Kesempurnaan Part 36

Kesempurnaan Part 36
What’s Wrong
Ada yang bilang kalau kita sudah mengenal yang namanya sex, kita pasti akan kecanduan, dan akan terus nagih. Dan aku merasakannya. Sialnya aku belum punya pasangan resmi yang seharusnya bisa aku jadikan tempat pelampiasan. Aku sudah mencoba untuk menahannya, tapi hasrat itu terus muncul dan muncul. Dan semalam akhirnya terulang lagi meskipun dengan orang lain. Susah payah aku menghentikan perbuatan yang tidak seharusnya aku lakukan dengan bu Pristy namun kini muncul mba Sintya yang tiba-tiba muncul dan menjadi partner nakal ku.
Aku sudah menghabiskan beberapa batang rokok pagi ini. Aku sudah berada di kafe. Pagi-pagi sekali tadi aku sudah berangkat dari rumah karena aku tidak bisa tidur lagi selepas subuh. Pikiran ku kembali mengawang pada kejadian semalam. Anjir! Bokong mba Sintya ternyata lebih bulat dari yang aku kira. Dengan mudahnya aku bisa menjamah setiap lekuk tubuhnya. Menggagahinya, menyodok-nyodokkan Adi junior ke dalam liang peranakannya. Dan dari subuh tadi ada satu bayangan wajah lagi yang menghantui ku. Bu Pristy, yang dibelakangnya ada Gadis. Dan di belakang Gadis ada Rahma dan Mama yang sudah membawa gebukan dari rotan yang siap digunakan menggebuki ku.
Jujur saja dari kecil hingga SMA aku tidak pernah yang namanya nakal perempuan. Aku memang bukan anak yang seratus persen alim, tapi kalau soal perempuan aku masih terlalum awam, tapi itu dulu sebelum bu Pristy mengajari ku. Dan semuanya berubah ketika bu Pristy yang cantik itu mengganggu dan merusak keperjakaan ku yang aku jaga dari kecil. Hahaha. lebay.
Hari ini hari selasa dan kafe buka seperti biasa. Artinya hari ini aku akan bertemu dengan mba Sintya lagi. Dan entah akan seperti apa nanti. Kaku? Canggung? Atau bakalan terjadi kejadian nakal lagi? Aku masih belum tahu. Sejak semalam aku belum kontak lagi dengan mba Sintya. Dia tidak menghubungi ku, aku pun juga tidak. Entahlah. Aku tidak perduli akan seperti apa perasaannya kepada ku sekarang.
Sejujurnya aku tidak mau ini terjadi, iya aku, tapi tidak dengan Adi junior. Dia butuh lawan, lawan yang bisa memberikannya enak-enak. Masalahnya Gadis masih sekolah, masih di bawah umur juga. Kalau tidak aku pasti sudah menemui pak Wira untuk melamarnya, toh aku sudah mendapatkan lampu hijau. Masalahnya dia masih di bawah umur. Gadis pasti belum siap. Aku juga mungkin belum, tapi Adi juior sudah siap lahir batin. Memang brengsek si Adi junior batin ku sambil tidak sadar melirik ke arah selangkangan ku sindiri. Hahaha, aku tertawa geli sambil menghisap rokok dunhill ku dalam-dalam. Memang susah kalau sudah berurusan dengan selangkangan.
“Di, send loc please…” sebuah pesan wasap masuk. Aku membukanya dan ternyata dari… Ratna? Anak itu? ada apa? Apa dia lagi di Jakarta?
“Lo lagi di Jakarta?”
“Bawel ih, tinggal kirim aja…” omelnya, hahaha.
“Udah tuh… lo lagi di Jkt?” tanya ku lagi.
“Otw…”
“Wooooooow………. Serius?”
“Mau kerja di Jkt lagi aja, butuh orang lagi ga lo?”
“Hahaha…”
“Malah ketawa…”
“Belum percaya kalau belum liat lo langsung…”
“Ya makanya gue minta send loc ke elu cumi, nanti gue samper ke tempat lo…”
“Serius nih kayanya…”
“DARI TADI GUE JUGA SERIUS!!!”
