Kesempurnaan Part 29

0
1253

Kesempurnaan Part 29

Bolehkan Aku…?

tigabulankemudian

“Kak, kak, ada mba Ratna…” teriak Rahma sambil berlari kecil ke arah ku. Suasan kafe yang masih ada beberapa pengunjung meskipun sudah agak larut membuat Rahma menjadi perhatian beberapa orang. Besok hari minggu dan seperti biasa kafe ku buka hingga tengah malam.
“Hah? Ratna?” tanya ku sambil melihatnya yang masih setengah berlari ke arah ku. Gadis yang berdiri tidak jauh dari nya yang juga sedang melayani beberapa pengunjung ikut menoleh ke arahnya.
“Hehehe, iyah ini lagi video call…” balasnya yang sudah berada di depan ku lalu berbali badan dan mengarahkan kamera depan HP nya ke arah kami berdua. Iya benar, ada Ratna di ujung sana.
“Adi…” teriak nya dari seberang. Ah, anak itu masih sama saja seperti dulu.
“Halo…” balas ku sambil melambaikan tangan. Dia juga membalasnya dengan sebuah lambaian tangan. Meskipun agak patah-patah karena pengaruh signal tapi aku sangat senang bisa melihatnya kembali. Karena kesibukan ku akhir-akhir ini praktis membuat ku mulai jarang berhubungan dengannya.
“Sombong ya sekarang yang sudah jadi pengusaha…” ucapnya dari seberang.
“Balik sini makanya, bantu-bantu gua, lagi kurang orang nih…” balas ku.
“Iyah balik sini lagi aja mba…” ucap Raha menimpali.
“Hihihi, pengen sih… tapi kan ga bisa. Pasti seru yah bisa usaha sendiri kayak gitu…”
“Iya mba seru banget… Rahma aja yang tadinya males-malesan jadi rajin, hihihi,” balas Rahma.
“Hihihi, kangen deh sama kalian… ngomong-ngomong mba Gadis mana?”
“Hi sist…” sapa Gadis yang tiba-tiba sudah ada di belakang ku. Untung sedang tidak ada pengunjung baru, jadi kami bisa sama-sama ber video call ria bareng Ratna.
“Eh mba Gadis… apa kabar?” tanya Ratna dengan agak kaku. Mungkin masih terbawa sikap yang dulu sudah terbiasa sungkan dengan Gadis.
“Baik… lo apa kabar? Mau tahu ga lo, dulu ada yang galau hampir frustasi loh gara-gara elo tinggalin…” balas Gadis. aku maksudnya?
“Hah? Hahaha, siapa?” tanya Ratna. Gadis yang berdiri di belakang ku langsung menunjuk tepat ke arah ku. Ratna langsung tersipu dan tertawa sambil menutup mulutnya.
“Bohong itu…” aku berusaha mengelak.
“Bener deng mba, aku sama mama saksinya, hihihi,” Rahma malah ikut mengompori, bukannya belain aku kakaknya ini.
“Hihihi, iya-iya percaya kok. Ngomong kalian bertiga tega ya sama bu Pristy.”
“Tega kenapa?”
“Iya tega, membelot semua dan malah buka kafe sendiri, hehehe.”
“Kalau lo ikutan ke sini makin seru tuh, jadi ga nanggung lagi, hahaha,” balas ku dan kami semua tertawa. “Elo ga ada planing main ke Jakarta lagi?” tanya ku.
“Kalian dong yang main ke bandung…” balasnya.
“Abis itu lo gue culik ke sini ya?” ucap ku ngasal.
“Kalau tega sama nenek gue sih ga apa-apa, hehehe. Kalau lagi liburan main ke sini lah, ajak tante…”
“Iyah kapan-kapan kita main ke sana say…” balas Gadis.
“Janji yah…”
“Iya janji…”
“Adi?”
“Eh iya, nanti kita berempat main ke sana, yang penting siapin makanan yang banyak aja, hehehe.”
“Sip… ya udah kalau gitu, di lanjut aja, masih ramai kan?”
“Lumayan, hehehe, ya udah, salam ya buat papa lo…”
“Iya nanti gue sampaiin. Ya udah… daa Adi… Rahma… mba Gadis… muach… muach…” balas nya yang sudah mau menutup sambungan telephone ini.
“Daa mba Ratna…” balas Rahma.
“Eh tunggu dulu…” potong ku.
“Kenapa?” tanya nya bingung.
