Kesempurnaan Part 31

0
1188

Kesempurnaan Part 31

Say You Wont Let Go

“Ahh ahh ahh…” wanita yang sedang duduk di pangkuan ku dengan tanpa sehelai busana ini bergoyang dengan sangat erotis. Liukan tubuh sintalnya seolah menjadi pemicu syahwat dan birahi ku untuk terus berpacu demi mendapatkan indahnya kenikmatan surga dunia dengan menggagahinya.

“Ahh ahh ahh, ja-jadi begitu yaaahh, Ga-Gadis ga mau tantenya ini kerja di sini laagiihh?” tanyanya sambil terus berkonsentrasi agar tetap bisa fokus menggoyangkan pinggulnya yang bulat itu naik turun sambil sesekali memutarnya mengulek kemaluan ku. Ke dua tangannya berpegangan erat pada bahu ku dan menjadikannya tumpuan untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Tangan mungil itu sesekali mengusap dada ku, sesekali pula memegang belakang kepala ku dan menariknya ke arah dada nya yang bergoyang hebat akibat gerakannya yang naik turun.

“Iya, menurut mu gimana?” tanya ku santai sambil meremas bongkahan pantatnya yang kenyal itu sambil sesekali aku mengusap belahannya dan memainkan jari ku di lubang miliknya yang satu lagi itu. Bu Pristy menggelinjang hebat setiap aku menggelitiki area itu. Tubuhnya masih terus berpacu menjadi kuda betina ku yang selalu menjadi binal setiap kali aku mencumbunya seperti ini.

“Ahh ahh ahh, geli… uuhhh… penuh banget…” balasnya tidak nyambung. Aku hanya tersenyum.

“Jadi gimana?” tanya ku lagi dengan mencengkram pinggulnya dan membantu gerakannya naik turun.

“Ahh ahh ahh, yaahhh maaauuu giiimaanaaa laaagiii? Ahh ahh ahhh…”

“Kamu ga apa-apa kan?” tanya ku sambil jari tangan kiri ku bergerak menuju pantatnya lagi dan kembali menggelitik lubang pantatnya. Satu jari ku lalu ku posisikan untuk menusuk lubang kecil itu.

“Ahh ahh aawww… ap-apa yaaang…” belum sempat bu Pristy menyelesaikan kalimatnya aku sudah menarik kepalanya dan melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Suaranya tertahan, matanya melotot bereaksi terhadap ulang iseng ku. Dengan pelan aku dorong jari tangan kiri ku itu dan sedikit mengobelnya. Bu Pristy semakin berontak, namun aku masih tenang. Ku kunci kepalanya sedangkan tangannya memukul-mukul bahu ku. Sambil dengan tersenyum jahat aku menghentikan kocokan pinggulnya di kemaluan ku dan menarik tubuhnya ke atas. Setelah terlepas aku mengorek cairan yang meleleh dari celah vaginanya dan mengoleskannya ke dalam lubang duburnya. Aku melakukannya berulang kali hingga lubang belakangnya itu terasa sangat licin.

Bu Pristy sepertinya sudah mengerti apa mau ku. Wajahnya nampak gamang, bimbang antara menolaknya atau menuruti kemauan ku. Aku kembali tersenyum dan mengangguk, bu Pristy membalasnya dengan gelengan namun tidak ada usaha untuk menolaknya. Aku tarik tubuhnya untuk sedikit bergeser ke depan dan seperti biasa bu Pristy tidak pernah bisa menolak kemauan ku. Ku mainkan sekali lagi lubang sempit itu untuk memastikannya tidak tegang. Wajah bu Pristy nampak pasrah dengan apa yang akan segera menimpanya. Tangan kirinya lalu menarik kepala ku dan mengihisap bibir ku dalam-dalam. Sedangakan tangan kanannya bergerak ke bawah untuk memainkan vaginannya sendiri. Sepertinya dia sedang berusaha untuk merangsang dirinya sendiri agar tubuhnya semakin rileks dan semakin panas agar bisa menerima penis ku saat memasuki lubangnya yang satu itu.

###

Kelas tiga sedang menjalani ujian akhir nasional, artinya Rahma dan Gadis libur sekolah. Dan entah siapa yang pertama kali mendapatkan ide ini, mereka berdua memaksa ku menemani mereka berdua liburan. Tapi liburan yang berbeda. Yang lain dari biasanya. Naik Gunung.

