Kesempurnaan Part 21

0
1262

Kesempurnaan Part 21

Menghilang

Beberapa hari yang lalu bu Pristy memberikan ku sebuah alamat untuk bertemu seseorang. Infonya, orang ini adalah salah satu orang kepercayaan dari keluarga besar bu Pristy. Namanya pak Partono, orang-orang biasa memanggilnya Parto. Sama seperti nama komedian batin ku. Dari yang aku tahu juga dari bu Pristy, orang ini sangat loyal terhadap keluarga besar bu Pristy, sayangnya dia sudah tidak bekerja lagi dengan bu Pristy. Bisa di bilang sudah pensiun. Tapi bu Pristy yakin orang ini bisa membantu masalah yang sedang kami hadapi. Makanya beliau menyuruh ku untuk menemuinya. Sukur-sukur bisa membawanya ke Jakarta.

Pria ini umurnya awal lima puluhan. Bu Pristy cerita beliau ingat betul dulu orang ini lah yang selalu menjaganya kalau pergi kemana-mana, mengantar jemputnya saat masih sekolah, dari TK hingga SMA. Kemana pun beliau pergi, selalu orang ini yang mengantar. Bisa dibilang sebagai bodyguard lah. Hingga beberapa tahun yang lalu pak Pertono ini memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya karena sudah merasa lelah. Ya bisa dipahami sih untuk usia lima puluhan menjadi seorang pengawal pribadi sudah tidak ideal lagi.

Aku menyusuri jalan yang cukup lebar ini dengan motor ku, masih bisa dilewati sebuah mobil, namun belum aspal, masih bebatuan yang disusun. Kiri kanan jalan terlihat asri dengan hamparan sawah dan pohon-pohon yang tumbuh sepanjang jalan. Beberapa burung terbang saling berkejaran seolah sedang saling bercanda dengan kawanannya. Dari kejauhan aku melihat sebuah rumah yang berdiri sendiri di kelilingi dengan berbagai pohon buah-buahan, jambu, mangga, pisang. Kalau dari informasi yang aku dapatkan dari warga sekitar, maka seharusnya rumah itu adalah rumah pak Partono.

“Assalamualaikum…permisi…” sapa ku saat aku sudah sampai di halaman rumah yang sedehana nan asri ini. Di sisi kanan rumah ada sebuah kolam ikan yang di sekelilingnya tumbuh pohon pisang. Beberapa dianntaranya sudah berbuah dan sebagian sudah terlihat menguning siap untuk di panen. Di belakang kolam itu terdapat sebuah kandang ternak yang di dalamnya terdapat seekor sapi dan beberapa kambing. Di sampingnya juga ada kandang ayam yang di dalam nya juga tinggal beberapa ekor ayam.

Tidak lama kemudian pintu terbuka. Seorang pria berjenggot dengan garis muka yang keras muncul dari balik pintu. Badannya masih terlihat tegap meskipun kerutan di wajah dan sedikit uban di kepalanya tidak bisa membohongi usianya sudah senja. Lengannya terlihat kekar pertanda orang ini adalah seorang pekerja kasar. Badannya tinggi, sedikit lebih tinggi dari aku.

“Cari siapa?” tanya nya dengan tegas dan berwibawa khas seorang pria.

“Punten pak, betul ini rumah pak Partono?”

“Saya Partono, kamu siapa?”

“Saya suruhannya bu Pristy pak, beliau nitipin ke bapak,” ucap ku dengan agak sungkan sambil menyerahkan lembaran kertas yang berisi tulisan tangan bu Pristy sendiri yang dititipkan pada ku semalam. Lucu juga di jaman yang serba teknologi seperti sekarang ini masih menggunakan secarik kertas untuk saling berkomunikasi. Tapi itu benar-benar terjadi.

Pria usia setengah abad itu kemudian membuka lembaran kertas yang terlipat itu lalu membacanya. Layaknya orang seusianya, dia harus sedikit menjauhkan kertas itu dari pandangannya guna bisa melihatnya dengan jelas. Faktor umur. Tidak lama kemudian dia lalu melipat kertas itu lagi dan menatap ku lalu seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Ayo masuklah ke rumah,” perintah nya yang langsung aku turuti.

