Kamu Cantik Hari Ini Part 38

Kamu Cantik Hari Ini Part 38
Ade Indra Putra
Rosi Wahyuni
Afni Pratiwi
Rifa Noerdin
“Duduak Ndra.” (Duduk Ndra)
“Tunggu santa dih, sapuluah minik lai salasai den kok.” (Tunggu sebentar ya, sepuluh menit lagi bakalan kelar kok)
Sekarang aku yang memenuhi pertemuanku dengan Fano, mantan teman bandku dulu. Dengan berbekal berbagai pertanyaan aku menyempatkan untuk meluangkan waktuku dengannya. Baik itu berkaitan dengan obrolannya kemaren bahkan jika kuingat perkataan Via. Tak banyak berubah yang kulihat dari Fano. Meski sudah setahunan kami tidak berjumpa, ia masih seperti kita ketemu dahulu. Fano sekarang mempunyai kursus drum sepertinya di studio ini. Masih Nampak di studio ini foto yang kami tempel dahulu.
“Akhirnya kalian bisa membawa piala pertama ke studio ini.”
“Hahahaha.. kami gitu om. Kan berkat om juga yang gak bosan dengar music keras kami.” Jawab Tian.
“Sebenarnya sih muak, tapi gimana lagi, kalian bayar, berarti om harus menghargai kalian.” Jawab Om Hendrik pemilik studio ini.
“Eh om, foto ini kami tempel disini ya.” Tambah Rio.
“Gak kalian minta, bakalan om pajang kok. Kan kalian juga bawa nama studio ini di panggung tadi.”
“Eh kalian bakalan di kontrak ya, setelah menang ini? Jadi kalian jarang ke sini dong?”
“Hahahaha, om.. ini kan home kami, sebagai anak rantau, gak bakalan mudah dapat home seperti ini lho om. Boleh kan om?” Jawab Tian.
“Hahahaha.. boleh laaahh.. asal bayar.”
“Pasti om.”
“Lu kenapa diam men?” Tanya Fano ke aku yang hanya diam karena baru mendapatkan pesan dari Afni yang berisikan ketidaksukaannya dengan aksi kami di panggung tadi. Maklum kalau hardrock gimana ngebandnya walau tampilan kami gak terlalu ekstrim.
“Iyaa men, lu kan yang paling aktif biasanya.” Tambah Rio.
“Santai men, gua kecapek an aja kok.”
“Minum apo Ndra?” (Minum apa Ndra?)
“Tasarah se lah Fan.” (Terserah aja Fan)
“Hahahah.. piala partamo yang den dapek tu mah.” (Hahahha… piala pertamaku itu lho) kata Fano disaat melihat aku yang memegang foto ini.
“Makasih Fan” setelah aku diberinya Teh botol yang berkemasan kotak ini.
“Tian lah jadi gitaris terkenal se kini ndak, walau masih magang sih di band Ko**k. Rio lah lulus lo ipdn, santa lai punyo kawan camat wak, ang lah jadi PNS lo. Aden se yang tetap di siko. Hahaha” (Tian sudah menjadi gitaris terkenal, walau masih magang di Ko**k. Rio sudah lulus di IPDN, dan bakalan jadi camat bentar lagi. Kamu juga udah PNS aja, aku aja yang masih disini. Hahahaha) kata Fano saat sudah duduk di depanku.
“Ang kan jadi guru mah.” (Kamu kan sudah jadi guru music juga) jawabku.
“Hahahaha.. guru guruan se nyo Ndra.” (Hahahaha. Guru guruan aja kok Ndra)
“Om Hendrik ma?” (Om Hendrik mana?)
“Om Hendrik lah bukak studio baru di Bandung. Bini nyo pindah tugas. Rencananyo iko ka dijua mah, tu den bali se, masak iyo kenangan den dijua se.” (Om Hendrik sudah buka studio baru di Bandung. Istrinya pindah tugas. Rencananya kan ini mau dijual, tapi aku beli aja, masa kenangan ini dijual aja.) jawab Fano.
“Les drum tiok hari?” (Les drumnya tiap hari?) tanyaku
“Senin sampai Jumat sore se, Sabtu Minggu les band sih.”
“Jadi ndak khusus drum se?” (Jadi ini bukan hanya kursus drum aja?)
