Kamu Cantik Hari Ini Part 31

Kamu Cantik Hari Ini Part 31
“Asyyyyiiiikkk.. akhirnya kita ke Ragunan juga ya yah, bund.” Kata Bella kegirangan di gendonganku disaat kami hendak meninggalkan Ragunan setelah berkeliling weekend ini.
“Iya sayang. Apa kata Bunda, ayah bakalan nepatin janjinya kan? Kamu sih gak sabaran nak” kata Rosi kepada Bella yang semakin menambah kesenangan hatiku hari ini.
“Makasih ya ayaaaahhh. Bella sayang ayah.”
“Jadi ayah aja nih yang disayang? Bunda gak?” kata Rosi sedikit ngambek.
Muuuaaccchhh…
“Bella juga sayang bunda. Makasih ya Bund.”
“Jadi bunda aja nih yang dicium, ayah enggak nih?” kataku menirukan gaya ngambekan Rosi tadi.
Muuuuaaaccchhh…
“Ih.. ayah mah gak mau kalah ya nak/”
“iyaaa.. masak bundanya aja yang dicium, ayah gak. ya gak adil dong. Iya kan nak?”
“Kan Bella anak bunda” kata Rosi dengan bercanda sambil berusaha sedikit merebut Bella dari pangkuanku.
“Bundaaaa… ayaaaahhh… geliiiiii”
“Hahahaha… udahan bund. Kasihan Bella. Yok sayang kita pulang.” Ajakku sambil menggenggam tangan Rosi sambil menggendong Bella.
Dengan genggaman kuat aku mengajak Rosi dan dengan pangkuan yang erat aku menggendong Bella untuk mengakhiri hari yang indah ini dengan makan malam di tempat yang aku tahu, ini tempat favorit keluarga besar ayah Rosi. Aku tahu dari pak sudarmono, dosenku sekaligus penasehat utama perkebunan ayah Rosi di Garut. Bahkan aku tahu kalau Rosi tak pernah ke sini lagi. Hal ini mungkin karena dia gak mau mengingat orang tuanya yang sudah tiada.
Sesampainya di tujuan, aku bangunkan Rosi yang rupanya tertidur karena perjalanan berkeliling di ragunan tadi. Aku yang menyetir sendirian selama 2 setengah jam ini sampai di Bandung, tepatnya daerah bukit Dago Pakar Bandung. Dengan pemandangan yang langsung memperlihatkan Bandung ini, ditambah dengan arsitektur resto yang unik dan modern ini membuat suasana hari ini makin bahagia.
“Kok kesini?” Tanya Rosi saat ia tahu kalau udah di parkiran resto ini.
“Yok turun sayang. Sini Bellanya ayah gendong aja.” Kataku tanpa menjawab pertanyaannya.
Aku yang langsung turun dari mobil dan langsung menuju pintu kiri membuka pintu tersebut dan menggendong Bella yang berada di pangkuan Rosi yang masih diam terpaku melihat dimana ia sekarang berada.
“Bund, ayooo” kataku sambil mengajak Rosi kembali. Dengan tanpa perkataan sedikitpun, Rosi yang keluar dari mobil masih diam tanpa kata mengikuti ajakanku. Aku yang menangkap keengganan Rosi ke tempat ini, langsung menggenggam tangannya menuju Resto. Dengan tangan yang dingin, Rosi mengikuti aku yang sudah mau masuk ke Resto. Aku yang langsung menunjuk tempat yang terletak di luar bangunan utama dan memberikan pemandangan malam Bandung, meminta kursi santai supaya menidurkan Bella disana.
“Mbak, iga bakar merah dua dan crème brulee nya dua ya mbak. Eh makasih sama kursi santainya ya mbak.” Kataku kepada pelayan wanita setelah memberikan kursi santai untuk tempat sementara Bella.
Rosi masih diam terpaku akan hal yang membuat dia mengingat kembali beberapa tahun yang lalu di tempat yang sama dengan adek dan kedua orang tuanya. Aku yang duduk di sebelah Rosi lalu menggenggam tangannya yang masih dingin.
“Maaf ya, bang bawa kamu ke sini. Bang hanya mau tau makanan favorit kamu aja.”
“Kok kamu tau bang? Ardi yang bilang?”