Sedikit gambaran rumahnya, ruang tamu nya sangat luas, ciri khas rumah di pedesaan. Lantai nya masih terbuat dari batu alam yang kasar, belum ada keramit. Di sisi dalam ada sebuah bufet sederhana yang nampak tua dengan sebuah televisi tabung yang tidak kalah tua juga. Sebuah jam dinding usang menempel pada sisi dinding yang lain. Sebuah meja dari kayu dengan di kelilingin kursi dari rotan tersusun rapi ditengah ruang tamu ini.

“Duduk lah,” perintahnya yang langsung aku turuti lagi. Bapak itu lalu ikut duduk di kursi yang berada di seberang.

“Sudah lama orang-orang itu mengikuti mu dan non Gadis?” tanya nya.

“Hampir sebulan ini. Bapak tahu siapa yang menyuruh mereka?”

“Tidak, belum, tapi mungkin aku bisa mencari tahu.”

“Jadi bapak akan membantu saya?” tanya ku hampir tidak percaya karena sebelumnya bu Pristy sempat bercerita kalau pria ini sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia seperti ini.

“Sebenarnya aku udah ga mau lagi berurusan dengan dunia seperti ini, tapi…”

“Tapi kenapa pak?”

“Ini sudah menyangkut dengan keselamatan keluarga non Gadis dan bu Pristy, keluarga mereka sudah sangat berjasa pada ku…”

“Itu artinya bapak mau membatu saya kan?”

“Hahaha, kamu ini semangat sekali.”

“Hehehe, habisnya saya bingung dan tidak tahu harus bagaimana, kalau sama bapak kan sudah berpengalaman, jadi saya tenang, apa lagi ini menyangkut dengan keluarga saya juga.”

“Keluarga mu?”

“Oh iya saya lupa cerita, mba Gadis sudah hampir tiga bulan tinggal di rumah saya, nanti kapan-kapan saya ceritakan bagaimana bisa. Tapi yang pasti untuk sekarang ini saya berharap bapak mau membantu saya.”

“Aku sendiri juga tidak tahu harus membantu dari mana.”

“Yang pasti bapak harus ikut saya dulu ke Jakarta.”

“Yah, kalau ini menyangkut keselamatan keluarga keluarga mereka, mau tidak mau aku harus turun tangan,” ucapnya sambil memandang jauh ke arah halaman rumahnya. Dan aku mulai bisa tersenyum. Paling tidak tujuan awal ku datang ke sini sudah berhasil.

###

Aku tadi tiba di daerah ini sudah hampir siang dan karena asik ngobrol dengan pak Parto ini, tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Pak Partono meminta agar kita makan siang terlebih dahulu sebelum berangkat ke jakarta. Dia juga perlu mempersiapkan baju-baju yang akan dibawanya ke jakarta meskipun tidak seberapa banyak. Selain itu dia juga harus menunggu adik pulang dari sawah. Dia tentu harus menceritakan pokok permasalahan kepada adik nya itu mengapa dia harus pergi ke Jakarta untuk waktu yang belum pasti.

Sedikit gambaran, pak Partono ini tinggal dengan adiknya. Adiknya ini memiliki keluarga kecil. Kebetulan saat aku datang tadi adiknya sedang pergi ke sawah, sedangkan istrinya sedang pergi ke tetangga entah untuk urusan apa. Sepasang suami istri ini memiliki tiga orang anak. Anak yang pertama sudah bekerja di Jakarta. Anak kedua sudah menikah dan tinggal dengan suaminya tidak jauh dari rumah ini. Sedangkan anak ketiga masih sekolah kelas tiga SMA. Jadi kesehariannya mereka tinggal berempat.

Dan setelah ngobrol panjang lebar, aku baru tahu ternyata pak Partono ini masih melajang. Ya, dia belum menikah, tapi kalau kawin sih aku rasa sudah pernah. Hahaha. Dia hanya tersenyum saat aku tanya kenapa masih belum menikah juga. Aku tidak mencari tahu lebih dalam karena aku pikir itu adalah urusan pribadinya.

Perjalanan dari jakarta ke kampung pak Partono butuh waktu sekitar empat jam menggunakan sepeda motor. Aku tadi berangkat dari kampung pak Partono sekitar jam dua dan baru sampai jakarta lepas magrib. Tujuan ku langsung ke rumah bu Pristy. Pak Partono ternyata sudah cukup di kenal oleh orang-orang yang bekerja di rumah bu Pristy, dari pembantu, tukang kebun hingga satpam. Semuanya merasa senang pak Partono mau kembali ke rumah ini.