“Kok kecupannya cuma dua? Hehehe.”
“Buat Rahma sama mba Gadis aja, hihihi, lo mah ga usah, weee…” balasnya sambil menjulurkan lidahnya meledek ku. Senyumannya itu membuatnya makin terlihat manis. Lalu tiba-tiba sebuah tangan menoyor kepala ku dari belakang. Si Gadis pasti. Rahma yang berada di samping langsung tertawa geli, begitu juga dengan Ratna yang ada di layar HP nya. hahaha. Jadi teringat momen-momen dimana Gadis masih galak seperti dulu.
“Masih aja ganjennya ga ilang-ilang,” ucap Gadis dan lagi-lagi mereka tertawa kembali.
“Hihihi, muach… tuh udah gue kasih kecupan buat lo… hehehe, ya udah ah nanti ga selesai-selesai pengunjung kalian pada kabur lagi. Dah ya…bye…”
“Bye…”
Sambungan pun terputus. Aku langsung tersenyum, entah karena apa.
“Kelakuan kakak lu Ma, ga berubah-berubah…”
“Tau tuh, kelamaan menjomblo kayanya…”
“Temen lo di sekolah ga ada yang jomblo juga apa?”
“Dia? Sama temen gue gitu?”
“Iya…”
“Idih ogah, ga rela, sayang temen-temen gue, hahaha.”
“Hahaha…”
Dua gadis cantik ini tertawa puas menertawai ku sebelum aku suruh mereka untuk bubar. Begini lah kalau satu orang cowok berada di lingkungan yang di dominasi oleh para wanita. Yang ada akan selalu menjadi bahan bully an dan ledekan.
###
Seperti minggu-minggu sebelumnya, kalau setiap malam minggu Gadis selalu menginap di rumah ku. Semalam kami bertiga tiba di rumah sudah hampir jam satu malam. Kafe sedang ramai-ramainya jika malam minggu seperti ini. Jadi kami mengambil kesempatan ini untuk tutup lebih malam, toh minggu nya kita bisa istirahat sepuasnya.
Seperti pagi ini yang kami bertiga bangun kesiangan semuanya. Hanya mama saja yang sudah bangun dari pagi, sudah sibuk, dan sudah menyiapkan sarapan untuk kami berempat. Sebenarnya mama juga sudah meminta kami bertiga untuk tidak terlalu memforsir pekerjaan, terutama Rahma dan Gadis yang masih sekolah, aku pun juga sudah mengingatkan itu kepada mereka. Tapi mereka selalu mengatakan kalau mereka juga tidak akan memaksakan diri jika fisik mereka tidak mampu. Intinya mereka sudah tau batasnya dan tidak akan melampaui batas itu.
“Kak, kamu ingat kak Febri?”
“Febri? Febri siapa?” tanya balik ku pada mama. Kami berempat sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama.
“Itu…anaknya mang Jupri yang tinggal di Bogor…”
“Sepupu jauh mama itu ya?”
“Iye…”
“Kenapa emangnya ma?”
“Istrinya lahiran, nah keluarga yang ada di Jakarta mau nengokin…”
“Terus?”
“Mama males kalau sendiri…”
“lah kan ada barengannya, kok sendiri?”
“Ya keluarga inti kita cuma sendiri…”
“Terus maksudnya kakak yang ikut nemenin mama gitu? Ga mau ah…”
“Ye… siapa juga yang mau ajak kamu kak, pedean banget sih!” balas mama dengan sangat enteng. Rahma dan Gadis sendiri malah hampir tersedak mendengar ucapan mama.
“Mama itu mau ngajak Rahma aja, lagian kalau kamu ikut nanti Gadis sama siapa? Tapi kalau kalian bertiga ikut keramean…”
“Ya kalau gitu bilangnya ke Rahma doong… jangan ke kakak…” balas ku membela diri.
“Hihihi, iya sih seharusnya gitu, maaf-maaf…” ucap mama sambil tersenyum lalu menatap ke arah Rahma.
“Hahaha, Rahma sih mau-mau aja, tapi Rahma khawatir…”
“Khawatir kenapa sayang?”
“Khawatir Gadis di modusin sama kakak kalau cuma berduaan ja, hahaha,” balasnya.
“Emang kakak mu suka godain Gadis? bener itu Dis?”
“Enggak pernah kok…” balas ku cepat.
