Kesempurnaan Part 32

0
1338

Kesempurnaan Part 32

Bersama Hingga di Ujung Senja

“Kalau gue tau lihat sunrise secara langsung bakalan seindah ini, udah dari dulu gue minta di ajak naik gunung,” ucap Gadis yang sedang berdiri menghadap kearah fajar yang mulai menampakkan cahayanya.

“Belum telat juga sih…” balas Tiara. “Masa depan masih panjang, dan masih banyak puncak-puncak lainnya yang menunggu untuk kita kunjungi,” lanjutnya yang juga berdiri di samping Gadis.

“Bersama kita pasti bisa menaklukannya,” lanjut Rahma dengan penuh keyakinan.

Yaelah, kalau lagi di sini aja ngomongnya pada sok bijak, coba nanti kalau sudah di bawah lagi pasti manjanya kumat lagi. Iseng aku mengabadikan momen ini dari belakang dengan kamera HP ku. Nampak tiga anak gadis remaja cantik yang sedang mencari jati diri nya takjub oleh kebesaran Tuhan.

Tidak jauh dari mereka berdri Aldi yang dari tadi sudah sibuk dengan kamera SLR di tangan nya. Beberapa kali dia nampak mengambil objek fajar di kejauahan lalu mengamatinya, lalu mengambil objek lagi dan mengamatinya. Begitu beberapa kali sambil mengutak atik setingan pada kamerea tersebut.

Dari arah belakang ku, tepatnya di sebuah batu besar pak Parto duduk di atas nya. Aku yakin dari sana sudut pandang pasti akan lebih luas, maka aku memutuskan untuk menyusulnya. Biarlah Aldi dan para cewek-cewek itu berada di sini.

“Ada yang bilang orang yang suka naik gunung biasanya susah ketemu jodohnya,” ucap ku begitu duduk di samping kanan belakang pak Parto.

“Hahaha, kecuali kalau jodohnya sama-sama hoby nanjak.”

“Kenapa bisa begitu ya?”

“Menurut mu?”

“Ehm… karena di gunung kita tidak akan menemukan zona nyaman, mungkin.”

“Kebalik, bagi yang hoby naik gunung, gunung adalah tempat ternyaman di dunia ini.”

“Iya, tapi tidak bagi jodohnya yang kebetulan tidak suka naik gunung.”

“Dan akhirnya mereka tidak berjodoh, hahaha.”

“Hahaha, masuk akal.”

“Wah mereka berdua naik ke atas, so sweet banget ga sih?” ucap Gadis dari kejauhan kepada yang lainnya sambil menunjuk ke arah ku dan pak Parto, aku hanya melambaikan tangan ku kepada mereka sambil tersenyum.

“Kalian ga usah ikut ke atas ya, turun nya susah nanti,” teriak ku.

“Iya deh yang lagi berduaan di atas ga mau di ganggu ya… hahaha,” balas Gadis lagi sambil tertawa. Lalu tersenyum penuh arti kepada ku, dan hanya aku yang mengerti akan maksud dari senyuman itu.

Tidak ada kata jadian, pacaran, atau tembak-tembakan. Tidak perlu, kata atau setatus itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang butuh pengakuan. Kami tidak butuh pengakuan. Kami sama-sama mengakui, dan kami sama-sama mengerti, karena masing-masing dari hati kami sama-sama saling meyakini.

Tidak lama kemudian aku turun dan kembali berdiri tidak jauh dari mereka berempat. Setelah melihat kehadiran ku Gadis pun langsung mendekat. Aku tidak tahu kenapa tapi sekarang aku merasakan getaran lain saat berada di dekat wanita ini, padahal sebelumnya tidak pernah sama sekali. Getaran yang aneh. Dadaku bergemuruh. Tapi aku merasakan bahagia yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

“Jadi sebenarnya sejak kapan?” tanyanya tiba-tiba.

“Apanya?”

“Lo suka sama gue nya.”

“Pertanyaan macam apa itu? hahaha.”

“Jawab aja sih, itung-itung nyenengin gue…”

“Hahaha…”

“Ayo jawab… aaa…”

“Kalau sukanya sih aku ga inget sejak kapan, tapi kalau sejak kapan kamu mencuri perhatian ku itu sejak pertama kali lihat kamu, hehehe.”