“Aku pikir bapak ga mau balik lagi ke rumah ini,” canda bu Pristy ke pak Parto saat kami sedang berbincang bertiga di salah satu sisi taman halaman belakang rumah dengan ditemani kopi dan beberapa makanan kecil setelah sebelumnya kami makan malam bersama. Perjalanan yang cukup jauh membuat perut ku dan pak Parto terasa lapar.

“Kasihan nak Adi bu kalau saya tidak mau ikut sudah menjemput saya jauh-jauh ke kampung,” balas beliau dengan sungkan.

“Hahaha, dia mah suka di suruh-suruh, apalagi kalau yang nyuruh Gadis, ya ga Di?”

“Eh, iya, enggak…”

“Iya apa enggak? Enggak apa iya?” ledek bu Pristy lagi. Yang benar itu bukan kalau di suruh mba Gadis bu, tapi kalau yang nyuruh ibu, apapun pasti saya laksanakan batin ku. Kami bertiga lalu tertawa.

“Itu gimana ceritanya non Gadis bisa tinggal sama mas Adi?”

“Biasalah pak anak muda sukanya berontak, trus kepelet sama Adi sampai-sampai ga mau balik. Akhirnya Adi ini jadi mata-mata ku untuk mengawasi Gadis. Aku sih biarin ajalah yang penting Gadis seneng, dan ada perubahan positif nya juga kok, hihihi.”

“Oh ya? Udah ga marah-marah lagi dong?”

“Marah-marah masih pak, tapi sekarang sudah bisa dijinakan, hehehe,” balas ku. ngejinakin bu Pristy aja bisa masa non Gadis ga bisa…batin ku lagi.

“Tuh kan…” ledek bu Pristy lagi dengan gaya manjanya, lalu kami tertawa bersama kembali.

Entah perasaan ku saja atau bagaimana, pak Parto ini sering sekali memperhatikan bu Pristy dengan tatapan yang berbeda. Dan kadang bu Pristy pun juga membalas tatapan itu dengan rasa yang berbeda. Mereka berdua seperti…entahlah. Mungkin hanya tatapan hormat pada mantan majikan yang sudah lama tidak bertemu.

“Ngomong-ngomong orang yang Adi maksud itu, apa ibu mencurigai karyawan ibu di restoran? Atau mungkin di perusahaan ibu yang lain? Karena bisa jadi musuh kita ini naruh orangnya untuk jadi mata-mata,” tanya pak Parto yang mengejutkan ku dan bu Pristy. Benar juga, bisa jadi ada mata-mata di dalam restoran. Musuh dalam selimut. Dan tidak terfikirkan oleh ku sebelumnya.

“Ga kepikiran pak,” balas ku lesu merasa menjadi orang paling bodoh sedunia.

“Sama…” balas bu Pristy.

“Hmm…”

“Gimana dong pak?” tanya bu Pristy panik.

“Kalau begitu ibu harus masukan saya ke restoran, mau posisi apa terserah. Saya curiga ada orang dalam yang jadi mata-mata.”

“Oke, nanti aku atur pak. Terus apa lagi pak yang harus kita lakukan?” tanya bu Pristy lagi.

“Sementara itu dulu, kita pantau sambil berjalan.”

Aku dan bu Pristy sama-sama mengangguk-anggukkan kepala. Bodohnya diri ku tidak mengawasi lingkungan dalam restoran yang bisa saja di susupi mata-mata. Aku lalu menyesap kopi ku, begitu juga dengan pak Parto. Aku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya, begitu juga dengan pak Parto. Hahaha, sekilas kami berdua nampak kompak.

“Enak ya sekarang ada teman ngerokoknya?” canda bu Pristy. Kalau hanya berdua beliau pasti sudah aku tawarin untuk merokok batang ku. hahaha.

“Laki itu ngerokok ya pak Parto, kalau lipstikan ya pake rok aja, hehehe,” balas ku. pak Parto hanya tersenyum menanggapi banyolan ku.

“Ya ya sekarang sudah ada temannya berani menjawab.”

“Emang sebelumnya ga berani bu?” tanya pak Parto.