“Kadang-kadang sih mah, sebenernya Gadis agak-agak parno sama Adi tapi ya udah lah, kalau Gadis di apa-apain tinggal minta tanggung jawab aja, hehehe,” jawab Gadis enteng. Kompor meleduk sialan batin ku.
“Hahaha, kalau ada apa-apa langsung telphone mamah ya sayang, nanti biar mamah sendiri yang jewer Adi nya kalau nakal, hihihi.”
Lagi, lagi, dan lagi aku menjadi bahan bully an dan ledekan mereka. Hahaha. Gemes sih tapi aku senang. Senang karena bisa melihat mereka yang terus tertawa dengan bahagia.
###
Malam nya aku mengantar Gadis dari kafe ke rumahnya. Sudah menjadi rutinitasnya seperti itu karena besok senin Gadis harus sekolah. Sedangkan mama dah Rahma sendiri aku baru saja tiba di rumah tidak lama setelah aku tutup kafe.
“Mampir dulu yah… udah lama kan lo ga main ke rumah ini…”
“Iya sih… tapi…” balas ku agak ragu karena teringat di dalam rumah ini ada bu Pristy.
“Kenapa? Ga takut pulang sendiri kan? Mama udah sampai rumah kan? Jadi ga apa-apa dong…” ucapnya lagi sambil menarik tangan ku masuk ke dalam rumahnya. Tapi baru sampai di teras tiba-tiba gerbang rumah terbuka kembali dan sebuah sedan mewah masuk. Lalu seorang wanita turun dari sana. Bu Pristy. Aku menatap ke arahnya begitu juga dengan beliau yang begitu turun melihat ke arah ku dan Gadis.
“Baru pulang ya sayang?” tanya bu Pristy pada Gadis lalu mencium kening keponakannya yang tingginya sama dengannya itu.
“Iyah ini dianter sama Adi…”
“Apa kabar Di? Udah lama ya kayanya ga ketemu? Mama mu apa kabar?”
“Baik bu, alhamdulillah, mama juga baik…”
“Ayo masuk dulu…” ajak bu Pristy kepada ku, mau tidak mau aku pun masuk juga. Tatapannya kepada ku sedikit aneh tapi bukan sesuatu yang buruk. Malam ini aku bertekad untuk meminta maaf kepada nya setelah kejadian waktu itu. Meskipun keluarga mereka memiliki sejarah yang panjang dengan keluarga ku, tapi aku di didik untuk selalu berbesar hati dan mau memaafkan kesalahan orang lain.
“Kapan-kapan ajarin aku lah buat ngeracik kopi, restoran ku kayanya juga harus bikin inovasi. Kalau cuma gini-gini terus lama-lama bisa kalah saing sama kafe-kafe kayak punya mu,” ucap bu Pristy saat kami tiba di ruang tamu.
“Hehehe, kalau kopi mah justru Gadis yang lebih jago bu, saya mah bisa nya di dapur.”
“Oh ya? Kok kamu diem aja sih Dis? Kamu ga pengen restoran keluarga kita maju ya? Terus lebih milih usaha kamu sendiri ya?”
“Ihh apaan sih tante, Adi di percaya…”
“Hehehe, becanda sayang… ngomong-ngomong mau minum apa? Kalau kopi mungkin udah bosen ya?”
“Ada dua hal yang tidak akan pernah membosankan di dunia ini bu, pertama sahabat, ke dua kopi, hehehe.”
“Hahaha, oke deh, aku minta bi sur buatin kopi dulu. Kamu tunggu dulu yah… Gadis mau nemenin Adi dulu atau mau bersih-bersih dulu?”
“Aku mau bersih-bersih dulu aja…”
“Ya udah, tinggal sendiri dulu ga apa-apa kan Di? Anggep aja rumah sendiri…”
“Iya bu, siap…”
Dua wanita beda generasi yang masing-masing masih nampak sangat cantik itu lalu meninggalkan ku. Sekarang tinggal aku sendiri di ruangan yang besar ini. Tiba-tiba aku teringat kenangan-kenangan indah yang pernah aku lalui berdua dengan bu Pristy dulu. Tanpa sadar aku tersenyum sendiri mengingatnya.
###
“Loh, Gadis mana?” tanya bu Pristy yang nampak bingung saat balik lagi ke ruang keluarga ini. Beliau sudah berganti baju dengan pakaian yang lebih santai, tidak seperti tadi yang masih menggunakan pakaian kerja. Dari harum tubuhnya juga aku bisa menebak kalau beliau juga sudah mandi.