Iya naik gunung. Aku memang sudah pernah beberapa kali naik gunung, namun aku belum pro dan sebenarnya masih agak takut takut juga jika harus memimpin mereka berdua. Mereka akhirnya memakluminya, namun bukan Gadis namanya bila dia tidak punya jalan keluarnya. Yak, solusinya adalah menambah personil lagi, minimal ada satu laki-laki lagi yang menemani kami.

Setelah mencari kesana kemari, akhirnya dapat seorang laki-laki muda, lebih muda dari ku, tapi katanya sudah pernah beberapa kali naik gunung. Artinya tidak polos-polos banget. Namanya Aldi, tapi dia bukan saudara ku meskipun nama kami mirip. Dia adalah temang dari Tiara. Siapa tiara? Tiara adalah sahabat dari Gadis di sekolahnya. Singkat cerita aku, Gadis, Rahma, Tiara, dan Aldi, setelah mendapat ijin dari orang tua masing-masing langsung mempersiapkan semuanya.

Aku dan Aldi masing-masing punya satu tenda, lebih dari cukup untuk kami berlima. Kompor portable berikut dengan nesting nya kami juga punya masing-masing. Selebihnya perlengkapan masing-masing seperti carrier, jacket yang windproof dan sekaligus waterproof, sleeping bag, mereka harus punya sendiri. Untuk logistik dan obat-obatan seperti biasanya anak backpacker, kita selalu sharing cost.

Lalu gunung mana yang akan di tuju? Kita putuskan untuk mendaki gunung yang dekat-dekat terlebih dahulu saja. Ada tiga pasang gunung kembar, hahaha, eh salah, hanya satu gunung saja, lokasinya itu tidak jauh dari kampung pak Parto. Dan setelah diputuskan bersama, kita kesana akan membawa mobil, lalu titip mobil di sana, baru meneruskan perjalanan menggunakan transportasi umum yang hanya tinggal naik sekali saja menuju pintu gerbang pendakian.

Dan setelah melalui perjalanan lebih dari empat jam akhirnya kami berlima tiba di rumah pak Parto. Kami di sambut hangat baik olehnya maupun keluarga adiknya. Sebelumnya kami sudah menyampaikan maksud dan tujuan kami melalui telephone jadi mereka tidak terkejut dengan kedatangan kami. Kabar baiknya adalah pak Parto memutuskan untuk ikut menemani kami berlima mendaki gunung yang tidak jauh dari kampungnya ini.

Kami tiba di rumah pak Parto ini saat senja mulai menunjukkan kedigdayaannya. Sesuai rencana awal kami memang akan menginap satu malam terlebih dahulu di rumah pak Parto dan baru besok pagi-pagi sekali setelah subuh kita akan berangkat. Malam ini jadwalnya untuk mempersiapkan semuanya. Packing ulang semua logistik, perlengkapan tambahan yang mungkin dibutuhkan, obat-obatan, dan yang paling penting adalah persiapan mental. Karena naik gunung bukan semata-mata urusan fisik, tapi juga jiwa.

###

Bahkan ayam belum berkokok kami sudah terjaga. Tepatnya jam tiga pagi kami semua sudah bangun. Masing-masing menyiapkan keperluan masing-masing. Jam empat pagi semua sudah beres dan siap jalan. Bahkan subuh pun belum. Karena taku kesiangan maka kami putuskan untuk tepat jalan dan sholat subuh nanti di pintu gerbang pendakian saja.

Kami tiba di pintu gerbang sekitar pukul lima pagi. Suasana masih sangat gelap. Selain karena cuaca yang agak berawan, kondisi lingkungan yang masih sangat hijau dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi membuat area ini agak tertutup dari fajar yang masih malu-malu menampakkan dirinya. Pak Parto mengurus simaksi dan kami berlima bergantian sholat subuh. Setelah semuanya beres, dan tidak ada lagi yang tertinggal, kami berdiri membentuk sebuah lingkaran dengan pak Parto menjadi pemimpinnya.

“Semuanya ingat ya, kita tidak ada yang namanya gengsi-gengsian dengan alam, kalau capek, tidak kuat, bilang, tidak ada yang memaksa, tidak akan lari gunung di kejar, pendaki yang sukses itu bukan pendaki yang berhasil sampai ke puncak, tapi yang berhasil kembali ke rumah masing-masing, paham semuanya?” tanya pak Parto sambil memberikan instruksi dengan sangat tegas. Background nya yang memang membutuhkan kekuatan fisik tidak membuat ku heran kalau beliau bisa kami andalkan untuk menjadi leader kami berlima.

