Kamu Cantik Hari Ini Part 26

0
1001

Kamu Cantik Hari Ini Part 26

Sekarang aku sudah berada di bus yang membawa aku sama Rima kembali ke Surabaya untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sekembali dari “perjalanan” semalam bersama Afni, yang sudah menunjukkan pukul 5 shubuh membuat aku sekarang merasakan kantuk yang sangat.

“Kamu kok keliatan capek kali Ndra?” Tanya Rima
“Aku gak bisa tidur semalam Rim” jawabku bohong.
“Trus selamam ngapain?”
“Aku main HP sama nonton aja.”
“Kok gak bangunin aku?”
“Kamu itu tidur kek kebo. Mana bisa bangunin kalau pintunya dikunci?”
“Eh,, ngapain kalau emang dikunci. Mesum nih anak. Untung pintu aku kunci, kalau gak mungkin udah ternodai aku,”
“Ngeres ajaaa.”
“Hahahaha.. mana tau kamu khilaf.”
“Gantian aku yang tidur di bahumu ya Rim.”
“Nah kan, dari bahu sampe ke sini ntar nih.” Kata Rima menunjuk dadanya.
“Gak jadi lah.”
“Hahahaha.. belajar dari mana ngambekannya pak? Sini” kata Rima sambil menarik kepalaku yang aku tahan tahan tanggung sampai sasaran kepalaku turun ke dadanya.
“Sok ngambek, tapi sampai juga di sini.”
“Makasih ya Rim.”

Aku yang sudah sangat mengantuk ini tidur di pangkuan Rima. Rima bagiku sudah aku anggap saudara. Walau kejadian tak layak antara kami sudah terjadi. Tidak sekali, tetapi beberapa kali aku merasakan tubuhnya. Di dadanya yang lumayan ini kepalaku tenang untuk dikalahkan ngantuk ini. Aku sekarang tidak peduli apa kata penumpang lain. Supaya tidak membahayakan, aku sedikit naik ke atas dadanya bawah lehernya dengan tanganku aku lingkarkan ke pinggangnya.

“Bunda kenapa nangis?”
“Hiksss.. bunda gak nangis kok sayang. Bunda hanya hikkkkssss.”
“Ayaaahhhh… hikkkssss… Bunda kenapa ayah? Ayah dimana?Ayah kok ninggalin Bunda sama Bella?”
“Ayaaaaahhhhhh…”

Aku terbangun dari mimpi burukku.

“Kenapa Ndra?”
“Aku mimpi buruk Rim.”
“Mimpi apaan sih? Belum setengah jam lho tidurnya.”
“Mimpi Bella sama Rosi nangis.”
“Kangen kali sama mereka kamunya.”
“Hufffttt.. mungkin iya Rim”
“Pasti kamu gak jadi nelpon mereka kan?” Aku hanya menggeleng menjawab.
“Bodoh. Telpon sana.” Jawab Rima sambil memukul kepalaku

Aku langsung tegap duduk kembali untuk melawan rasa kantukku. Hal ini dikarenakan mimpi yang barusan mampir di tidurku, sangat membuatku takut. Dimana Rosi terlihat menangis dengan Bella menyalahiku dengan menangisnya Rosi. Aku tak tahu apa arti mimpi ini, tapi hal ini membuatku takut akan hal itu. Aku langsung menghubungi Rosi. Namun sudah tiga kali aku mencoba menghubunginya, Rosi tidak menjawab telpon ku.

“Mungkin Rosi nya lagi gak bisa angkat telpon kali”
“Udah 3 kali lho Rim. Gak biasanya.”
“Positif thinking aja dulu” jawab Rima menenangkanku.

Apa mungkin ini karma yang tak bisa mewujudkan realita dimana aku harus menjaga perasaan mereka terutama Rosi yang telah mau berubah sekarang. Tapi jujur, masih ada Afni di hati ini. Aku semakin gak sabaran untuk menghubungi Rosi. BBM, Line, WA dan SMS pun aku kirimkan ke kontaknya. Namun belum ada tanda-tanda akan berbalas.

“Aku tahu, kalau kamu lagi panik gak bakalan bisa diam. Tapi ini kendaraan umum Ndra, jangan buat risih orang lain kek gini.” Rima kembali mengingatkanku untuk tenang.
“Ya Rim, tapi aku belum tau kondisi mereka Rim. Kalau mereka kenapa napa gimana Rim.?”
“Percaya sama aku deh, mereka baik baik aja.”
“Aku gak mau kehilangan mereka sih”
“Makanya, kemaren tu ada momen buat jelasin ke Afni malah gak dimanfaatin. Selalu aja gak sadarkan diri kalau sudah ada Afni depan kamu.”
“Ya gimana lagi Rim.”
“Ya udah, sini nyandar lagi. Kalau kamu positif thinking, pasti baik baik aja kok.” Kembali aku ditenangkan oleh Rima dan membawa kepalaku ke badannya.

