Kamu Cantik Hari Ini Part 36

0
1029

Kamu Cantik Hari Ini Part 36

Larut malam ini aku menuju rumah Rosi setelah semalaman aku duduk terdiam di kamar dengan tak tentu apa yang aku pikirkan. Untung saja jalanan masih sepi, jadi hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Dengan teringat Bella, aku memaksakan diri ke rumah lagi. Aku yang sampai di rumah itu masih dengan pikiran yang pelik. Namun, aku berjanji dengan diriku. Sesaat aku memasuki pagar ini, aku hilangkan sejenak apa yang terjadi. Aku tidak boleh memperlihatkan hal yang bakalan membuat Rosi khawatir apalagi membuat Rosi kembali berubah.

Selesai memasuki mobil ke pagar dan menutup kembali pagar rumah ini. Aku membuka pintu utama rumah ini dengan kunci cadangan yang sengaja aku buat sendiri. Setelah pintu terbuka, aku melihat Rosi yang masih tertidur di ruang tengah di atas kursi santai berbentuk single bed itu. Aku melihatnya yang tertidur pulas dengan selimut menggulung tubuh kecilnya. Entah kenapa aku langsung mengusap rambutnya dan mencium keningnya.

Lalu, aku mulai menaiki lantai atas menuju kamar Bella. Aku yang hanya mengikuti instingku, berjalan tanpa beban dan pikiran yang baru saja terjadi. Apalagi melihat wajah Bella yang tidur nyenyak membuat semua masalahku seakan hilang dengan sendirinya. Aku juga melakukan apa yang aku lakukan kepada Rosi tadi. Ku usap rambutnya yang sedikit bergelombang dan memegang pipinya yang seakan mau jatuh ke kasur yang ia tiduri. Entah kenapa aku mengambil sofa santai dan melanjutkan hal yang aku lakukan tadi sambil membaringkan tubuhku disamping kasur mini nya Bella. Dengan mata yang sudah minta istirahat, akhirnya aku tertidur dengan tanganku masih di kepalanya Bella.

Baru beberapa saat aku tertidur, aku merasakan kepalaku diusap lembut sambil ada rasanya kehangatan di tubuhku. Dan sayup aku mendengar.

“Tidur aja dulu yang. Masih jam 3 an. Capek banget keliatannya. Kamu dari mana sih?”

CUPPPP…

****

“ayaaahhh…”

Aku merasakan badanku di goyang goyangkan oleh tangan kecil yang aku rasa itu tangannya Bella. dengan mata yang masih ngantuk dan kepala sedikit pusing, aku buka mataku dan melihat Bella yang sedang menggoyang goyangkan tubuhku.

“Iya naaakk.”
“Disuruh Bunda mandi yah. Kan ayah mau ngantor juga.”
“Iya naaakk”

Aku yang langsung bangun, melihat jam di dinding kamar Bella menunjukkan angka 6 kurang. Setelah aku bangun, Bella meninggalkan aku yang masih setengah sadar. Setelah 10 menit aku berkutat dengan proses pengembalian nyawa ini, aku menuju kamar mandi dan menyegarkan badan dan semoga pikiranku juga sedikit segar untuk memikirkan apa yang akan aku lakukan ke depan. Sekilas aku melihat Rosi yang sedang menyiapkan sarapan di dapur dan Bella yang sibuk dengan meminum susu yang biasa ia lakukan setiap pagi.

Selesainya mandi, aku turun ke bawah menuju ruang makan. Aku sudah melihat sarapan yang dipersiapkan Rosi untukku. Aku langsung berfikir, tetap dengan pilihanku saat ini. Biar aku akan menjelaskannya ke Afni. Dengan itu, saat ini aku akan berusaha untuk tetap seperti biasa seperti tidak ada apa apa yang terjadi beberapa jam sebelumnya.