“Formasinya akan seperti ini ya, aku paling depan, di tengah para cewek dengan Aldi, paling belakang Adi, tugas mu memastikan tidak ada personil yang ketinggalan,” ucap pak Parto kepada ku.

“Siap…” balas ku dengan yakin, dan setelah melakukan doa bersama kami pun akhirnya memulai pendakian ini.

Udara pagi masih sangat sejuk, malah cenderung dingin. Kaki gunung ini sudah termasuk tinggi sehingga kalau pagi seperti ini udaranya masih sangat dingin. Jalur pendakian awal sebelum tiba di pos pertama, jalanan masih landai dan jalurnya pun masih rapi. Mata kami dimanjakan dengan pemandangan kebun teh yang menghampar luas di kiri dan kanan jalanan setapak yang di sana kami meninggalkan jejak sekaligus menjadi saksi bisa petualangan kami berenam.

Sesuai dengan formasi, pak Parto berada di paling depan, mungkin ada sekitar sepuluh meter di depan ku. Di belakangnya ada Gadis yang mengekor. Semangatnya masih sangat membara, untuk sekarang ini, tidak tahu nanti akan bagaimana. Di belakangnya lagi ada Tiara. Gadis manis yang beberapa waktu lalu sempat membuat pandangan mata ku teralihkan, dan sekarang juga masih begitu. Rambutnya yang berombak diikat keatas hingga menampilkan lehernya yang putih jenjang. Aku masih belum menemukan momen yang pas untuk berbicara banyak dengannya, mungkin aku harus meminta bantuan Gadis, siapa tahu rejeki, hahaha.

Di belakang Tiara ada Aldi, anak laki-laki pendiam yang katanya sangat pandai. SMP nya katanya akselerasi hingga dia bisa menyusul Tiara, Gadis, dan Rahma yang notabene satu atau dua tahun lebih tua dari dia. Ya, Aldi menjadi peserta yang paling muda di antara kami berenam. Tapi tidak dengan sikap dan kepribadiannya yang aku rasakan masih lebih dewasa dari ketiga cewek itu. Ya memang harus begitu, laki-laki harus bisa lebih dewasa dari wanita yang sepantaran.

Di belakang Aldi ada Rahma, adik ku sendiri. Well, sama seperti yang lain, semangatnya masih membara. Dan tentu saja anak ini menjadi peserta ekspedisi yang harus paling aku awasi, perhatikan, dan jaga. Aku yang paling bertanggung jawab atas dirinya. Berjalan di paling belakang adalah diri ku sendiri. Menjadi tim sapu jagad. Memastikan semua personil tidak ada yang tertinggal.

###

Setelah hanya istirahat sebentar di pos pertama, kami memutuskan untuk istirahat lebih lama di pos ke dua. Para wanita sudah mulai nampak kelelahanm terutama Gadis dan Rahma, sedangkan Tiara meskipun juga lelah namun tidak sepayah dua yang lainnya. Pak Parto menyuruh mereka bertiga yang duduk saling berdekatan itu untuk minum dan mengkonsumsi beberapa cemilan yang kaya akan kalori untuk mengembalikan stamina mereka. Aldi masih berdiri dan sepertinya juga akan mengeluarkan bekal minumnya. Aku sendiri sudah duduk bersandar pada sebuah batu. Aku akui aku sendiri juga kelelahan. Sedangkan pak Parto yang usianya sudah kepala lima itu malah masih nampak segar bugar sedang melihat-lihat keadaan sekitar. Tidak ada raut muka lelah sedikitpun keluar dari wajahnya. Luar biasa.

“Engap juga ya,” ucap Gadis membuka pembicaraan. Ini adalah pengalaman pertamanya naik gunung.

“Ayo semangat Gadis… nanti kalau udah sampai di atas pasti hilang semua capeknya, percaya deh,” balas Tiara menyemangati sahabatnya yang baru sekali ini naik gunung itu. Kalau untuk Tiara sendiri info yang aku dapat sudah beberapa kali naik gunung bareng Aldi.

“Masih jauh ya?” giliran adik ku Rahma yang bertanya.