“Cieee aku kamu… suka pada pandangan pertama dong…” balasnya sambil tersipu. Wajahnya nampak memerah mungkin karena malu.

“Hahaha…”

“Pertama kali ketemu itu kalau ga salah waktu…”

“Kalau aku sih, eh ga apa-apa kan pake aku kamu?”

“Hihihi, ya ga apa-apa lah… justru seneng akunya, jadi gimana tadi?”

“Oh iya, kalau aku sih pertama liat kamu itu pas dulu interview sama bu Pristy, tapi bukan yang pas di ruangan.”

“Terus?”

“Jadi pas kamu tiba di restoran waktu itu aku sudah ada restoran duluan, tapi lagi beli rokok di seberang. Nah pas kamu turun dari mobil, itu aku pertam liat kamu…”

“Hahaha, dari kejauhan aku pasti keliatan shiny gitu ya di mata kamu?”

“Pede…”

“Akuin aja siii…”

“Males, kamu nya GR an.”

“Iiihh…”

“Hahaha, yang aku inget waktu itu kamu pakai bando sama tas ransel kecil warna biru muda, ya kan?”

“Kok inget sih, aku aja lupa, hahaha.”

“Ya namanya juga tertarik, pasti inget lah sama detail meski itu kecil.”

“Aku ga pernah inget sama detail seseorang, mungkin itu kali ya alasan kenapa aku ga pernah suka sama seseorang.”

“Lah, aku?”

“Sebelum kamu maksud aku… iiihhh gemes deee…” balasnya sambil menggelitiki pinggang ku.

“Hahaha… ampun ampun… geli…”

“Makanya…”

“Apa?”

“Enggak… hihihi…”

“Tawa mulu sih.”

“Biarin sih, lagi seneng juga.”

“Seneng kenapa?”

“Kasih tau ga yaaahh…”

“Kalau aku yang ada di posisi kamu pasti aku sudah di ancem dengan berbagai macam ancaman yang aku pasti ga bisa nolak.”

“Hahaha, kamu itu kadang suka bener yaah, hahaha.”

“Kan aku tahu semua hal tentang kamu… hahaha.”

“Gombal. Weeek!” balasnya sambil menjulurkan lidah.

“Karena kamu udah jujur, sebenernya aku juga mau jujur,” lanjutnya. Aku dan Gadis lalu duduk. Kami sama sama memeluk lutut dengan pandangan lurus ke depan, ke arah sang surya yang sudah sedikit menampakan cahayanya.

“Apaan?”

“Tapi aku malu…” balasnya sambil menutup wajahnya sendiri dengan kedua telapak tangannya.

“Ya elah dikit-dikit malu, dikit-dikit malu.”

“Hehehe, namanya juga cewek…”

“Kamu mau cerita apa sih, sayang ku?” tanya ku dengan manis sambil merubah posisi duduk ku menjadi bersila menghadap ke arahnya.

“Hihihi, ya itu tadi… kan tadi kamu nanya aku seneng kenapa? Ya aku seneng aja, ternyata selama ini yang orang yang baik sama aku memang bener-bener sayang sama aku.”

“Oh itu… hahaha, tapi kalau kamu semalem ga mancing duluan mungkin perasaan ku ini juga ga bakal terungkapin, kamu tau lah alasannya.”

“Keluarga? Sosial?”

“Kurang lebih.”

“Itu mah ga usah di pikirin, papa orangnya open kok, ga kolot sama urusan begituan.”

“Karena dia lama tinggal di Amerika kali ya?”

“Bisa jadi. Iiihh kenapa malah ngobrolin papa sih? Aku masih mau cerita banyak tau…” balasnya nya sambil manyun. Lucu banget pikir ku.

“Ya udah cerita aja pasti juga aku dengerin kok.”

“Ehm… aku jadi inget waktu dulu yang malem-malem mau pulang itu loh, yang aku ngamuk-ngamuk ga mau pulang, inget ga?”

“Hahaha, ga mungkin bisa lupa aku kalau yang itu.”

“Kenapa? Pusing yak?”

