Kesempurnaan Part 25

Kesempurnaan Part 25
Selamat Jalan
Setelah melalui acara sarapan pagi yang sangat kaku, aku, mama, dan Rahma akhirnya pulang. Mba Gadis tidak ikut karena papa nya sudah pulang. Sedangkan pak Parto benar-benar pulang ke kampung nya karena tugas nya sudah selesai. Tugas ku di rumah ini juga sudah selesai. Dan setelah mengantar mama dan Rahma pulang aku akan langsung ke rumah Ratna. Ada beberapa pertanyaan yang harus aku tanyakan ke anak itu.
“Ga besok-besok aja kak ke rumah Ratna nya?” tanya mama.
“Enggak ma, harus hari ini…”
“Ya udah hati-hati…”
“Iya mah, siap…”
“Oh iya kak…”
“Ya?” tanya ku.
“Makasih…” balas nya.
“Makasih kenapa?”
“Makasih sudah menjadi pengganti papa mu untuk mama dan Rahma.”
“Oh itu, hehehe, ga perlu makasih kali mah, itu mah sudah jadi tanggung jawab Adi, Adi juga makasih mama udah jadi mama yang paling baik sedunia selama ini, hehehe.”
“Hahaha, bisa aja kamu. Ya udah sana kunjungi Ratna, salam ya dari mama, maaf belum bisa ikut main…”
“Okay mah nanti kakak salamin…”
Setelah minta ijin ke mama aku langsung berangkat menuju rumah Ratna. Banyak sekali pertanyaan yang menggelayuti kepala ku selama di perjalanan yang harus segera aku cari tahu.
###
Aku mengabari Ratna kalau aku sudah berada di depan rumahnya. Ratna membalas pesan ku dan meminta ku untuk menunggu sebentar. Tidak lama kemudian Ratna keluar dengan masih mengenakan baju tidur nya. Wajahnya masih nampak lelah dan matanya belum bisa terbuka lebar, sepertinya dia masih mengantuk.
“Masuk aja, pagarnya ga dikunci kok…” ucapnya dari teras rumahnya.
Aku lalu membuka pagar rumahnya dan memasukkan motor ku.
“Sorry ya pagi-pagi udah namu,” balas ku basa-basi.
“Santai aja kali, nginep aja, eh opss…” ucapnya hampir keceplosan, sepertinya dia takut terdengar ayahnya, mungkin.
“Papa lo ada kan?”
“Ada kok di dalem, baru aja abis sarapan kita, lo dah sarapan?”
“Udah tadi di rumah mba Gadis…”
“Oh…semalem pada nginep di sana ya?”
“Iya kita nginep bertiga nginep di sana.”
“Eh, masuk aja dulu yuk, kita ngobrol di dalam aja sama ayah.”
“Okay…”
Aku dan Ratna lalu masuk ke dalam rumahnya. Ayahnya ternyata sudah menunggu di dalam. Aku langsung menjabat tangan dan mencium tangan beliau.
“Dari rumah atau…?” tanya beliau.
“Rumah Om…”
“Adik mu baik-baik aja kan?”
“Alhamdulillah…om sama Ratna sendiri juga baik kan? Gimana ceritanya sih kemarin itu?”
“Om sama Ratna ga kenapa-napa kok. Rat…bikinin minum dulu gih si Adi, ngopi kan?” tanya ayahnya Ratna.
“Boleh deh om…tolong ya Rat, hehehe,” canda ku ke Ratna. Ratna langsung bangkit sambil menjulurkan lidahnya.
“Bentar yak,” ucapnya. Anak itu langsung masuk ke dalam.
“Jadi gimana om? Beneran saya penasaran lho gimana cerita nya…” tanya ku. Om Hendra, ayahnya Ratna tidak langsung menjawab. Dia lalu mengambil kopi di meja ruang tamu itu dan menyesapnya.
“Hmm…aku sendiri juga ga nyangka bisa ikut kelibat sama masalah di keluarga itu…” balasnya. Dia nampak berfikir sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. Aku sendiri menunggu dengan sangat penasaran.