“Enggak kok udah deket, tinggal dua tikungan lagi,” balas Aldi.

“Ke kiri, dan ke kanan,” aku melanjutkan.

“Hahaha, betul sekali.”

“Ya iyalah, masa tikungan ke bawah, itu namanya nyungsep…”

“Hahaha…”

Kami semua tertawa. Lumayan obrolan singkat ini, serta air yang segar ini bisa sedikit memulihkan kembali setamina kami. Setelah di rasa cukup kami lalu melanjutkan pendakian ini kembali. Formasi tetap sama, pak Parto berada di paling depan, sedangkan aku berada di paling belakang.

###

Sudah tidak ada lagi jalan setapak yang landai, apalagi pemandangan kebun teh milih warga. Sekarang yang ada hanyalah jalan setapak yang terjal, bahkan bisa di bilang ini bukanlah jalan karena di beberapa titik kami harus memanjatnya. Kawasan hutan sudah semakin lebat oleh pepohonan tinggi yang rimbun. Saking rimbunnya bahkan kadang sinar matahari tidak mampu menembus ke dalamnya, padahal di luar sana langit biru cerah tanpa awan sedikitpun.

Pada titik atau spot dimana kami harus memanjat akar-akar pohon ini lah yang membuat pendakian berjalan agak lamban. Kami harus bergantian membantu ke tiga wanita ini. Mereka tidak tidak kuat kalau harus naik dengan membawa beban meskipun itu hanya sebuah daypack. Mau tidak mau kami kami juga para lelaki yang membawakan. Tapi kami dengan senang hati membantu mereka, mungkin memang itulah gunanya kami ada di dunia ini.

Tiba di pos emapt sudah jam dua belas lewat dan kami memutuskan untuk istirahat yang agak lama di tempat ini sambil makan siang. Masih ada dua pos lagi sebelum tiba di puncak. Seharusnya masih ada cukup banyak waktu agar kami bisa tiba di puncak sebelum gelap.

Untuk makan siang kali ini kami akan makan bekal makanan jadi yang kami beli di dekat pintu gerbang tadi pagi. Jadi untuk siang ini kami belum masak. Paling hanya masak air untuk membuat kopi dan cokelat panas untuk menghangatkan badan. Meski saat berjalan tadi peluh keringat bercucuran membasahi tubuh, namun saat berhenti sebentar saja hawa dingin langsung terasa dan menusuk sampai ke tulang.

“Sebat dulu?” tanya pak Parto saat menghampiri ku yang duduk agak menjauh dari yang lain. Hanya kami berdua yang merokok dari semuanya. Aldi tidak merokok.

“Boleh, hawa dingin seperti ini paling enak rokok kretek,” balas ku sambil melirik pada rokok kretek yang baru saja dia keluarkan dari saku celananya. Pak Parto langsung menyulut satu batang dan memberikannya kepada ku.

“Gimana kabar ibu mu?”

“Alhamdulillah, sehat semuanya…”

“Denger-denger kamu buka kafe ya?”

“Tau dari mana?”

“Pristy.”

“Oh, kok ga nanyain kabar beliau pak? Hehehe.”

“Sesekali aku masih kontak-kontakan dengan dia.”

“Oh begitu…” balas ku singkat. Entah kenapa aku merasa ada yang tidak enak pada diri ku. cemburu? Mungkin, tapi aku berusaha untuk mengusirnya karena bermain perasaan dengan wanita seusia bu Pristy bukan lah hal yang baik. Jadi aku harus membuang jauh-jauh perasaan itu.

“Ga nyangka lho aku kamu itu suka naik gunung juga…” ucapnya.

“Sesekali doang pak, terakhir itu udah dua tahun yang lalu kayanya. Ini juga tiba-tiba aja di paksa Rahma sama Gadis, kalau ga mah boro-boro, sibuk saya ngurusin kafe.”

“Iya lah pasti, pengusaha pasti begitu.”

“Pengusaha abal-abal, hahaha.”

“Ya kan lagi merintis…”

“Iya sih…”

“Tekuni aja, nanti juga kamu bakalan memetik buahnya. Jangan kaya aku yang mentalnya cuma jadi kacung, selamanya bakal jadi kacung, mumpung masih muda kamu harus berusaha.”

“Siap.”