“Ayah kok tadi tidur di kamar Bella?”
“Ketiduran nak. Kok pas Bella bangun tadi, gak bangunin ayah?”
“Gak boleh sama bunda yah.”
“Naakk, udah selesai minum susunya?” potong Rosi
“Udah bunda.”
“Jadi nonton gak? biar Bunda idupin TV nya.”
“Eh iya bund. Bella mau lanjutin belajar lagi.”
“DVD yang mana nak?” Tanya Rosi setelah berdiri membawa Bella ke ruang tengah. Aku menangkap hal ini disengajakan Rosi untuk bisa berdua untukku. Bakalan ada introgasi nih. Pikirku.

Setelah menyelesaikan urusannya dengan Bella, Rosi kembali ke meja makan dengan tetap menampakkan mimik wajah yang tenang meski aku tahu ada ribuan pertanyaan di kepalanya.

“Kamu udah makan yang?” tanyaku ke Rosi.
“Udah kok yang. Kamu keliatan kecapekan yang.”
“Maafin abang ya yang. Semalam bang ada kerjaan yang mendesak dan baru pulang jam 3 an.”
“Iya sayang. Gak apa kok.”
“Kok kamu semalam tidur di luar yang?”
“Nungguin kamu yang. Kalau aku tidur di dalam, gak bakalan bangun. Ntar siapa yang manasin makanan kamu.”
“Maafin abang ya yang.” Sambil memegang tangannya.
“Iya sayang. Kamu jaga kesehatan kamu juga ya. Rosi gak siap kalau gak ada abang disamping Rosi. Rosi gak kuat besarin Bella sendiri bang.” Jawabnya sambil merebahkan kepalanya ke bahuku
“Iya sayang.”

****

“Men, maafin gua ya men soal kemaren.”
“Santai men, gua tau lu kalut kemaren. Tenang aja, Afni sudah aman pulang ke kosnya kok.”
“Makasih men. Lu sahabat gua yang paling ngertiin gua.”
“Kafe yuk.” Ajak Andre disaat aku baru menyampaikan maafku kepadanya atas insiden kemaren.

Aku sangat beruntung bisa memiliki sahabat seperti Andre. Dia yang sehari hari seakan menyembunyikan kebijaksanaannya, kemaren membuka semua itu yang sudah aku ketahui sebelum aku memutuskan untuk menjadikannya sahabat. Disaat aku sedang menikmati kopiku bersama Andre. Aku kembali meminta maaf atas perlakuanku kemaren kepada Andre.

“Maaf ya men.”
“Heh. Lu itu juga yang lu pikirin men.”
“Iyaaa.. gua malu sama perlakuan gua kemaren.”
“Hahahah.. santai men. Sama gua juga. Walau agak memar sikit nih. Hehehehe.”
“Memar? Apanya yang memar?” Tanya Via yang memutus perkataan kami saat ia tiba tiba sampai di meja kami.
“Gak ada Vi. Kamu kapan pulang?” Jawab Andre.
“Hmmm.. ditanya malah Tanya balik. eh, ini kenapa pipinya mas?” Tanya Via sambil memegang wajah Andre yang memerah bekas tanganku kemaren.
“Aduuhhh sakit Vi.”
“Ehh.. maaf maaf. Sakit ya?”
“Ya sakit lah Vi”
“Emang kenapa bisa begini sih mas?”
“Kemaren kejedot pintu aja kok. Pas mau buka pintu, eh malah ada yang bukain, ya kena deh ini pipi.”
“Hati hati lah. Via ambilin lap sama air hangat dulu ya. Bentar ya” kata Via sambil meninggalkan kami.

“Kok lu gak ngomong aja kalau itu perlakuan gua men?”
“Untuk apa juga gua ngomong men? Nambah nambah pikiran lo aja.”
“Haduhhh.. gua malu sama diri gua nih men”
“Udaahh, lagian gua senang kok, lu liat aja Via jadi perhatian ke gua kan.”
“Iya sih. Makasih men.”
“Santaaiii”

“Ini belum di kompres mas?” kata Via sampai dengan perlengkapan yang ia bawa.
“Belum sih”
“Kok gak dikompres sih. Sampai bengkak gini kan mas.”
“Soalnya yang bakalan kompres gak ada Vi, kan yang bakalan mau Cuma orang yang baru pulang dari Bogor.”
“Ini bang juga, gak bantuin juga”
“Dia aja yang gak mau Vi. Kan kamu juga tahu, Andre itu gak manja. Kamu aja tuh yang manjain dia mungkin.”
“Aduuhh Vi sakittt.. pelan dong.” kata Andre menahan sakit atas perlakuan Via.
“Pelan napa Vi, kasihan noh masnya. Bang ke atas dulu ya, kerjaan masih banyak. Men gua duluan ya.”