Walaupun aku kembali ke tempat yang nyaman, namun pikiranku masih saja berfikir tentang mimpi tadi yang seakan langsung membalas setelah aku gagal untuk memutuskan. Aku yang terlalu lemah kalau di depan Afni tak berkutik sedikitpun untuk mengatakan kalau apa yang dipikirkannya itu salah. Bahwa sulit untukku untuk kembali bersama Afni.

“Rim, kalau kamu jadi Afni, kamu bakalan lepasin aku gak?”
“Gak.”
“Haaa?? Kenapa??”
“Kamu itu gak bisa nyakitin hati perempuan.”
“Apa itu juga alasan Afni ya Rim?”
“Salah satunya”
“Atau aku harus nyakitin hati dia dulu, supaya dia benci sama aku ya Rim?”
“Kamu sadar gak sih, kamu sekarang sudah di dalam lingkaran yang bakal membuat sakit hati perempuan? Tapi apapun itu, sudah terjadi juga kan? Jadi tugas kamu sekarang harus meminimalisir menyakiti hati orang Ndra.”
“Dengan harus kesampingkan hati aku.?”
“Sebelumnya kamu bisa kan?”
“Ini beda Rim.”
“Konfliknya aja kok yang beda. Tujuan kamu sama kan?”
“Hmmm…” hanya itu jawabku.
“Udah, tenangin dulu. Kalau kamu yakin untuk sesuatu yang bagus, dan berusaha mewujudkannya, akan indah hasilnya kok. Percaya itu.”

Sekali lagi aku beruntung mempunyai Rima. Walau sudah 2 tahun aku gak berkomunikasi dengan dia, namun cara dia kepadaku tak berubah sedikitpun. Sayang, gak semua orang yang kenal Rima mendapatkan kelembutan Rima. Apapun alasannya, mereka kurang berjuang untuk mendapatkan kelembutan Rima ini. Sekarang aku bisa sedikit tenang karena kehangatan yang diberikan Rima, ditambah dengan kantukku mengalahkan pikiranku.

****

“Kok kamu nyanyi ini sih Ndra?” Tanya Afni disaat aku menyelesaikan lagu Bintang Di Surga ini.
“Aku seperti gak kuat dengan ini Ni. Apa aku bisa mewujudkan apa yang kamu minta tadi.”
“Kamu pasti bisa Ndra. Kamu satu satunya laki laki yang gigih dengan mengejarku, kamu satu satunya laki laki yang mau menungguku selesai belajar untuk minimal say hay, dan ingat, kamu satu satunya preman yang melindungi perempuan dan orang lemah. Dan aku yakin itu. Kamu bisa lewatin ini semua.”
“Seandainya kamu jadi Rosi, apa yang akan kamu lakukan Ni?”
“Aku akan mengubah prilaku aku yang buruk untuk mempertahankan kamu supaya selalu bersamaku Ndra.”

Iya kamu benar Afni. Emang itu yang sedang dilakukan oleh Rosi. Dan sekarang aku tidak mengenal Rosi yang sebelumnya. Rosi yang sekarang adalah Rosi yang tulus, dewasa dan mau terus belajar memaknai hidup ini. Pertama kali aku merasakan itu, aku melihat sekilas ada dirimu pada dirinya. Dan aku tak bisa memilih.

“Dan kalau itu yang dilakukan Rosi pun, aku tahu itu wajar Ndra. Dia juga wanita. Emang kodrat wanita kek gitu kok. Aku hanya berdoa kalau seandainya kamu akan memilih yang terbaik.”
“Walau aku tak memilihmu Ni?”

Pertanyaanku tak dijawab oleh Afni, ia hanya mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Aku dan Afni yang duduk di bagian belakang mobil ini menghadap pantai. Aku merasakan kehangatan malam ini mengalahkan dinginnya Pasuruan yang sudah melewati tengah malam ini.

“Apapun hasilnya Ndra, aku bangga pernah kenal sama kamu. Aku gak bisa bayangkan kalau kamu gak datang waktu itu ke hidupku, apakah aku akan percaya diri seperti ini. Apakah aku bisa berfikir dengan logika . Apakah aku akan bisa hidup tanpa ilmu logika, ilmu sosial, dan apakah aku bisa mewujudkan teori yang selalu aku pelajari pelajari pelajari setiap saat.”

Aku hanya mengelus kepalanya karena lagi aku terdiam dengan perkataannya. Kamu salah Ni, akulah yang paling beruntung karena mengenalmu. Aku gak tau kalau kamu gak bakalan berusaha membuka hati untukku, apakah aku seperti sekarang. Apakah aku mampu menjadi lebih baik dan menjadi Indra seperti sekarang. Ini berkat kamu Afni. Terima Kasih. Aku merasakan kamu ini Jari Manis Tuhan yang turun kepadaku.

