Kamu Cantik Hari Ini Part 43

Kamu Cantik Hari Ini Part 43
“Selamat ya Ndra, semoga kamu bahagia dan salam buat Rosi”
Pesan yang aku dapatkan malam sesaat aku hendak merebahkan badanku yang sehari tadi sudah menentukan jalan hidupku ke depan. Memang saat ini aku sedang tidak bisa tidur dimana selama ini aku tidur di rumah ini. Dengan adanya keluargaku di sini, aku terpaksa untuk tidur di ruang keluarga bersama Ardi. Rosi yang ditemani oleh Bella tidur di kamar biasa kami tempati. Sedangkan, kamar Bella diisi oleh Uni Ana dan suami bersama anak anaknya. Dan, kamar tamu diisi oleh amak dan abak. Sebenarnya masih ada kamar Ardi dahulu sama kamar orang tua Rosi. Namun kedua kamar itu sengaja tidak diisi dan sekarang aku bersama Ardi memilih untuk tidur di ruang tengah setelah selesai menonton Priemer League.
Dengan mencoba tenang untuk membaca pesan itu, aku mencoba mengartikan arti pesan yang dikirim Afni kepadaku. Walau sekarang aku telah menentukan pilihanku, namun arti pesan yang ia kirim ini masih sedikit mengisi pikiranku. Tapi satu hal yang akan aku lakukan, yaitu tidak akan membalas pesan ini. Salah satu alasanku karena aku ingin tahu dari mulutnya apa yang terjadi antara dia sama Fano. Karena aku tidak pernah menyangka kalau Afni akan melakukan hal tersebut. Apalagi kalau aku mengingat disaat Afni pertama kali menangis karena ulahku.
“Ni, aku langsung pulang ya. Aku ada janji sama Rima.”
“Ngapain?”
“Rima mau akustikan untuk ujian akhir keseniannya. Ya, dia meminta aku untuk mengajarinya.”
“Hmmm..”
“Kan, mulai lagi…”
“Iyaa iyaaaa”
“Kan udah aku bilang. Hanya untuk kamu nyanyi KAU CANTIK HARI INI itu kok. Rima itu udah aku anggap seperti Uni Ana.”
“Hmmm.. iyaaa… kabari kalau udah sampai ya.”
“Iya sayang, setelah ini kamu makan”
“Iyaaaa…”
Setelah aku kembali meyakinkan Afni yang tetap memandang lain persahabatanku dengan Rima itu berhasil, aku langsung menuju rumah sahabatku itu untuk mengajarinya bermain gitar untuk ujian akhir sekolah nanti. Padahal, sebelum aku mengantarkan Afni, Rima sudah meminta izin secara langsung ke Afni tadi. Namun dengan alasan yang belum aku ketahui, Afni tetap enggan untuk menerimanya, walau akhirnya dengan keterpaksaan hatinya.
Dengan mengendarai vespa warisan abak, aku menuju rumah Rima dengan melewati beberapa jalan tikus menghindari dengan yang namanya polisi. Sesampainya aku di depan rumah sahabatku ini, aku melihat Fano yang baru nyampe rumahnya yang berada di sebelah rumah Rima.
“Baru sampai No?” tanyaku.
“Eh, Ndra. iyo ha. Ka rumah Rima?” (Eh, Ndra. iya nih. Ke rumah Rima?) Tanya Fano saat aku memarkirkan vespa kesayanganku di depan rumah Rima.
“Rima mintak ajaan gitar. Nyo ka main gitar sambia nyanyi pas ujian akhir kesenian.” (Rima minta ajarkan main gitar. Rencananya mau akustikan saat ujian akhir kesenian dia.)
“Hmmm…”
“Cubo ang pandai main gitar kan, No.” (Coba kamu bisa main gitar kan, No) kataku mencoba menghilangkan prasangka buruk Fano kepadaku.
“Hahahaha.. santai Ndra. den ka dalam lu dih. Santa lai latihan basket ha.” (Hahahahaha.. santai Ndra. aku kedalam dulu ya. Bentar lagi latihan basket nih.)
