Kesempurnaan Part 26

Kesempurnaan Part 26
Semua Orang Berhak Galau
“Mama perhatiin akhir-akhir ini kamu jadi lebih pendiem kak, karena Ratna?”
“Ga perlu ditanya lagi kali mah…ya kan kak…?” ledek adik ku yang cantik ini dengan bahagianya. Iya dia bahagia karena melihat ku sering menggalau akhir-akhir ini.
“Berisik ah pada…!” omel ku pada mereka berdua.
“Hahaha…cowok kok galau!” ledek mama sambil tertawa lalu pergi ke dapur, mama yanbg aneh, entah apa yang akan dia lakukan di sana. Aku dan Rahma masih di depan tv menyaksikan acara yang aku tidak tahu juga isi nya tentang apa.
Seminggu sudah berlalu semenjak kepergian Ratna ke bandung. Dan makin ke sini aku merasa makin ada sesuatu yang hilang. Soulmate? Sahabat? Ya seperti itu. Teman curhat. Teman ngobrol. Teman iseng. Teman jalan.
Kehidupan di restoran kembali berjalan dengan normal, tanpa Ratna tentunya, dan tanpa mba Gadis juga. Mba Gadis sudah tidak bekerja di restoran lagi, dan juga sudah tidak tinggal di rumah ini lagi, tentu saja, papa nya sudah kembali. Tidak ada alasan untuknya tidak balik ke rumahnya. Menjalani kehidupan normalnya sebelum kenal dengan keluarga ku, kehidupannya yang serba mewah. Dan keluarga ku kangen dengannya, terutama mama. Bahkan Rahma pun juga mengakui kalau dia juga kangen dengan keberadaan mba Gadis, padahal awalnya musuh besar.
Tentang keluarga itu, aku sekarang sudah tahu semua. Mama yang bercerita. Ternyata memang benar bahwa mama dan pak Wira dulu memiliki hubungan yang khusus. Mereka saling suka, saling mencintai. Sepasang kekasih. Sayang keluarga tidak merestui. Alasan klasik.
“Woi kak, bengong?” Rahma mengagetkan ku.
“Eh…”
“Kak, itu di depan ada tamu kayanya, liat gih sana…” perintah adik ku itu.
“Kamu aja deh…”
“Ah kakak aja…kalau ada orang asing lagi terus…”
“Oke, stop jangan di lanjutin, amit-amit, cukup sekali aja,” balas ku dengan langsung beranjak dari duduk ku dan berjalan menuju pintu depan. Siapa ya?
“Eh, mba Gadis?” ucap ku pelan sambil bertanya-tanya karena ternyata yang bertamu adalah mba Gadis.
“Halo…” sapanya dengan riang. Lalu aku kemudian sadar ternyata mba Gadis datang tidak sendirian. Ada bu Pristy juga. Dan pak Wira juga. Walah ada apaan ini? Selama seminggu ini baik aku dengan pak Wira tidak ada pembicaraan khusus. Dengan bu Pristy pun juga sebatas di restoran saja. Aku memang tidak terlalu tertarik untuk mengorek informasi lebih dalam karena aku sudah mendapatkannya dari mama.
“Bu Pristy…pak Wira…” sapa ku ke mereka sembari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
“Mama mu ada di rumah kan?” tanya pak Wira tanpa basa basi langsung menanyakan mama. Hmmm…
“Ada pak…ada perlu sama mama ya?”
“Ehmm…perlu ga perlu sih, cuma pengen main aja kok, nemenin Gadis juga katanya dia kangen sama rumah ini.”
“Hehehe, iya gue kangen sama masakan mama, hihihi,” ucap mba Gadis mengiyakan.
“Oh kirain ada yang penting gitu, eh silahkan masuk pak bu, mba Gadis, sampe lupa nyuruh masuk, hehehe,” balas ku dengan garingnya.