“Dia mah pemalu pak, pemalu tapi mau, hihihi,” balas bu Pristy sambil melirik ku dan meberikan senyum penuh arti. Iya saya mau buat nunggangin ibu tiap malam, hehehe. Sedang asih bercanda tiba-tiba HP ku berbunyi, sebuah panggilan masuk, dari mama.

“Sebentar ya, dari mama,” ijin ku pada mereka berdua. Mereka berdua membalas dengan anggukan. Aku lalu berdiri dan berjalan agak menjauh dari mereka berdua.

“Ya ma, ada apa ma?” tanya ku pada mama di seberang.

“Mama jangan bercanda!”

“Oke-oke mah, kakak segera pulang,” balas ku yang langsung menutup telephone ku. Aku lalu kembali ke tempat dimana bu Pristy dan pak Parto duduk.

“Ada apa?” tanya bu Pristy yang mungkin menyadari raut muka ku yang tiba-tiba berubah.

“Rahma, dan mba Gadis, belum pulang dan ga bisa di hubungi.”

“Apa? Jangan bercanda kamu!” balas bu Pristy kaget.

“Serius bu, kalau bercanda masa saya bawa-bawa adik saya sendiri. Ini saya mau pulang dulu mastiin mama tidak kenapa-napa.”

“Ya sudah kamu pulang. Pak Perto, ini gimana ini?” tanya bu Pristy ke pak Parto dengan paniknya.

“Tenang bu, saya akan ikut nak Adi, siapa tahu ada yang informasi yang bisa saya dapatkan. Pokoknya yang penting ibu tenang, jangan panik. Non Gadis pasti ga kenapa-napa.”

“I-iya pak, hati-hati kalian berdua.”

“Siap, nanti saya akan bilang ke Agus supaya siaga malam ini.”

“I-iya pak, makasih.”

Aku dan pak Parto segera bersiap untuk pergi ke rumah ku. Sedikit banyak sebenarnya aku juga mulai panik. Namun aku harus tetap tenang. Mungkin saja mereka berdua memang sedang main kemana gitu dan HP mereka mati. Tapi entahlah. Tidak ada yang tahu. Karena tugas ku sekarang dan pak Parto adalah mencari tahu.

###

Aku membuka kunci pagar dengan kunci ku. Setelah memasukkan motor, kupersilahkan pak Parto untuk ikut masuk ke dalam rumah. Rumah nampak sepi meskipun lampu-lampu masih nampak menyala, menandakan mama belum tidur. Tentu saja, mana bisa mama tidur sedangkan anak gadis nya belum pulang jam segini. Aku lihat di jam tangan ku sudah jam delapan lewat hampir jam sembilan.

Belum sempat aku membuka pintu rumah, pintu itu sudah terbuka duluan. Mama terlihat dari balik pintu hanya mengenakan daster panjang tanpa lengan. Saltum nih pikir ku kalau posisinya ada pak Parto yang sekarang sedang menutup gerbang. Aku lalu memberi isyarat kepada mama agar segera mengganti bajunya tanpa suara. Untungnya mama mengerti dan segera menuruti ku. Pintu tertutup kembali dan setelah beberapa saat aku ajak pak Parto untuk masuk ke dalam rumah karena seharusnya mama sudah pergi ke kamarnya untuk ganti baju yang lebih sopan.

Tidak lama setelah aku dan pak Parto duduk di ruang tamu, mama keluar dengan mengenakan celana panjang dan kaos yang lebih pantas untuk menerima tamu. Aku mengenalkan pak Parto ke mama sebagai orang kepercayaan tante nya mba Gadis yang tidak lain adalah bu Pristy, dan sekaligus pengawalnya.

“Kapan terakhir anak ibu…”

“Rahma.”

“Iya Rahma, menghubungi ibu?” tanya pak Parto.

“Tadi pagi…”

“Saat masih di sekolah berarti ya?”

“Enggak pak, maksud saya pas pamit berangkat sekolah, karena setelah itu anak saya tidak ada hubungi saya lagi, saya juga tidak karena mereka kan juga pergi ke sekolah seperti biasa.”

“Berarti ada kemungkinan…”

“Kemungkinan apa pak? Apa kita lapor polisi saja?”

“Kemungkinana kalau mereka sebenarnya sedang main ke rumah temannya, hehehe, belum dua puluh empat jam bu, percuma lapor polisi.”

“Lalu kita harus gimana?”