“Yo laahh.. yang anak basket.”
Sesaat Fano masuk ke dalam rumahnya. Rima keluar dari rumahnya yang kulihat masih memakai pakaian sekolahnya.
“Yuk masuk.”
“Iyaaaa…. Buka dulu nih sepatu” kataku langsung duduk di bangku terasnya.
Karena sudah terlalu sering aku ke rumahnya ini, aku menjadi sangat hafal akan keadaan rumah ini dan santai saja jika memasuki rumah ini. Tetapi tidak dengan hari ini. Satu satunya alasan karena sudah dua bulan ini aku telah bersama Afni. Dan Afni secara terbuka mengatakan ketidaksukaan dengan persahabatanku dengan Rima.
“Eh, ngapain masih di luar sih. Udah gak mau masuk nih? Apa dilarang Afni?” Tanya Rima mengagetkanku.
“Eh.. iya nih aku mau masuk.” Jawabku langsung menepis pertanyaan yang terlontar oleh Rima tadi.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam. Kirain udah dilarang oleh Afni.”
“Ya gak lah Rim. Baru nyampe rumah?”
“Iyaaa… tadi bareng sama Fano.”
“Cieeee….”
“Yaaaa gimana lagi, yang biasa ngantar aku pulang kan udah ngojek. Ya, nebeng aja lagi.”
“Haha.. ya sorry Rim.”
“Udah ah, santai.”
“Gitarnya mana?”
“Di kamar”
“Ya udah, aku tunggu sini ya.”
“Ngapain disini? Malu tau kalau kedengaran sama orang, ntar orang datang ke sini pula. Tiketnya kan belum adaaa.”
“Trus dimana?”
“Ya di kamar lah.”
“Haaaa?? Gak ah, sini aja.”
“Di dalam aja, kan Cuma latihan. Atau kamu mau yang lain ya?”
“Ya gak lah.”
“Ya udah. Buktikan kalau gitu.”
Aku pun terpaksa mengikuti Rima dari belakang yang mulai membuka pintu kamarnya. Aku yang sengaja tidak menutup rapat pintu kamar, langsung masuk dan duduk di ranjangnya Rima. Dimana aku pertama kali melakukan hubungan layaknya suami istri bersama Rima. Dan itu juga hal pertama kali bagi Rima.
Belum usai keterkejutanku, Rima dengan santainya mengganti pakaiannya di depanku. Walau ia membelakangiku, aku masih bisa mengingat bagian indah tubuhnya. Kulit putih dengan badan yang tumbuh sintal. Ku lihat dia sudah melepaskan rok abu abu SMA nya sambil mengambil pakaian ganti di lemarinya. Bisa kulihat celana dalam bewarna pink itu membalut bokongnya yang sudah membuat nafsuku sedikit naik. Namun, seakan merasakan tatapanku ke bagian bawahnya, ia membalikkan badannya.
“Iya kan, hihihih”
“Apaan yang ia?”
“Kamu perhatiin aku lagi ganti”
“Hmmm.. aku juga cowok normal Rim. Lagian, ganti disini.”
“Udah berani ya sekarang. Hihihi… Mau?” kata Rima dengan mulai membuka kancing atas seragam SMA nya.
“Udah Rim.. cepat ganti deh.” Jawabku yang masih mencoba berfikir akal sehat.
Aku masih bisa mengontrol apa yang namanya nafsu ini langsung mengambil gitar dan mencoba menyetel gitar yang memang tak ada yang bisa menjamahnya di rumah ini. Namun, seserius apa aku dengan gitar ini, tatapanku masih ke Rima yang sedang sibuk memilih pakaian dengan sedikit menunggingkan pantatnya dan baju SMA nya sudah terlepas dari badannya. Dapat kulihat dari belakang, payudaranya tertutup bra yang juga berwarna pink muda dalam masa pertumbuhan. Entah sengaja atau tidak, ia terlalu lama dalam posisi itu. Ku ambil bantal gulingnya untuk menutup selangkanganku yang sudah berdiri itu.