Pertanyaanku hanya dijawab gelengan oleh Fano. Fano sebentar meninggalkanku dengan alasan ingin ke kamarnya sebentar. Setelah itu dia keluar dengan memegang HP nya yang baru diambilnya dari kamar. Fano nampaknya menyiratkan pertanyaan setelah melihat HPnya sambil melihat ke arahku.
“Manga Fan?” (Kenapa Fan?) tanyaku penasaran.
“Indak Ndra, adiak den bm kok.” (Gak ada Ndra, adikku hanya bm aja kok.)
Tersirat kebohongan di perkataannya. Aku yang sedikit curiga enggan memberi tahu kalau aku sudah tahu apa yang Via sampaikan kemaren. Dan menunggu Fano saja yang mengungkapkannya langsung kepadaku.
“Eh Ndra, Anak patang tu?” (Eh Ndra, anak kecil kemaren?) tanyanya mengenai Bella.
“Bella, itu anak den mah.” (Bella itu anakku) jawabku sedikit memancingnya.
“Maksudnya?” tanyanya kembali entah maksudnya tidak mengetahui atau pura pura aku tidak tahu.
“Karena Bella, den bertahan jo Rosi” (Karena Bella, aku bertahan dengan Rosi)
“Itu anak ang jo Rosi?” (Itu anakmu dengan Rosi?) tanyanya kembali dengan anggukanku jawabannya. Aku jawab begitu hanya ingin memancingnya untuk menjawab pertanyaan pertanyaan di kepalaku tanpa menanyainya langsung.
“Afni?” tanyanya lagi
“Kok tanyo ka den? Bukannyo ang yang japuik nyo taruih?” (Kok Tanya sama aku? Bukannya kamu yang jemputnya tiap hari?) tanyaku menjawab tanyanya yang sudah tidak bisa menahannya lagi. Dan hal itu membuat Fano sedikit terkejut dengan pertanyaanku ini.
“Dari ma ang tau?” (Dari mana kamu tahu?) Tanya Fano
“Jadi iyo Fan? Apo sih salah den ka ang Fan?” (Jadi betul Fan? Apa sih salahku sama kamu Fan?) jawabku dengan sedikit bisa menahan amarahku.
“Den bisa jalehan Ndra.” (Aku bisa jelasin Ndra.) jawab Fano sesaat aku langsung saja pergi meninggalkan studio ini. Aku anggap percuma dengan hal itu, dan impas juga apa yang aku dapatkan. Lagian, sebelum aku ke sini, aku sudah di wanti wanti Andre dan Via agar tidak emosi. Apapun yang akan terjadi tetap berpikir bahwa dengan emosi tidak akan menyelesaikan masalah.
“Sorry den pai se yo, den ndak nio emosian kek dulu.” (Sorry aku pergi dulu, aku gak mau kek dulu, Indra yang emosian) jawabku menghindari Fano.
Disaat aku hendak meninggakan studio ini yang langsung dikejar sama Fano, aku melihat Afni yang baru saja turun dari taksi online yang keliatannya baru pulang dari tugasnya. Dan hal itu menambah keyakinanku. Tanpa menemui bahkan sekedar menegur Afni, aku langsung menuju mobil dan langsung meninggalkan studio. Sekilas aku lihat Afni yang hanya diam dan melihatku pergi meninggalkannya.
****
“Kamu bakalan setia sama aku kan Ndra?” Tanya Afni
“Iya lah sayang. Hanya cowok bodoh ninggalin ceweknya yang seperti kamu.” Jawabku
“Janji?”
“Iyaaaa”
Aku hanya bisa mengingat perkataanku dahulu dengan Afni. Entah kenapa aku sangat emosional melihat Afni dan Fano yang temanku itu. Kenapa kalian harus merahasiakan dariku. Mungkin ini karma yang aku dapatkan setelah selama ini apa yang aku perbuat.
Dalam perjalanan meninggalkan studio, aku masih mengendarai mobil ini dengan emosinya. Tanpa sadar, aku telah menabrak seorang pengendara motor yang baru saja memotong laju mobilku. Aku yang terkejut akan hal itu langsung memberhentikan mobilku dan langsung menolong pengendara motor itu yang ternyata adalah anak SMA yang membonceng ceweknya saat itu tidak memakai helm saat mengendarai motornya.