“Anggap ini malam terakhirku bisa bersamamu Ndra. Dan kalaupun kamu memilihnya, aku mau malam ini, kamu hanya milikku. Dan buat malam ini terakhirku keluar selarut ini. Walau aku berharap lebih.”
“Aku gak tau Ni. Aku tak bisa berkata apa apa lagi. Masih bolehkah aku memelukmu?”
“Aku malahan bahagia di pelukanmu Ndra. Susah bagiku 2 tahun ini tanpa kehangatanmu Ndra.”

Aku memeluk Afni di malam ini. Aku bahagia dengan sedikit harapan jalan keluar masalah ini sudah menampakkan ujungnya. Walau masih belum bisa mengakhirinya malam ini. Aku merasakan Afni sebenarnya tak rela dengan kenyataan ini. Afni menangis di pelukanku. Aku merasakan apa yang ia pendam selama ini.

****

“Ndra, bangun, HP mu bunyi tuh. Ndraaaa”

Rima membangunkanku setelah aku bisa tertidur di pangkuannya sejenak. Bahkan bunyi dan getaran nada dering HP ku tak bisa membangunkanku. Aku langsung mengeluarkannya dari saku celanaku, dan aku melihat siapa yang menelpon ku. Rosi.

“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam yah. Maaf tadi gak angkat telpon sama gak balas semua pesan ayah ya. Rosi tadi lagi bimbingan sama Pak Sudar yah. Ini baru kelar. Kenapa? Kok gak tenang gitu.”
“Maaf tadi pagi bang gak nelpon kamu dan Bella ya.”
“Hahaha.. gak apa sayang, kan kamunya lagi tugas”
“Hmmmm… makasih sayang.”
“Iya sayang. Mau ngomong sama Bella?”
“Hah? Bella ikut kamu ke kampus?”
“Iyaaa..”

Perubahan apa lagi ini yang diperbuat Rosi. Biasanya Rosi gak akan mau mengajak Bella kemana mana, bahkan liburan pun, ia pasti mengajak Bella keluar dari ibukota itu. Apapun alasannya dia gak pernah seperti sekarang. Apakah ini kode jalan keluar yang harus aku tembus? Sungguh kejam aku kalau masih mempedulikan masa lalu. Tapi Afni……

“Kok diam yah.. Yaaahhh…”
“Eh iya sayang.. gak apaa.. anak ayah mana?”
“Anak ayah anak ayah, anak aku ini yaahhh. Kalau anaknya udah punya HP pasti langsung nelpon ke anaknya, gak bakalan deh nelpon Bundanya lagi.”
“Hehehehe.. masa cemburu sama anak sendiri sih sayang.”
“Habis kamunyaaa….”
“Emang kamu mau aku Tanya udah makan sama kek Bella juga?”
“Ya mau laaahh”
“Ya udaaahh. Sayangnya Indra udah makan? Masak apa tadi? Enak gak?”
“Satu satu kali sayaaangg.. Rosi eh Bunda tadi gak masak, soalnya tadi Bella kangen bubur, ya masak bubur instant aja tadi. Ini Bella nya lagi makan di kafe.”
“Kamu gak makan yang?”
“Iya ini baru pesan. Soalnya Bella duluan sama yang lain.”
“Yang lain?”
“Geng aku.. hehehehe”
“Bentar ya yah, bunda ngambil pesanan dulu ya. Ini nih anaknya.”
“Nak, ayah nih.”

“Assalamualaikum ayaaahh.”
“Waalaikumsalam nak. Lagi makan apa?”
“Ayam goreng yah. Enak yah.”
“Hmmm.. jadi lapar ayah nih. Emang sama siapa aja disana?”
“Banyak tante nih yah. Bella gak tau namanya.”
“Ditanya dong sayang.”
“Iya yah. Ayah kapan pulang?”
“Besok paling lambat ya nak.”
“Bella makan dulu ya yah. Nih Bunda. Da ayaaahhh…”
“Hahahaha.. iya nak.”

“Eh, udah aja ngobrol sama ayah? Iya yang? Kamu udah makan?”
“Sarapan aja tadi kok yang. Rame ya?”
“Iyaaa.. pada kerumunin Bella tuh.”
“Hehehehe.. popular ayahnya turun ke anaknya tuh.”
“Huuuu.. kepedean.”
“Makasih ya sayang.”
“Iyaaaa.. sama sama sayang. Bunda makan dulu ya. Kamu jangan sampai telat makannya.”
“Siap komandan.”
“Hahahaha. I Love You yang.”
“I Love you Too sayang. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam ayah”

“Udah gitu, masih mikir kamu?” Tanya Rima sesaat aku selesai menelpon Rosi dengan sikapnya yang kembali berubah.
“Sekilas aku liat Afni di diri Rosi Rim.”
“Haduuuhhh” kataku keras karena kepalaku dibogem keras sama Rima.
“Baru aja dibilangin, tau ah. Kamu urus aja urusanmu, aku gak bakalan mau nolongin kamu lagi.”
“Kok marah sih Rim?”
“Bodooo. Pikir sendiri.”

Bersambung…

Daftar Part