Kamu Cantik Hari Ini Part 2

Kamu Cantik Hari Ini Part 2
Ade Indra Putra
Rosi Wahyuni
“Liat noh si bang Ade, udah sukses gitu, masih aja setia sama si Rosi, senang ya jadi Rosi!”
“Kalau aku jadi bang Ade, ngapain nunggu nunggu orang yang gak berusaha untuk memantaskan dirinya sendiri, untuk lulus aja belum kepikiran.”
“Iya udah hampir kena DO si Rosi nya belum juga keliatan konsul sama pembimbingnya”
“Iya, kasihan ya bang Ade”
Percakapan liar yang kudengar dari gerombolan mahasiswi, terhenti dengan melekatnya headset di telingaku. Ya, disaat percakapan yang menyindir ataupun menghina Rosi, aku seakan tak bisa membalas mereka. Hanya bisa terdiam tak berbalas. Biar Tuhan yang akan balas semuanya. Atau ini yang dinamakan karma ya. Hmm bisa jadi. Aku kembali masuk ke dalam lubuk kegalauan yang membuat pikiranku kaku tak bergeming.
“Untuk persembahan terakhir untuk programa Balada Lagu Indonesia, kita persembahkan lagu dari Lobow “Kau Cantik Hari Ini”
Hufffttt… kenapa lagu ini sih. Apa semua orang-orang menertawaiku ya? Hmm entahlah. Ku closed radio favoritku, dan mengganti hp ku dengan bungkusan rokok.
“Dengan ini aku bisa sedikit tenang, gimana kalau rokok ini harganya naik ya. 50 ribu pula, gak sadar apah kalau perekonomian beberapa daerah dari rokok.” Aku berpendapat sendiri.
“Gak lama kan bang nunggunya?” seorang wanita cantik yang kutunggu mendatangiku.
“Belum sih, palingan 5 menitan” Jawabku
“Kok pakai motor sih, kan rosi pakai rok nih”
“Ini jaket, tutup aja dulu, ntar kita ke kos abang dulu, jemput mobil”
“Ya udah, cepetan”
Rosi Wahyuni, sudah 1 tahun lebih aku bersama dia. Wanita kelahiran Bandung ini sekarang berada di belakangku, yang sedikit enggan memelukku. Mungkin karena kesal dengan keadaan kepengen duduk di mobil dengan santai, malah berkutat dengan debunya jalanan. Tak disengaja, rem pun mengakibatkan pegangannya menguat. Dan sisi kiri punggungku merasakan seonggok daging kenyal yang sebenarnya sudah biasa aku rasakan, tetapi entah kenapa tiada kata bosan dengan tubuhnya ini.
“Udah dapat banyak, malah ambil kesempatan”
“Sumpah, gak sengaja. Itu ada lobang, besar malahan”
“Terserah.. kalau abang gak mau lagi ya udah, rasain aja tuh kesempatan. Jangan lebih”
“Aduh, langsung hukuman mati tu, gak ada hukuman yang lebih ringan ya?”
“Gak!”
Hukuman? Ya, inilah awalnya aku ketemu dengan Rosi. Sama-sama dihukum oleh dosen yang sama. Disaat aku mengulang satu pelajaran untuk syarat kelulusan ku dari Universitas ternama di Bandung ini, aku ketahuan menyontek karena tidak mau nya kegagalan dalam mata pelajaran yang sama untuk kedua kalinya.
“Ini sih gara gara aa’ ya. Aku juga kena imbasnya!”
“Maaf dek, abang semalam gak belajar. Proposal bang ditolak sama pembimbing. Jadinya ngulang terus.”
“Itu mah derita aa’ , ngapain saya mikirin itu juga”
“Hmmm… Maaf ya dek”
“Udah diskusinya? Emang belum kelar ya diskusi di ujian tadi?” Tiba-tiba saja suara itu menggelegar di ruangan ini.
“Maaf pak. Ini kes….”
“Kalian berdua kan tau, kalau ketahuan gini wajib saya kasih nilai E. Mending jujur, masih bisa nilai C saya kasih kan” Imbuh Bapak Sudarmono, salah satu dosen senior di Fakultas Pertanian ini.
“Masa’ Cuma C sih Pak. Sama aja atuh pak” Jawab wanita disebelah saya yang sungguh mengagetkanku.
“Siapa nama kamu?”
“Rosi Wahyuni”
“Bagus, Rosi Wahyuni dan Ade Indra Putra, kalian selamat mengulang di tahun depan ya. Saya gak perlu periksa ujian kalian lagi. Terima Kasih bantuannya.” Kata Pak Ono mengagetkan kami.
“Gak adil lah Pak. Kan saya gak salah, ngapain saya yang dihukum sih pak.” Kata Rosi yang kuketahui namanya barusan.
“Mencontek itu perbuatan tercela secara kelompok, bukan perorangan. Yang dihukum pun bukan perorangan. Anggap ini sebagai pembelajaran dari kalian. Kalau sudah mengerti, sebaiknya kalian meninggalkan ruangan saya. Saya mau istirahat.”
“Maaf pak. Permisi” Imbuhku tanpa diikuti permintaan maaf ataupun izin keluar dari Rosi.
“Ini semua salah kamu ya. Dasar Orang kampung.”
“Maaf, saya akan tanggung Jawab.” Imbuhku
“Kagak usah, emangnya aku hamil apah pakai tanggung jawab segala” Sahutnya seraya meninggalkanku terpaku sendiri menyesali kebodohanku tadi di ujian.
“Kok malah diam? Mikirin apaan?” Tanya Rosi membawaku kembali kemasa sekarang.
“Gak, ada masalah dikit di kantor.” Jawabku mengelas.
“Ooooo” satu kata yang keluar menjawab pernyataanku.
“Gimana skripsinya udah diajuin proposalnya?”
“Ngapain nanya itu sih, bikin badmood aja. Ngapain juga Rosi mikirin itu, kan abang udah kerja. Lagian warisan papa masih ada noh di Garut. Kan bisa kita handle sebagai mahasiswa pertanian!” Jawabnya.
“Iya, tapi kan lebih baik ditamatkan studinya.”
“Ceramah lagi, turunin aja disini” potongnya.
“Hmm iya.”
Kenapa kalau dengar kata “turunin”, “udahan”, “putus” itu, aku tak bergeming sedikitpun ya. Bukan karena aku sangat mencintainya, bukan pula karena aku sangat menyayanginya, Tapi semua ini karena amanah Bapak Wahyu, ayahanda Rosi.
Bersambung