Kamu Cantik Hari Ini Part 3

Kamu Cantik Hari Ini Part 3
Ade Indra Putra
Rosi Wahyuni
Bella Wahyuni
“Bang, ambilin conditioner rosi dalam tas bang, dalam tas kecil itu, bawa aja tas nya kesini” Pinta Rosi mengagetkanku dari kamar mandi kos ku.
“Bentar, bang lagu ganti baju nih.” Sahutku
“Cepetan, ntar keburu kering rambut Rosi bang” rengek Rosi dari kamar mandi yang memberhentikan kegiatan mencari pakaian yang akan dipakai membuat tubuhku hanya dibungkus oleh singlet dan boxer pendek.
“Ini… tas yang warna ungu ini kan?”
“Iya.. buka aja pintu nya, gak Rosi kunci kok.”
Kleekk…. Pintu kamar mandi pun ku buka, didalamnya terdapat bidadari yang tidak mengenakan apapun di tubuhnya. Cantik, sangat cantik malah, dengan rambut hitam lurus sepunggung yang telah basah,ditambah dengan kulit yang putih mulus bak model iklan lotion ditambah dengan bulir bulir air yang membuat detak jantungku berdegup kencang. Walaupun gundukan didadanya yang tidak terlalu besar, tapi tampak pas di tubuhnya. Dan gundukan itulah yang aku rasakan selain gundukan ibuku sewaktu beliau menyusuiku kecil dulu.
“Kenapa sih selalu liat Rosi gitu? Liatnya pasti berawal dari sini” sahut Rosi membuatku terkejut, sambil menunjuk ke dadanya.
“Gak tw kenapa, pastinya abang beruntung dengan nasib baik berpihak kea bang, karena bisa memilikimu”
“Udah ah, ntar aja, rosi gak ada waktu bang. Nanti tokonya tutup.” Katanya melarang aku berbuat jauh.
Sesaat aku kembali ke kamar, aku lantas berpakaian rapi untuk memenuhi permintaannya yang meminta cepat untuk pergi ke toko perlengkapan bayi. Ya, Rosi ditinggal ibunya yang saat itu berjuang melahirkan adik bungsunya. Sebagai si sulung, apalagi wanita, membuat Rosi lah yang bertanggung jawab atas perawatan dan kesehatan adik bungsunya tersebut. Apalagi semenjak ditinggal ayahnya yang kena serangan jantung 3 bulan yang lalu, menyebabkan Rosi lah yang dituakan di rumah itu. Ardi, adik Rosi yang baru menamatkan SMA sekarang pergi ke Garut untuk mengurus perkebunan keluarga. Itulah salah satu alasan aku tetap bersama dengan Rosi.
“Bang, ntar jemput bella dulu ya!” Ucap Rosi mengagetkanku
Kekagetanku bertambah dengan melihat tubuh telanjangnya yang membuat gairahku naik. Ku dekati Rosi sambil mencium leher belakangnya disaat ia memperbaiki handuk di kepalanya.
“Ahhh.. udah bang, ntar aja setelah kita beli susu sama popoknya Bella ya” ucap Rosi disaat dadanya yang indah itu aku remas lembut. Tak hanya remas lembut, tanganku memvariasikan antara remasan lembut-kasar dengan memainkan puting coklat kemerah-merahan itu membuat ia menggelinjang tak karuan.
Setelah setengah puas akan payudaranya, tangan kananku memutar badannya. Bibir kamipun bertemu dengan mseranya. Aku merasakan sentuhan lembut bibir nya yang tipis di bibirku. Tangan kiriku masih saja memelintir puting yang menjadi titik favorit mulutku itu. Aku turunkan wajahku untuk menggantikan tangan kiriku yang berganti posisi di selangkangannya. Tempat favorit dari kontolku yang sekarang sudah mengeras sekeras-kerasnya. Vagina yang bersih, tanpa ada bulu yang singgah di permukaannya. Berwarna merah muda dengan biji kacang yang membuat aku senang mengerjai bijinya itu.
“Udah bang, kasihan Bella,” Sontak aktivitasku berhenti, disaat kuingat Bella pasti menunggu kami di Penitipan Anak. Segera aku lepas rangkulan ku ditubuhnya Rosi. Walau sedikit merasa tanggung, akupun mencium bibir Rosi yang indah itu.
“Makasih ya bang. Walaupun abang kentang, tapi abang masih ngertiin Rosi” kata Rosi disaat memakai bajunya kembali. Ku ambil rokokku sambil menunggu ia selesai dengan dandannya.
“Pak, ini semua kesalahanku, ini tidak ada kaitannya sama Rosi Pak. Kalau bapak mau, limpahkan saja hukuman Rosi itu kepada saya, Pak”
“Emangnya dia itu pacarmu toh?”
