Kesempurnaan Part 16

Part 16 – Tidak Semua Kosa Kata Bisa Menjelaskan Perasaan Hati
“Di.. Adi..”
“Hmm..” aku masih memejamkan mata ku saat aku setengah sadar ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuh ku yang masih terbaring.
“Adi.. Bangun..”
“Kenapa Rat..?” balas ku dengan malas-malasan. Memangnya sudah pagi apa ya? Perasaan masih sepi. Aku menggeliat sebentar. Ratna duduk tepat disamping dimana diri ku tidur.
“Ada apaan?” tanya ku sambil melihat ke arah jam dinding. Masih jam dua pagi.
“Tadi gue kebangun mau pipis. Trus tiba-tiba kaya denger orang ngobrol di depan rumah,” ucapnya dengan agak panik. Cukup masuk akal. Kamar Ratan berada di bagian depan rumah, ditambah dengan suasana yang sangat sepi dan tenang seperti ini akan membuat suara sekecil apapun pasti akan terdengar.
“Orangnya masih ada? Suruh masuk aja mungkin mereka butuh air panas buat nyeduh kopi,” balas ku ngasal.
“Gila lu! Kalau mereka penjahat gimana? Coba lu periksa bentar Di? Kok gue mendadak parno ya?”
Aku mandang Ratna sebentar. Melihat wajahnya yang memang menunjukkan rasa takut. Wajar sih, setelah apa yang aku ceritakan semalam kepadanya, dia pasti akan berfikir yang macam-macam.
“Kan bengong lagi, udah buru sana periksa, gue takut nih..” ucapnya lagi. Mau tidak mau aku langsung bangun dan berjalan menuju ruang tamu sambil mengucek mata ku agar penglihatan ku semakin jelas. Aku berjalan pelan menuju jendela yang ada di ruang tamu. Ratna mengikuti di belakang sambil memegangi ujung bawah kaos ku sambil sesekali meremas dan menariknya. Kadang tarikan itu sangat kuat hingga membuat ku harus menoleh kebelakang agar dia lebih menenangkan diri atau tunggu di dalam saja.
Begitu sampai di dekat jendela aku langsung memegang sisi samping gorden dan sambil mengucap bismilah aku singkap sedikit gorden itu ke samping agat aku bisa melihat situasi di luar. Aku menyingkap gorden nya sesedikit mungkin agar tidak terlihat dari luar. Dan ketika aku sudah bisa melihat keluar, ternyata memang benar ada dua orang yang sedang berdiri di depan gerbang rumah Ratna. Sayangnya kedua orang itu tidak sedang menghadap ke rumah jadi aku tidak bisa melihat wajah mereka. Selain itu kalaupun mereka berdua menghadap ke rumah, aku tidak yakin bisa melihat wajahnya karena kondisi jalanan yang tidak terlalu terang.
Suasana jalanan depan rumah Ratna sangatlah sepi. Karena jalanan yang tidak terlalu besar, dini hari seperti sekarang ini sudah tidak ada lagi orang yang beraktifitas. Orang yang lewat pun juga sudah sangat jarang. Terhitung selama beberapa menit aku mengawasi ke dua orang itu tidak ada sama sekali kendaraan yang lewat. Aku mencoba berfikir positif. Mungkin kedua orang itu hanya orang lewat yang kebetulan berhenti di depan rumah. Selama mereka tidak masuk dengan paksa, aku pikir tidak ada yang perlu di khawatirkan. Aku lalu menutup gorden jendal itu lagi dan menarik lengan Ratna agar masuk kembali ke ruang tengah.
“Gimana?” tanya Ratna berbisik.
“Iya benar ada dua orang di depan, tapi gue ga bisa lihat mukanya.”
“Kan benerm terus gimana dong?” tanya nya dengan panik.
“Tenang, selama mereka ga masuk paksa, ga ada yang perlu di khawatirin.”
“Yakin?”
“Iya. Ngomong-ngomong lo jadi kencing kagak?”
“Oiya..”
“Hahaha, ati-ati ngompol,” canda ku pada Ratna yang langsung berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Dasar. Saking takutnya dia malah sampai lupa kalau sedanga menahan kencing.
Iseng aku kembali berjalan munuju ruang tamu sekedar mengecek kembali situasi di luar. Masih dengan sangat hati-hati, aku buka sedikit gorden jendela ini. Namun yang aku liat sekarang sudah tidak ada orang sama sekali. Ke dua orang yang berdiri di depan rumah Ratna tadi sudah tidak ada. Mungkin benar ke dua orang itu hanya orang lewat yang kebetulan berhenti saja. Hati ku sekarang menjadi sedikit lebih tenang. Paling tidak dua orang yang sempat membuat aku dan Ratna curiga itu sudah tidak ada lagi.
“Di?” panggil Ratna dari ruang tengah rumahnya pelan. Aku langsung menghampirinya.
“Dari mana?” tanya nya lagi.
“Ngecek ke depan lagi.”
“Terus?”
“Udah ga ada kok orangnya.”
“Syukur deh.”
“Ya udah tidur lagi sono, gua juga mau tidur.”
“Ga bisa Di..” balasnya dengan suara memelas. Kenapa lagi ini anak pikir ku.
“Takut?” tanya ku. Langsung dijawabnya dengan gelengan kepala.
“Lalu?”