Dan aku memang sudah memiliki beberapa rencana untuk beberapa tahun ke depan, termasuk menunda rencana melanjutkan kuliah ku. Langkah besar harus diambil untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Namun sebelum langkah besar itu dimulai, aku harus mengawalinya terlebih dahulu dengan langkah kecil. Seperti yang sedang kami lakukan saat ini. Puncak di atas sana adalah tujuan kami, dan tanjakan yang terjal lagi berliku ini adalah rintangan yang harus kami lewati.

###

Sekitar jam tiga lewat aku dan yang lainnya tiba di puncak. Puncak bayangan sebenarnya. Kami akan membangun tenda dan bermalam di sini karena memang tidak mungkin untuk membangun tenda di puncak utama. Baru nanti dini hari sekitar jam tiga kami akan melanjutkan pendakian ke puncak untuk mengejar sunrise yang menjadi tujuan utama. Saat kami tiba sudah ada beberapa rombongan dari pendaki lain yang lebih dulu tiba. Sebagian dari mereka sudah selesai mendirikan tenda sehingga mau tidak mau kami harus menggunakan lahan yang tersisa. Bukan musim libur panjang jadi sebenarnya tidak terlalu ramai juga.

Kami membangun dua tenda, untuk para cowok dan para cewek. Alhamdulillah tidak ada hambatan, semuanya berjalan dengan lancar. Jam empat lewat kami sudah santai menikmati udara gunung sore hari yang dingin. Rahma dan Gadis duduk saling berdempetan di muka tenda wanita, sepertinya mereka mulai merasakan hawa dingin. Aldi duduk bersila di depan tenda cowok, di sampingnya ada Tiara. Mereka berdua duduk menghadap ke arah ku yang sedang meracik bahan makanan untuk aku masak.

Rencananya aku hanya akan masak yang sederhana saja, sayur bening dan, tempe dan sosis goreng. Untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat aku tidak membawa beras karena memasak nasi di ketinggian itu susahnya minta ampun dan itu pun belum tentu berhasil, maka aku menggantinya dengan bihun, sama-sama berasal dari beras.

“Kak Adi jago masak ya…” ucap Tiara.

“Biasa aja, cuma sedikit lebih bisa dari kalian aja,” balas ku.

“Hihihi, kak Adi mah merendah aja. Contoh kak Adi tuh Al, elu nama mirip doang, tapi yang satu jago masak, yang satu jago ngabisin makanan,” ledek Tiara yang membuat kami semua langsung tertawa. Dasarnya si Aldi ini pendiem atau berusaha menjadi sosok yang pasrah bila di depan Tiara, setiap ledekan dan candaan yang cewek ini lemparkan kepadanya selalu dia terima saja.

“Bukannya yang seharusnya pandai masak itu para wanita ya Al?” balas ku berusaha membela anak ini.

“Siapa aja yang masak deh, yang penting bukan gue, hahaha,” balas Gadis diikuti dengan tawa dari kami semua lagi.

“Dari pada sakit perut semua kan ya?” lanjutnya.

“Betul betul, hahaha.”

“Kalau mau kopi, boleh deh gue buatin…”

“Kakak gue ini pacarable banget lho Ti, masih jomblo kok dia,” ucap Rahma dengan pedenya.

“Lalu?” tanya Tiara balik. Lalu semuanya hening. Kami semua saling pandang. Duh nih adek bikin malu aja.

###

Rahma dan Tiara sudah masuk ke dalam tenda, mungkin sekitar satu jam yang lalu, sedangkan yang lainnya termasuk aku masih berada di luar. Mungkin mereka berdua sudah tidak tahan dengan hawa dingin malam ini, padahal baru jam delapan malam. Kami sudah makan dari jam enam tadi yang kemudian di lanjut dengan ngobrol ngalor ngidul tidak jelas. Sekarang giliran pak Parto yang ijin untuk tidur duluan, katanya capek dan ingin memulihkan tenaga, persiapan untuk besok pagi. Aldi pun juga begitu sehingga mau tidak mau Gadis pun juga masuk ke dalam tendanya, tapi sebelum masuk dia malah menarik tangan ku.

“Gue pengen pipis nih,” bisik Gadis pada ku ragu-ragu.

“Terus?”

“Temenin lah, ga berani gue…”

“Minta temenin Tiara atau Rahma saja, masa gue?”

“Minta temenin mereka mah sama saja, kalau ada apa-apa gimana?”