“Jadi sebenernya kemarin lusa itu rencananya om sama Ratna mau ke bandung, ke rumah neneknya.”
“Terus-terus?”
“Pas di jalan si Ratna ngelihat siapa anaknya bos mu?”
“Gadis?”
“Iya Gadis dan Rahma…”
“Maksudnya ngelihat?”
“Iya ngelihat mereka berdua di culik. Itu orang-orang beneran nekat lho, padahal di tempat rame…”
“Dan setelah itu om sama Ratna ngikutin mereka?” potong ku.
“Iya, om ikutin sampai rumah itu, bodohnya bukanya nyari bantuan malah nekat jadi sok jagoan, hahaha, Ratna sih om bilangin ga denger, tapi sebenernya kalau cuma satu lawan satu sih cincai lah, masalahnya kalah jumlah,” ucap om hendra sambil tertawa dengan garing.
“Mungkin sudah nalurinya om, ga bisa dibilang bodoh juga, hanya tidak bisa mengendalikan diri.”
“Ya apapun itulah. Begitu ceritanya…”
Tepat om Hendra menyelesaikan ceritanya, Ratna datang dengan secangkir kopi di tangannya yang langsung di suguhkan kepada ku.
“Monggo kopi nya den mas Adi, jarang-jarang kan lo gua buatin kopi,” ucapnya.
“Hehehe, thanks lho…thanks juga udah niat buat nolongin ade gue, gue berhutang budi sama lo.”
“Ga juga ah, kenyataannya kan justru orang-orang itu, siapa mereka? Yang nolongin kita-kita…”
“Oh iya, mereka itu orang-orang nya pak Wira…”
“Ohh…”
“Pak Wira itu siapa? Bos kalian?”
“Iya pah, pak Wira itu yang punya restoran, sama bu Pristy sih…”
Aku lalu menyesap kopi ku lagi karena ternyata kopi racikan Ratna mantab juga. Ratna kini duduk di samping om Hendra dengan sedikit menyandar. Sekarang aku sangat lega karena baik Rahma dan mba Gadis ataupun om Hendra dan Ratna semuanya kembali dalam keadaan sehat tidak kurang satu apapun.
“Eh ngomong-ngomong lo tadi pagi bilang mau ke sini katanya ada sesuatu yang penting, apaan?”
“Eh iya, hampir lupa gue…” balas ku yang tidak langsung menjawab pertanyaan nya tapi malah clingukan ke sekeliling ruangan. Pandangan ku lalu berhenti pada lemari kaca yang di dalam nya berisi belasan atau mungkin puluhan mobil-mobilan mini yang tersusun dengan rapi. Aku lalu berdiri dan mendekati lemari itu. Ku perhatikan satu-satu mobil-mobil itu. Pikiran ku lalu menerawan jauh. Otak ku seolah memutar kembali memory apa saja yang pernah terekam oleh kepala ku. Pandangan ku lalu terhenti pada sebuah mobil yang ukurannya paling besar.
“Gue boleh pinjam yang ini gak? Hehehe,” pinta ku sambil menunjuk ke mobil yang paling besar dengan gestur seperti anak kecil yang minta mainan.
“Apaan sih lo ga jelas banget pagi-pagi main cuma mau minjem mobil-mobilan, hallo…lo itu udah hampir dua puluh ya, udah ga pantes main begituan…” ledek Ratn dengan setengah berteriak sedangkan om Hendra malah tersenyum melihat tingkah laku ku.
“Ya biarin aja sih Rat…masa mau minjem mainanya ga dibolehin…”
“Tapi kan udah ga pantes pah…”
“Ambil aja Di, kan yang penting nanti dibalikin lagi…”
“Nah betul itu…pasti dibalikin kok…” balas ku sambil membuka lemari kaca itu dan mengambil mobil yang aku tunjuk tadi tanpa menghiraukan perdebatan ayah dan anak gadis nya itu. Pada akhirnya Ratna mengalah dan diam. Dan aku sudah mengambil mainan itu. Saat aku berjalan untuk kembali ke tempat duduk ku tadi aku berfikir saat inilah waktu nya yang tepat untuk menguji apakah benar apa yang aku pikirkan. Saat lewat tepat di depan Ratna aku pura-pura tersandung dan terjatuh yang membuat mobil mainan yang aku pegan juga ikut terjatuh. Kini aku duduk di lantai dan mobil itu berada di depan ku.