Hahaha, capslock jebol. Aku tidak membalas chat dari Ratna lagi. Wait and see aja apa benar dia bener-bener otw Jakarta. Kangen juga sama tu anak, sudah lama tidak berkabar.
~*~*~*~*~
“Mba?” ucap ku ke mba Sintya yang sibuk di balik meja bar. Suasana kafe masih sepi. Belum ada jam sebelas dan jam makan siang pun belum mulai.
“Iya mas…”
“Hahaha, masih agak canggung aku di panggil mas sama orang yang lebih tua…”
“Nanti lama-lama juga biasa, seharusnya canggung kan kalau ada yang manggil mba, hihihi.”
“Hahaha, anu…” lanjut ku dengan ragu.
“Apa…? Yang semalem?” tembaknya. Dan benar.
“Aku minta maaf…” ucap ku sambil mengetuk-ngetuk meja bar dengan jari ku secara random, tidak jelas. Tanda orang yang sedang grogi, takut, tidak fokus dan sejenisnya.
“Ga ada yang salah…” balasnya cepat.
“Endingnya mungkin ga ada yang salah, tapi kan pada prosesnya aku agak kurang ajar sama mba…”
“Kalau itu emang sih, tapi lucu sih…”
“Lucu?” tanya ku dengan bingung sambil mengamatinya yang masih sibuk dengan beberapa gelas yang selesai dia cuci dan sedang dia keringkan. Mba Sintya membicarakan hal semacam ini seperti tanpa ada beban, perbedaan jam tayang dengan ku yang masih awal dua puluh ini mungkin menjadi pembedanya.
“Ternyata kamu punya fantasy nya aneh-aneh, hihihi.”
“Fantasy? Aneh?”
“Iya fantasy kamu aneh… mana ada bapak yang rela anak perempuannya dimacem-macemin sama pria yang bukan siapa-siapannya… hihihi,” balasnya sambil tersenyum geli. Shit!! Malunya diri ini ketika mba Sintya sadar akan semua itu.
“Hahaha, ketahuan deh…” balas ku garing kaya orang bego.
“Wajar kok anak seusia mu punya imajinasi dan fantasy yang di luar nalar…”
“Gitu ya?”
“Iya, tapi…”
“Apa?”
“Itu kamu ga wajar, hihihi,” balas mba Sintya sambil tersenyum dan menutup mulutnya dengan satu tangan. Secara reflek aku langsung meraba selangkangan ku di bawah sana. Mba Sintya semakin terkekeh dengan geli nya.
“Ga wajarnya gimana?”
“Masa sih ga sadar?”
“Iya enggak, apaan emang?”
“Ehm… apa ya? Ukurannya menurut di atas standard orang indo, perasaan papa mama kamu dulu orang asli indonesia kan?” tanya nya dengan sangat detail. Mba Sintya menganggap punya ku di atas rata-rata, apa benar? Kalau benar pantas saja dulu bu Pristy ketagihan, hahaha. hadeh. Jangan sampai ini mba Sintya jadi ketagihan juga ini.
“Tapi aku jadi ga enak nih sama mba Gadis jadinya, kamu sih nakal, udah di bilang jangan nakal masih aja nakal…” protesnya. Protes apa protes. Protes tapi tidak seperti orang protes.
“Ibaratnya aku ini udah… selingkuhin atasan aku… mba Gadis kan juga yang punya kafe ini…”
“Dan aku ga enak sama kalian berdua…”
“Sama aku mah cuek aja… aku melakukannya tanpa feeling kok… aku tahu siapa diri ku, aku wanita juga sama kaya Gadis, yang semalam itu emang salah, tapi akan lebih salah lagi kalau aku pakai perasaan, lagian aku kasihan sama kamu…”
“Kasihan kenapa?”
“Sepertinya kamu sebelumnya sudah sering yah gituan sama cewek? Jadi pasti sekarang butuh penyaluran, sama Gadis ga bisa, jadi ada peluang dikit langsung di embat, hihihi,” tanyanya lalu meletakan gelas yang tadi dipegangnya dan sedikit mencondongkan badannya ke depan, kedua tangannya di jadikan tumpuan pada meja, posisi tangannya rapat hingga menekan ke dua bulatan daging kenyal yang ada di dadanya hingga membuatnya semakin menyembul ke depan. Baju yang di kenakan mba Sintya memang tertutup sehingga aku tidak bisa melihat belahan dadanya seperti semalam, tapi aku bisa melihat seberapa besar gundukan itu tercetak dengan jelas.