“Hehehe, santai aja…gaji mu ga akan di potong sama Pristy kok, hahaha,” canda pak Wira.
“Apaan sih kak? Ga lucu,” balas bu Pristy sambil menepuk lengan kakaknya.
Kami berempat lalu masuk ke dalam rumah. Aku persilahkan mereka untuk duduk di ruang tamu. Namun hanya pak Wira dan bu Pristy yang duduk, itu pun dengan sungkan. Berbeda dengan mba Gadis yang langsung nyelonong masuk ke ruang keluarga. Pengalamannya yang sudah beberapa bulan tinggal di rumah ini membuatnya tidak sungkan lagi untuk menyusuri setiap jengkal sisi rumah ini. Pak Wira dan bu Pristy menatap ku dengan pandangan yang seolah-olah mengatakan mohon dimaklumi kelakuan anak dan keponakannya itu.
Dari ruang tamu ini aku mendengar kehebohan di dalam. Rahma dan mba Gadis yang saling histeris karena bisa bertemu kembali setelah pengalaman tidak mengenakan yang pernah mereka berdua alami. Tapi yang penting di balik peristiwa itu adalah ada hikmah yang bisa di petik. Pengalaman itu justru menjadi sepert penawar perselisihan mereka berdua dulu. Terdengar juga bagai mana nyaringnya suara cipika cipiki di antara mereka berdua. Lalu kemudian aku mba Gadis dengan mama.
“Eh, ada mba Gadis, udah lama?” terdengar suara mama.
“Baru aja mah,” balas mba Gadis dengan lembut.
“Sama siapa? Sendiri? Kirain mama mah udah ga mau main ke sini lagi…”
“Iihhh mama…mana mungkin Gadis ga mau main ke sini lagi. Gadis bertiga kok mah, ama papa dan tante Pristy…”
Tidak ada lanjutan dari obrolan itu. Hening. Awalnya aku ingin masuk ke dalam untuk memanggil mereka bertiga agar kalau mau ngobrol di luar aja. Tapi baru mau bangun ternyata mereka sudah keluar duluan.
“Si Gadis sama kalian toh rupanya…” ucap mama ketika masuk ke ruang tamu. Pak Wira dan bu Pristy langsung bangkit dan menyambut kedatangan mama.
“Kebetulan aja tadi lewat deket sini, Gadis katanya kangen, mampir deh…” balas pak Wira.
“Oh, emang dari mana?” tanya mama sambil duduk. Dan semuanya ikut duduk. Mama seolah menjadi orang yang paling dihormati sekarang ini.
“Reunian SMA.”
“Di?”
“Cilandak.”
“Hahaha, dari Cilandak ke sini, lalu ke rumah mu itu muter kali, balas mama ketus.
“Abis ini kita mau ke restoran…”
“Oh…”
“Kalian ikut kita saja ke restoran, kita…makan bersama…itung-itung syukuran Gadis sama Rahma bisa kembali dengan selamat.”
“Ngajakin syukuran kok kebetulan…” balas mama makin ketus. Waduh.
“Sebenernya kita tadi memang sengaja datang ke sini kok mba…” ucap bu Pristy sambil menyenggol lengan kakaknya itu. Hahaha. Ini ada apa sebenarnya?
“Kok bisa beda? Kalian datangnya barengan kan?”
“Iya bareng…tapi…” balas bu Pristy pasrah karena tidak satu suara dengan kakaknya.
“Ikut aja yuk ma, dari pada bosen di rumah, mending ikut sekalian nyari udara segar…” ucap Rahma dengan penuh semangat. Anak ini memang tidak pernah betah tinggal di rumah. Kalau di suruh main atau jalan semangat nya langsung empat lima.
“Iya mah ikut aja, kita jalan berenam, hihihi,” mba Gadis ikut menimpali.
Mama sekilas menatap ke arah ku, aku tidak bisa dengan pasti menangkap maksud dari tatapannya. Namun yang pasti tidak ada ekspresi ketertarikan dari nya. Biasa saja. B aja kalau kata anak gaul kekinian.