Dan akhirnya siksaan itu akhirnya berakhir. Dengan balutan kaos longgar dan celana pendek, ia melangkah ke luar untuk mengambil minum katanya. Namun sialnya jagoanku masih berdiri dengan tegangnya. Aku sedikit mengganti cara duduk supaya jagoanku nyaman di dalam. Dan tetap menutupi nya dengan bantal guling Rima.
“Nih minum Ndra.”
“Makasih Rim.”
“Aaahhh.. kamu ngapain pake bantal guling segalaaa.”
“Gak adaaa.. Cuma mau aja.”
“Gak boleh, ini mah pasangan aku. sini lepasin.”
Rima mencoba merebut bantal guling dari pelukanku. Aku yang tidak mau Rima mengetahui jagoaku sudah berdiri karena adegan live ganti bajunya mempertahankan guling itu. Dan akhirnya, tanpa sadar Rima sudah berada di atasku yang badan kami terpisah guling menjadi perebutan kami tadi. Rima hanya tersenyum manis dengan tetap menatap mataku yang masih terpaku dengan keadaan ini.
“Berdiri ya jagoannya?”
Mendengar pertanyaan Rima, seakan pertahanan akal sehatku hancur. Aku yang hanya tersenyum seakan menjawab pertanyaanya. Entah siapa yang memulai, bibir kami sudah bersatu dengan tak adanya lagi guling yang menghalangi badan kami untuk bersatu seperti bibir kami. Terlihat dia mengimbangi ciumanku dengan ritme yang sangat halus. Selama kurang lebih 8 menit aku melakukan French kiss dengan Rima dengan tubuh saling memeluk. Lalu ia bertanya menantangku sambil digesek gesekkannya bagian tubuh bawahnya yang tepat di atas jagoanku.
“Katanya gak perhatiin, tapi udah bangun noh juniornya. Aku buka ya?”
Sebelum Rima membuka celanaku, aku yang sudah dikuasai oleh nafsu mengangkat tubuh Rima yang sekarang posisi Rima sudah duduk mengangkangi aku sambil mulut kami kembali saling menghisap dan bertukar liur. Tanganku sekarang sudah berada di buah dadanya tanpa ada rasa penolakan sedikitpun darinya.
“Ahhhh… Ndraaa.. yang kencang” erang Rima di sela sela ciuman kami dan menuntun tanganku untuk meremasnya lebih kencang lagi. Lalu Rima menarik ke atas kaos yang ia pakai dan terpampang lah buah dada yang putih dibungkus oleh bra pink mudanya.melihat pemandangan itu membuatku tidak tahan untuk meremasnya.
“Aaahhhhh” Rima kembali mengerang dengan tubuh yang bergetar ketika aku mulai menjilati bagian atas payudaranya yang masih dibungkus branya. Karena aku merasa terganggu, langsung saja aku membuka pengait bra yang berada di depan itu dan langsung melepaskan penghalang terakhir payudaranya tersenbut. Kembali aku melihat payudara yang pertama kali aku lihat ini seecara utuh. Mulutku pun langsung bereaksi dengan langsung melahap putting susu berwarna pink itu. Rima yang tak tinggal diam juga membuka baju SMAku dan kini kami berdua sudah bertelanjang dada.
Bosan dengan buah dadanya aku kembali mencium bibirnya lalu turun ke lehernya. Hal ini aku lakukan karena aku tahu dari beberapa sumber bahwa bagian ini paling gampang membuat wanita kegelian. Lalu aku menidurkan Rima dengan posisi menindih badan Rima yang tingginya mengimbangi tinggiku. Jilatanku kemudian kembali ke susunya kuhisap putingnya saling bergantian yang membuat Rima meracau dengan cukup keras. Aku melanjutkan jilatanku kea rah perutnya dan memainkan lidahku di pusarnya. Darahku berdesir dan aku benar benar sudah dikuasai oleh nafsuku.