“Eh, enggak kok… udah pernah sih, tapi ga sering… dan aku ga manfaatin peluang ya, orang mba Sintya yang maksa mampir kan?” balas ku dengan jawaban yang lebih realistis tapi tetap membela diri. Akan sangat ketahuan bohongnya kalau aku bilang belum pernah, karena apa yang aku lakukan semalam itu sudah terlihat sangat pro. Anjir Pro. Macam gamers aja.
“Hihihi, sama Gadis sih aku yakin belum pernah, tapi sama wanita lain aku yakin kamu sudah sering, tapi tenang aja aku ga tertarik mencampuri urusan mu mas apa lagi kamu bos aku, hehehe, sesenengnya kamu aja.”
Aku hanya garuk-garuk kepala mendengar ucapannya. Memang benar dan tidak ada yang salah, dan aku merasa tidak ada yang perlu aku sembunyikan lagi darinya, jadi percuma saja aku membantahnya.
“Tapi mba bisa jaga rahasia kan?” tanya ku penuh harap.
“Hihihi, kamu tahu, siapa yang hatinya bakalan hancur selain Gadis jika tahu kenakalan kita semalam?”
“Siapa?
“Tante Fatma, mana rela dia melihat anak laki-laki nya yang hanya satu ini malah nyakitin anak Gadis yang udah di anggap seperti anak sendiri seperti mba Gadis?”
“Masuk akal sih…”
“Makanya…”
“Makanya apa?” tanya ku lagi dengan bingung.
“Kamu mainnya yang aman ya, aku masih mau kok kalau diminta bantuin kamu buat… hihihi, asal kalau udah waktunya keluar di cabut yah, hihihi,” ucapnya sambil tertawa geli dan pergi meninggalkan ku yang melongo dengan jawabannya yang… vulgar dan… menantang. Shit!! Salah ambil karyawan lagi pikir ku. dulu bu Pristy, sekarang mba Sintya sama saja.
~*~*~*~*~*~
Jam tiga sore mama, Rahma, dan Gadis tiba di kafe. Mereka tidak janjian tapi entah kenapa bisa datang berbarengan di waktu yang sama. Sore ini kafe sedikit lebih rame selain karena kedatangan mereka bertiga. Aku dan mama berada di belakang, sedangkan mba Sintya bersama Rahma dan Gadis di depan. Beberapa kali aku melihat mereka bertiga bersenda gurau. Kadang aku tersenyum getir melihat mereka yang cepat sekali akrab tapi tidak tahu apa yang sudah aku lakukan kembali di belakang Gadis.
“Makin hari makin rame ya kak kafenya?” ucap mama yang mengagetkan lamunan ku.
“Alhamdulillah…”
“Tahu gitu dari dulu ya… ternyata kamu emang punya bakat…”
“Yaah… namanya rejeki ga ada yang tahu ma…”
“Iya…”
Aku kembali melihat ke arah tiga wanita cantik yang berada di depan. Sebenarnya pandangan ku hanya fokus pada Gadis. Gadis kecil yang dengan lika-liku kehidupannya masuk ke dalam kehidupan ku, atau aku yang masuk ke dalam kehidupannya, sama saja. Ransel mini biru muda, sesuatu yang pasti membuat ku ingat ketika pertama kali aku melihatnya. Awal dari semua masalah yang ditimbulkannya. Awal dari semua masalah yang justru kini membuat hati ku kini tertambat pada hatinya.
“Si Sintya kerjanya gimana kak?” mama kembali bertanya.
“Bagus mah, rapi dan raji juga,” balas ku. Juga rajin bikin birahi ku naik juga ucap ku dalam hati.
“Oh ya alhamdulillah kalau gitu, tadi pagi mamanya wa mama ucapin makasih katanya kamu… semalem itu ternyata kamu jemput dia ya?” tanya mama. Walah, dasar emak-emak ga bisa kalau ga cerita-cerita hal-hal begituan.