“Banget…”

“Hihihi, maaf ya…”

“Dimaafin…”

“Sebenernya waktu itu bisa aja aku pulang, cuma ga tau kenapa iseng aja pengen ngerjain kamu, hihihi, eh semua mau aku di turutin, keterusan lagi, hihihi.”

“Seneng ya ngerjain orang…”

“Tapi kamu juga seneng kan bisa deket-deket sama aku terus…” elaknya.

“Hahaha, lucu sih, aku jadi kaya punya dua adik waktu itu, jauh lebih manja malah, tapi aku akuin ke sini sini kamu sebenernya ga manja-manja amad, mungkin hanya kurang perhatian aja.”

“Mungkin… nah sejak waktu itu sebenernya kamu itu udah ngusik hati aku tau…”

“Masa sih?”

“Kamu ga ngerti cewek sih… cewek itu kalau udah dapet perhatian walopun kecil aja bisa baper, makanya hati-hati sama cewek, kalau sampai baper cowok yang bakalan di salahin.”

“Gitu ya?” tanya ku sambil mangut-mangut. Dan entah kenapa aku langsung teringat bu Pristy. Selama ini sikap ku kan baik ke dia. Dan apa yang sudah kita lakukan selama ini jauh melewati batas. Hanya bisa berdoa semoga bu Pristy tidak baper dengan ku.

“Terus yang kaya aku tanyain semalem, waktu itu kamu bisa belain aku banget di depan Rahma kenapa sih? Jujur waktu itu aku terharu banget.”

“Pertama mungkin pengen ngajarin dia buat bersikap lebih dewasa aja, ke dua ya ga tega aja, kalau Rahma yang ada di posisi kamu waktu itu kan kasian juga.”

“Terus setiap kali aku ada perlu atau butuh ini itu, pasti selalu ada kamu yang bantuin.”

“Hahaha, kadang Tuhan kasih aku kemudahan untuk membantu orang lain, sisi positif nya nambah pahala.”

“Selalu bisa jagain aku…”

“Termasuk juga itu.”

“Mulai waktu itu aku selalu berdoa semoga kebaikan kamu itu memang tulus adanya, semoga perasaan yang mulai tumbuh ini suatu hari nanti benar-benar berbalas, eh ternyata ga pakai lama, Tuhan baik ya?”

“Hanya orang yang ga bersyukur yang ga sadar kalau Tuhan itu ga baik.”

“Dan semoga kamu ga pernah ninggalin aku.”

“Aamminn.”

“Oiya satu lagi…”

“Belum selesai? Banyak banget? Hahaha.”

“Banyak ya? Ga jadi deh…” balasnya sambil cemberut.

“Hahaha, canda kok, kamu masih punya seberapa banyak pun aku pasti dengerin…”

“Ihh kamu co cwiiit banget siii… hehehe, aku salut sama kamu yang kamu ajak aku kabur itu…”

“Yang pas nginep di hotel?”

“Iya, kan bisa aja kan waktu itu kamu macem-macemin aku, tapi nyatanya nyentuh aku pun ga sama sekali, dari situ aku yakin kalau kamu adalah cowok yang baik,” ucapnya dengan yakin dan aku langsung tersenyum dengan getir. Dia tidak tau apa yang sudah aku lakukan selama ini dengan tantenya sendiri. Rasa bersalah pun mulai menyelimuti tubuh ku.

“Kamu kenapa? Kok langsung diem gitu?” tanya Gadis yang sadar dengan perubahan sikap ku.

“Ah enggak, terus apa lagi? Hehehe.”

“Dih, kok kesannya kamu jadi kaya nagih di ceritain kebaikan kamu ya?”

“Hahaha, kali masih ada lagi.”

“Memang masih ada sih…”

“Apa tuh?”

“Yang terakhir… yang bikin aku semakin penasaran dengan kamu adalah… waktu aku minta kamu milih antara aku sama tante kamu bisa dengan tegas milih aku, hihihi, padahal ga ada soalnya juga sih tante kerja di kafe, tapi ngapain juga, aku masih bingung sampai hari ini.”