“Ga bakalan ada apa-apa, aman kali di sini mah…”

“Pokoknya ga mau, maunya di temanin cowok. Ga mungkin gue minta temenin pak PArto, apalagi Aldi, jadi pilihan terakhir elu…”

“Selalu gue yang kena…”

“Hehehe, udah ah cepet buru gue ngomompol, lo mau nyuciin celana gue?”

Dan seperti biasa aku yang harus selalu menuruti kemauan dan permintaan Gadis tidak bisa berbuat apa-apa.

“Kok lo mau sih nurutin semua apa kata gue?” tanya Gadis pada ku saat aku dan dia jalan balik menuju tenda. Dia sudah menyelesaikan ritual nya. Gadis jalan di depan ku dan aku memberikan pencahayaan dari belakang.

“Dari pada gue kenapa-napa.”

“Lo bisa jawab kek gitu dulu waktu lo masih kerja di restoran, kalau sekarang? Gue kan bukan siapa-siapa elu?”

“Gue juga ga tau kenapa.”

“Masa ga tau…”

“Ya masa harus di paksa tau juga kalau memang ga tau…” kalimat ku terhenti saat aku menyadari Gadis juga menghentikan langkahnya yang membuat ku juga harus menghentikan langkah ku. Aku tidak mengerti maksudnya apa berhenti berjalan, tapi karena kami sudah dekat dengan tenda jadi aku biarkan saja, menunggu saja apa yang akan dia lakukan atau ucapkan selanjutnya.

“Kenapa lo lebih berat ke gue dari pada tante?”

“Eh, itu…?”

“Kenapa lo dulu lebih belain gue ketimbang Rahma waktu kita masih musuhan?”

“Ehm…”

“Kenapa lo baik banget sama gue?” tanya nya lagi masih memunggungi ku, dan aku masih tidak tahu satupun jawaban untuk semua pertanyaannya. Namun tanpa ku sangka Gadis malah membalikkan badannya dan langsung memeluk ku dengan erat.

“Eh, elo kenapa?”

“Salah ga sih kalau gue nanya kaya gitu?”

“Kaya gitu gimana?” aku masih belum mengerti.

“Ya itu, gue pengen tau, kenapa lo baik banget sama gue? Lo itu yang udah bikin hidup gue ceria lagi. Kalau sekarang gue minta lo jangan pernah ninggalin gue, apa gue salah? Tapi gue bukan siapa-siapa elo…hiks…”

“Loh loh malah nangis…”

“Pokoknya gue mau lo janji lo ga bakal ninggalin gue…”

“Ini kenapa sih?”

“Janji dulu atau gue ga mau lepasin lo ampe besok, biarin aja pada rame di liatin orang-orang…”

“Hahaha, mungkin ini yang bikin gue baik ama lo mbak Gadis ku yang manis, yang kalau minta apa-apa harus di turutin, hahaha, iya gue janji ga bakal ninggalin elo, sekarang pelukannya udahan dulu ya, nanti kalau kelamaan gue nya bisa baper, hehehe,” canda ku.

“Gue udah baper dari dulu, jelek lu ah.”

“Maksudnya?”

“Menurut lo?”

“Mba Gadis, eh elo…?”

“Harus gue yang bilang?” tanyanya. Dan aku baru bisa menyimpulkan sesuatu. Aku tersenyum lalu balik bertanya kepadanya.

“Gue, boleh gantian peluk lo?” tanya ku dengan kaku. Gadis tidak menjawab, hanya sebuah senyum tipis yang ditahan. Air mata nya mengalir. Tapi aku yakin itu bukan air mata kesedihan.

“Adi jeleeek…” ucapnya sambil memeluk ku, namun sekarang aku membalas pelukannya. Pelukan paling hangat yang pernah aku rasakan.

“Jangan ngelirik Tiara lagi,” ucapnya lagi sambil mencubit pinggang ku. Hahaha, ternyata aku ketahuan beberapa kali melihat ke Tiara.

“Kalau elo yang minta gue ga akan pernah bisa nolak mba Gadis…” balas ku dengan semakin mendekap tubuh mungilnya erat-erat. Aku tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Perasaan yang aku pendam selama ini karena faktor setatus sosial ternyata justru berbalas manis. Ternyata dia juga merasakannya. Dan mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa aku tidak setuju kalau mama dan pak Wira balikan lagi.

[Bersambung]

Daftar Part