“I-iya mah, mba Sintya lagi di rumah temennya abis kerjain skrpsi, terus pesen ojek online ga ada yang mau ambil, terus menita tolong kakak, ga apa-apa kan ya mah?”
“Ya ga apa-apa, baik sama orang itu bagus, tapi pesen mama kamu juga jangan terlalu baik, apalagi sama cewek, takutnya… kamu paham kan?”
“Apa mah? Salah tafsir?”
“Iya…”
“Hehehe, mba Sintya udah anggap kakak seperti ade sendiri mah, mama ga usah khawatir.”
“Mama hanya kasih saran aja, pinter-pinter aja bersikap sama perempuan.”
“Insyaallah kakak mengerti dan paham maksud mama.”
~*~*~*~*~*~
Jam lima lewat orang yang aku tunggu benar-benar datang. Ratna. Si anak bocor itu datang juga. Dia benar-benar datang dari bandung. Kalau dihitung-hitung sudah berapa bulan ya? Lima atau enam bulan mungkin dia tinggal di bandung sejak kejadian waktu itu. Dan orangnya masih sama saja, kecuali penampilannya yang sedikit lebih rapi, lebih bersih, dan lebih… manis. Manis? Iya, sedikit lebih feminin. Bandung sepertinya benar-benar udah ngerubah dia. Ratna disambut hangat oleh semuanya, mama, Rahma, Gadis, dan juga mba Sintya yang baru kenal.
“Kejutan banget tau ga sih…” komentar Rahma di antara santainya kami semua. Menjelang magrib seperti ini kafe biasanya memang sepi, dan nanti baru akan mulai ada pengunjung lagi ketika masuk jam tujuh ketika orang mencari tempat untuk makan malam.
“Aku udah kasih tahu Adi kok…”
“Lah, si kakak diem aja tuh.”
“Baru tadi pagi dia ngasih tahunya, kirain bercanda, tahunya beneran, hehehe,” balas ku membela diri.
“Jadi kesini dalam rangka apa nih?” tanya mama dengan senyumnya.
“Daftar kuliah tan, hehehe,” balas Ratna sambil malu-malu.
“Tuh kak, si Ratna aja udah mau mulai, kamu kapan?”
“Kapan-kapan, hahaha,” canda ku.
“Adi kan belum lanjutin kuliah karena mau fokus ke kafe tan…” Ratna membela ku.
“Iya tante tahu, tapi kuliah kan penting…”
“Kafe juga penting…” balas ku lagi, tapi tidak dengan bercanda. Aku tidak tahu kenapa mood mama sepertinya sedang tidak bagus.
“Sepenting apa?”
“Kafe ini merepresentasikan semangat kami bertiga, aku, Rahma, dan Gadis… kafe ini harus besar…”
“Manteb kak kalimatnya, hahaha,” ledek Rahma.
“Hahaha…”
“Si Adi nungguin Gadis kali tante kuliahnya, hihihi,” ucap mba Sintya tiba-tiba dari balik meja, dan mama langsung menatap ke arah mba Sintya dengan pandangan aneh.
“Kenapa musti nungguin Gadis?” tanya mama heran. Aku hanya garuk-garuk kepala. Aku memang berharap mama bisa tahu secepatnya hubungan ku dengan Gadis, tapi tidak dengan cara seperti ini. Aku ingin aku sendiri yang memberi tahunya. Pasrah ajalah.
“Loh, tante belum tahu? Adi sama Gadis kan…” ucap mba Sintya dengan ragu. Lalu menghadap ke arah ku, lalu Rahma, lalu Gadis. Aku hanya geleng-geleng kepala pelan, membayangkan bagaimana reaksi mama nanti. Kenapa tidak cerita dari awal? Kenapa musti diam-diam? Kenapa?
“Jadi tante beneran belum tahu yaah…” lanjut mba Sintya lagi dengan polosnya.
“Kenapa tidak ada yang cerita ke mama ya?” tanya mama dan semuanya hening.