“Gak kok. Sekarang kamu nikmatin ya. Semoga dengan ada abang disamping kamu bisa sedikit menggantikan kehangatan mereka ya. Walau mereka gak akan bisa tergantikan. Bang hanya gak mau kamu lupa kehangatan kamu dahulu bersama mereka.”
“Hiikkksssss…”
“Abang bawa kamu ke sini bukan untuk melihat kamu sedih lho.” Kataku sambil menarik kepala Rosi ke pangkuanku.
Aku tahu ini sangat membuat Rosi merasa kangen kedua orang tuanya, tapi hal ini juga gak bisa aku tinggalkan. Aku ingin mengutarakan kalau aku ingin meyakinkan hatiku memilihnya disini, tempat kenangan ia bersama kedua orang tuanya. Aku yang hanya ingin merasakan kehangatan dahulu yang dirasakan oleh Rosi.
“Abang lakuin ini semua, karena bang ingin tahu gimana kehangatan papa dan mama. Cuma itu kok” kataku sambil membelai kepala Rosi.
“Jadi abang harap, kamu anggap disini ada mereka yang sedang senang melihat kamu sama abang ya. Bisa kan?”
“Maafkan Rosi ya bang. Selama ini….”
“Ssssttttt… yang dahulu berjasa buat kamu yang sekarang kok sayang. Biar kita lebih bisa menghargai hidup ini. Iya kan?”
“Hiiikkkssss… Hikkkkssss… Rosi bahagia bang.”
CUUPPP..
Aku yang mencium kening Rosi menenangkannya dengan situasi pikirannya bercampur dengan memorinya. Aku mengikuti saran uni Ana yang menelponku kemaren, untuk meyakinkan hatiku dengan pilihanku yang ditanyanya terlebih dahulu.
“Assalamualaikum uniiii”
“Waalaikumsalam.”
“Uni sehat?”
“Alhamdulillah. Indra baa?” (Alhamdulillah. Kamu gimana Ndra?)
“Sehat uni. Abak amak uda samo kamanakan sehat kan ni?” (Sehat uni. Abak, amak, uda, sama keponakan sehat juga kan uni?)
“Alhamdulillah sehat sadonyo. Rosi Bella ma nyo?” (Alhamdulillah sehat semua. Rosi sama Bella mana?)
“Di rumah ni. Indra kini masih di kantua ni.” (Di rumah uni. Indra masih di kantor uni.)
“Alun pulang lai?” (Belum pulang kerja?)
“Iko ka pulang uni. Apo kaba ni?” (Ini mau siap siap pulang uni. Ada kabar apa ya uni?)
“Uni lah mancaliak perubahan dari Rosi Ndra. lah baraja masak gai kan. Jadi baa kini?” (Uni sudah melihat perubahan di diri Rosi Ndra. Sampai sampai belajar masak juga kan. Jadi kamunya gimana?)
“Masih ado Afni ni.”(Masih ada Afni uni)
“Indra tau kan kalau Rosi tu mode itu kini dek a?” (Indra tau kan kalau Rosi seperti itu sekarang karena apa?)
“Tau kok uni. Indra partamonyo heran ni.” (Tau kok uni. Indra pun pertamanya heran)
“Iko manuruik uni yo Ndra. harapan untuak samo Afni ketek Ndra. dan uni pun yakin kalau ndak ado saketek pun raso ka Rosi, ndak mungkin baok basobok jo uni abak amak kan?”(Ini menurut uni ya Ndra,, kecil kemungkinan kamu sama Afni. Dan uni pun yakin kalau kamu gak ada rasa sedikitpun ke Rosi, gak mungkin kamu bawa dia ketemu sama Uni, amak dan abak kan?)
“Iyo ni.”
“Co yakinan hati adiak uni samo inyo. Uni tunjuak an caronyo yo. Co baok nyo ka tampek inyo ingek samo mendiang gaek nyo, disinan Nampak baa Rosi mah.” (Coba yakinkan hati adek uni ini sama Rosi. Uni kasih cara ya. Coba kamu bawa dia ke tempat yang bisa ia ingat sama mendiang orang tuanya. Uni yakin, pasti keliatan gimana Rosinya.)
“Walau Indra alun ngarati ni, tapi Indra cubo beko ni. Indra nio tanyo ni.” (Walau Indra belum ngerti apa maksud uni, tapi nanti Indra coba ya ni. Indra boleh bertanya ni?)
“Tanyo lah”
“Kok yakin bana uni jo Rosi?” (Kok uni yakin sekali sama Rosi?)
