Kamu Cantik Hari Ini Part 34

0
1076

Kamu Cantik Hari Ini Part 34

“PING !!!”
“Gimana Ndra?”
“Udah ada jawaban kamu?”

Aku yang langsung membuka BBM ini setelah mandi, terlihat pesan yang disampaian Rima. Rupanya sahabatku pun merasakan akan keputusan yang aku ambil. Langsung aku balas pesannya dengan masih berhanduk di badanku.

“Udah Rim.”
“Kamu datang ya.”

Karena belum ada tanda tanda akan dibalasnya BBMku, aku kembali ke ruangan keluarga dan berbaur dengan Bella. Tampak Rosi yang masih berkutat di dapur. Aku yang tidak ingin mengganggunya lagi karena perutku ya, sudah agak meminta diisi.

“Nonton apaan sih nak? Serius amat anak ayah.”
“Upin Ipin yah. Baju meimei bagus ya yah.”
“Yang mana nak?”
“Tuh yah” Bella menunjuk Pakaian gadis yang identik dengan budaya China yang memakai pakaian bak tuan putri.
“Warna putih itu nak?”
“Iya yah.”
“Ssstttt.. jangan bilang bilang bunda ya. Rahasia kita berdua aja ya. Okey nak?” kataku sedikit berbisik.
“Iya ayah.”
“Pintar. Ntar, pas bunda wisuda, Bella pakai itu ya. Besok ayah belikan ya nak.”
“Okey yah” jawab Bella sambil membalas tanganku seakan setuju.
“Hmmm.. jadi Bunda gak boleh tau nih?” tiba tiba kepala Rosi sudah ada di antara kami.
“Hehehehe.. udah siap Bund? Ayah mulai lapar nih.”
“Eh. Udah yang. Mau makan di mana? Meja makan atau disini? Kalau disini biar bunda ambilin dulu ya. Soalnya bunda tarok di meja noh. Ih, ditanya malah gak ada jawaban.” Kata Rosi sibuk dengan ngerocosnya yang membuatku heran.
“Eh iya, kagum aja.”
“Ditanya lain, jawaban lain. Bella kok diam juga nak?”
“Bunda seperti Kak Ros deh.”
“Hahahahaha.. Udaahhh, yok kita makan nak. Ayah udah lapar nih. Di sana aja deh bund.” Kataku sambil menggendong Bella menuju ruang makan.

****

“Udah bulat nih keputusannya?”
“Udah Rim. Berkat uni Ana sih.”
“Maksudnya?”
“Panjang deh ceritanya, intinya aku turuti saran uni, jadinya keputusanku untuk meminang Rosi disaat ia wisuda udah bulat.”
“Wisuda? Segitunya dia berubah demi kamu Ndra.”\
“Hahahaha… ebat kan aku”
“Huuuu.. baru ituu…. Dulu kamu…”
“Dulu mah dulu Rim, sekarang mah sekarang”
“Oke aku tunggu kamu nyampaiin ke Afninya.”
“Nah, itu dia Rim, cara ngomongnya itu lho Rim.”
“Bilang aja”
“Huuu.. kamu kan tahu kelemahanku.”
“Kalau gak dilawan ya, tetap aja lah seperti ini.”
“Ya gak bisa lah Rim.”
“Ini keputusan siapa?”
“Aku”
“Ini Jalan Hidup siapa?”
“Aku”
“Ya kamu juga yang harus nentuin caranya. Entar kalau ikuti saran orang terus, ketergantungan lho. Katanya udah punya anak. Ini aja gak terselesaikan.”
“Ya udah deh, aku coba”
“Rencananya kapan pestanya?”
“Abis lebaran aja deh, kan tinggal 5 bulan lagi.”
“Okeeee.. berarti aku bisa datang.”
“Kalau kamu gak datang sih gak apa apa. Siap siap aja dengar pengantin prianya lari di saat ijab Kabul.”
“Hahahaha.. iya iya.. aku pasti datang kok. Buat kamu apa sih yang gak Ndra.”
“Sekalian, bawa oom untuk Bella ya.”
“Hahaha… kalau aku berhasil bawa kamu bakalan kasih apa?”
“Langsung kasih penghulu yang nikahin aku.”
“Hahhaha… somplak. Eh, ini aku seriusan ya”
“Apaan?”
“Ini baru kamu, yang selalu bisa buat orang ceria. Jujur, selama di Pasuruan noh, aku ngerasain bukan kamu aja. Karna itu aku ogah minta jatah.”
“Hahahaha.. jauh ya arah pembicaraannya.”
“Seriusaann”
“Iya iyaaa.. semoga ini yang terbaik untuk aku aja ya Rim. Berkat doa kamu juga tuh. Makanya cari oom buat Bella.”
“Iya iyaaaa… buat aku, lihat kamu bahagia aja udah buat aku bahagia kok.”
“Hmmm.. makasih ya Rim.”
“Sayangnya mana?”
“Iya iyaaaa.. Makasih Rima sayang.”
“Hahahaha..ya udah aku rada sibuk nih. udahan ya.”
“Iyaaa.. aku tunggu lho.”
“Iyaaa.. bawel kamu kembali Ndra.
“Daaaahhh”
“Bye”