“Laper,” balasnya polos sambil nyengir. Haiaaah..
[table id=Lgcash88 /]
Tidak di rumah, tidak di sini, aku seperti menjadi seorang yang bertugas mengurusi orang-orang yang berada di sekitar ku. Baru jam dua lewat dan dia lapar. Jam segini mana ada tukang makanan yang masih buka? Dan kalaupun masih ada, dengan peristiwa yang barusan terjadi rasanya bukan pilihan yang bijak bila aku harus keluar rumah. Bukannya aku takut, tapi terkadang kita harus bisa menahan diri dari sesuatu yang kita sendiri tidak tau seberapa besar resiko yang ada di depan kita.
Dan pilihan terakhir yang paling masuk akal adalah dengan membuat makanan sendiri. Aku cek di penanak nasi, masih ada nasi. Oke, aman. Di dalam kulkas ada beberapa butir telur dan beberapa macam sayuran serta baso dan sosis yang mungkin bisa di kreasikan menjadi nasi goreng pikir ku. Ratna ini ternyata selain tomboi juga tidak bisa masak. Tapi entah benar-benar tidak masak atau hanya mengerjai ku dengan mengaku tidak bisa masak karena malas mungkin sehingga aku yang harus menyiapkan makan…pagi yang terlalu cepat ini. Bahkan untuk sahur pun masih terlalu cepat.
“Bener, ternyata masakan lo emang enak,” puji Ratna saat mulai menyap nasi goren buatan ku itu. Aku sendiri yang tidak lapar tidak ikut makan. Aku lebih memilih untuk menyedu cokelat panas yang aku ambil dari dapur tadi, entah punya siapa. Ratna duduk di sofa ruang keluarga sambil sepiring nasi goreng berada di tangannya. Sedangkan aku duduk di Kasur lipat yang berada di lantai lalu menyalakan TV. Entah ada acara tv apa jam segini.
“Orang bisa bikin nasi goreng itu belum tentu bisa masak, tapi kalau tidak bisa bikin nasi goreng sudah pasti dia tidak bisa masak, karena itu sangat simple.”
“Tapi nasi goreng yang seenak ini belum tentu semua bisa, ini sih dimasukin ke menu restoran juga pantes,” puji nya lagi.
“Dan gue nanti akan menjadi salah satu pemegang saham nya, hahaha,” ucap ku sambil tertawa mengkhayal.
“Aamiin.”
“Hahaha, terlalu jauh gue mengkhayalnya, padahal masih pagi.”
“Eh, ucapan itu doa, jadi jangan anggap remeh itu, karena…”
“Karena apa?”
“Karena kita tidak tahu kapan Tuhan akan mengabulkan keinginan kita di doa yang keberapa.”
“Halah, sok religious lu, sholat aja kagak pernah, hahaha.”
“Hahaha, bangke lu!”
Selanjutanya, setelah cokelat ku dan nasi goreng milik Ratna habis, kami berdua tidak tidur lagi. Meskipun mengantuk tapi entah kenapa mata ini tidak mau dipejamkan. Ratna pun sepertinya juga begitu.
Dia semakin asik menonton acara televisi bersama ku. Padahal acara tidak ada yang menarik. Justru yang menarik itu adalah obrolan dan candaan yang terjadi di antara kami. Hingga sesaat menjelang shubuh tiba-tiba rasa kantuk menyerang ku dengan begitu kuat. Aku menguap berkali-kali dengan sangat lebarnya. Begitu juga dengan Ratna. Aku melihat dia sesekali matanya sudah mulai terpejam lalu kemudian sudah tertidur dengan pulas. Sebentar lagi aku pasti akan segera menyusulnya. Dasar, bisikan setan memang masih terlalu indah di telinga ku
[table id=iklanlapak /]
Pagi tadi aku bangun lumayan siang, sekitar jam sembilan pagi. Setelah bebersih badan aku langsung pamit ke Ratna untuk segera pulang. Sedangkan Ratna sendiri nampaknya masih melanjutkan tidurnya. Kami berdua hari ini mendapatkan jatah masuk malam, itu artinya jam kerja kami baru akan di mulai sekitar jam tiga sore.
Sampai di rumah, aku dapati rumah sudah kosong. Rahma dan mba Gadis pasti sudah berangkat kesekolah. Mama, setelah aku tanya tadi katanya lagi ke pasar tanah abang untuk berbelanja segala keperluan jahit. Benang, jarum, kancing baju dan teman-temannya.
Aku isi siang ku tadi dengan hanya bersantai di rumah. Tidur-tiduran. Makan. Nonton tv. Baru setelah jam dua siang aku berangkat ke restoran untuk memulai shift malam ku hari ini.
Tadi saat aku tiba di restoran, berbarengan dengan mba Gadis yang juga baru tiba dari sekolahannya, lengkap dengan bando dan ransel mini biru muda miliknya.
Bando dan tas ransel kecil yang sama persis yang dia gunakan saat pertama kali aku melihatnya beberapa bulan yang lalu. Saat aku sedang melamar pekerjaan di restoran ini. Tidak ada yang berubah, masih terlihat lucu. Dan juga imut.
Hanya saja memang ada sedikit perubahan. Sedikit sekali. Dengan aktifitasnya yang sekarang ini, pagi sekolah, sore kerja, fisik dan wajah mba Gadis nampak lelah dan lesu. Itu tidak akan bisa dipungkiri. Kadang aku merasa kasihan.