“Ga tau saya, belum balik lagi dari tadi.”
“Lah gimana? Tadi dia yang minta kamu mampir dulu kan?”
“Iya…”
“Hmm… ya udah aku lihat ke kamarnya dulu yah…”
Bu Pristy lalu meinggalkan ku lagi. Dan tidak sampai lima menit dia sudah kembali lagi, sendirian tanpa Gadis. Kemana itu anak pikirku.
“Anaknya mana?” tanya ku dengan penasaran.
“Udah tidur masa, belum mandi lagi, kecapean kayanya tuh anak.”
“Walah… kasian…”
“Iya…”
“Suruh berhenti aja bu, kan bentar lagi kenaikan kelas, saya juga ada kepikiran mau minta Rahma berhenti dan nyari orang saja buat bantu-bantu.”
“Mana mau Gadis di suruh-suruh sama aku…”
“Terus gimana?”
“Biarin aja lah, setahu ku nilai-nilainya masih di atas rata-rata kok. Anyway, kamu sendiri gimana? Gadis nya sudah tidur, mau langsung pulang?”
“Enggak, mau ngabisin kopi dulu sama sebat duabat dulu mungkin…”
“Kirain mau langsung pulang…”
“Sebenernya saya juga ada sesuatu yang mau saya sampaikan ke ibu, kebetulan Gadis nya sudah tidur jadi lebih enak bicaranya,” balas ku teringat dengan kejadian beberapa bulan yang lalu saat aku membuatnya menangis. Hingga saat ini aku memang belum jadi membicarakan hal itu lagi dengan bu Pristy karena kesibukan ku.
“Ngomongin apa?” tanya bu Pristy dengan pandangan menyelidik.
“Temenin saya ngerokok di halaman belakang ya, ngobrol sambil liatin langit malam lebih enak kayanya.”
“Ngapain di belakang segala? Di sini aja…”
“Saya mau sambil ngerokok, saya ga biasa ngerokok di dalam rumah,” balas ku sambil beranjak dan berjalan menuju area belakang rumahnya yang di sana terdapat halaman dan taman kecilnya. Sekilas aku melihat bu Pristy yang nampak kebingungan. Mungkin beliau heran dengan peruabahan sikap ku yang mendadak baik kepadanya. Karena praktis selama beberapa bulan ini aku hanya beberapa kali bertemu dengannya, itu pun tanpa kontak sama sekali saat beliau beberapa kali menjemput Gadis pulang dari kafe.
Aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari besi berwarna putih, tempat dulu aku dengannya pernah berbuat mesum. Hahaha. Aku kembali tersenyum mengingat masa-masa itu. Masa-masa dimana Gadis masih menjadi anak bandel, membangkang, kabur ke rumah ku, dan masa-masa dimana aku dengan bu Pristy seperti seorang pasangan kekasih.
Aku melihat bu Pristy yang berjalan mengikuti ku. Langkahnya masih nampak ragu padahal dia berada di rumahnya sendiri. Maafin sikap saya selama ini yang terlalu kekanak-kanakan ya bu. Aku tersenyum kepada nya saat dia sudah berada di dekat ku dan ikut duduk di kursi besi panjang ini. Aku duduk di ujung sisi kiri dengan sedikit menyandar, sedangkan bu Pristy berada di ujung sisi satunya dengan posisi duduk yang sedikit membungkuk. Kaki nya tertutup rapat menambah kesan anggun pada diri nya.
“Pak Parto apa kabar ya bu?”
“Kenapa kamu nanya ke aku?”
“Hehehe, kirain ibu masih kontak-kontakan…”
“Udah enggak, aku pikir malah kamu yang masih berhubungan sama dia, kan sama-sama cowok…”
“Kalau sama-sama cowok kenapa gitu?”
“Kan kalau ngobrol bisa lebih nyambung.”
“Justru kalau cowok sama cewek lebih nyambung, kalau sama-sama cowok mah apa serunya, hahaha.”
“Itu mah kamu…”
Aku lalu menyulut rokok ku. Sinar bulan nampak begitu terang di atas sana. Suara gemericik air dari air mancur buatan yang ada di sisi taman membuat suasana malam ini begitu menentramkan jiwa.
“Bu…”
“Di…”
“Ibu sasa dulu,” ucap ku saat mendengar dia memanggil nama ku berbarengan dengan aku yang memanggil namanya.