“Aku udah makan siang, masih kenyang juga, lagi pula aku ga makan malam, jadi ya percuma.”
“Sejak kapan mama ga makan malem? Perasaan kemarin makan-makan aja…” balas Rahma dengan penuh heran. Atau polos? Atau ga peka?
“Sejak hari ini, kenapa? Kamu mau ikut? Kakak juga mau ikut? Ya udah ikut aja, mama di rumah sendiri juga ga apa-apa kok,” ucap mama. Kalimat paling ketus yang pernah aku dengar langsung dari mulut mama kepada kami berdua.
“Aku…” ucap ku sambil berfikir. “Kayanya juga ga ikut, besok shift pagi jadi mau istirahat cepet aja, hehehe,” lanjut ku dengan alasan yang semasuk akal mungkin.
“Yaahh…pad aga seru ah…”
“Hehehe, kalau ga bisa juga ga apa-apa kok…” ucap bu Pristy. “Rahma pulang sekolah kalau mau main juga bisa, ajak lah Dis kapan-kapan…” lanjutnya.
“Mau ga lu?” tanya mba Gadis.
“Ya mau-mau aja kalau di ajak, hehehe.”
“Sip lah, nanti lu mandorin kakak lo kerja ya.”
“Hahaha, dengan senang hati,” balas Rahma dengan dibarengi tawa dari mereka semua, kecuali mama yang diam saja. Pak Wira hanya tersenyum kaku lalu ikutan diam.
Ah entahlah aku bingung dengan permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua. Terlalu personal kalau aku menanyakannya terlalu dalam karena itu sudah menjadi masa lalu, terlepas apakah mama atau pak Wira yang pernah berbuat salah, atau sama-sama salah. Atau bagaimana, aku tidak tahu. Itu adalah masa lalu mereka berdua. Jika mama tidak suka dengan keberadaan pak Wira maupun bu Pristy, selama mereka berdua tidak mengusik terlalu dalam aku masih bisa menerimanya. Tapi kalau sampai membuat mama tidak nyaman, jangan harap aku akan diam saja.
###
Seteleh melewati momen yang sangat awkward kemarin sore, sore ini bu Pristy memanggil ku ke ruangannya. Sudah pasti dia akan membicarakan masalah ini. Mudah-mudahan dia mau cerita lebih detail permasalahan yang ada di antara pak Wira dan mama. Dari sudut pandang bu Pristy, seharusnya beliau tahu banyak. Sebagai sesama wanita, aku yakin dulu nya bu Pristy cukup dekat dengan mama hingga bisa memiliki hubungan spesial dengan pak Wira. Atau bisa jadi sebaliknya, karena mama memiliki hubungan spesial dengan pak Wira, selanjutnya mama dekat dengan adik perempuannya. Jadi aku santai saja ketika harus menghadap beliau. Tapi yang pasti tidak akan ada lagi affair di antara kami berdua. Semuanya sudah berhenti.
Saat aku masuk ke ruangan beliau aku kaget karena posisinya yang sedang berdiri sedikit membungkuk membelakangi ku. Dia sedang berdiri menghadap ke sebuah lemari yang pintunya terbuka satu, mungkin sedang mencari dokumen atau apalah aku tidak tahu. Seperti biasa rok span yang cukup ketat membalut tubuh seksinya dari pinggang hingga sedikit di bawah lutut. Kali ini berwarna merah cerah, dan menyala. Begitu juga dengan heels nya yang cukup tinggi itu, menambah kesan jenjang pada kakinya. Blouse putih yang juga ketat membalut tubuh bagian atasnya. Saking ketat nya aku bisa melihat cetakan garis tali BH yang melekat pada punggung dan pundaknya.
“Per-permisi bu…” sapa ku, bu Pristy langsung menoleh.
“Eh, oh kamu…”
“Lagi sibuk sepertinya?”