Selesai berbicara dengan Rima via udara, aku kembali masuk ke rumah. Aku yang beralasan merokok untuk keluar menggunakan waktu santai malam ini. Awalnya sih, aku dilarang oleh Rosi. Tetapi karena perjuangan kukuh untuk sebatang rokok, aku mendapatkan waktu bersama rokok. Sesampainya di dalam, aku menemukan dua bidadariku ketiduran di ruang keluarga dengan televisi yang menonton mereka tidur.

Tanpa membangunkan Rosi, aku angkat Bella menuju kamarnya. Tak lupa aku mencium kening dan pipinya Bella yang sudah menjadi rutinitasku selama ini. Sesaat aku melihat jam, masih menunjukkan di angka 9. Aku menuju kamar untuk mengambil selimut untuk Rosi. Aku berencana untuk membiarkan sejenak Rosi tidur dan menemaniku menonton TV. Saat aku menyelimutinya, ia terbangun. Aku yang ditatapnya dengan wajah capek dan lesu, Cuma menenangkannya menggunakan tanganku di kepalanya sambil mataku menuju televisi.

Setelah mengutak atik siaran yang menampilkan acara terbaik tidak ditemukan, saya menuju dvd untuk menghidupkan music yang selama ini sangat jarang aku nikmati. Teringat, aku yang selama ini aktif di jalur band, menghentikan semua itu sejak menjadi ayahnya Bella. Masa masa dimana music selalu hadir di hariku, music selalu menemani apapun langkahku musnah setelah aku terjebak dalam permainan dunia ini. Apapun itu, aku tetap akan menjalani. Toh, semua ada hikmahnya kata abak.

“Taik lu men. Mana janji lu untuk band? Hah? Omong kosong” kata Rio, vokalis Bandku.
“gak ingat lu hah? Saat kita mau di contract, lu hancurin dengan alasan Afni. Nah sekarang?” tambah Fano drummerku.
“Sorry men. Tapi gua sumpah gak fokus.” Sanggahku.
“Lu gak liat apa? Gimana tuh si Rio bela belain ganti pita suara untuk ganti aliran keras sampai dia bisa bagus nyanyi pop. Si Fano yang jago main drum, sang double pedal terbaik menahan egonya dengan dentuman yang lembut?” kata Tian leader kami yang mahir dengan melodynya.
“Sorry men. Serius gua. Ini pelik.”
“Gua gak nyangka kalau lu kek gini hanya karena dia. Apa yang lu cari dari dia men? Puas lu selama ini gak dapet dari Afni?” pancing Tian.
“Anjing.. lu boleh nyalahin gua, tapi jangan lu nilai orang semau jidat lo.” Kataku dengan membuka gitar yang melekat di badanku.

Aku yang langsung keluar dari studio langgananku menahan emosi karena perkataan Tian. Entah kenapa aku emosi mendengarkan dia menilai buruk Rosi. Aku duduk menenangkan diri keluar sambil menghisap rokok setelah aku yang emosi menutup pintu studio sambil mengupat dan mata yang merah. Sampai sekarang pun, aku masih dilihat beberapa pasang mata yang sedari tadi melihat aku membanting pintu dengan amarahnya. Dan akhirnya, Fano datang menghampiriku.