Apalagi pas awal-awal dulu, saat mba Gadis baru mulai beradaptasi. Semuanya terasa sangat jelas. Bukan hanya olehnya, tapi juga untuk kami, karyawan yang lainnya.
Tidak bisa kami pungkiri bahwa restoran ini sangat menjamin kesejahteraan karyawannya. Gaji tergolong cukup tinggi untuk posisi dan jabatan masing-masing karyawan. Asuransi, ada.
Tunjangan-tunjangan yang lain, juga ada. Ijin cuti, gampang. Bos nya, ramah, tidak galak. Kurang apa lagi? Yang membuat kami kadang tidak tega adalah bila melihat anak sang pemilik restoran harus ikut bekerja bersama kami.
Tapi ya sudah lah. Itu semua bukan kehendak dan kuasa kami semua para karyawan. Itu sudah menjadi keputusan bu Pristy dan mungkin ayah dari mba Gadis sendiri. Lagi pula sekarang mba Gadis sudah mulai menikmati kegiatan yang di tugaskan kepadanya. Mba Gadis sudah mulai menikmati pekerjaannya.
Tapi inti dari cerita ku kali ini bukan tentang mba Gadis. Tapi bu Pristy. Aku berniat menceritakan kejadian yang aku alam dengan mba Gadis tempo hari dan Ratna semalam. Dan sekarang aku sudah berada di depan ruangannya.
Setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk, aku membuka pintu dan masuk kedalam ruangan bu Pristy. Aku menutup rapat kembali pintu ini sesuai dengan arahan beliau. Bu Pristy nampak sibuk di depan layar monitornya, entah pekerjaan apa yang sedang dia kerjaan. Setalah aku berada di dalam dia lalu melepas kacamata nya dan melihat ke arah ku.
“Kangen ya? Hihihi,” candanya.
“Pasti lah bu, siapa sih karyawan restoran ini yang ga kangen sama ibu bos yang baik hati, murah senyum, tidak sombong, dan..cantik kaya ibu? Hehehe,” balas ku tidak mau kalah.
“Hahaha, kamu masih sama saja, masih suka menggombal, dan makin pinter kayanya, hehehe.”
“Hehehe,” aku hanya nyengir. Bingung mau memulai pembicaraan dari mana.
“Jadi gimana-gimana? Baju nya pada muat kan? Ibu sama adik kamu suka kan? Itu aku beli sesuai dengan ukuran yang kamu berikan lho,” tanya bu Pristy tentang oleh-leh berupa baju yang diberikannya kemarin.
“Alhamdulillah muat kok bu, dan mereka semua senang,” jawab ku berbohong karena semalam aku tidak pulang. Pas aku sudah sampai di rumah mereka semua sudah pergi. Jadi sebenarnya mereka belum menerima oleh-oleh tersebut.
“Bagus deh. Ngomong-ngomong, kamu aku tinggal dua minggu aja udah kaku lagi ngobrol nya, inget ga dulu pernah janji apa?”
“Justru itu bu, ada yang mau saya bicarakan.”
“Apa itu?”
“Hmm.. Mungkin langsung saja ya biar ga bertele-tele.”
“Silahkan..”
“Intinya minggu lalu ada yang ngikutin saya dan mba Gadis, lalu semalam saya kebetulan pulang bareng Ratna, juga ada yang ngikutin saya, apa itu orang suruhan Ibu?”
“Suruhan ku? Hahaha, ngapain aku nyuruh orang buat ngikutin kamu Di? Kalau perlu sama kamu ya aku tinggal panggil saja.”
“Berarti benar itu bukan orang ibu?”
“Kenapa kamu bisa berfikiran seperti itu?” tanya bu Pristy balik.
“Dulu waktu saya nemenin ibu dinas, ibu pernah bilang bisa kirim orang buat ngawasin keluarga saya, jadi kalau sekarang ada yang ngikutin saya, bukan tidak mungkin itu orang suruhan ibu, tapi cuma kemungkinan saja.”
“Aku tidak yakin, tapi sepertinya ada yang sedang mengawasi Gadis lalu merembet ke kamu.”
“Benar kan?”
“Aku tidak tau Di, belum tau, tapi firasat ku seperti itu. Mungkin nanti aku akan kirim orang untuk cari tau.”
“Apa ada kemungkinan itu dari mantan istri nya bapak?”
“Aku tidak mau berfikir jauh kesana, tapi ada kemungkinan iya. Termasuk orang yang aku lihat di penginapan waktu itu, bisa jadi juga seperti itu.”
Ternyata memang benar. Meskipun belum pasti, tapi orang-orang itu ada hubungannya dengan mba Gadis. Dan ada kemungkinan kedepannya keluarga ku akan masuk ke lingkaran setan itu juga. Aku menatap ke arah bu Pristy yang juga menatap ke arah ku. Ibu yang satu ini benar-benar cantik.
Beliau berdiri dan berjalan ke arah sofa yang memang menjadi salah satu fasilitas di dalam ruangannya ini. Bu Pristy berjalan dengan sangat anggun menggunakan setelan blouse tipis warna cokelat muda dipadu dengan rok span ketat selutut yang memperlihatkan lekuk pinggulnya yang melengkung dengan indah dipadu dengan high heels warna hitam yang menjadi alas kaki jenjangnya.
