Kamu Cantik Hari Ini Part 22

Kamu Cantik Hari Ini Part 22
Pagi itu aku yang terbangun karena Rima membangunkanku dengan cara membangunkan yang membuat siapapun akan terbangun dengan segera. Kelakuan yang tak berubah dari dulu. Cara yang sedikit aku ketawa kecil mengingatnya, tapi tidak mau mengulanginya. Ya dengan cara memukul mukul keningku sampai aku bangun tanpa ada suara yang keluar dari bibirnya. Hanya bunyi pantulan tangannya dengan keningku yang kedengaran. Sungguh hal yang menjengkelkan pikirku. aku yang langsung menuju kamar mandi untuk mandi. Aku yang telah selesai mandi langsung menuju kamar yang Rima sedang nonton TV sambil duduk di ranjangku. Ranjang yang sudah rapi. Biarpun Rima rese, tapi ia sahabat yang baik dan pengertian kepadaku.
“Rim, aku mau ganti bajuuuu”
“Ya ganti lahhh”
“Keluar dulu laahhh”
“Heh oon, aku udah liat semua tau. Pakai malu segala. Lagian aku gak bakalin nakalin kamu saat kamu gini kok.”
“Iyaaa…”
Aku yang sudah memakai bajuku. Aku duduk disebelah Rima yang sudah memesan teh rupanya. Dan akupun menyeruput teh itu dengan anggapan bisa mengurangi grogiku hari ini. Hari ini aku berencana buat presentasi di kelompok kelompok tani dan ditemui oleh Afni sesuai dengan janji yang telah kami buat tadi malam.
“Aku grogi”
“Emang kalau presentasi ke tani selalu gini kamu?”
“Gak juga”
“Trus?”
“Ntar Afni bakalan datang Rim”
“Hmmm… emang mau ngomongin paan?”
“Gak tau”
“Ini menurut aku ya, persoalan kamu itu kompleks lho. Kamu harus mempersiapkan hal apapun yang akan kamu terima. Intinya kamu bakalan hilang salah satu Ndra”
“Aku gak bisa hilangin Afni lho Rim selama ini”
“Tapi Bella gimana? Gak mungkin sebelum remaja ia tahu kan. Kasihan lho Bellanya. Dan CATAT aku gak mau kamu ambil keduanya ya. Ingat Karma Bro”
“Oh ya.. aku belum nelpon Bella”
“Telpon lah dulu. Aku mau siap siap dulu ya.”
“Makasih Rim”
“Assalamualaikum sayang”
“Waalaikumsalam ayah. Udah sarapan?”
“Udah. Ini lagi minum teh kok. Bella mana?”
“Nih Bella. Barusan bunda disuruhnya telpon ayahnya”
“Hehehehe.. bentar ya sayang, ayah nelpon anak ayah dulu”
“Ayah sehat?”
“Kok gak salam dulu?”
“Assalamualaikum ayaaahhh”
“Waalaikumsalam nak. Ayah sehat, Bella lagi ngapain?”
“Ini mau pergi sekolah yah. Lagi nungguin taksinya”
“Hati hati ya sayang. Tadi malam mimpi apaan?”
“Mimpi jalan jalan ke Ragunan sama ayah dan bundaaa..”
“Hmmm.. Insyaallah ayah bakalan bawa Bella kesana kok. Ayah janji”
“Iya ayah.. oh ya ayah, semalam bunda ditelpon oma. Bella kangen oma yah. Kapan kita kesana lagi yah?”
“Kalau lebaran atau ayah ada libur ya nak. Emang Bella ngomong sama oma?”
“Iyaaa… Oma katanya lagi masak gala gala apaan bund? Oh ya galamai yah”
“Hahahaha.. kamu ini, galamai sayang.”
“Besok kalau kita ke kampung kita cari ya.”
“Gak usah yah, kata Bunda ntar bunda dikirimin oma kok yah. Ya kan bund? Ayaaahhhhh… taksi nya udah nyampe… Bella belum pake sepatu, ini Bunda. Hati hati ya ayah, cepat pulang”
“Iya sayang.. I Love You”
“Me Too ayah”
“Ya udah ya sayang, taksinya udah sampai nih. Bunda antar Bella dulu ya yah. Ayah hati hati disana. Cepat pulang lho. Ingat istrimu dan anakmu nunggu. Hehehe”
“Iya sayang. Hati hati ya sayang.”
“Iya sayang. I Miss You”
“Miss You Too”
“Jadi gimana? Udah tau keputusannya kan?”