****

Selesai dengan kerjaku, aku ingin sekali menemui Afni, aku ingin memberitahunya semuanya. Namun aku tahu kalau Afni gak bakalan mau menemuiku dengan kondisi seperti itu. Jika aku paksakan, aku pasti akan lebih menyakitinya. Ingin juga aku meminta tolong Dea, tapi jikalau Dea sudah mengetahui hal ini, pasti Dea juga ngabari aku atau memarahiku atas perlakuan kemaren. Dan juga bukan tipe Afni yang membicarakan hal pribadinya ke sembarangan orang, bahkan itu sahabatnya. Jikalau ia bisa mengatasinya, pasti ia akan menjalaninya sendiri.

“Bang. Bang Tunggu”

Sesampainya di lobby, aku langsung dipanggil oleh Via yang nampaknya sudah menungguiku. Aku yang melihat sejenak, kembali memperlihatkan wajah yang tanpa ada masalah.

“Iya Vi. Kenapa?”
“Abang aman? Kok Via liat bang bingung gitu.”
“Kecapean aja Vi. Bang semalam gak bisa tidur aja. Andre mana?”
“Yang seruangan siapa. Nanyanya ke siapa juga.”
“Eh, iya ya.”
“Bang Via boleh Tanya?”
“Iya, Tanya aja.”
“Yakin mas Andre kejedot pintu. Keliatannya itu bekas tinju deh bang.”
“Ngaku nya ke abang gitu juga sih.” Kataku berbohong.
“Via rada rada gak percaya deh.”
“Kalaupun gak kena pintu, dia pasti punya maksud lain untuk bohong.”
“Maksud abang?”
“Yaaaa.. mungkin buat kamu tenang aja. Dia itu hanya gak mau calon istrinya cemas.”
“Apaan sih bang. Eh iya bang, ada satu lagi.”
“Apaan?”
“Abang ingat Fano?”
“Fano teman ngeband bang dulu?” dijawab anggukan oleh Via.
“Kenapa?”
“Ini sudah lama sih bang. Sekitaran 6 bulan yang lalu. Waktu itu Via rutin nemani mama check di rumah sakit tempat kak Afni tugas, saat Via selalu kesana, Via selalu melihat bang Fano itu juga ada disana. Awalnya Via sih gak mikirin aneh aneh sih bang, tapi Via juga penasaran bang. Bang Fano itu selalu jemput bahkan nemani kak Afni setelah mendapat informasi dari beberapa perawat dan petugas rumah sakit bang. Sebenarnya sih Via mau cerita, tapi Via kasihan ke Bella. sekali lagi maaf ya bang.”
“Hmmm.. gak apa Vi, lagian harapan bang balik sama Afni kecil Vi, dan bang udah ambil keputusan bakalan dengan Rosi. Ya udah, bang duluan ya. Ngantuk nih. Tuh masmu datang.”
“Apaan sih bang.”
“Men, gua duluan ya. Titip adek gua ya. Jangan sampai lecet.”
“Siap kakak ipar, hati hati men.”

Didalam perjalanan pulang, aku kembali terpikirkan perkataan Via tadi. Apa maksud Fano dengan semua ini. Alasan Fano mendekati Afni itu yang terfikirkan sekarang. Dan juga kenapa dia gak ngomong langsung ke aku. Apa dia juga ceritakan semua ke Afni. Atau Afni mengetahui hal ini dari Fano?. Semua pertanyaan tadi langsung menguasai pikiranku saat ini.

Bersambung

Daftar Part