“Nah kan apa gue bilang, ga dengerin sih…” reflek Ratna langsung bangun dan turun ke lantai juga hendak menolong ku. Saat hendak menolong ku ini aku sengaja menatap matanya lekat-lekat dan kebetulan Ratna juga menatap ku meski dengan tatapan seperti orang tua yang hendak memarahi anak nya karena tidak hati-hati. Dalam hati aku tersenyum karena rencana ku berhasil.
Hingga beberapa detik aku dan Ratna masih saling diam dan saling menatap. Dan akhirnya memory-memory itu berputar kembali di kepala ku. Aku berharap Ratna juga merasakan hal yang sama. Memory yang sudah lama menghilang. Memory yang dulu pernah aku dan Ratna tuliskan pada otak masing-masing yang masih sangat polos. Memory masa kecil kami berdua, lima belas atau enam belas tahun yang lalu.
“Kalian berdua ini kaya sinetron aja deh, pake acara jatuh-jatuhan segala, entar saling jatuh cinta lho, hahaha…”
“Ihh papa apaan sih?”
“Ya lagian kamu mau nolongin aja pake liat-liatan lama gitu, Adi nya ga apa-apa kali…”
“Adi nya aja itu pah yang liatin Ratna…”
“Udah-udah, pada duduk di atas lagi, mau sampai kapan kalian mau duduk di lantai seperti itu…”
“Sampai Ratna ingat…” ucap ku kelepasan.”
“Eh…” respon Ratna singkat, seperti mengingat sesuatu namun juga seperti bertanya-tanya. “Ingat apaan?” tanya nya.
“Lo percaya ga kalau gue bongkar mainan ini, ada sesuatu di dalam nya?” balas ku.
“Eh enak aja mau di bongkar, punya gue itu,” rebut Ratna tiba-tiba. “Pah masa ini mau di bongkar sama Adi pah,” lanjut Ratna sambil menunjukkan mainan itu pada ayahnya.
“Kenapa kamu bisa tiba-tiba ngasih tebakan seperti itu?” tanya om Hendra mengacuhkan ucapan anaknya yang merajuk. Sedangkan aku dan Ratna masih tetap duduk di lantai dengan posisi sama-sama bersila.
“Om juga lupa ya?” tanya ku lagi sambil tersenyum. Om Hendra menatap ku sambil mengerutkan dahi nya seperti sedang berfikir dengan keras. Mencoba mencerna kalimat ku dengan matang. Ah semoga om Hendra ingat. Waktu itu aku dan Ratna masih balita, jadi seharusnya memang wajar bila kami tidak saling mengingat. Tapi om Hendra sendiri juga sudah berumur jadi ada kemungkinan beliau juga tidak ingat. Ah tapi kalaupun mereka tidak ingat sama sekali, aku masih punya senjata terakhir yang pasti akan membuat mereka atau paling tidak om Hendra mengingat ku.
“Kamu?”
“Iya, saya om, teman mainnya dia…” balas ku sambil menunjuk pada Ratna. “Yang dulu cengeng, yang suka dijailin sama dia tapi kalau ada temen-temen TK yang lain yang gangguin saya dia juga yang ngelindungin saya, dan yang…suka minta makan ke tante ani dan makan bareng dia juga…” balas ku lagi-lagi sambil menunjuk Ratna.
“Ja-jadi ka-kamu be-beneran…?”