“Aaaahhh… kamu aaaahhh.. enak Ndraaa… aaahhh”
Tak mau berlama lama aku membuka rok santainya sekalian dengan celana dalam pinknya. Rima membantuku dengan mengangkat sedikit pantatnya. Dan terlihatlah pemandangan yang telah membuat aku kehilangan perjakaku dan Rima juga kehilangan perawannya. Tubuh indah Rima tanpa sehelai benang pun terpampang di depanku yang masih berada di atas tubuh Rima. Aku melihat vaginanya yang dihiasi sedikit bulu di bagian atasnya. Lama aku memandang vagina indah itu yang kemudian Rima mengatupkan ke dua pahanya.
“Ih… jangan diliatin kek gitu. Malu tau. Kamu beda ya, dengan yang kemaren.” Katanya dengan nada manja disertai rona merah di kedua pipinya. Aku yang mendengar ucapannya membuka kedua pahanya dan menyergap selangkangannya dengan wajahku. Vaginanya aku oral. Hanya sebentar aku mengoralnya karena Rima langsung menarikku ke atas dan tangan kirinya sudah mengambil alih jagoanku yang sudah keluar dari celana abu abuku.
“Langsung aja ya Ndra. nanti mama datang.”
Aku yang setuju dengan pernyataan Rima langsung berbaring sesuai permintaan Rima. Rima langsung naik mengangkangiku dan menggesekkan maju mundur di penisku. Aku merasakan sebuah sensasi yang berbeda sibandingkan saat perguluman kami pertama kali di tempat yang sama ini.
“Aaahhhh.. Ndraaaa.. enak bangeeettt aaahhhhh… aaahhhh” Rima mendesah sambil menggesekkan dengan cepat vaginanya yang sudah basah itu ke penisku.
Rima kemudian mengangkat sedikit badannya dan menggesek gesekkan kepala jagoanku tepat ke liang vaginanya yang sudah sangat basah itu. namun, aku tersadar akan tidak mau hanya merasakan nikmatnya rasa ini. Aku kemudian langsung membalikkan posisi kami, yang sekarang aku berada di atasnya. Rima langsung memegang jagoanku dan mengarahkannya menuju vaginanya. Alat kelamin kami kembali bersentuhan. Kepala jagoanku sudah menyentuh bibir vaginanya.
“Dorong Ndraaaa… aaahhhh”
Kudorong masuk jagoanku yang sudah tegang maksimal sedari tadi. Aku melihat Rima terpejam sambil menggigit bibir bawahnya sambil mengeluarkan sedikit desahan yang menambah nafsu menguasai akal sehatku.
Entah kenapa vaginanya yang sudah pernah aku masuki itu susah untuk dimasuki sekarang. Aku merasakan vaginanya yang masih bersegel dan berjuta kenikmatan yang kudapat saat mendorong jagoanku hingga mentok.
“Aggghhhhh…” aku mendesah saat jagoanku terasa dipijat oleh sesuatu di dalam sana.
Setelah jagoanku beradaptasi dengan vagina Rima, aku mulai menggoyang penisku. Setiap aku mendorong jagoanku, Rima mendesah dan menggeliat layaknya cacing kepanasan. Dengan posisi seperti seorang joki mengendarai kudanya, aku merasakan sensasi ini lagi di kamar ini lagi yang membuat kamar ini langsung panas.
PLAAAKKK PLLAAAKKK PLAAAKKK CPPPLLLAAAKKK
“HOOUUUHHHH… AAHHHH… AARRRGGGGHHHH..”
Hanya suara itu yang terdengar dalam kamar ini. Sedikit aku menoleh ke pintu kamar. Rupanya pintu itu sudah tertutup rapat saat Rima mengambilkan minuman untukku tadi. Pikiranku seakan melayang ke surge dan desaan Rima makin membuatku bergairah mencapai puncaknya.
“HOOOOHHHH.. Ndraaaa.. aku mau sampai nih.” Erang Rima setelah cukup lama aku memompa jagoanku dalam vaginanya.
“Bentar lagi yaaa.. aku masih on nih.” Jawabku.