“Ndeeehhh.. ndak mungkin inyo amuah ngaku ngaku Bella anak nyo kalau nyo ndak wanita elok do Ndra. apolai Rosi masih ketek kan.” (Hmmmm… gak mungkin Rosi mau sampai ngeku Bella sebagai anaknya kalau Rosi gak wanita yang baik. Padahal Rosi masih baru dewasa lho.)
“Hmmmm.. iyo juo sih ni. Abak amak baa ni?” (Hmmm… Iya juga sih uni. Abak amak gimana uni?)
“Kan patang Indra caliak abak jo amak ka Rosi. Masih juo nanyo.” (Kan kemaren Indra lihat gimana abak sama amak ke Rosi. Masih juga kamu bertanya itu.)
“Iyo sih ni”
“Kini ingek kecek uni ko ha. Cinto emang ndak bisa dilandasi ibo, tapi kalau dari ibo menjadi cinta baa?” (Sekarang ingat kata uni ini ya. Cinta memang gak bisa dilandasi kasihan, tetapi kalau dari kasihan berubah menjadi cinta gimana?)
“Hmmm.. doakan Indra yo ni.”
“Pastiii.. adiak uni mah.”
“Salam ka uda yo ni.”
“Bunda kok nangis?” Bella yang membuyarkan ingatanku akan saran Uni Ana yang bangun dan melihat Rosi nangis di pangkuanku.
“Udah bangun nak? Sini.” Kataku mengangkat Bella dan membawanya ke tengah tengah kami. Ya kami duduk di bangku seperti bangku taman tanpa sandaran yang terbuat dari kayu jati dan dihias unik itu.
“Bunda gak apa kok nak. Bunda aja bahagia diajak ayah kesini.”
“Bahagia kok nangis bund?”
“Ini hadiah kelulusan bunda dari ayah kamu nak. Dan juga Bella tadi diajak ke Ragunan kan?” jawab Rosi sambil menghapus air matanya.
“Makasih ya ayaaahhh… tapi kita dimana sih yah? Bagus ya yah. Itu apa?”
“Iya sayang… Itu Bandung sayang.”
“Asyiiikkk…. Jadi kita di Bandung ni Bund?”
“Hmmm.. iya sayaaangg.. Bunda senang sekaliii.. Udah lama Bunda gak kesini lho nak. Sekarang malah sama kamu dan ayah. Bahagia sekaliiii.” Kata Rosi sambil mencium Bella.
Entah kenapa, keyakinanku untuk memilih Rosi bertambah. Apakah ini karena mengikuti saran Uni Ana yang menambah keyakinan ini. Jika ini yang aku putuskan. Aku akan beritahu Dea untuk membantuku. Namun, itu nanti saja aku pikirkan. Sekarang, disebelahku ada pilihanku yang sedang menikmati suasana ini. Dimana sekarang aku, Rosi dan Bella makan iga bakar yang ditemani creme brulee dan es campur cocorico untuk Bella.
“Enak ya yah. Igas ini.”
“Hahahha… Iga sayang.. bukan igas. Iga ini daging di dadanya sapi yang nempel di tulang rusuknya.”
“Hahahaha.. gak ngerti ya sayang. Ayah juga sih, kek ngomong sama orang dewasa aja.” Kata Rosi karena Bella hanya diam bingung dengan apa yang aku jelaskan.
“Yang penting enak kan nak?”
“Enak yah. Tumben Bunda makannya habis? Biasanya dikasih ke Bella.”
“Hehehe.. ini makanan kesukaan Bunda nak.”
“Bella juga suka bund. Es nya juga enak.”
“Suka ya nak?”
“Suka bingit yah.”
“Eh siapa yang ngajarin bingit bingit gitu sih? Hahaha” kataku gemes dengar Bella bilang “bingit” sambil memejamkan matanya. Lucunya…
“Teman Bunda di kantin kemaren yah.”
“Hahaahaha..” aku dan Rosi yang tertawa kecil mendengar Bella ngomong begitu.
“Kalau udah siap, kita langsung ke hotel aja ya nak. Dingin kan?”
“Kok gak pulang ke rumah bund?”
“Kan capek ayahnya kalau nyupir nak. Bunda gak bisa nyupir. Jauh nak.”
“Maafin Bella ya ayah.” sambil mencium pipiku.
Bersambung