“Ibu sudah hubungi saudara-saudara ibu yang di jakarta sini?”

“Sudah,” jawab mama pelan.

“Teman-teman anak ibu?”

“Baru beberapa…”

“Okeh, kalau begitu biar saya dan Adi yang coba hubungi teman-teman anak ibu satu-satu yah, ibu istirahat aja, tenangin pikiran…”

“Iya mama tenang aja mah, InsyaAllah Rahma dan mba Gadis ga kenapa-napa.”

“Iya deh…mama lebih tenang sekarang…”

“Iya mama pokoknya yang tenangin pikiran ya, kakak dan pak Parto akan cari Rahma sampai ketemu, dan pasti ketemu. Kakak janji. Mending sekarang mama buatin kita kopi aja, hehehe.”

“Huuu, dasar kamu itu kalau ada maunya. Ya udah mama buatin deh, kopi item dua yah?”

“Nak Adi lho bu yang minta, kalau saya sih sebenernya ga usah repot-repot, hehehe,” ucap pak Parto.

“Ga apa-apa pak, saya yang terima kasih sudah dibantu cari anak saya,” balas mama.

Mama lalu beranjak dari duduknya dan mungkin langsung pergi ke dapur untuk membuatkan kopi untuk ku dan pak Parto. Semoga aku tidak termasuk anak yang durhaka karena sudah menyuruh-nyuruh nya. Aku dan pak Parto lalu mencoba menghubungi semua teman-teman Rahma. Satu persatu kami hubungi. Tapi nihil. Tidak ada yang sedang atau tahu keberadaan Rahma sekarang ada di mana.

“Apa kita tanya ke penjaga sekolah nya saja pak?” tanya ku ke Parto.

“Kamu ada kontaknya?” tanya nya. Aku menggeleng.

“Maksud mu kita ke sekolahnya?” tanya nya lagi. Aku mengangguk.

“Lalu ibu mu? Sendirian di rumah?”

“Oh iya…”

Tidak lama kemudian mama sudah kembali dengan nampan di tangannya. Dua cangkir kopi tersaji dengan ditemani beberapa makanan kecil. Mama lalu duduk di samping ku, wajahnya nampak cemas. Sangat dipahami bila beliau merasa sangat khawatir terhadap Rahma dan mba Gadis. Jangankan mama, aku dan pak Parto pun juga merasakan hal yang sama. Hening. Tidak ada hal yang bisa kami lakukan sekarang. Lapor polisi pun pasti akan di suruh menunggu hingga besok. Semua teman dan keluarga sudah dihubungi. Tapi tidak ada hasilnya.

“Kamu sudah menghubungi Ratna kak?” tanya mama. Ah iya, Ratna. Kenapa aku sampai lupa padanya ya.

“Belum mah, iya kakak ampe lupa nanya ke dia. Ya udah kakak hubungi sekarang deh.”

Aku langsung mengambil HP ku untuk menghubungi Ratna. Sekilas aku mendengar pak Parto bertanya kepada mama siapa Ratna. Semoga ada kabar bagus dari Ratna. Semoga anak itulah yang membawa kabur dua monster kecil ku. Semoga. Tapi ternyata yang aku harapkan justru tidak terjadi. Ratna tidak bisa dihubungi juga. Kemana itu anak?

“Gimana kak?”

“Malah ga bisa dihubungi mah,” jawab ku dengan lesu.

“Walah…”

“Gimana ini pak?” tanya ku ke pak Parto. Beliau juga nampak bingung namun masih tetap mencoba mengendalikan sikapnya, dan juga nampak berfikir. Kalau aku sendiri jujur sudah tidak bisa berfikir. Adik dan adik angkat ku dua-duanya hilang tidak ada kabar. Dan sekarang sahabat ku sendiri juga ikut menghilang tidak ada kabarnya.

“Telpon bu Pristy, aku mau ngomong,” perintah pak Parto. Aku lalu menghubungi orang yang dimaksud. Setelah tersambung aku langsung memberikan HP ku ke pak Parto. Beliau lalu menjauh dan berbicara dengan sangat pelan ke bu Pristy. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan. Entahlah. Aku serahkan semua komando kepadanya saja. Beliau lebih berpengalaman. Aku lalu teringat dengan sosok papa. Seandainya beliau masih ada.

[Bersambung]

Daftar Part