“Sory men, gua tadi emosi.”
“Gak men, gua yang salah. Kan gua yang gak konsen dan gak ada jiwa disini lagi kan.”
“Maafin yang lain juga ya.”
“Gua gak suka teman teman gua menilai rendah orang lain men. Kita boleh berandal, kita boleh nakal. Tapi, kalau menilai orang sampai serendah itu, gua gak ikutan.”
“Gua tau kok, lu tenangin aja deh. Ntar kalau udah tenang, kita omongin baik baik gimananya ya.”
“Oke Fan, gua percaya kok lu. Makasih, dan ini uang rental hari ini. Gua cabut dulu. Sampein salam gua.”

Aku yang meninggalkan mereka dengan perasaan yang campur aduk. Merasa bersalah, kecewa, tak karuan menjadi satu mengantarkanku ke kosan. Rupanya sesampainya di kosan, aku mendapatkan telpon dari Rima. Dia menanyakan hal yang barusan aku alami. Entah dari mana dia tahu. Sekarang saja dia di negeri tetangga, tapi masih bisa mengetahui kondisiku saat ini. Aku yang langsung seaakan tidak terima akan hal yang dibicarakan Rima, menutup pembicaraanku dengan tanpa mengucapkan kata penutup. Dan langsung aku menuju kamar merebahkan diri sampai alunan music yang kuputar tadi kembali terdengar. dengan headset masih di telinga saat Rima menelpon dan sekarang kembali ke lagu yang sangat aku sukai.

“Ini lagu apa yang?”
“Eh.. kok kamu bangun?”
“Ada sesuatu yang nyaman aja hilang dan langsung terbangun.” Jawab Rosi dimana aku sadari kalau usapan tanganku di rambut dan kepalanya berhenti disaat aku mengingat sepenggal masa laluku.
“Maaf ya. Ini lagu kesukaan bang. Monogami.”
“Slank ya?”
“Hmmmm…. Dingin?” tanyaku disaat Rosi sudah menarik selimutnya ke atas yang hanya menyembulkan kepalanya. Ia pun menjawab dengan anggukan.
“Ya udah, ke dalam lagi yuk. Kamu tuh terlalu diporsir tenaganya. Jangan terlalu capek. Istirahat juga harus ada.”
“Iya sayaaangg… eh, ingat gak bang, saat abang dulu terjatuh dalam danau di kebun?”
“Hmmm.. insiden kamu teriak teriak minta tolong itu?”
“Bukan itu ih. Waktu abang kedinginan dan Rosi selimuti. Sekarang malah terbalik ya bang.”
“Saat kamu cemas tak karuan, lalu bela belain tidur diluar menemani bang yang tidur di sofa kan? Cieeeee..”
“Apaan sih bang. Gak jadi ah, Rosi tidur aja lagi.”
“Bang tahu kok, kalau kamu cium bibir bang disaat bang tidur.”
“Eh, kok kamu tahu?”
“Yaaa.. namanya orang lagi sakit, mana nyenyak tidurnya.”
“Eh, itu gak sengaja…”

CUPPPP..

Aku langsung mencium bibirnya memutus kata yang diucapkannya. Ya, disaat setelah sekembali aku dari pengakuan sebagai ayahnya Bella dan menjalani sisa hukuman di perkebunan ayahnya Rosi, aku sempat terjatuh ke dalam danau karena tergelincir dan menyebabkan aku kedinginan dan dirawat oleh Rosi selama 1 malam.

“Kok kamu nangis?” Tanyaku sambil mengusap air matanya.
“Hmmm… gak bang, Rosi bahagia aja.”

Sejak aku bawa dia ke kampung, aku seperti tidak mengenal Rosi yang kukenal jutek dan keras kepala itu. Ya, hanya Rosi saat aku tergelincir ke danau itu yang kurasakan saat ini, lembut dan penyayang seperti yang dikatakan ayah Rosi saat itu. Semoga jalan yang kupilih ini benar.

Bersambung…

Daftar Part