“Sejak tadi Rim?”
“Iyaaa.. aku dengar semua kok. Kalau udah gini, masih mau ngorbanin orang lain?”
“Maksud kamu?”
“Dengar ya oon. Kalau udah gini gak bisa lah kamu balik sama Afni. Emang kamu mau mainin perasaan 3 cewek ha? Kasihan lho.. apalagi Afni. Aku tau kok kenapa Afni bisa nerima hal ini. Karena dia bangga dengan kamu yang bisa berbuat hal ini yang belum tentu dilakukan oleh orang lain.”
“Iyaaa aku tau kok. Afni itu orang yang selalu sempurna dimataku”
“Iyaaaa.. kamu masih ingat kata aku dahulu kan? Disaat kamu mau nembak Afni. Kamu harus sebaik Afni. Nih buktinya. Kamu sanggup mengesampingkan perasaan kamu demi menolong eh maaf demi Bella dan sekarang malah bisa sayang gitu ke Bella. Siapa yang sanggup coba? Aku aja kalau di posisi kamu, belum tentu bisa lakukan ini”
“Trus nanti?”
“Kamu anggap aja Afni seperti aku, saudara kamu. Kan gak rugi kan?”
“Emang aku bisa Rim?”
“Kalau kamu gak coba mana bisa tau hasilnya bung”
“Doain aku ya Rim”
“Pasti kok. Aku sahabatmu tau”
“Makasih ya Rim. Aku beruntung punya kamu”
“Iyaaa… mulai cengeng ya kamu. Udah bisa nangis”
“Manaaaa?”
“Itu aja berkaca kaca woy.. hahahaha”
“Reseee”
****
Selesai aku menyampaikan materi di perkumpulan kelompok tani, aku bersyukur setelah melewati satu rintangan di hari ini. Tinggal pertemuanku sama Afni yang belum. Ku melihat sekitar apakah Afni sudah sampai atau belum. Yaaa.. aku hanya bisa menunggu, karena aku loss contact sama dia. Rima yang telah berada disampingku membantu ku membereskan peralatan di meja depan tempatku memberi presentasi. Sampai Rima memberiku kode.
“Tuh Afni datang”
Seketika aku melihat seorang wanita yang mengubah tabiat burukku menjadi sekarang. Walau aku tak sebaik yang dipikirannya. Dengan menggunakan hijab yang membentuk wajahnya yang cantik dengan jilbab warna hitam yang kontras dengan kulitnya. Anggun, bak bidadari yang setiap orang baik pria atau perempuan terkesima dengannya. Apalagi setelah orang mengenalnya, dengan akhlaknya, Afni berhasil menafsirkan dan membuktikan kalau bidadari itu ada.
“Kau Cantik Hari Ini,
Dan aku sukaa…
Kau Lain sekaliiii…
Dan aku sukaa…”
Kembali lagu itu berkumandang di telinga dan otakku. Rima yang mengetahui sikapku, langsung menginjak kakiku dengan hak tingginya..
“Haduuuuhhh”
“Ingaaattt.. kita tidak zaman SMA lagi Ndra. Ingat yang aku bilang tadi”
“Iyaaaa iyaaa” kataku berbisik sebelum Afni nyampai di hadapanku.
“Hai Afniiiii.. udah lama ya kita gak ketemu..”
“Hai Rim… studi kamu udah kelar?”
“Belum sih Ni, ini lagi tambahin ambil master. Hehehehe”
“Hebat dong.”
“Tapi gak sehebat kamu sih Ni” kata Rima sambil menyenggol lenganku dengan sikunya
“Hai Afniii”
“Hai Ndraaaa…” Tatapan ituuu, tatapan yang telah lama aku rindukan
“Makasih ya udah datang”
“Aku hanya mencoba nempati janji aku kok”
“Kok kaku gini sih.. ini Reuni lho” kata Rima memutus kegugupanku
“Lebih baik gini aja Ndra, Ni.. kita ngobrol ngobrol yuk. Sambil makan siang. Aku lapar lho. Eh ni kamu udah lama disini kan? Disini dimana Rumah Makan Padang ya??”
“aku baru 2 minggu disini kok Rim, tapi untungnya aku tahu kok. Jadi pada belum makan ya?”
“Emang kamu udah ya ni?”