“Kagak pak, saya tau namanya aja kemaren Pak. Begini pak, waktu itu saya mengaku salah dan ini tidak ada kerja sama pak. Ini murni kesalahan saya. Saya gak mau orang yang tidak salah kena getahnya imbas perbuatan saya Pak. Saya mohon keringanannya pak.”
“Begini saja, karena saya tau siapa kamu, saya beri kompensasi. Kamu kerjakan proyek saya bersama dia”
“Dia? Dia siapa ya pak?”
“Pacar kamu itu”
“Maaf pak, dia bukan pacar saya pak. Hmmm oke pak, saya kerjakan Pak, asal Rosi tidak dihukum Pak. Saya gak mau menambah musuh pak. Tetapi Proyek apa yang bisa saya kerjakan pak?”
“Bukan saya, tapi kami dong. Yang mengerjakannya harus kalian berdua. Karena yang dihukum kan kalian berdua. Di Garut, ada perkebunan yang sedang perlu bantuan saya. Disana diserang hama yang sangat merugikan pemiliknya. Saya akan rekomendasikan kalian ke orangnya. Kalian hanya memberi vitamin ke tanamannya menghindari datangnya hama. Itu saja.”
“Baik pak. Saya kondisikan dulu bersama Rosi. Terima kasih atas keringanannya”
“Heran saya, ngaku bukan pacar, tapi rela memberhentikan sejenak skripsimu demi dia”
“Saya juga gak tau pak. Mari pak. Assalamualaikum.”
“Yuk bang, keburu tokonya tutup. Perlengkapan si Bella udah pada habis bang.” Kaget Rosi yang membuyarkan kenanganku dulu. Bukan sih, sepenggal masa laluku.
Tanpa menjawab apapun, akupun langsung membukakan pintu Lanc*erku lebih tepatnya kendaraan roda empat Rosi yang dititipkan kepadaku. Mendiang ayahnya lah yang mempunyai ini. Sampai sekarang Rosi maupun Ardi belum bisa mengendarainya. Daripada hanya “duduk diam” di garasi, Rosi menitipkan peninggalan ayahnya ke saya. Walau aku jarang memakainya. Yang berkaitan dengannya saja kugunakan seperti sekarang ini.
“Abang kok diam?” Rosi memecah keheningan.
“Bang hanya kepikiran sama kerjaan di kantor kok.”
“Hmmm ya udah. Semalam setelah abang pulang, Bella masuk ke kamar aku. Dia buat Rosi nangis bang. Dia nanya kok abang selalu ninggalin dia, selalu pas dia kebangun gak menemukan abang di sudut rumahpun, dan malah bilang kalau abang itu gak saying sama dia.”
“Bang kagak enak aja, ntar apa kata tetangga, kita belum resmi, udah tinggal satu atap aja”
“Mereka hanya bisa komentar bang. Emang mereka mikirin dan rasain seperti yang kita rasakan?”
“Gini aja, abang akan nginap lagi jika abang gak kerja esoknya ya”
Pernyataanku hanya dibalas anggukan oleh Rosi. Hingga sampai di Tempat Penitipan Anak, tidak ada pembahasanpun yang kami ucapkan. Diam sambil mendengarkan playlist di radio kesukaanku.
*****
“Ayaaaahhhh…. Bella angen ayah.” Kupeluk gadis berumur 3 tahun kurang 2 bulan itu. Ya, selama ini aku dianggap ayah oleh Bella. Panggilan yang sebenarnya belum pantas kudapatkan, tapi inilah hidup. Aku memiliki “anak” yang harus aku besari dengan kasih sayang yang tulus.
“Ayah semalam kemana?”
“Ayah tadi malam ada kerjaan di kantor sayang, pas ayah pulang, Bella udah tidur. Dan sebelum Bella bangun, ayah langsung kantor karna kerjaan ayah semalam belum kelar sayang. Maafin ayah ya.” Permintaan maafku yang diterima anggukan semangat dari Bella. Aku menggendong Bella dengan ketulusan sambil ku kecup kening yang seharusnya memanggilku dengan panggilan abang.
“Sekarang, bella duduk sama bunda dulu ya. Ayah kan mau nyetir bum bum. Bella mau apa nak? Mau es krim sebagai permintaan maaf ayah?”
“gak yah. Ayah udah Bella maapin kok”
Aku terhenyuh mendengarkannya. Rosi pun hanya bisa tersenyum dan matanya berkaca-kaca mendengar kata kata adiknya itu. Anak berusia 3 tahun kurang sudah memiliki jiwa yang sehat. Akupun hanya bisa terdiam mendengarkan kata-kata Bella. Dia hanya ingin aku selalu bersamanya yang belum mengerti apapun tentang keluarganya, siapa aku sebenarnya, dan siapa orang tua kandungnya. Semoga sampai kamu besar, kamu bisa menjadi orang baik ya “Nak”. “Ayah” janji akan tetap menjadi “Ayah” terhebat yang kamu miliki “Nak”.
Bersambung…