~*~*~*~*~*~
Pukul tujuh tiga puluh malam dan aku melihat sebuah mobil mewah yang aku kenal terparkir di depan kafe ku. bu Pristy. Haduh. Ngapain lagi itu orang juga ikut-ikutan ke sini. Aku pura-pura cuek saja saat dia berjalan masuk ke dalam kafe. Sudah ada Gadis yang menyambut. Lalu Rahma yang juga menemuinya. Terakhir mama yang baru tahu kalau teman lamanya itu berkunjung juga ikut menemui. Ratna sudah pergi sejak setelah magrib tadi. Dia harus segera ke tempat saudaranya. Dia akan tinggal di sana untuk sementara. Aneh memang, dulu dia dipaksa ikut ke bandung dengan alasan keamanan, tapi sekarang malah diijinkan untuk ke Jakarta sendirian.
Perbincangan yang sempat menjadi perdebatan tadi itu berakhir dengan agak tidak enak. Aku tidak tahu kenapa tapi yang pasti aku bisa merasakan mama tidak terlalu senang dengan berita itu. Mama memang tidak menunjukkan ketidak sukaannya, tapi jika mama suka dengan berita ini aku yakin mama akan bereaksi dengan lebih ekspresif dari yang aku lihat tadi. Nyatanya mama hanya biasa aja. B aja. Jadi kenapa? Itu yang mengganggu pikiran ku sejak tadi. Apa iya mama tidak suka? Aku tidak mungkin menanyakannya sekarang. Ada Gadis. Aku harus menunggu hingga di rumah.
Mba Sintya sempat minta maaf melalui wasap kepada ku yang tidak aku tanggapi dengan serius. Aku hanya meresponnya dengan beberapa kata saja. Ya mau gimana lagi? Dia nampak menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya. Mba Sintya mba Sintya. Bikin gemes aja ucap ku dalam hati.
Aku yang tidak enak dengan bu Pristy pun ikut menemuinya sekedar untuk berbasa basi. Tapi itu pun juga ternyata tidak lama. Bu Pristy datang ke sini hanya untuk menjemput Gadis. Soal Gadis, aku juga merasa tidak enak kepadanya. Selama ini aku sudah berjanji untuk segera menceritakan kabar hubungan ke dengannya ke mama, tapi nyatanya sampai sore tadi belum. Sebenarnya aku juga sudah punya firasat tidak enak saat mereka bertiga tadi datang bersamaan ke kafe, dan akhirnya benar-benar kejadian. Gadis pasti merasa tidak enak dan malu. Seolah-olah dia backstreet dengan ku di belakang mama. Sejauh ini Gadis tidak marah kepada ku, atau mungkin juga belum. Bisa jadi Gadis masih ingin menjaga suasana dan akan menyerang ku nanti di saat yang tepat. Rahma pun ikut menyalahkan ku karena terlalu lama bercerita. Kalau mama tahu lebih awal kan pasti akan lebih enak. Makin pening kepala ini membayangkan dua wanita yang paling aku sayangi itu kalau sampai marah kepada ku.
“Mas?” panggil mba Sintya kepada ku yang sedang merapikan uang yang masuk hari ini. Aku memang sudah mulai melakukan pembukuan dengan rapi untuk aliran kas yang keluar masuk di kafe ini.
“Iya?”
“Maafin Sintya ya…”
“Maaf kenapa?”
“Yang tadi…” balasnya dengan lemas lalu duduk di dekat ku. Sekarang sudah jam sepuluh malam dan sudah tidak ada pengunjung lagi. Mama dan Rahma juga sudah pulang tadi dengan di antar bu Pristy. Entah hubungan ku dengan Gadis di bahas tidak di dalam mobil itu.
“Ga apa-apa kali mba, mungkin mama cuma kaget aja.”
“Lagian mas kenapa belum cerita sih?”
“Aku juga bingung, ya gimana ya, anak cowok kan ga terlalu terbuka, apa lagi dengan mamanya.”
“Tapi Rahma tahu?”
“Iya sudah kalau Rahma sih.”
“Ya semoga mamanya mas Adi ga marah ya.”
“Aamiin.”
“Dan mba Gadis juga, semoga aja dia ga mikir macem-macem, soalnya tadi aku sempet perhatiin setelah tante tahu hubungan kalian, dia agak canggung gimana gitu.”
“Iya itu yang aku takutin juga…”
“Udah coba di ajak ngomong?”