“Ah enggak, ini lagi nyari berkas aja.”
“Perlu bantuan bu?”
“Enggak-enggak, duduk aja dulu aku bentar lagi selesai kok,” ucapnya yang kemudian dari berdiri lalu jongkok. Namun dengan heels nya yang lumayan tinggi itu membuat posisi duduknya agak kesusahan. Apalagi dengan rok span nya yang melilit ketat pada pinggul dan pahanya membuat bagian tubuhnya yang menurut ku paling indah itu dapat aku nikmati dengan sangat jelas.
“Kapan-kapan sepertinya kita butuh jalan-jalan berdua lagi, hihihi,” ucap beliau yang sudah menemukan apa yang dia cari lalu berjalan ke arah ku.
“Maksud ibu?”
“Ya kita, mungkin perlu dines bareng kaya dulu itu, hehehe.”
“Maaf bu saya ga bisa kalau seperti itu lagi…”
“Karena aku teman ibu mu?”
“Iya.”
“Memangnya kenapa?” tanya nya dengan cuek. Bu Pristy lalu duduk di sebelah ku. Dipandanginya berkas yang ada di tangannya itu. Dari atas ke bawah. Dibolak-balik. Entah apa yang sedang dia cari.
“Hahaha, ga usah serius gitu lagi, aku bercanda kok,” ucapnya lagi.
“Hehehe, maaf bu, setelah semua yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, ibu, mba Gadis, dan pak Wira juga, sudah saya anggap seperti keluarga saya sendiri, jadi maaf saya ga bisa kalau harus begitu lagi.”
“Aku malah berharap kita bisa jadi keluarga beneran, hihihi…”
“Mkasud ibu?”
“Kakak ku, dan mama mu, hehehe,” balasnya sambil menaruh berkas yang sedari tadi dia baca dan pelajari ke atas meja lalu merubah posisi duduknya serong ke arah ku.
“No komen lah kalau mereka mah, urusan orang tua.”
“Tapi kamu sendiri gimana, kalau misal nih ya…mba Fatma sama mas Wira…?”
“Saya mah yang penting mama bahagia, tapi kalau mama ga mau ya jangan sekali-kali dipaksa, pak Wira pun saya lawan kalau mama ga suka.”
“Anak cowok memang selalu mau ngelindungin mama nya ya, hihihi.”
“Ya begitu lah, hehehe.”
“Seandainya dulu…”
“Kenapa dulu? Ada hubungannya dengan mama dan pak Wira?”
“Iya. Aku mau cerita ini ke kamu karena aku lihat kamu sudah dewasa, jadi aku pikir kamu seharusnya bisa menilai dan menahan diri dengan fakta dan realita yang ada.”
“Aku ga ngerti bu maksud ibu.”
“Makanya dengerin dulu…”
“Iya…”
“Dan satu lagi, jangan pernah cerita ke Rahma maupun Gadis.”
“Iya…”
“Pertama, kamu pasti sudah tahu kan mama mu dulu dan kakak ku punya hubungan spesial?” tanya nya dan aku mengangguk. Aku memang sudah tahu akan hal itu, meski baru tahu kulitnya saja.
“Semua berawal dari orang tua ku yang terlalu berambisius. Dulu bisnis keluarga ku belum sebesar sekarang. Kakek ku merintisnya dari nol. Dengan gigih kakek membangun usaha keluarga ini dengan kerja keras. Lalu dilanjutkan oleh ayah. Hanya dalam waktu beberapa tahun usaha yang di bangun ini menjadi perusahaan yang sangat sukses. Kami memiliki perusahaan di hampir semua sektor usaha. Tidak hanya satu, tapi kami menguasai sektor tersebut dari hulu hingga hilir. Lalu…”
“lalu apa?”
“Ayah gelap mata, segala macam usaha dia gunakan untuk melawan musuh-musuh bisnisnya, termasuk…”
“Termasuk siapa?”