“Mau sampai kapan kamu berdiri di situ?” tanya bu Pristy saat dia duduk di atas sofa. Aku memang masih berdiri di depannya. Bu Pristy duduk dengan menyilangkan kaki nya yang membuat lekukan pinggulnya semakin terlihat dari arah depan.
Aku yang awalnya kembali segan kepadanya setelah ditinggal selama kurang lebih dua minggu sekarang mencoba untuk kembali santai di depannya. Aku nyengir dan tanpa disuruh dua kali aku duduk di samping kanan bu Pristy.
“Saya harus bagaimana ya bu?” tanya ku bingung. Bu Pristy tidak langsung menjawab. Beliau malah meraih pergelangan tangan ku dan memasukkan jari jemarinya yang lentik ke sela-sela jari tangan kiri ku. Tangan kami saling bertautan. Meskipun kami berdua dulu pernah melakukan yang lebih dari ini, jujur kali ini aku kembali merasakan grogi yang mendalam. Jantung ku berdebar semakin kencang tatkala bu Pristy meremas jari ku.
“Kamu kan cowok Di, pikir sendiri lah, hihihi,” ucapnya setengah meledek.
Betul bu saya memang cowok, tapi kalau saya sendiri bisa apa saya?
“Ah ibu mah..”
“Hihihi, ga usah khawatir, aku akan membatu sebisa ku. Yang penting kamu jaga saja ibu mu, adik mu, serta Gadis, aku akan mengawasi dari jauh,” ucapnya sambil semakin meremas jari ku dan mengusapnya lembut. Membuat jantung ku semakin berdebar. “Yang penting tetap waspada saja, aku akan menjaga mereka dari jauh..tapi..”
“Tapi apa bu?”
“Kalau lagi dekat dengan ku seperti ini,” ucapnya pelan lalu menyandarkan kepalanya di bahu kiri ku. “Jadi lah penjaga untuk ku Di, pelindung ku, tempat ku bersandar,” lanjut nya dengan sangat manja. Tubuhnya condong ke arah ku dengan tangan kiri memeluk lengan kiri ku.
“Bu, tapi saya..”
“Aku tidak perlu komitmen mu Di, aku hanya perlu kamu ada di samping ku, aku tidak perduli kamu menganggap ku apa, aku hanya perlu kamu di samping ku.”
“Kenapa ibu memilih saya?”
“Karena..punya kamu panjang, hihihi,” candanya sambil tertawa. Aku langsung menoleh ke arahnya dengan gestur agak menjauh namun segera lengan ku ditariknya kembali hingga siku kiri ku menempel erat ke dalam dekapannya, menumbuk bongkahan daging kenyal yang berada di dada nya itu.
“Bercanda Adi, hihihi, terkadang apa yang di rasakan oleh hati itu tidak ada kosa kata yang bisa menjelaskannya. Makanya ada ungkapan cinta tanpa alasan, dan sebagainya.”
“Ibu mencintai saya?”
“Ga juga, aku hanya merasa nyaman saja berada di dekat mu.”
“Saya berondong nya ibu dong?”
“Hahaha, kamu ini ada-ada saja, kamu jauh lebih berharga untuk sekedar dijadikan berondong.”
Bu Pristy semakin memiringkan badannya ke arah ku. Lipatan kakinya juga semakin tinggi membuat rok span yang dikenakannya juga semakin tersingkap hingga hampir setengah pahanya terekspos oleh ku. Bu Pristy bukannya tidak taku aku memperhatikannya, namun dirinya seolah membiarkan saja paha mulusnya itu menjadi santapan mata ku.
Seolah semua yang ada di tubuhnya itu bebas aku pandangi. Bahkan kalau perlu aku telanjangi. Beliau justru semakin merapatkan duduknya. Dan seperti memerosotkann duduknya, semakin lama rok itu semakin tertarik ke atas.
“Nakal ya matanya,” ledeknya.
“Eh, ma-maaf,” balas ku yang langsung menatap ke depan. Bu Pristy bukannya marah tetapi malah meraih kepala ku dan di arahkan kembali ke arah pahanya yang semakin terlihat jelas oleh ku itu.
“Wajar kok, pria kan memang melihat dengan mata, beda dengan wanita yang kadang melihat dengan hati ataupun pendengaran.”
“Sudah kodratnya ya bu, hehehe,” ucap ku membela diri.
“Iya, tapi awas kalau matanya berani nakal ngeliatin paha wanita lain, liat nya ke paha yang ini ja!” ucapnya sambil menunjuk ke paha nya sendiri seolah menawarkan agar aku menyantap paha seksi nya itu.
“Ya berarti sama saja itu saya harus berkomtmen dong?”
“Berani ngelawan?”
“Ah, enggak bu, apa kata ibu saja, yang penting saya masih di gaji bulan ini,” balas ku pasrah.
“Hihihi, pasti, tenang aja, malam ini kamu ada acara?”
“Ga ada sih bu, tapi kan saya shift malam, jadi ya pulangnya malam. Kenapa?”
“Enggak.. Semalem kan kamu udah anterin Ratna pulang, kalau nanti malam aku minta dianterin pulang, kamu mau kan?” tanya bu Pristy sambil menggelayut manja di dada ku.