“Jangan lupa cabut ya. AAAHHHHH”
“AAhhh… Ndraaaaaa.. aku keluaaarrrr” Erang Rima disertai dengan air yang muncrat dari vaginanya menyembur ke jagoanku.
Lagi kupercepat kocokanku dengan tubuhku masih tetap berada di atas tubuh Rima. Aku kembali mencium bibir Rima sambil memainkan payudaranya dengan kedua tanganku. Lama aku berada dalam posisi itu sampai rasanya tubuh ini bergetar dan seakan otakku berhenti karena akan merasakan puncak kenikmatan itu. aku langung mencabut jagoanku dari vaginanya dan langsung ditangkap sama tanganya Rima. Sampai akhirnya sperma jagoanku keluar menyembur tanpa permisi membasahi wajah Rima yang sedikit terkejut.
“AAAHHHGGHHH” erangku saat mencapai kenikmatan ini.
“Ihhhh… bilang dong.” kata Rima sedikit kesal dengan apa yang ia terima di wajahnya.
“Maaf Rim” jawab singkatku.
Aku dan Rima masih berada di atas kasurnya yang masih menikmati puncak kenikmatan kami. Mungkin karena Rima mulai rishi dengan lengket di wajahnya, ia lalu beranjak di kamar mandi yang memang ada di dalam kamarnya. Aku yang masih berada dalam kenikmatan terkejut dengan nada dering HP ku. Tambah terkejut aku karena yang menelpon Afni. Dengan sisa sisa tenaga, aku mengangkat telpon dari kekasihku itu mencoba menghapus prakiraan buruk menghantuiku kini.
“Ya sayang?”
“Kamu dimana?” Tanya Rosi
“Di rumah Rima yang.”
“Trus kenapa pintunya ditutup?”
DEEGGHHH
Aku yang terkejut dengan pertanyaan Afni langsung sedikit mengintip dari jendela kamar Rima yang menghadap ke luar rumah. Tambah terkejut aku dengan aku melihat Afni yang sudah berada di depan rumah Rima. Aku langsung memakai pakaianku kembali dan langsung menuju keluar rumah menghadapi Afni.
“Kok kamu disini Ni?” tanyaku yang sedikit panik.
“Pertanyaan aku belum dijawab. Kamu ngapain didalam?”
“Main gitar aja kok. Lagian pintu nya gak dikunci kok.”
“Yakiiinn? Hikksss….”
“Ngapaain aku bohong yang.” Seakan meyakinkan Afni sambil menghapus sedikit air matanya yang sudah menggumpal di mata kirinya.
“Eh ada Afni. Masuk ni.” kata Rima yang sudah memakai kembali dengan rapi pakaiannya.
“Aku tadi lagi dikamar, Indranya keasikan nonton bola noh. Takutnya gak tahu siapa yang masuk. Jadi aku tutup aja pintunya.” Jawab Rima seakan menambah penjelasanku menutupi hal yang tak mungkin aku ceritakan ke siapapun termasuk Afni.
“Ayaaaaahhhh.. bangun yaaahhh… ”
Aku merasakan ada guncangan kecil di tanganku dan ketika membuka mata, aku melihat Bella yang sudah di depan mataku. Juga ku lihat jam dinding yang berada di atas televisi yang masih menunjukkan angka 4 subuh.
“Kenapa nak?”
“Mau pipis. Tapi pintu nya gak kebuka.”
“Hmmm.. ayok nak.”
Aku yang sudah sadar dengan mimpi yang mengingatkan akan memori lamaku sekarang sudah menggendong bidadari kecilku yang membangunkanku.
“Kok anak ayah sendirian ke bawah?”
“Bella mau sendiri saja yah.”
Memang biasanya kamar mandi jika malam aku biasakan untuk membuka sedikit pintunya. Karena Bella memang sudah tidak mau lagi ditemani jika mau pipis di malam hari. Mungkin pintu ditutup oleh amak, abak atau yang lain. Jadinya Bella yang belum sampai memegang gagang pintu kamar mandi itu membangunkanku.
“Makasih ya ayaaahhh”
Bersambung