“Kakek mama mu. Ayah ku yang menghancurkan bisnis yang dimiliki kakek dari mama mu. Dari situ munculah perselisihan di antara dua keluarga. Lalu kakek mu, ayah dari mama mu, tentu saja tidak terima dengan semua perbuatan yang sudah di lakukan oleh ayah ku. Dan seperti di sinetron-sinetron, ketika kakek mu tahu mas Wira adalah anak dari orang yang telah menghancurkan bisnis keluarga besarnya tidak merestui hubungan mereka berdua. Jangan kan merestui, saling berhubungan saja aku yakin kakek mu melarangnya. Dan setelah itu, aku tidak tahu ceritanya bagaimana, mba Fatma sendiri juga ikut membenci mas Wira. Tapi aku juga paham sih kalau memang mba Fatma juga ikut membenci keluaga ku, terutama ayah. Tapi demi Tuhan, aku berani jamin mas Wira ga ikut dalam bisnis licik yang di lakukan ayah dan kakek ku. dan…aku berharap kamu mau memaafkan keluaga ku. keluarga besar ku. aku harap semua ini sudah menjadi masa lalu. Dan kalau pun kamu, mama mu, atau pun Rahma mau mengambil kembali semua yang seharusnya menjadi hak kalian, aku dan mas Wira akan dengan senang hati memberikannya. Ya Adi ya…” ucap bu Psrity yang di akhiri dengan berlutut di depan ku lalu meraih kedua tangan ku dan memohon agar aku mau memaafkan keluarganya.
Aku menarik tangan ku dari tangannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku tidak menyangka kalau masalahnya ternyata serumit ini. Memang benar ini semua adalah masa lalu, tapi apakah aku harus melupakannya begitu saja? Memang benar juga, itupun juga kalau bu Pristy tidak berbohong, kalau pak Wira tidak terlibat, itu semua murni masalah antar keluarga, lalu apakah aku juga harus melupakan semua yang sudah keluarga mereka lakukan terhadap keluarga ku?
“Saya tidak tahu harus jawab apa bu…”
“Aku mohon jangan membenci ku, mas Wira, dan terutama mba Gadis, dia ga tahu apa-apa.”
“Ya justru itu, saya tidak tahu harus jawab apa karena saya juga tidak mengalami langsung.”
“Ya terus gimana dong? Beneran aku dan mas Wira ga mau keluarga ini saling bermusuhan lagi. Biarlah para orang tua kita yang melakukan kesalahan, kita sebagai penerus bisa merubahnya menjadi lebih baik kan?”
“Ga tau bu, saya tergantung mama saja. Kalau mama ikhlas maafin kalian, anggap saja saya juga maafin kalian. Tapi selama mama belum ikhlas, jangan harap saya juga bisa maafin kalian.”
“Kok kamu tega ngomong seperti itu?”
“Tega ga tega. Saya tidak tahu detail apa saja yang sudah di alami mama, kakek, dan buyut saya, jadi sebagai anak yang berbakti pada keluarga, saya tidak bisa begitu saja menerima apa yang sudah orang lain perbuat untuk keluarga saya. Bitu juga dengan ibu, pasti tidak akan bisa memaafkan saya begitu saja kan kalau kemarin-kemarin saya berbuat yang tidak-tidak ke mba Gadis?”
“Ehmm…”
“Jadi kalau sudah tidak ada yang mau dibicarain lagi, saya permisi,” ucap ku sambil berdiri. Bu Pristy sempat ingin menahan ku, namun usahanya sia-sia saja. Tenaga ku jauh lebih kuat dari nya. Aku bisa melihat pipi nya yang mulai basah karena air matanya.
“Oh iya satu lagi, kalau besok saya tidak masuk kerja lagi, itu artinya saya sudah tidak sreg untuk kerja di tempat seperti ini lagi. Maaf!” kalimat terakhir ku terucap sebelum aku menutup pintu ruang kerjanya dan meninggalkan tempat ini. Restoran ini. Aku berhenti. Tidak ada gunanya bekerja di tempat yang dulunya dihasilkan dari usaha menghancurkan keluarga besar ku sendiri.