Aduh. Makin dag dig dug aja ni jantung. Ga di peluk seperti ini aja pasti saya anterin kok bu. Apalagi pake di peluk seperti ini. Langsung gas.
[table id=AdsTbet /]
Agar tidak menimbulkan kecurigaan dari karyawan yang lain, aku terpaksa menunggu hingga mereka semua pulang, begitu juga bu Pristy. Hingga pukul sepuluh lewat, tinggal kami berdua yang berada di restoran ini tanpa menghitung security yang berjaga di depan. Sopir bu Pristy sudah di suruh pulang terlebih dahulu. Sopir dan security ini ternyata bagian dari orang-orang kepercayaan bu Pristy, jadi mereka dapat di percaya.
Aku kembali mengendarai sedan mewah keluaran Eropa milik bu Pristy ini kembali, sedangkan beliau duduk di samping ku dengan sangat anggun. Mobil bergerak dengan mulus dan setabil menuju kediamannya di salah satu perumahan paling elit yang berada di bilangan Pondok Indah. Rumah besar yang dulu aku pernah kunjungi.
Suasananya masih sama. Begitu tiba di depan gerbang, seorang satpam dengan siaga langsung membuka pintu pagar. Aku langsung memasukkan mobil mewah ini ke dalam garasi. Saat kami berdua turun, bu Pristy langsung mengajak ku ke halaman belakang rumah yang terdapat kolam renangnya.
“Mau minum apa?”
“Apa aja lah..”
Bu Pristy langsung meninggalkan ku, mungkin akan menyuruh pembantunya untuk membuatkan minum untuk ku. Aku melihat ke sekeliling halaman belakang ini. Air kolam nampak tenang memantulkan samar-samar bayangan pepohonan yang berdiri di sekitarnya. Termasuk juga tembok belakang rumah yang menjulang tinggi.
Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di salah satu bangu taman yang berada tepat di samping kolam. Kapan gua punya rumah seperti ini ya? Hmm..aku lalu mengambil hp ku dan mengabari mama kalau malam ini tidak pulang lagi. Mau nemenin bu Pristy bobo, hehehe. Ah tidak. Alasannya apa ya? Belum sempat mengirimkan pesan itu bu Pristy sudah kembali dengan sebuah nampan dan secangkir kopi terhidang di atas nya.
“Nih aku buatin Kopi, aku sendiri lho yang bikin,” ucapnya sambil tersenyum manis kepada ku.
“Bibi nya kemana?”
“Jam segini mah mereka sudah pada tidur..”
“Ouh..”
“Lagi pula sudah menjagi komitmen sih, merak kan pagi-pagi sudah bangun, jadi lewat jam sembilan malam aku ga mau mengganggu mereka lagi.”
“Majikan yang baik hati..”
“Bos nya siapa dulu? Hihihi,” candanya menyombongkan diri.
Aku menyandarkan tubuh ku ke sandaran bangku yang ku duduki ini. Aku tidak terlalu berharap, tapi aku mencium ada sesuatu yang diinginkan oleh bu Pristy dari ku, terlihat dari sikap dan tatapan matanya kepada ku sejak tadi sore. Namun sepertinya bu Pristy juga malu untuk memulainya.
“Ibu ga ganti baju dulu?” tanya ku memancing.
“Iya ya, hehehe, ya udah aku ganti baju dulu, kamu sudah ngabarin mama kamu?” tanya nya balik. Aku menggeleng.
“Kabarin dulu..” perintahnya.
“Iya..”
Bu Pristy lalu beranjak pergi meninggalkan ku lagi. Sedangkan aku sendiri masih bingung harus memberikan alasan apa ke mama. Ah entar ajalah.
[table id=AdsLapakPk /]
Bu Pristy kembali dengan mengenakan piyama tipis model terusan dengan tali di pingganya yang panjangnya tidak sampai menutupi lututnya. Piyama itu berbahan satin yang nampak sangat halus dan lembut serta cukup tipis, hingga samar-samar aku bisa melihat dalamannya yang sedikit menerawang.
Fix, wanita setengah baya berstatus janda ini sedang menginginkan sesuatu dari ku. Kepalang tanggung pikir ku. Tapi aku penasaran, sejauh apa beliau berani menggoda ku.
Aku menatapnya sekilas lalu membuang pandangan ke kolam lagi, aku harus terlihat cool di depannya. Bu Pristy menghampiri ku lalu duduk di bangku panjang yang ada sandarannya di samping kiri ku. Dia duduk dengan melipat kakinya rapat, khas duduk seorang wanita.
Bahan satin piyama nya yang tips dan elastis membuat bagian bawahnya tersingkap meskipun langsung di betulkannya, namun itu sudah berhasil mengalihkan pandangan ku. Dia tersenyum kembali pada ku membuat ku menjadi salah tingkah. Kami berdua layaknya sepasang muda mudi yang sedang saling menebar pesona, berusaha menarik perhatian lawan jenis. Padahal umur kami terpaut sangat jauh.
“Di minum kopi nya,” perintahnya dengan sangat halus.
“Iya, makasih ya,” balas ku hangat tanpa memanggilnya bu agar suasana menjadi lebih akrab.
“Makasih juga sudah mau menemani, kalau ga ada kamu kaya gini aku sendirian aja di rumah, kebayangkan gimana sepinya..”
“Kan ada pembantu..”