“Belum sih Rim, kebetulan sarapan tadi rada telat. Jadi masih kenyang lah”
“Pantes badan kamu makin bagus ya ni. Ngiri aku”
“Ahh.. biasa aja kok Rim. Aku mencoba makan teratur aja kok Rim”
“Kalau sarapan aja masih telat, gimana mau makan teratur gitu!” dengan nada yang agak tegas.
Pernyataan ku tadi membuat Afni terdiam. Aku yang spontan ngomong gitu baru sadar kalau hal itu yang selalu aku marahi Afni dahulu. Dia seakan akan melalaikan makan apabila apa yang ia kerjakan belum kelar. Rupanya Afni masih mengingat hal itu sampai ia terdiam mendengarnya.
“Ya udah.. yuk Ni, Ndra.. aku udah lapar nih” Kata Rima sambil menarikku dan Afni.
****
Aku beruntung mempunyai sahabat sekaliber Rima, kalau bukan Rima, aku gak tahu gimana bersikap dalam situasi ini. Sampai di rumah makan yang sederhana (bukan judulnya itu ya), Rima juga yang mencairkan suasana dimana aku yang muli terbiasa dengan keadaan ini. Aku di perjalanan diingatkan Rima untuk focus dengan tujuan yang tadi di atur di hotel.
“Kamu dokter apa ni?” Tanya Rima yang mencoba mencairkan suasana
“Anak Rim.”
“Oooo… pas banget tuh”
“Maksudnya Rim?”
“Iyaa…Kan kamu sangat sayang noh anak anak kecil. Masih ingat aku lho”
“Hehe biasa aja Rim. Kamu udah lanjut berapa tahun Rim?”
“Tahun esok sih wisudanya. Semoga bisa sih Rim”
“Kok lu diam aja sih Ndra? Lu masih suka ya sama Afni?”
“Apaan sih kamu Rim” selaku
Aku tau itu dilakukan oleh Rima dengan tujuan mencairkan suasana. Tetapi makin membuat aku semakin gugup. Berbeda dengan Afni yang nyaman dengan Rima keliatannya.
“Gua masih ingat Ndra, seorang Indra yang berandal bisa takluk sama Afni. Sampai sampai memberanikan diri nembak Afni saat classmeeting di lapangan sekolah sambil main gitar lagi. Masih ingat lagu apaan gak lu ndra?”
“Iya ingat lah Rim”
“Cieeee… jadi sama Afninya masih ingat juga dong?”
“Ya iya lah Rim” Batinku mengomong. Tapi tidak sampai kemulutku, karena tidak dikomandoi oleh otakku.
“Apaan sih Rim” hal itu saja yang keluar dari mulutku.
“Jangan didengarin ya Ni, kebiasaan di amah” jawabku ke Afni
“Gak berubah ya kamu Rim” Jawab Afni yang hanya menunduk malu
Aku yang melihat hal itu dari Afni serba salah. Satu sisi aku senang melihat perubahan malu malu Afni yang menafsirkan kalau ia masih merasakan ataupun masih mengingat memori indahku bersamanya dahulu. Namun, sisi lain aku harus melanjutkan misi ini. Supaya aku tidak dirudung kesalahan batin selalu yang membayangiku.
“Eh.. bentar… ada telpon dari pembimbing nih” potong Rima disaat perbincangan yang seru membahas kenangan masa abuabu dahulu.
“Iya sir. Saye sedang di Jakarta sir. Iya sir. Disegerakan” perbincangan Rima dengan pembimbingnya masih di meja bersama kami tanpa permisi sebentar untuk menghindar.
“Eh Ndra, Ni, aku ke hotel duluan ya.. aku harus kirim bahan sidangku ke sana dulu.”
“Nih laptop ada kok Rim?” mengingatkan Rima
“Bahannya kan di tas gua dodol. Tunggu sini ya bentar dekat kok. Bentar ya ni” sambil menggerlingkan matanya sambil menoyor kepalaku pelan.
Apa maksud Rima? Apa ia sengaja untuk membuat momen aku berdua sama Afni. Tapi aku gugup jika bicaranya Cuma berdua Afni.
“Kamu sehat Ni?”
“Sehat kok Ndra. Gimana kabar Bella?”
“Bella sehat kok. Ada yang mau aku jelaskan ke kamu.”
“Gak usah aku udah tw kok semuanya.”
“Maksud kamu?”
“Aku sudah tau kok, kalau kamu itu melakukan itu hanya berlandaskan menolong Dia kan?”
“Maksud kamu Dia?”
“Rosi”
“Tw nya dari siapa?”
“Rosi langsung”
“Haaaa??”
Bersambung…