###
“Kenapa lu malah bawa gue ke sini sih?” tanya gadis yang duduk di samping ku yang tak lain adalah mba Gadis. Kalau dia tanya seperti itu, aku sebenarnya juga tidak tahu jawabannya. Entah bisikan dari mana yang membuat ku membawanya kabur ke tempat ini. Puncak, Bogor. Tempat dimana biasanya aku mencari ketenangan. Udara yang sejuk, dan suasana yang tidak terlalu ramai kalau hari biasa seperti ini membuat ku senang ke tempat ini.
“Lu lagi ada masalah?” tanya nya lagi. “Lu bolos kerja? Tumben?” lanjutnya memberondong ku dengan segala pertanyaan.
Masalah? Bisa iya bisa tidak. Bukan sebuah masalah karena sebenarnya ini bukan sesuatu yang rumit, tapi entah kenapa aku merasa sakit setelah tahu orang yang sebelumnya aku kagumi baik itu bu Pristy maupun pak Wira adalah orang yang berasal dari keluarga yang telah menghancurkan keluarga besar ku. Ada semacam rasa kecewa namun aku juga bingung kenapa mesti kecewa. Mereka bukan siapa-siapa ku tapi aku sedih saat mengetahui semua fakta yang terjadi.
“Lu tadi bolos kerja?” tanya nya lagi, aku hanya menggeleng.
“Lah ini apa? Bukannya lu hari ini masuk pagi dan seharusnya jam pulang itu jam empat sore?”
“Gue udah ga kerja di restoran lagi, jadi ga ada ceritanya lagi gue bolos.”
“Hahaha, serius lo? Kenapa? Lo lagi ada masalah ya sama tante Pristy?”
“Enggak…”
“Masa? Lalu ini apa?” tanya nya sambil menunjukkan layar HP yang yang sedari tadi muncul notifikasi panggilan dari tantenya itu. “Gue berani jamin di HP lo juga ada banyak panggilan masuk dari tante,” lanjutnya dengan yakin. Saat aku keluar restoran tadi memang beberapa orang melihat ku membawa mba Gadis, dan mungkin salah satu dari mereka memberitahukan ke bu Pristy.
“Di angkat ga nih? Kalau lo ga mau ngomong sama dia ya gue silent aja biar ga berisik…” tanya nya lagi dan aku hanya menggelengkan kepala karena memang aku malas untuk membicarakannya sekarang.
“Okeh…”
Setelah panggilan terakhir berhenti mba Gadis langsung mengutak atik HP untuk mengubah settingan HP nya menjadi mode silent. Kemudian hening. Aku lalu menyesap kopi instan yang aku beli tadi. Ku ambil sebatang lagi rokok dan menyulutnya. Ku buang jauh pandangan ku ke depan, ke hamparan kebun teh yang terbentang luas. Apakah aku harus menjadi seperti kebun teh itu, terhampar luas, agar bisa menerima semua kenyataan yang yang terjadi.
“Masih ga mau cerita juga?”
“Gue ga mau pulang,” ucap ku spontan.
“Laah…jadi ini ceritanya kita kabur?” tanya nya.
“Lagi males pulang…” balas ku ga nyambung.
“Dunia kayanya emang udah kebalik ya, hahaha, jadi inget dulu deh waktu gue maksa lo ngajak gue ke rumah lo karena gue yang ga mau pulang. Sekarang gantian lo yang ga mau pulang. Biar fair, gue musti gimana nih buat bales kebaikan lo waktu itu?”
“Temenin gue ya.”
“Hmm…gue sebenernya juga males pulang sih. Papa baru aja balik ke Amerika, bisa kali ya kita sekali-kali nginep? Hehehe, tapi lo ga bakal macem-macemin gue kan?”