“Ya memang, tapi tetap saja mereka sungkan terhadap ku, dan ngobrol dengan orang yang sungkan dengan kita itu rasanya tidak nyaman.”
“Pris, eh maaf bu Pristy..”
“Hihihi, ga apa-apa panggil namanya aja. Kenapa?”
“Hehehe, anu, aku boleh duduk di samping mu?”
“Hihihi, duduk tinggal duduk aja,” balasnya sambil menahan senyum. Awalnya aku memang ingin melihat seberapa jauh dia menginginkan dan menggoda ku, namun suasana malam ini yang begitu romantis membuat ku tidak tahan sendiri. Aku duduk di sebelah kanannya. Pandagan ku lurus ke depan namun paha putih mulusnya kembali mengalihkan ku.
“Tumben-tumbenan kamu minta duduk di sebelah ku?”
“Ehm.. Anu..hehehe.. kamu wangi, hehehe,” balas ku ragu. Tapi memang benar. Wangi tubuhnya memang benar-benar memabukkan.
“Aku belum mandi lho.. Masa wangi sih?” tanya nya lagi sambil mengendus lengan piyamanya sendiri yang pendek itu. Dan entah keberanian dari mana aku malah ikut mengendusi lengan piyamanya yang sebelah kanan, dan benar-benar sangat wangi. Mencium aromanya membuat ku seolah sedang duduk di taman-taman surga bersama seorang bidadari cantik.
“Ihh Adi genit banget cium-cium..” protesnya manja dengan sedikit menjauhkan badannya namun tidak ada aura marah, justru malah tersenyum manis.
“Soalnya wanginya bikin ga tahan, hehehe,” balas ku dengan ambigu.
“Ga tahan ngapain hayooo..? Awas ya macem-macem nanti aku laporin sama satpam di depan bisa di hajar kamu,” ancamnya menakut-nakuti namun tetap saja masih sambil dengan menahan senyum.
“Laporin saja, kalau harus di gebukin sih aku rela asal bisa terus nyiumin wangi ini,” ucap ku sambil menarik lengannya dan kembali mengendusi lengan piyamanya yang halus dan lembut ini. Kulit lengan yang aku genggam ini juga tidak kalah halus nya, berbeda sekali dengan kulit telapak tangan ku yang kasar.
“Aaawwww..” teriak bu Pristy agak keras, tapi pasrah, dan aku juga ragu itu sebenarnya teriakan atau sebuah desahan.
“Kalau harus duel lawan satpam yang di luar itu, aku berani kok, demi harum tubuh mu ini,” bisik ku lembut ke telinga kanannya. Ku tarik lebih erat lagi tubuh bu Pristy hingga posisi ku sekarang memeluk nya dari samping. Kedua telapak tangan ku mendarat di perutnya yang rata, sedangkan dagu ku menempel pada pundak kanannya.
“Aahhh.. ta-tapi.. satpam ku jago bela diri lho..” ucap nya lemah antara ingin menakut-nakuti ku atau ingin tau seberapa jauh keberanian ku, atau mungkin kenekatan ku. Aku bisa melihat betapa sayu matanya memandang ke depan. Ke dua pahanya tertutup rapat dan saling bergesekan menandakan ada sesuatu yang ditahannya.
“Aku tidak perduli Pris, wangi tubuh mu ini terlalu berharga untuk di lewatkan,” bisik ku lagi ke telinganya. Tubuhnya semakin menggeliat, namun itu justru membuat tubuh ramping namun sekal ini semakin pas di pelukan ku.
“Tol..” teriaknya lagi pelan namun sebelum selesai aku sudah mendekap mulutnya. Mulut bos ku sendiri. Aku tidak bisa membayangkan reaksi teman-teman bila melihat apa yang telah aku perbuat terhadap bu Pristy sekarang ini.
“Mau teriak beneran ya? Tidak semudah itu sayang..” bisik ku ke telinganya lalu ku akhiri dengan mengendusi area tengkuk nya yang wangi itu. Entah berapa banyak minyak wangi yang dia gunakan tadi, tapi aroma nya sangat memabukkan. Parfum mahal pikir ku. bu Pristy masih mencoba meronta, namun setengah hati. Rontaannya hanya kamuflase dari hasrat birahi nya yang mungkin selama ini terkungkung dalam jiwa nya yang kesepian. Semakin tubuh itu menggeliat, semakin erat pula aku memeluknya dari belakang.
Aku lalu menarik bagian atas piyama ke arah samping kiri dan kanan. Area leher yang tadi hanya terlihat sedikit kini telah terbuka lebar, namun aku tidak melepas tali yang ada di perut nya. Saking lebarnya hingga sekarang aku bisa melihat belahan dadanya dari belakang. Dengan lembut aku mengusap gundukan daging kenyal yang menghiasi dadanya ini. Ku usap perlahan lalu dengan pelan jari ku menyelinap kedalam cup bra yang dia kenakan. Sekilas aku merasakan tubuh bu Pristy menegang. Kedua pahanya semakin menutup rapat. Ke dua tangannya mencengkram erat pada lengan ku. Bahkan aku bisa merasakan kuku-kuku nya mencakar ke kulit ku. Bu Pristy Orgasme? Hanya dengan usapan pada payudaranya? Astaga..