“Sama, aku juga bingung, bosen kali dia sama kerjaannya di restoran yang hanya mantau kerjaan anak buahnya,” balas ku pura-pura tidak tahu, padahal aku tahu alasan bu Pristy kerja di kafe adalah untuk supaya punya banyak waktu dekat dengan ku, dan aku semakin merasa bersalah. Sepertinya aku harus berusaha sekali lagi mengakhiri semua hubungan terlarang ku dengannya itu.

“Bisa jadi, tapi bodoh lah, yang penting semua penasaran ku udah terjawab, yang penting aku seneng.”

“Ngomong-ngomong, kita mau kasih tahu ke Rahma nya kapan?”

“Tentang?”

“Ya hubungan kita lah… apa lagi?”

“Oh iya ya… seru nya sih ga usah di kasih tahu secara langsung.”

“Terus?”

“Ya kita kasih tahunya secara tersirat aja, aku yang dia juga bakal sadar sendiri, nah nanti kalau dia penasaran baru deh kita kerjain, hihihi.”

“Tetep ya jahilnya ga hilang…”

“Penasaran aja bakalan gimana reaksinya kalau tahu kakaknya yang ganteng dan cuma atu ini punya hubungan spesial sama aku, hihihi.”

“Hahaha, atur ajalah, yang penting mba Gadis senang…” balas ku sambil mengusap rambutnya.

“Kamu lihat fajar di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah sang surya.

“Iya aku lihat, kenapa?”

“Aku merasa terlahir kembali dengan adanya kamu di samping ku.”

“Dan aku akan selalu bersama mu hingga di ujung senja.”

“Janji?”

“Dengan sepenuh hati.”

“Makasih…” balasnya sambil tersenyum.

“Kak?” panggil Rahma yang tiba-tiba sudah berada di dekat kami berdua. Mungkin karena aku terlalu fokus pada Gadis hingga aku tidak sadar dengan kedatangannya.

“Hmm…” balas ku dengan acuh dan masih menghadap ke arah Gadis.

“Orang-orang pada fokus liatin sunrise kok kakak dari tadi aku perhatiin liat nya ke arah Gadis mulu?”

“Lah kamu berarti dari tadi juga lebih merhatiin kakak dong, padahal orang-orang fokus liatin sunrise,” balas ku masih dengan duduk bersila menghadap ke Gadis, sedangkan Gadis masih duduk memeluk lutut menghadap arah matahari terbit, dan Rahma ada di antara kami berdua tapi agak kebelakang, jadi pandangan ku ke Gadis tidak terhalang.

“Paling bisa ya balikin kata-kata… hati-hati lho Dis, kalau lu nangkep sinyal modus bilang gue ya, biar gue jitak kakak gue ini.”

“Hihihi, iya Rahma sayang… sejauh ini masih aman kok beb, pokoknya nanti kalau kakak lo ini nakal pasti bakal gue aduin ke elo yah…”

“Tuh denger kan kak, ga ada kesempatan buat kakak modus, hahaha.”

“Hahaha, apaan sih, kesannya kakak itu playboy banget… ngomong-ngomong yang lain kemana?”

“Tuh ada kok, Aldi sama Tiara deket banget, aku nya jadi ga enak takut ganggu, makanya kesini, mau nyamperin pak Parto tapi males juga.”

“Hahaha, kasian banget sih…”

“Iya, kasian yah, pas kesini ternyata kalian berdua juga asik sendiri juga…”

“Apaan sih beeb… sini duduk samping aku…” ucap Gadis sambil sedikit bergeser menjauh dari yang memberikan ruang untuk Rahma. Rahma pun akhirnya duduk di depan ku yang membuat pandangan ku sekarang tepat ke arahnya. Rahma sempat tersenyum jahil sebelum aku merubah posisi duduk ku ke arah matahari sehingga posisi duduk kami sekarang sejajar.

“Jahat banget sih, Gadis aja di liatin dari tadi, giliran ade nya langsung buang muka, hiiiihh…”

“Hahaha…”

Kami bertiga akhirnya menikmati pemandangan alam yang menurut ku indahnya tidak ada duanya ini. Sang surya punya akhirnya benar-benar menampakkan wujudnya, sama seperti ku dan Gadis yang sudah sama-sama mengungkapkan isi hati kami masing-masing. Indah. Terasa begitu indah.