“Kamu saja dulu…”
“Ehm… baiklah, sebenernya tadi itu… saya mau minta maaf sama ibu…”
“Maaf untuk apa?”
“Sikap kekanak-kanakkan dan ego saya selama beberapa bulan ini.”
“Oh, akhirnya kamu bisa mengerti juga.”
“Iya saya sekarang sudah mengerti semua. Tapi ibu mau maafin saya kan?”
“Hihihi, iya aku maafi asal kamu ga pakai kata saya lagi.”
“Saya?”
“Iya, maksudnya aku kamu saja, jangan pakai saya, toh aku bukan bos mu lagi.”
“Oh, hehehe, iya bu makasih. Aku berharap hubungan kita, maksud ku… keluarga kita…”
“Hehehe, iya aku paham kok apa maksud mu, intinya tidak ada lagi permusuhan, tidak ada lagi dendam, semuanya sudah ikhlas lahir batin kalau yang ada di masa lalu ya itu masa lalu yang harus di lupakan, iya kan?”
“Iya bu, aku juga berharap begitu, demi Gadis juga.”
“Gadis?”
“Iya, dia kaya nemuin lagi sosok mama pada diri mama.”
“Oh, iya kamu benar. Tapi ada hikmah lain yang bisa kamu petik selain itu.”
“Apa itu?”
“Kamu sekarang punya usaha sendiri, itu arti nya kamu sudah jadi bos, jadi sebenernya kita itu levelnya sama, hehehe.”
“Tetep bedalah, masa kafe kaki lima di samain dengan restoran bintang lima, hehehe.”
“Itu kan hanya masalah branding saja. Tapi apapun itu aku seneng kamu bisa bersikap seperti ini lagi. Terima kasih.”
“Sekarang giliran ibu…”
“Giliran apaan?”
“Bukannya tadi manggil aku, ada apa?”
“Oh iya, saking senengnya aku jadi lupa mau nerusin…”
“Hahaha, faktor U tuh…”
“Enak aja…” protes bu Pristy sambil berusaha memukul lengan kiri ku namun aku sudah lebih dulu mengelak. Pukulannya pun meleset.
“Jadi tadi mau ngomong apa?”
“Sebenernya aku tadi juga mau ngebahas masalah itu, eh udah kamu duluan.”
“Oh, kirain ada hal lain yang mau di bicarain.”
“Ga ada kok…”
Aku dan bu Pristy lalu sama-sama diam. Gemericik air dari air mancur buatan itu masih terdengar. Alunan nadanya mengalir lembut meggetarkan gendang telinga dan memberikan ketengan batiniah bagi siapapun yang mendengarnya.
“Di…”
“Bu…”
“Hahaha, barengan lagi, mau ngomong apa kamu sekarang?” tanya nya.
“Hahaha, iya barengan mulu. Itu bu, anu…”
“Anu apaan? Yang jelas dong kalau ngomong…”
“Anu, maaf, apa boleh aku meluk ibu lagi? Maaf kalau lancang, aku hanya…”
“Hihihi, ga usah takut gitu kali, kirain mau minta apa…”
“Takut lancang, soalnya kan…”
“Ga boleh meluk lagi kalau ga tulus meluk nya,” ucap bu Pristy memotong kalimat ku.
“Berarti kalau tulus, boleh?”
“Harus di jawab?” tanya nya retoris.
Aku pun sedikit menggeser duduk ku mendekatinya. Bu Pristy menurunkan tangannya ke kursi setelah sebelumnya ia pangku. Segera saja aku meraih jemari lentik itu dan meremasnya dengan lembut. Jemari halus itu dengan pasrah mengikuti tarikan tangan ku. Aku menarik tangannya yang kemudian diikuti dengan badannya yang ikut bergerak mendekat ke arah ku. Ku arah kan tangan kanan bu Pristy ke pinggang kiri ku, sedangkan kedua tangan ku merangkul ke dua bahunya dan lanjut ke punggung atasnya. Ku dekap tubuh mungil namun sintal miliknya itu. Entah perasaan ku saja tapi sepertinya dia agak kurusan.
“Kamu kurusan ya?” tanya ku masih memeluk tubuhnya. Bu Pristy juga membalas pelukan ku dengan tangan kirinya yang sekarang sudah mendarat di pinggang kanan ku.
“Kamu tahu aja.”
“Aku masih ingat kok dengan pelukan terakhir kita dulu, hehehe.”