“Kamu mau terjadi keributan di rumah ini?” tanya ku mengintimidasi. Dijawab bu Pristy hanya dengan gelengan kepala yang sangat lemah. Orgasme yang di dapatnya tadi tentu saja membuat tenaga nya terkuras. Dan bisa jadi bu Pristy sudah sangat lama tidak merasakan apa yang baru saja dia rasakan.
“Kalau begitu kamu harus nurut, mengerti?” tanya ku lagi. Kali ini beliau mengangguk pelan.
Aku mulai melepaskan sekapan ku pada tubuhnya. Bu Pristy hanya menundukkan kepalanya. Mungkin dia malu kalau harus menatap ku. Ku putar duduknya agar sedikit menghadap ke arah ku. Ku sisingkan rambut tipis di pipinya ke atas daun telingannya. Ku usap pipi nya yang lembut itu dengan buku jari telunjuk kiri ku. bu Pristy masih menunduk. Ku tarik dagu nya agar lebih menghadap ke atas namun matanya masih tetap mengarah kebawah. Ku lingkarkan tangan kiri ku ke belakang lehernya, ku dekatkan tubuh ku sambil menarik tubunya. Kepala ku semakin mendekat dan mendekat ke arahnya. Wajah kami semakin berdekatan hingga sangat dekat dan dengan satu hisapan..
“Sulluurrppss.. aahhhsshhh..”
Aku melumat bibir manisnya. Bibir tipis milik pemilik restoran tempat ku bekerja. Wanita yang menjadi atasan ku sendiri, wanita yang seharusnya aku hormati dan aku hargai. Namun sekarang dengan lancang bibir indah itu aku lumat dan aku hisap. Aku terobos bibir tipis nya yang lembut itu dengan lidah ku sendiri. Menjamah sesuatu yang seharusnya tidak aku jamah.
Hampir dua menit bibir kami bertemu. Saling melumat, bahkan saling menjilat. Bahkan lidah bu Pristy yang awalnya pasif akhirnya juga ikut meladeni permainan ku. Setelah bibir kami terlepas kembali ku pegang dagunya agar aku bisa melihat matanya yang indah itu, namun lagi-lagi seperti nya bu Pristy malu dan memalingkan wajahnya ke kiri.
“Buka!” perintah ku saat meletakkan tangan kanan bu Pristy tepat di atas selangkangan ku.
Tanpa disuruh dua kali bu Pristy langsung membukanya. Karena agak kesulitan, aku mendorong tubuhnya agar turun kebawah dan dia masih tetap menurut. Bu Pristy berlutut di antara ke dua paha ku dengan posisi menghadap ke arah ku namun pandangannya tidak pernah ke arah wajah ku. Selalu menunduk dan menghindar. Wajah nya yang malu-malu namun mau membuat ku semakin gemas kepadanya.
“Su-sudah,” ucap bu Pristy dengan suara bergetar. Meskipun sudah pernah melihatnya, bahkan mengulumnya, namun rasa takjub nya terhadap junior ku jelas sekali terlihat. Tangannya reflek hendak meraihnya namun ditariknya kembali.
“Pegang,” perintah ku yang langsung diturutinya.
“Urut pelan-pelan,” perintah ku lagi dan lagi-lagi bu Pristy melakukannya dengan patuh.
“Kulum dan hisap, tapi aku tidak mau kena gigi kamu,” perintah ku, namun kali ini beliau seperti kaget dengan menatap mata ku dengan pandangan sayu. Namun tidak lama kemudian dengan pasrah bu Pristy melakukan lagi apa yang aku perintahkan.
Perlahan wanita yang seharusnya aku hormati itu memasukan kepala junior ku ke dalam mulutnya. Bibir tipis nya yang sensual itu terlihat kesusahan memasukan kemaluan ku yang sudah mengeras itu. Dengan perlahan lidahnya mulai bermain-main diatasnya. Awalnya hanya kepalanya saja namun kemudian seluruh permukaan daging berurat itu dia jilati semuanya.
“Celana dalam kamu basah ya? Hahaha,” tanya ku mengejeknya. Mengejek atasan ku sendiri akibat dadirinyari yang tidak bisa menahan birahinya sendiri. Birahi yang sudah jebol hanya dengan usapan di payudaranya.
“Aku mau kamu membasahi milik ku ini dengan cairan yang keluar dari vagina mu itu,” ucap ku pelan namun lantang. Sudah kepalang tanggung pikir ku. Dan aku yakin jika aku menghentikan permainan ini di sini, justru bu Pristy yang akan marah kepada ku. Iya, dia menikmati permainan ini.
Tanpa di suruh dua kali bu Pristy langsugn berdiri. Dan tepat di depan ku beliau mengangkat bagian bawah piyamanya hingga sebatas pinggang. Aku dapat melihat lekukan pinggulnya yang melengkung dengan indah dihiasi celanda dalam yang amat teramat mini. Tali yang menyangkut di pinggangnya itu lalu dia pegang dengan kedua jempolnya lalu di tarik ke bawah hingga jatuh dan lolos dari kaki nya. Masih dengan memegangi bagian bawah piyamanya bu Pristy berbalik dan dengan menunggingkan pantatnya beliau menoleh kebelakang dengan tatapan matanya yang yang sayu dan pasrah.
“Siapa yang suruh kamu nungging? Aku mau kamu yang memasukannya!”