###

Setelah selesai menikmati indahnya sunrise dan mengabadikannya dengan kamera masing-masing kami turun ke puncak bayangan lagi. Tiba di puncak bayangan sekitar pukul tujuh. Aku langsung menyiapkan amunisi ku untuk kembali menjadi koki bagi mereka. Dan karena makanan pokoknya masih bihun, maka aku memutuskan untuk memasaknya menjadi bihun goreng saja. Pak Parto memasak air untuk membuat kopi dan mungkin coklak hangat untuk yang lainnya. Aldi bertugas merapikan tenda dan perlengkapan lainnya yang sudah bisa di packing. Lalu para wanita? Mereka hanya bercanda-canda, ketawa-ketawa, selfie-selfie. Ini lah dilemanya mengajak cewek mendaki gunung. Di satu sisi keberadaan mereka bisa menjadi pemanis suasana, di sisi lain ya seperti ini, terkadang untuk urusan yang seharusnya bisa mereka kerjakan tapi harus kita para laki-laki yang melakukannya.

Setelah selesai masak, minuman hangat pun sudah siap, tenda sudah selesai di bongkar dan di pack kembali, kami berenam sarapan bersama di bawah sinar matahari pagi yang meskipun terik namun masih terasa hawa puncak gunung yang dingin. Kami sarapan bersama dengan lahapnya. Bihun goreng dengan toping sosis dan nuggets menjadi menu kami pagi ini dengan canda tawa menjadi selingannya.

Tepat pukul sembilan pagi kami sudah mulai bergerak turun. Formasi awal masih dipertahankan dengan pak Parto yang menjadi leader berada di paling depan. Di belakangnya ada Aldi dan Tiara. Aku sendiri berada di paling belakang, sedangkan Rahma dan Gadis berada di depan ku. Meskipun beban logistik sudah banyak berkurang namun entah kenapa setiap turun gunung beban di punggung masih sama saja beratnya.

“Kalau dari atas ke bawah kira-kira berapa lama ya?” tanya Gadis yang berada tepat di depan ku, sedangkan Rahma berada di depannya.

“Kalau lancar sih harusnya empat sampai lima jam sih…”

“Kalau aku ga kuat kamu gendong aku yah…”

“Hahaha, mau depan apa belakang?”

“Enakan depan sih, tapi emang kuat?”

“Mau di coba sekarang?”

“Malu ah sama Rahma, hihihi…” ucap Gadis sambil menoleh kebelakang dan tersenyum sambil mengedipkan matanya. Ada sesuatu yang sedang direncanakannya, dan tidak lama setelah itu Rahma menghentikan langkahnya.

“Kalian berdua ngobrol apaan barusan?” tanya Rahma sambil berbalik dengan mimik wajahnya yang serius. Aku pura-pura tidak paham sedangkan Gadis matanya lari kemana-mana dengan sedikit menahan senyum sambil membetulkan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Ngobrol apaan?” tanya ku dengan bingung.

“Itu main gendong-gendongan?”

“Oh itu, kan kalau misal Gadis nya ga kuat, kalau kamu ga kuat juga pasti kakak gendong de…” balas ku dengan lembut.

“Enggak, ini pasti ada yang salah, pasti ada sesuatu yang kalian sembunyiin.”

“Sembunyiin apa sih Ma, kita ga ada apa-apa kan Di? Aku sama kamu biasa aja kan?” tanya Gadis.

“Aku? Kamu? Sejak kapan lo manggil kakak gue pakai aku kamu?” tanya Rahma ke Gadis. Gadisnya sendiri nampak merasa kaget seperti baru saja ketahuan namun kemudian senyum-senyum sendiri karena memang dia hanya pura-pura.

“Udah ah, kalau kelamaan ngobrol di sini nanti ke sorean loh sampai bawahnya, hihihi,” balas Gadis sambil berlalu meninggalkan Rahma yang masih dengan wajah yang penuh dengan kebingungan. Karena tidak mau di berondong dengan banyak pertanyaan oleh Rahma aku pun mengikuti langkah Gadis meninggalkan Rahma.

“Kak?”

“Nanti aja di rumah kalau mau ngobrol…”

“Aahhh… kalian berdua…?”

[Bersambung]

Daftar Part