Kamu Cantik Hari Ini Part 41

Kamu Cantik Hari Ini Part 41
“Lu apa apaan sih Ndra?” Tanya Rio
“Maaf yok, gua udah gak bisa gabung lagi.” Jawabku.
“Biarin aja yok, banyak yang mau gabung kok yok.” Jawab Tian memotong perkataanku.
“Tian, lu diam dulu, biarin Indra jelasin.” Tambah Fano menenangkan panasnya suasana.
“Ya, gua gak mau ngerusak cita cita kalian.”
“Ahhh. Bilang aja kau gak bisa nahan nafsu lu sama si Rosi. Pakai ngomong cita cita segala.” Sangkal Tian.
“Anjing… gua gak kayak elu ya” kataku yang mulai terbakar emosi dengar kata kata Tian dengan memukul meja sambil berdiri. Namun kembali didinginkan oleh Fano.
“Hahahaha.. jangan sok suci kau Ndra. gua tau kok, apa yang ada di otak laki. Kau juga Fan, kau juga begok masih bela dia, jelas jelas dia gak nolongin kau sama Rima. Atau dia udah make Rima kali.”
“Anjiiiiingggg” aku yang tak sabar langsung melayangkan pukulan ke wajah Tian. Dan Tian tak tinggal diam. Namun perkelahian ini dihentikan oleh Fano memegangku dan Rio memegang Tian. Aku yang dibawa keluar oleh Fano, langsung meninggalkan studio ini yang selama ini menjadi home kami tanpa memberikan ucapan sedikitpun.
Aku menjadi mengingat hal dimana bubarnya bandku yang sudah menginjak usia 4 tahun itu dikarenakan aku melihat Tian di televisi yang magang di saat Ko**k manggung. Aku yang sedang beristirahat sambil menonton televisi lumayan capek dengan seharian bekerja di kantor. Setelah menidurkan Bella, Rosi kembali ke sebelahku yang masih asyik melihat perayaan salah satu ulang tahun stasiun televisi itu.
“Kok ngelamun yang?”
“Eh gak yang, abang hanya liat teman ngeband bang dulu kok.”
“Hah? Yang mana?”
“Itu noh, yang pegang bass”
“Itu teman abang?”
“Iyaaaa… kecapai deh cita cita nya.”
“Hmmm.. bentar ya yang. Rosi ngambil selimut dulu.”
“Ngapain?”
“Rosi mau tidur disini, sambil dipangku sama abang.”
“Ihhh.. manjanya keluar.”
“Yang” katanya yang sudah dalam selimut yang juga membungkus tubuhku.
“Hmmm….”
“Tiba tiba Rosi kepikiran nih. Tapi maaf ya, Rosi kepikiran ini.”
“Hmmm… apaan? Masih Fano?” kataku sambil memutar badanku menyamping menghadap ke Rosi.
“Berkaitan sih. Rosi yang gak tau masa lalu kamu, masih bertanya Tanya. Maaf ya.”
“Iyaaa… bang sih yang harus minta maaf, karena gak cerita sama kamu. Fano ituuuu…”
“Hmmmm.. gak itu.” Potong Rosi sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
“Trus?” tanyaku yang heran.
“Dea” jawabnya singkat.
Aku yang mendengar jawabannya langsung serasa ditikam sesaat dengan pisau yang tumpul tepat di dadaku. Dengan diam yang aku lakukan saat ini membuat Rosi kembali ke posisinya yang sebelumnya, kembali memandang langit langit ruangan tengah itu.
“Rosi juga gak tau kenapa. Rasanya Dea memendam rasa sama abang. Disaat dia menatap ke abang juga beda. Waktu di parkiran, sama di rumah sakit. Coba aja bandingin sama buk dokter Afni, beda kan?”
Aku kembali terdiam dengan pernyataan Rosi. Kenapa bisa Rosi menyimpulkan bahwa Dea yang memiliki rasa kepadaku yang berbanding terbalik dengan Afni sesuai dengan pernyataan Rosi. Aku yang melihat tatapan Rosi yang kosong dan tetap memandang langit langit ruang ini. Aku langsung berinisiatif untuk memeluknya dan menolehkan wajahnya menatap wajahku.
“Apapun masa lalu abang, yang terpenting sekarang ada kamu. Abang emang gak bisa berkata kata mesra, tapi percayalah, disini gak ada selain kamu sama Bella.” kataku sambil menunjuk dadaku.
“Maaf bang udah….”
“Ssstttt…” kataku sambil mendekap kepalanya ke pangkuanku sesudah aku mencium keningnya.
“Abang yang minta maaf. Bukan kamu. Bang gak bakalan lupa dengan janji bang bakal hidup bersama kamu. Bersama sampai maut yang memisahkan kita.”
****
“Men, sebaiknya lu harus dengar penjelasan Fano deh.”
“Emang dia ngomong apa sama lu?”
“Gak ada sih men. Tapi liat kegigihan dia untuk ketemu sama lu, walau udah dibilang lu gak marah tetap ngeyel itu lho. Keliatan lu harus dengar dulu deh men.”
“Gua gak mau memperpanjang masalah men. Kan udah gua bilang kemaren kemaren.”
“Iya gua tau, tapi apa salahnya dengar penjelasan dia?”
“Gua gak tau men. Entah kenapa gua keknya mau dengar kalau Afni yang cerita semuanya.”
“Hmmm.. gua ya mau kata apa lagi coba.”
“Iya iya men, gua tau kok maksud lu ngomong kek gitu. Makasih banyak.”
“Kalian aneh, masak sukanya sama. Bubar kan bandnya.”
“Kek lu ngerti band aja men. Main gitar aja patah kuku lu.”