“Eh..ehmmm..” lenguhnya pelan sambil menggigit bibir nya sendiri.
“Duduki!” perintah ku lagi.
Dan beliau langsung mengerti. Bu Pristy mundur satu langkah. Tangan kanannya digunakan untuk memegang bagian bawah piyamanya sedangkan tangan kirinya digunakan untuk memegang paha kiri ku sebagai tumpuan. Di tariknya bagian bawah piyama itu semakin keatas dan di kaitnya dengan dagunya sendiri. Tangan kanannya lalu memegang batang kemaluan ku dan mengarahkannya ke bibir vaginanya.
“Aahhsshh..” bu Pristy mendesah pelan. Badannya kembali bergetar. Aku bisa merasakan bulu kuduknya yang berdiri. Pasti beliau merinding merasakan ada benda asing yang menempel pada lubang vaginanya. Kemaluan ku digenggam nya dengan keras seiring dengan pinggulnya yang juga semakin di tekan kebawah. Bu Pristy nampaknya sudah tidak tahan. Dia tidak mau main-main lagi. Entah sedah berapa lama lubang di bagian bawah tubuhnya ini kosong tidak ada yang menyinggahi. Entah sudah berapa lama lubang sempit dan berlendir ini tidak pernah di jamahi. Dan entah sudah berapa lama liang senggamanya ini tidak ada yang menikmati.
“Aku sayang sama kamu,” bisik ku ke telingannya yang diresponnya dengan mendongakkan kepala sambil dengan kuat mendorong pinggul nya semakin kebawah.
“Aaahhhsshh..” erangnya begitu kejantanan masuk semua ke dalam liang senggamanya. Sebenarnya belum masuk semua, hanya saja sudah mentok dan aku merasakan kepala penis ku menumbuk sesuatu di dalam sana hingga membuat pemiliknya mendesis keenakan.
Bu Pristy lalu menggenggam tangan ku dan meremasnya. Dimasukannya jari jemarinya yang lentik ke sela-sela jari ku. kini tangan ku digunakan nya untuk bertumpu.
“Goyang,” bisik ku kembali ke telinganya. Lagi-lagi beliau mendesis nikmat. Otot vaginanya mencengkram kuat pada batang kemaluan ku. liang peranakannya ini terasa sangat sempit sekali.
“Ayo cepat goyang, puaskan aku,” perintah ku lagi sambil kembali mengendusi tengkuk nya yang berbulu halus itu hingga membuat nya menggelinjang nikmat. Bu Pristy mulai merespon perintah ku dengan menaikkan sedikit badannya lalu di turun kan kembali. Hanya sedikit karena mungkin dia taku terlepas. Seolah dia tidak ingin batang keras ku ini lepas dari tubuhnya. Setelah ujung kepala penis ku menumbuk lagi rongga terdalam itu beliau mengangkatnya lagi lalu menekannya kembali. Pinggul itu naik turun berayun dengan indahnya. Berpacu dengan lincahnya. Mengayuh indahnya nikmat surgawi. Gerakannya bagai kuda binal yang ingin segera mendapatkan kenikmatannya yang kedua. Gerakannya semakin cepat cepat dan cepat hingga akhirnya si kuda binal mendapatkan puncaknya. Puncak kenikmatan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dia dapatkan.
“Gila!” ucapnya pelan namun jelas disela-sela nafas nya yang terengah-engah. Batang ku masih menusuk pada liang peranakannya. Badannya condong kedepan dengan kedua tangannya bertumpu pada pahanya. Nafasnya naik turun dengan sangat cepat. Energi nya benar-benar terkuras setelah mengalami dua kali orgasme.
“Apa nya yang gila?”
“Aku sudah dua kali K.O dan kamu belum apa-apa,” balasnya.
“Hehehe,” balas ku nyengir.
“Dasar anak buah nakal, bos sendiri kamu gagahin seperti ini,” komentarnya sambil menoleh kebelakang. Posisi nya yang sedikit menunduk membuat rambut panjangnya tergerai dengan indah ke samping.
“Yakin saya yang menggagahi ibu? Bukannya kebalik ya?” ledek ku padanya yang dibalasnya dengan juluran lidah. Ekspresi gemas nya itu membuat wajahnya nampak semakin lucu, wajah yang sangat jauh membohongi usianya.
“Ibu masih kuat?” tanya ku lagi meledek yang lalu dibalasnya dengan senyuman nakal.
Bu Pristy lalu mencabut batang ku yang masih menancap di liang senggamanya itu. Dia lalu berjalan ke arah samping dengan lemah gemulai. Posisinya kembali membelakangi ku. ditarik nya lagi bagian bawah piyamanya keatas yang tadi sempat terlepas. Lutut kaki kirinya dinaikan ke atas bangku sebagai tumpuan, sedangkan kaki kanan nya masih menjejak pada lantai. Badannya lalu membungkuk hingga membuat pantat indahnya yang membulat itu menungging menantang ku. Sambil menoleh kebelakang bu Pristy meberikan tantangan kepada ku.
“Restoran itu akan jadi milik mu kalau aku tidak bisa membuat mu lemas tak berdaya,” tantangnya yang diakhiri dengan kerlingan manja dari matanya.
Halaman Utama : Kesempurnaan
BERSAMBUNG – Kesempurnaan Part 16 | Kesempurnaan Part 16 – BERSAMBUNG