“Masa?”
“Iya, rasanya beda.”
“Beda di mana nya?”
“Yang dulu lebih empuk, hehehe,” canda ku sambil mendekap punggungnya lebih erat sehingga membuat dadanya semakin menempel pada dada ku.
“Nakal!” protesnya sambil mencubit pelan pinggang ku tapi tidak berusaha melepaskan pelukan ku. “Jadi maksud kamu sekarang aku udah ga empuk lagi gitu?” tanya nya dengan gantian membalas perlakuan ku tadi yang otomatis kini dada kami saling menempel dengan sangat eratnya.
“Ehm… kalau yang ini sih masih sama empuknya kok, hehehe, tapi kalau bagian tubuh mu yang lain sekarang lebih berasa tulangnya, emang turun berapa kilo?”
“Hihihi, kamu itu nakalnya nya ga ilang-ilang ya,” balasnya sambil tertawa geli. “Turun lima kiloan ada kali,” lanjutnya.
“Walah, kok bisa?”
“Soalnya aku makan siangnya ga bisa sambil liatin kamu, hihihi.”
“Berarti aku harus tanggung jawab nih buat nggemukin kamu lagi, hehehe,” balas ku ngasal sambil mengusap punggungnya. Bu Pristy mengangguk pelan di bahu kiri ku.
“Terus kamu tadi mau ngomong apa?”
“Hehehe, kamu pasti ga percaya, aku tadi sebenernya juga mau bilang kalau boleh ga aku di peluk kaya dulu lagi.”
“Dua kali kebetulan yang tidak terduga…”
“Iyaah…”
Lalu entah keberanian dari mana, karena memang aku dengan bu Pristy seperti baru saling mengenal kembali, aku mencium keningnya dengan lembut. Bu Pristy diam saja. Hanya seutas senyum yang mmengembang dari bibir tipisnya. Dan seperti ada magnet yang saling berlawanan arah, bibir ku dan bibirnya justru saling tarik hingga tidak ada jarak lagi antara dua bagian tubuh dua manusia yang sensitif ini hingga bersatu dan saling lumat dengan panasnya.
Ku pegang bagian belakanh kepala bu Pristy dan menekannya ke arah ku untuk semakin menguatkan ciuman ku. Aku seolah ingin menunjukkan seberapa besar keinginan ku terhadapnya. Seberapa kuat tubuh ini menginginkan tubuhnya kembali. Dan seberapa hebat jiwa kami yang saling ingin menyatu menghancurkan tembok pemisah yang menjadi penghalang di antara kami berdua.
Sikap ku di respon dengan hangat oleh bu Pristy. Kedua tangannya bergerak ke punggung ku dan meraba ke segala arah dengan liarnya. Begitu juga dengan juluran lidahnya yang terasa empuk dan hangat namun basah. Desahan dan erangan ringan pun mulai terdengar dari mulutnya.
Bu Pristy memegang tangan ku lalu mengarahkannya ke pengait BH yang ada di punggungnya. Aku pun mengerti dan melakukan apa yang dia minta. Dengan sekali tarikan tali yang melingkar pada punggungnya itu terlepas. Bu Pristy lalu melepas BH yang tadi bertugas menyangga dua daging kenyal yang ada di dadanya itu tanpa melepas baju tidur yang dia kenakan. Seolah tanpa rasa takut ada yang melihat, bu Pristy lalu membuka beberapa kancing baju tidur yang berbahan lembut itu. Lalu dengan sangat berani tanpa rasa takut ada yang melihat, bu Pristy mengeluarkan gunung kembar miliknya itu. Dengan pandangan sayu bu Pristy menarik kepala ku dan mengarahkannya ke dadanya.
“Aahhrrhhsshh… eegghhsshh…” rintih bu Pristy begitu bibir ku mendarat pada salah satu puting payudaranya. Ku jilati puting payudara yang tidak terlalu besar itu. Bentuknya yang imut justru semakin membuat ku gemas untuk menghisap dan menjilatinya. Bahkan kadang dengan nakal aku menggigitnya palan hingga membuat bu Pristy semakin merintih sakit bercampur nikmat.
Agar tidak kalah dengan aksi ku, gantian tangan bu Pristy yang aku tarik dan aku arahkan ke selangkangan ku. Mengerti dengan apa yang aku mau, beliau langsung melepaskan ikat pinggang yang aku kenakan, kaitan celana jeans ku, lalu menariknya kebawah. Sekarang tinggal menyisakan celana dalam ku saja yang langsung di usap nya dengan lembut. Rangsangan yang di berikannya membuat ku melayang-layang apalagi kadang dia meremasnya dengan kuat, lalu pelan sambil mengocoknya dari luar.