“Hahahaha”
Memang, alasanku keluar dari band atau bubarnya band itu tidak ku ceritakan ke Andre. Karena hal itu sudah aku simpan sebagai memori hitam hidupku. Walau selama aku bergabung dengan mereka, aku merasakan seperti bangga yang dikenal sebagai anak band yang popular di kotaku dahulu, apalagi sampai di Ibukota ini, kami masih merasakan kepopuleran walau sedikit. Dan tak lupa juga dengan andil mentas dengan band, aku berhasil mendapatkan Afni dengan cara penembakan yang kurasa nihil dapat kulakukan tanpa itu. Sejenak aku kembali mengingat kejadian yang luar biasa itu. Satu satunya pengalaman dan pertama kalinya aku mengungkapkan isi hati di depan umum.
“Heh, lu malah ngelamun. Gua balik ya ke meja”
“Hmmm…” jawabku datar
Seakan menyadarkanku, Andre yang meninggalkanku kembali ke mejanya dan melanjutkan aktifitas rutinnya. Aku yang tersengat, langsung menghapus memori itu setelah kembali melihat kenyataan yang ku lihat di studio Fano dua minggu lalu. Aku gak harus memikirkan Afni lagi. Kasihan Rosi. Itu pikiranku saat ini.
****
“Kok kita ke bandara sayang?”
“Tanya aja sama Bella.”
“Bella nya kan tidur. Ih..” jawab Rosi.
“Hahahaha.. udah tidur yaaa…”
“Lagian tumben pagi pagi gini udah ke bandara. Pakai sarapan di luar segala.”
“Hahahah.. sekali kali sayang. Biar kamu gak capek masak.”
“Trus sekarang ngapain ke sini?”
“Jemput abak sama amak.”
“Haaaa?? Amak abak ke sini?”
“Iyaaaa… Gak apa kan mereka nginap di rumah kamu yang?”
“Gak boleh. Masa itu dibilang rumah aku. pake minta izin pula”
“Kamu kalau cemberut itu makin cantik lho.”
“Haduuuuhhh.. keluar deh jurus mautnyaaa.. sakit yaaangg.” Kataku di saat Rosi mencubit tangan kiriku yang sedang berada di gigi mobil yang kukendarai ini.
“Ihhh.. rese.. udah gak bilang amak sama abak ke sini, gak bilang mau jemput lagi, kan gak enak amak sama abak liat aku makai pakaian kek gini.”
“Terlalu lama kalau beli kebaya dulu. Lagian, gini aja udah cantik kok.”
Rosi yang hanya memakai pakaian seadanya. Kaos longgar putih dengan balutan rompi yang kontras dengan warna kaos dan kulitnya yang bersih. Dan bawahan yang memakai rok santai tiga perempatnya. Nampak dari suasana wajahnya seakan bahagia dengan kejutan yang diterimanya.
Sesampainya kami di bandara, aku memarkirkan mobil di parkiran dan menggendong Bella yang ternyata sudah bangun dan menggandeng Rosi menuju area kedatangan penumpang. Tak lama kami sampai, aku melihat kedua orang tua ku yang masing masing menarik koper kecil dengan wajah mencari cari keberadaanku.
“Omaaaa….” Bella langsung berteriak saat berhasil menemukan amak.
Aku yang langsung menghampiri mereka dengan menurunkan Bella untuk mengambil alih koper dari tangan mereka setelah menyalami dan mencium punggung tangan mereka satu persatu. Rosi dan Bella pun melakukan hal yang sama denganku. Aku lihat dari wajah Rosi yang masih sungkan dengan abak berbeda dengan amak yang berusaha menggendong Bella, namun kedahuluan abak yang berhasil menggendong sambil mencium kening dan pipi Bella. Aku langsung membawa mereka ke mobil.
“Sini nak, sama opa di depan.” Kata abak yang duduk disebelahku yang sedang mengendarai mobil ini.
“Opa kan capek baru naik pesawat. Kan pusing, Bella aja pusing waktu itu.”
“Hahahaha.. sini.. oma tuh yang takut naik pesawat. Tadi aja oma komat kamit baca doa.”
“Iya oma?”
“Oma takut.” Jawab amak singkat yang merasakan pengalaman pertamanya naik pesawat.
“Maklum sayang, ini kan penerbangan pertama oma.” Sambungku sambil tetap fokus mengemudi.
“Iya mak?” Tanya Rosi seakan tidak percaya
“Iyaaaa… kalau gak wisuda kamu, gak bakalan amak berani deh.” Jawab amak sekenanya seakan masih merasakan pusing akibat penerbangan pertamanya.
“Amak tidur aja ya mak. Masih jauh kok. Lumayan bisa buat istirahat sejenak mak.” Kataku.
Sekilas aku liat Rosi yang masih canggung dengan suasana ini. Ditambah dengan penuturan amak yang membuat dia terharu mendengarkannya. Aku yang melihat lihat ke belakang, seakan memberikan support baginya saat ia juga melihat ke spion menangkap sorotan mataku. Amak yang sudah memulai istirahatnya di samping Rosi sambil memiringkan badannya ke pintu persis di belakangku. Sedangkan Bella sudah duduk di pangkuan abak yang melampiaskan kangen ke Bella dengan tak henti hentinya mencium dan memeluk Bella.
“Kok kamu diam nak?” Tanya abak ke Rosi sambil menoleh ke belakang.
“Makasih ya bak.” Hanya itu jawaban Rosi.
“Ngomong apaan sih. Kalau kedengaran amak, abak yakin bakalan marah tuh amak” Jawab abak dengan tegasnya
“Iya bak. Maaf, Rosi hanya bahagia saja.” Kata Rosi sambil mengusap air mata yang sudah mengalir ke pipinya.
Bersambung