“Iya om bener,” balas ku dengan girang. “Kalau bukan saya, bagaimana mungkin saya bisa tahu kalau di dalam mainan ini ada ini?” lanjut ku sambil merebut mobil-mobilan yang sebelumnya dipegang oleh Ratna itu dan mempretelinya. Awalnya Ratna sempat akan menahannya namun kalah cepat dengan ku dan mungkin dia juga penasaran dengan apa yang aku maksud. Setelah berhasil membongkar mobil mainan itu aku langsung mengambil sesuatu yang aku maksud tadi. Sebuah kertas yang terlipat sangat rapi. Semoga tidak rusak.
“Rat, lo ga inget sama ini?” tanya ku pada Ratna. Ratna tidak menjawab. Jelas sekali terlihat banyak tanda tanya dari wajahnya. Hingga setelah beberapa detik Ratna menggeleng dengan pelan. Dan aku langsung menunduk lesu. Ternyata Ratna memang tidak ingat.
“Tapi om ingat kok…” ucap om Hendra tiba-tiba yang langsung membuat ku menatap matanya dengan senang. Paling tidak om Hendra ingat.
“Dan ada sesuatu yang membuat Ratna tidak ingat, yang pasti juga membuat mu tidak ingat dengan apa sebenarnya yang terjadi,” lanjut om Hendra.
“Maksud om?” tanya ku dengan penuh tanda tanya.
“Ceritanya panjang…”
“Ini ada apaan sih?” potong Ratna. Kami bertiga saling pandang. Aku pikir dengan membuka kembali coretan yang ada di kertas yang baru saja aku ambil dari mainan tadi sudah membuka semua tabir masa lalu ku dengan Ratna, tapi ternyata masih ada hal lain lagi yang tidak aku ketahui.
“Coba papa mau lihat kertas itu Rat,” pinta om Hendra kepada Ratna. Ratna lalu mengambil kertas yang aku pegang ini lalu diberikan kepada ayahnya. Om Hendra lalu membuka lipatan kertas itu. Beliau lalu tersenyum. Yang aku ingat dari kertas itu isinya adalah gambar berupa stick figure yang sedang bergandengan tangan dan di bawahnya bertuliskan…
“Ratna dan Adi,” ucap om Hendra. “Apa yang membuat mu bisa ingat dengan mobil ini?”
“Kenapa om bertanya seperti itu?”
“Jawab dulu aja…”
“Dari…mimpi…”
“Oh ya?”
“Iya…”
“Apa yang kamu lihat di mimpi itu?”
“Mobil ini…”
“Lalu ada lagi?”
“Seorang anak kecil…”
“Anak kecil, perempuan…”
“Apa yang kamu kenali dari anak itu?”
“Gigi caling…”
“Iya…”
“Apanya yang iya om?”
“Yang ada di mimpi mu itu anak om, Ratna…”
“Tapi Ratna tidak memiliki…”
“Nah itu yang kalian berdua pasti lupa.”
“Ratna ga ngerti pah…” potong Ratna.
“Sama,” jawab ku dengan polos. Aku dan Ratna sekarang sama-sama duduk bersilla di lantai berdampingan menghadap ke arah om Hendra. Layaknya anak kecil yang hendak mendengarkan dongeng dari ayahnya.
“Tidak ada yang berubah…hahaha…”
“Berubah?” sahut ku dan Ratna yang hampir berbarengan. Kami saling pandang dengan penuh tanda tanya.
“Ya kalian berdua ini, dulu waktu kalian masih kecil, kalian berdua ini paling seneng dengerin cerita sambil duduk bersila seperti ini…”
“Tapi kenapa Ratna sama sekali tidak ingat ya om? Bahkan saya baru ingat setelah kebawa mimpi…”
“Ya sudah lah mungkin sudah seharusnya om bercerita…”
Di sebuah perumahan sederhana itu tinggal dua keluarga yang saling berdampingan. Dua keluarga itu hidup dengan rukun, bahkan lebih rukun dibanding dengan keluarga keluarga lainnya. Antara mereka sudah menganggap satu sama lain seperti keluarga sendiri. Dua keluarga kecil itu sama-sama sudah memiliki anak, keluarga yang satu memiliki satu anak, dan yang satu nya dua, dan anak mereka ada yang sepantaran. Keluarga yang satu memiliki anak cowok dan cewek, sedangkan yang satu nya hanya satu cewek.
