap ku karena aku memang tidak paham apa maksudnya.

“Hubungan darah,” tegasnya.

“Maksud lo? Ga mungkin…”

“Makanya gue tadi bilang pemikiran gue ini agak extreme, dan gue minta maaf sebelumnya, mungkin gue salah jadi lupain aja,” jelas Ratna. Dia yang punya pendapat tapi malah dia sendiri yang ga yakin.

“Tapi kalau yang lo takutin itu beneran itu artinya gue sama Gadis…”

“Saudara satu Ayah,” lanjut Ratna. Dan seketika kepala ku menjadi pusing. Memang belum pasti tapi kemungkinan kesana pasti ada. Dan jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk membuktikan semua ini adalah bertanya langsung ke mama.

“Menurut lo gue harus nanyain ini ke mama ga?” tanya ku.

“Ga ada salahnya sih, tapi gue takut mama si tante tersinggung dan marah.”

“Ya itu resiko yang harus gue ambil, dari pada gue mati penasaran.”

“Gue doain deh moga tante ga marah dan mau terbuka.”

“Aamiin, thanks.”

~*~*~*~*~*~​

Jam sepuluh lewat dan aku masih melihat lampu kamar mama masih menyala. Rahma pasti sudah tidur di kamarnya. Atau kalau belum tidur pasti dia tidak akan keluar-keluar kamar lagi kalau udah jam segini. Jadi menurut ku sekarang adalah waktu yang tepat untuk menanyakan sesuatu yang entahlah, di luar perkiraan ku sebelumnya. Hanya seorang Ratna yang memikirkan kemungkinan ini.

“Mah…” panggil ku dari depan pintu kamarnya yang masih tertutup rapat.

“Ya? Masuk, ga di kunci,” teriaknya dari dalam. Aku lalu membuka pintu kamar mama dengan perlahan. Setelah pintu terbuka aku melihat sosok mama yang sedang duduk di depan meja rias nya dengan baju tidurnya.

Dengan agak ragu aku melangkah menuju tempat tidurnya. Sekarang aku duduk di belakangnya dan menghadapnya. Sesekali mama melirik ku melalui cermin yang ada di depannya. Tatapannya meneduhkan, tapi tetap saja membuat keringat dingin.

“Apa kamu masih mau ngebahas soal Gadis?” tanya nya tiba-tiba. Dan aku hanya bisa mengangguk. Tapi tidak ada balasan dari ku hingga beberapa saat kemudian. Mulut ku seolah terkunci karena bila aku salah ucap bisa-bisa mama akan marah besar kepada ku.

“Selama ini kamu selalu nurut dengan semua kata mama…” ucapnya lagi, namun posisi duduknya tidak berubah, masih lurus kedepan dan juga masih sibuk menyisir rambut panjangnya yang indah itu.

“Mmm…”

“Jadi ceritanya seorang Gadis bisa ngebuat kamu ngebantah mama?” tanya nya lagi.

“Anu, kalau itu…”

“Sebenernya mama paham dengan apa yang kamu rasain, tapi ada sesuatu yang kamu tidak tahu…”

“Apa itu karena aku dan Gadis sodara satu ayah?” tembak ku. Aku sudah tidak perduli lagi bila mama akan marah. Aku hanya ingin penjelasan. Aku tidak ingin dibuat penasaran seperti ini meskipun konsekuensi nya pasti akan sangat menyakitkan bila ternyata pertanyaan ku tadi adalah benar.

“Kamu menyadarinya?” tanya mama.

“Jadi itu benar?” tanya ku balik. Mama tidak menjawabnya. Yang aku dengar justru suara isakan tangis dari mama. Sial. Jadi memang benar. Anjir. Bangsat. Aku mengumpat dalam hati. Emosi. Marah. Semuanya campur jadi satu. Sial sial sial. Jadi selama ini aku pacaran sama adik ku sendiri. Tolol. Pantes aja selama ini aku ga nafsu sama sekali buat macem-macemin dia. Ternyata memang bener ada hubungan khusus di antara kami.

Dan berarti juga pak Wira adalah papa ku. Sumpah ini rumit sekali. Terus papa yang ada di surga? Kalau yang di depan ku ini bukan mama mungkin sudah aku obrak abrik seluruh isi kamar ini.

“Hiks… maafin mama… semua ini salah mama…”

“Kaka ga tau mah…”

“Maafin mama ka…”

“Bukan masalah itu… kaka ga tahu harus ngomong gimana ke Gadis nya, kaka tahu pasti perasaan Gadis seperti apa, dan mungkin kaka adalah orang yang paling tahu, lebih tahu dari pada pak Wira maupun bu Pristy.”

“Hiks…”

“Maaf ma, kalau memang semua ini benar, mending mama terbuka sama pak Wira, dan lebih baik juga kalian berdua saja yang bilang ke Gadis, ini masalah kalian berdua, kalian berdua saja yang nyelesain.”

“Ka…” mama memutar badannya dan menghadap ku, tapi pandangannya menunduk. Bersamaan dengan itu aku beranjak dari tempat duduk ku dan berjalan keluar kamar melewati mama.

“Ka… mau kemana?”

“Nengokin papa,” balas ku ngasal dan tetap keluar kamarnya.

“Ka… udah malem, kamu jangan pergi, hiks…” aku masih bisa mendengar suara mama saat aku mengambil kunci motor ku dan berjalan ke pintu depan. Ku nyalakan motor ku dan ku pacu menuju tempat dimana aku bisa mendapatkan ketenangan. Aku kangen papa. Aku pusing. Keluarga macam apa ini?

[Bersambung]

Daftar Part