“Ga nafsu sama abg kaya lo!”
“Hahaha, sial lo. Tapi gue seneng sih, gaya bicara lo ga kaku lagi kaya dulu.”
“Itu artinya gue bener-bener cabut dari restoran.”
“Lo di apain sih sama tante? Baru juga gue mau nerima dia lagi, eh udah ada masalah aja sama lo.”
“Memangnya kalau gue ada masalah sama tante lo itu lo bakal mihak ke gue?”
“Pasti lah, lo kan udah nolongin gue banyak. Eh tapi masalahnya apa dulu deng, hehehe.”
“Ga ada, cuma salah paham aja, tapi gue beneran mau keluar dari restoran.”
“Itu hak lo sih, gue ga bisa larang. Tapi setelah ini lo mau gimana? Bukannya lo masih butuh kerjaan?”
“Entahlah…”
“Hmm…bener-bener lagi galau lu ya…”
Aku tak membalas kalimat terakhirnya. Ku sesap lagi kopi ku yang tinggal sedikit ini dan juga ku hisap dalam-dalam rokok yang sudah terbakar setengah. Ku hempaskan asap rokok yang sebelumnya masuk ke dalam paru-paru ku ini ke atas.
“Eh nanti turun dulu bentar ya,” ucap mba Gadis membuyarkan pandangan ku.
“Ngapain?”
“Nyari baju lah, yang bener aja gue tidur pake seragam kek gini? Ntar gue jadi bahan fantasi lo lagi, hahaha.”
“Hahaha, ga sampai segitunya juga kali. Kalau gue mau macem-macem ama lo udah dari dulu mba.”
“Hahaha, percaya sih, tapi mau kan turun dulu?”
“Emang ada yang jualan baju ya?”
“Gue sih tadi lihat ada beberapa FO di pinggir jalan.”
“Langsung di pakai gitu?”
“Dari pada pakai baju kotor?”
“Iya juga sih.”
“Elo sih, ngajakin kabur ga bilang-bilang. Kalau ngomong dulu kan gue bisa pulang dulu ngambil baju ganti.”
“Hahaha, masa mau kabur pulang dulu…?”
“Iya juga sih.”
“Ikut-ikut aja!”
“Elu yang ikut-ikutan gue, pakai acara kabur segala lagi.”
“Semua orang kan berhak galau mba…”
“Hahaha, iya aja deh. Ya udah yuk kita turun dulu nyari baju ganti, buat elo juga.”
“Iya, hotel nya juga belum nyari…”
“Hotel mah aman…”
“Aman?”
“Hahaha, gue udah booking kali dari tadi, online lah, hari gini gitu masih aja on the spot.”
“Oh gitu ya,” balas ku dengan garing sambil nyengir kuda.
“Lagian gue ga mau ya nginep di hotel abal-abal. Selain karena ga nyaman, bahaya tahu. Ya meski kita ga ngapa-ngapain tapi kan tetep aja kita bukan…”
“Paham…ya udah yuk kita cari baju ganti dulu.”
Mungkin ini yang dinamakan dengan peribahasa apa yang kamu tanam, itu yang akan kamu tuai. Untung ada mba Gadis yang bisa aku culik sementara. Paling tidak aku tidak kabur sendirian. Paling tidak akan ada yang menemani ku ngobrol malam ini. Dan paling tidak, ada yang bisa membuat ku tertawa seperti tadi.
“Mba,” panggil ku saat kami berdua berjalan dari warung pinggir jalan tempat kami berbincang tadi menuju parkiran motor.
“Hmm…?”
“Terima kasih.”
“Hehehe, sipp…yuk…” balasnya sambil tersenyum. Dan tanpa bisa aku tolak kami berjalan sambil bergandengan tangan. Ya, mba Gadis mengamit lengan ku, dan itu sangat menenangkan diri ku.
[Bersambung]