“Belum, ga sempet…”
“Harus di ajak ngomong berdua tuh mas…”
“Iya rencananya juga gitu…”
“Mas…”
“Hmm…?”
“Aduh aku beneran ga enak nih kalau sampai kenapa-kenapa…”
“Udah tenang aja mba, hehehe, mama itu udah kenal sama Gadis dan sejauh ini baik kok, jadi ga mungkin ga suka. Gadis juga begitu, palingan dia merasa canggung karena malu aja, doain aja semua baik-baik aja ya.”
“Iya mas, oh iya malam ini kalau capek ga usah nganterin juga ga apa-apa kok aku nanti naik ojek aja.”
“Bener?”
“Iya mas… hehehe, tenang aja kalau cuma dari sini mah aku masih bisa sendiri, mas pasti capek, capek tenaga, capek pikiran juga, iya kan?”
“Iya sih.”
“Makanya, malam ini aku pulang sendiri aja, mas langsung pulang aja, istirahat, besok pagi-pagi kalau suasananya udah enakan mas coba ajak bicara sama tante dulu.”
“Iya.”
“Tapi besok-besok kalau masalahnya udah beres boleh kok kalau mau nganterin lagi, hihihi,” ucap mba Sintya sambil tersenyum. Aku lalu menyuruh mba Sintya untuk pulang duluan saja. Dan sebentar lagi aku juga pasti akan pulang.
~*~*~*~*~*~
Paginya aku terbangun dengan suara ketukan pintu kamar. Aku sempat melihat jam dinding kamar ku dan teryata sudah jam tujuh lewat, berarti yang mengetuk sudah pasti mama karena Rahma pasti sudah berangkat ke sekolah.
“Masuk mah, ga dikunci,” teriak ku dari dalam. Tidak lama kemudian pintu langsung terbuka.
“Sarapan, mama udah siapin, abis sarapan mama mau ngomong sama kamu,” ucap mama datar lalu pergi meninggalkan kamar. Benar, pasti ada sesuatu yang membuat mama tidak suka. Aku langsung ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi, setelah itu sarapan. Aku ingin segera menyelesaikan semuanya dan segera mendengar apa yang sebenarnya ingin mama bicarakan sampai seserius ini.
Selesai sarapan aku langsung menemui mama yang berada di kamar. Pintu kamarnya tidak tertutup rapat, aku melongokkan kepala ku ke dalam dan mama ternyata sedang melipat pakaian bersih yang habis di jemur.
“Jadi bicara mah?”
“Iya jadi.”
“Di sini atau…?”
“Tunggu mama di ruang tengah,” ucapnya masih saja dingin. Aku tidak langsung pergi tapi masih memperhatikan mama. Ada apa ini sebenarnya?
“Denger kan apa kata mama?” tanyanya.
“I-iya mah denger,” balas ku dan kemudian langsung beranjak dari tempat ku berdiri sekarang dan menuju ruang tengah. Aku duduk di depan Tv dan tidak lama kemudian datanglah mama dari kamar. Mama mengambil duduk di samping ku, sama-sama menghadap ke Tv. Untuk beberapa saat tidak ada pembicaraan dari kami berdua. Kami sama-sama diam. Hening. Dan aku bingung harus mulai dari mana.
“Mah…?”
“Sudah berapa lama kamu… sama Gadis?”
“Jadi yang mau mama omongin soal Gadis ya?”
“Sudah berapa lama?”
“Mah, kalau soal kakak belum cerita itu kakak minta maaf, rencananya tadi malam itu juga kakak mau cerita, tapi udah keduluan mba Sintya, maafin kakak ma…”
“Mama tanya, sudah berapa lama kamu sama Gadis?”
“Mah…”
“Kamu dengerin mama ga sih??” tanya mama lagi sedikit membentak.
“Hampir dua bulan mah, ga lama setelah liburan waktu itu…”
“…” mama hanya diam, tidak merespon pengakuan ku. Pandangannya lurus ke depan. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.
“Mama tidak suka? Mama ga setuju kakak sama Gadis?”
“Iya mama tidak setuju, kamu putusin Gadis secepatnya!”
“Hah?”
“Kamu putusin Gadis secepatnya!”
“Ta-tapi kenapa?”
[Bersambung]