Yang cowok bernama Adi dan adiknya bernama Rahma. Kedua anak itu adalah anak dari pernikahan antara seorang wanita bernama Fatmawati dengan suaminya, Wahyu Perdana. Sedangkan anak yang satunya adalah anak hasil pernikahan antara Hendrawan dengan Aning. Dua keluarga itu hidup rukun, saling menolong, dan anak mereka saling berteman dan bersahabat dengan baik.
Suatu hari Hendra, yang mempunyai hoby mengoleksi miniatur mobil baru saja membeli sepasang miniatur mobil limited edition dan bermaksud mengahdiahkan kedua mainan itu kepada anaknya dan anak tetangganya, Adi. Meskipun Hendra memiliki anak perempuan, namun itu tidak menyurutkan ambisinya untuk membuat sang anak ikut-ikutan dengan hoby nya.
“De, lagi apa?” tanya Hendra pada anaknya yang sedang menyusun beberapa mainan miliknya pada sebuah kotak yang khusus di sediakan untuk mainan tersebut.
“Ini yah dede lagi bersihin mainan dede, seperti yang sering ayah ajarin, hehehe,” balas anak itu dengan polosnya.
“Pinter…eh ngomong-ngomong ayah beli sesuatu buat dede, buat Adi juga, panggil gih ajak main kesini, nanti ayah kasihnya barengan…” pinta Hendra pada anaknya. Karena tahu akan mendapatkan mainan baru, anak itu sangat senang dan gembira. Dan tanpa berfikir dua kali si anak langsung berlari keluar rumah guna menghampiri sahabat karip nya yang rumahnya persis tepat di sebelah rumahnya.
Hendra pun juga tidak sabar untuk memberikan mainan yang baru dia beli itu. Dia tidak sabar untuk melihat ekspresi gembira dari dua anak yang sangat dia sayangi itu. Membuat anak-anak itu senang sudah menjadi kebahagian tersendiri bagi Hendra.
Namun sayang, rencananya hanya tinggal rencana. Sepuluh menit, dua puluh menit, hingga setengah jam kemudian si anak dan sahabatnya tak kunjung datang juga. Tidak sedikitpun Hendra berfikir yang aneh-aneh. Paling sekarang justru anaknya yang sedang asik main dengan Adi di rumahnya. Hendra tidak berusaha memanggilnya karena nanti pasti mereka juga akan menjemput hadiah yang sudah dia siapkan. Tapi sayang, tidak lama setelah itu pintu rumahnya ada yang mengetuk dan saat dia membuka pintu rumahnya, seorang dengan wajah yang panik menemuinya. Hendra pun kebingungan dan bertanya-tanya. Belum lagi banyak orang yang berkerumun di depan rumahnya.
“Apa yang terjadi yah?” tanya Ratna membuyarkan imajinasi ku terhadap cerita dari om Hendra.
“Kamu, sama Adi, ketabrak mobil…”
“Kok bisa? Itu kan di dalam komplek…”
“Yang bawa mobil baru belajar…”
“Lalu Ratna dan Adi, gimana?”
“Gegar otak ringan…”
“Lalu kami lupa semuanya?” tanya ku.
“Iya…”
“Tapi kalau memang begitu, seharunya kami kan bisa saling mengenal lagi om…kenapa kami tidak saling mengingat setelah itu?”
“Karena tidak lama setelah itu kamu dan keluarga mu pindah, dan om sekeluarga juga tidak lama tinggal di situ lalu pindah ke mari. Jadi saat kalian sembuh, bisa dibilang kalian itu seperti terlahir kembali, sayangnya kalian tidak tinggal bareng lagi makanya…”
“Semua memory hilang…” potong ku.
“Iya…”
“Om sama keluarga ku ga saling kontak?”
“Satu dua tahun pertama masih, setelah nya mulai jarang hingga tidak sama sekali.”
“Hahaha, jadi kita sebelumnya sahabatan Di?” ucap Ratna sambil tertawa.