“Aku kangen sama ini,” ucap nya pelan sambil meremas kemaluan ku yang masih tertutup celana dalam itu. “Tapi…” lanjutnya namun terputus. Aku sudah tidak lagi menghisap puting payudaranya, hanya membelainya dengan lembut sambil sesekali meremasnya. Kami saling pandang sambil mengatur nafas kembali agar lebih teratur.
“Tapi apa? Kalau kamu tidak mau melakukannya lagi aku tidak akan memaksa,” balas ku mencoba realistis. Sikap yang aku berikan kepadanya beberapa bulan terakhiri ini membuat membuat ku merasa aku dan bu Pristy seperti dua pribadi yang baru saling kenal, dan apa yang barusan aku perbuat ini memang terlalu cepat.
“Bukan, bukan itu, aku takut Gadis kebangun, dan sudah malam juga,” balasnya sambil tersipu. Wajahnya memerah.
“Kalau begitu sebentar aja, aku… juga menginginkan mu,” ucap ku sambil meremas buah dada indahnya lalu merambat ke perut dan ke pinggangnya dan berakhir dengan menyusup ke pantatnya. Ku remas dengan kuat dua bongkahan daging kenyal itu. Bu Pristy mendesah lagi.
“Ya udah, cepet aja yaah…” balasnya pelan dengan setengah mendesah. Dia lalu melihat sekeliling. Memastikan tidak ada orang walaupun sudah pasti tidak ada orang di area taman ini selain kami berdua.
Dengan agak ragu bu Pristy lalu menurunkan celananya beserta celana dalamnya hingga terlepas. Kini beliau hanya mengenakan atasan tanpa BH itu pun sebagian kancingnya sudah terlepas. Dia lalu menyuruh ku untuk menurunkan celana ku beserta celana dalam ku, aku mengikuti perintahnya namun tidak sampai terlepas, hanya menyangkut sampai pergelangan mata kaki saja.
Sambil memegang ke dua bahu ku, bu Pristy meregangkan kedua kaki nya. Dia lalu melangkahi paha ku yang aku katupkan dengan kaki kirinya. Sekarang bu Pristy berdiri dengan mengangkangi kaki ku.
“Tapi belum basah…” ucap ku yang mengerti kalau bu Pristy langsung ingin melakukan penetrasi.
“Jilati leher ku sambil kamu gesek-gesek pelan aja pake unjungnya,” perintahnya yang langsung aku turuti.
“Aahhsshh…” desah bu Pristy pelan. Rangsangan yang aku berikan membuatnya mendongakkan kepala menahan hasrat dan birahi yang sudah lama tidak tersalurkan.
“Iyaahsshh… geseksshh terrsuusshh… remas pantat kuuhh… uuhhhsshhshh…” bu Pristy mulai meracau. Permintaannya pada ku untuk semakin melecehkannya itu semakin membuat libido ku semakin memuncak. Aku lalu membuka dua kancing baju yang masih tersisa itu. Bu Pristy protes dengan kelakuan ku namun karena aku sedikit memaksa maka dia akhirnya menuruti kemauan ku. Setelah dua kancing baju itu terlepas aku lalu membuka bajunya hingga akhir nya tidak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh indahnya. Aku tersenyum penuh kemenangan. Bu Pristy hanya geleng-geleng kepala dengan kenakalan ku. Tapi kemudian dia juga ikut tersenyum, malah dengan sangat binal dia memberikan ku sebuah tantangan.
“Masukan sekarang aahhsshh, tusuk memek kuhhsshh dengan kontol besar muhhsshh, kasari akuhhshh, buat akuhh berteriak kencang sshh seperti dulu lagiihh aahhsshh,” ucapnya sambil mengerlingkan mata dengan manja.
Aku pun mengikuti tantangannya. Aku sudah tidak perduli kalau di dalam rumah sana ada Gadis yang meskipun sedang tidur tapi bisa bangun sewaktu-waktu. Yang aku inginkan sekarang hanyalah aku harus sesegera mungkin menghujamkan penis ku dalam-dalam ke dalam liang senggamanya, masuk ke dalam liang surgawinya.

[Bersambung]

Daftar Part