Dengan menghindari amukan massa, aku langsung membawa kedua korban ke dalam mobilku dan sebelumnya meminta ke warga sekitar untuk menyelamatkan sepeda motor adek ini. Si cowok yang hanya luka lecet dengan baju sekolahnya yang telah bercampur warna darah ceweknya duduk di sampingku. Sedangkan ceweknya sedang baringan di belakang kami dengan luka yang sedikit serius nampaknya setelah ia tidak sadarkan diri.
Sesampainya aku di rumah sakit terdekat, aku langsung mengurus administrasi untuk pengobatan mereka. Dan ternyata, ini rumah sakit tempat tugas Afni. Untung saja aku barusan melihat Afni di studionya Fano, jadi pasti gak ada Afni disini. Dan untungnya juga kedua adek SMA tadi tidak terluka parah, hanya lecet dan luka dengan sedikit jahitan untuk perawatannya.
“Maafkan abang ya dek.”
“Iya kak. Aku gak apa kok. Lagian tadi udah ku bilang sama cowokku, gak bakalan aman kalau gak pakai helm, eh dia malah ngeyel. Kencang kencang deh, karena tadi melihat polisi.”
“Lain kali pakai helm ya dek. Sekali lagi maafin abang.”
“Iya kak. Cowokku mana kak?”
“Dia lagi jemput orang tua kamu di luar.”
“Haaaa?? Kok orang tua aku tahu sih kak?”
“Iya kamu harus dirawat beberapa hari di sini. Kan kepala kamu baru di jahit.”
“Ini gara gara Agung nih. Coba ajaaa…”
“Udaaahhh.. namanya cinta, mana tega sayangnya pulang naik angkot gitu.”
“Apaan sih kakak. Tapi makasih ya kak.”
“Kok pakai makasih sih, masak udah gini minta makasih.”
“Awalnya aku ragu sama dia kak, dia itu berandal nomor satu sekolah, sedangkan aku termasuk anak teladan lah, tapi entah kenapa dia bisa membuat aku menerimanya kak.”
“Namanya cinta gak pernah menilai siapa orang yang dicintainya kok dek.”
“Iya kak, aku langsung tau kok, kalau dia sangat menyayangiku kak, saat dia liat aku yang langsung berdarah sebelum aku pingsan tadi.”
“Hahahaha… emang kalau berandalan, gak bisa sayang ke orang yang dia sayangi ya?”
“Awalnya mikir gitu sih kak.”
Percakapanku dengan si cewek ini sangat membuat aku terdiam akan teringat memoriku kembali bersama Afni. Seakan kisahku sama Afni dilanjutkan oleh mereka, semoga ceritanya dilanjutkan yang bahagia bahagia aja. Tidak sepertiku yang mempunyai kehidupan yang lebih berwarna .sampai sampai aku baru mengetahui bahwa selama ini aku sudah dibutakan oleh rasa sayangku.
Setelah kedatangan orang tua si cewek yang aku ketahui namanya Keyla itu, aku meminta maaf atas kejadian tersebut. Cowoknya yang bernama Agung juga meminta maaf atas keegoisannya memaksa Keyla tetap diantarnya walau tanpa helm. Awalnya orang tua Keyla sempat memarahiku, namun setelah melihat Keyla yang tidak terluka parah, dan aku yang langsung bertanggung jawab atas apa yang aku perbuat dengan membayar semua pengobatan, mereka berangsur memaafkanku.
KRRIIINNGGGG…
Ternyata HP ku berbunyi yang membuatku meminta izin keluar ruangan sejenak untuk mengangkat telpon yang ternyata dari Rosi. Setelah di luar, aku mengangkatnya.
“Assalamualaikum sayang dimana?”
“Waalaikumsalam, ayah di rumah sakit yang.”
“Kenapa? Rumah sakit mana?”
“Tenang dulu sayang. Abang gak kenapa napa kok. Cuma tadi nyerempet dikit anak sekolahan.”
“Trus?”
“Adek adek itu gak apa kok yang. Cuma tadi pingsan aja. Ya bang bawa ke sini aja.”
“Rosi samperin ya. Rumah sakit mana?”
“Gak apa kok yang. Gak usah ke sini juga.”
“Rosi bilang samperin ya samperin bang.”
“Hmmmm… ya udahh, kamu bang pesanin taksi online aja ya. Biar di antar langsung ke sini. 15 menit lagi dijemput ya.”
“Iyaaa.. kamu hati hati disana ya yang.”
“Iya sayang.”
Bersambung