“Kayanya sih seperti itu…”
“Gue jadi inget sama apa yang udah pernah lo bilang ke gue.”
“Apa itu?”
“Keteraturan yang tidak teratur…kita sudah di atur oleh sang maha pencipta untuk menjadi teman atau sahabat, tapi pola nya tidak teratur. Naik dan turun. Jauh dan dekat. Tapi pada akhirnya kita kembali dekat.”
“Dan semoga kedepannya kita akan terus bersahabat…hehehe…”
“Aamiin…tapi…” balas Ratna nampak ragu.
“Kenapa?” tanya ku. Ratna tidak langsung menjawab pertanyaan ku dan seperti orang yang bingung dia malah melihat ke arah om Hendra. Seperti minta saran apa yang harus dia katakan. Om Hendra lalu menganggukkan kepala.
“Gu-gue…sama papa…mau pindah ke bandung Di, sorry…”
“Hah? Serius lo?”
“Serius…”
“Lalu kerjaan lo?”
“Ya cabut…”
“Trus berangkat kapan?” tanya ku lagi dengan ketidak percayaan ku.
“Besok pagi…”
“Hah? Tapi kenapa?”
“Pah?” Ratna menyeru kepada om Hendra.
“Setelah tahu kejadian yang menimpa kita semua kemarin, neneknya Ratna minta kita untuk pindah bandung…”
“Tapi om, saya dan Ratna kan baru…masa udah mau pisah lagi?” protes ku yang masih tidak percaya dengan kenyataan yang sudah terjadi.
“Sorry Di, nenek gue udah tua dan itu adalah permintaan beliau, apapun yang terjadi gue sama papah harus pindah ke sana…”
Aku duduk termenung. Menundukkan kepala ku. Memegangi mobil-mobilan dan lipatan kertas yang ada di tangan ku. Meskipun berat tapi aku harus menerimanya. Aku lalu mengangguk pelan.
“Gue paham ko Rat, toh kita masih bisa berhubungan kan?” tanya ku sambil tersenyum.
“Tentu saja…hiks…” balasnya sambil mencoba tersenyum namun tidak bisa menghalangi air mata yang keluar dan membasahi pipi nya yang halus itu.
###
So you’re leaving in the morning on the early train
I could say everything’s alright
And I could pretend and say goodbye
Got your ticket
Got your suitcase
Got your leaving smile
I could say that’s the way it goes
And I could pretend and you won’t know
That I was lying
We took a taxi to the station, not a word was said
And I saw you walk across the road
For maybe the last time, I don’t know
Feeling humble
I heard a rumble
On the railway track
And when I hear that whistle blow
I’ll walk away and you won’t know
That I’ll be crying
###
Aku mengantar Ratna dan om Hendra ke stasiun. Pagi hari ini mereka berdua jadi berangkat ke bandung. Kemarin sore Ratna sudah berpamitan dengan semuanya, dan khusunya dengan bu Pristy sebagai atasannya sekaligus mengajukan pengunduran diri. Tidak banyak kata yang terucap antara aku dan Ratna selama di perjalanan tadi. Entah kenapa aku merasa sangat kehilangan. Aku kehilangan anak ini lima belas tahun yang lalu dan baru menemukannya kembali kemarin pagi, tapi sekarang kami harus berpisah kembali. Terkadang aku merasa Tuhan itu sangat tidak adil walaupun aku yakin kalau aku salah. Ini adalah keputusan yang paling baik untuk semuanya, terutama untuk Ratna dan keluarganya. Aku harus menerimanya dengan lapang dada. Karena itu aku berusaha untuk selalu tersenyum terhadapnya. Begitu juga dengan dirinya yang juga selalu tersenyum kepada ku, meski aku tidak tahu itu senyum yang asli atau ada sesuatu yang dia sembunyikan. Seperti diri ku yang menyembunyikan sesuatu terhadap diri nya, yang semuanya pecah saat aku membalikkan badan ku untuk pulang ke rumah, seiring dengan isak tangis ku yang pecah mengiringi kepergiannya. Selamat jalan kawan.
[Bersambung]