Kamu Cantik Hari Ini Part 10

Kamu Cantik Hari Ini Part 10
Ade Indra Putra
Rosi Wahyuni
Bella Wahyuni
“Assalamualaikum amak, abak” ucapku disaat memasuki ruangan dimana bapakku dirawat. Ku cium tangan mereka satu persatu, aku kangen sama situasi ini. Dimana aku sebagai anak bungsu, meninggalkan orangtuanya untuk berkarir di tanah orang.
“Bilo ang tibo?”(Kapan kau datang?) Tanya Abak. Abak dan Amak emang tidak mengetahui kalau aku pulang. Karena aku minta ke Uni untuk merahasiakannya dulu.
“Baru bak. Indra baok pinyaram bak ha.” (Baru nyampe bak. Indra bawa pinyaram nih bak.)
“Maaa Uni?(Uni mana?) Tanya Amak
“Pulang santa mak. Indra surang kamari pakai oto da fahri.” (Pulang sebentar mak. Indra sendiri kesini bawa mobil Uda Fahri).
“Ndak karajo ang?” (Gak kerja kamu?) Tanya Bapak lagi. Aku pun menjawab dengan gelengan, sambil ku pegang tangan beliau. Aku emang diajarkan keras olah Abak. Karena beliau pensiunan TNI. Dan dilembutkan oleh amak yang seorang bidan di kotaku ini.
“Cuti, bak. Baa kok bisa abak masuak rumah sakik? Ubek lai minum, bak?”(Cuti , bak. Kok bisa Bapak masuk Rumah sakit? Obat diminumkan?) tanyaku.
“Polisi tu nyuruah abak belok, kalau belok tambah jauah lah abak. Tu ditilang e keceknyo abak ndak mamatuhi perintahnyo.” (Saat Polisi menertibkan lalu lintas, Polisi tersebut menyuruh berbelok, padahal kalau belok, jalan bapak tambah jauh. Karena terus melaju, bapak ditilang dengan alasan tidak mematuhi perintah polisi tersebut.) Jelas ayah.
“Abak tu capek bana emosi nyo nak.” (Abak tu terlalu mudah emosi nak)
“Hahaha… turun ka ang mah. Tapi sajak samo Afni, lah lunak se.” (Turun ke anaknya juga, tapi semenjak bersama Afni, gak emosian lagi.) kata Abak.
“Afni lagi. Semoga abak dan amak tidak menanyakan afni” pikirku.
“Afni sehat?” Tanya amak yang membuyarkan doaku barusan.
“Sehat mak.”
“Pulangnyo?” (Pulang dia?) Tanya abak.
“Indak bak” (Tidak abak)
“Iyo yo, baru rayo patang nyo pulang. Ang ndak bisa pulang dek karajo pas malam takbiran ka luar kota keceknyo ka abak jo amak.” (Iya ya, baru lebaran kemaren dia pulang. Kamu gak bisa pulang karena kerja di malam takbiran di luar kota katanya ke amak dan abak.)
Haaaa? Aku tak habis piker kali ini. Sudah 1,5 tahun aku tidak ketemu sama dia, tetapi kenapa dia masih menganggapku seperti dulu. Sama keluargaku pun masih menganggap seperti dahulu. Bahkan, ia sempat ke rumahku pas lebaran untuk bersilaturahmi ke rumahku, walaupun aku tak berada disini.
“Jangan temui aku dulu setelah ini, sebelum aku yang nemui kamu dulu Ndra, kalau aku udah siap menerimanya.”
“Maafkan aku ni, aku gak ada niat melukaimu, sungguh.”
“Sudah Ndra, aku udah maafin kamu. Tapi aku belum bisa menerimanya saja.”
“Aku sayang kamu Afni.”
“Baa kok diam nak? Lah makan?” (Kok diam nak? Sudah makan?) Tanya amak mengagetkanku.
“Indak mak. Sanang se bisa pulang sabanta.” (Gak mak. Hanya senang bisa pulang walau sebentar.) jawabku menggeleng karena ya dari pagi aku hanya makan roti dan pinyaram tadi.
“Bak, amak pulang santa dih. Masak. Ndak baa do kan bak?” (Bak, amak pulang sebentar ya mau masak. Gak apa kan?) Tanya amak ke abak.
“Ndak baa. Abak nio lalok lo lu. Ndra pulang lah lu nak. Istirahat. Abak surang ndak baa gai do. Masih sore juo kan.” (Gak apa. Abak pun mau istirahat. Ndra, kamu pulang lah dulu sama amak. Istirahat juga. Abak sendiri gak apa. Kan masih sore.) Jawab abak meyakinkanku dan amak.
Aku lantas meninggalkan rumah sakit dengan amak. Di perjalanan, aku ceritakan ke amak, aku pulang bukan sendiri. Sama Rosi dan Bella. Aku lihat dari wajah amak, amak merasa terharu seperti uni Ana pas ku ceritakan pertama. Namun, pertanyaan amak sama dengan yang datang di kepalaku tadi.
“Kenapa Afni masih datang ke rumah pas lebaran kemaren?” Tanya amak
“Indra juga gak tw mak. Malahan, pas Indra ketemu sama temannya Afni. Mereka malah bilang Indra masih sama Afni mak. Malahan bilang kalau Indra satu apartement sama Afni, mak.”
“Ahh.. sudahlah. Ntar kita akan tau apa yang sebenarnya. Yang terpenting kamu tidak salah jalan ya nak. Niatkan baik-baik. Bismillah.”
“Iya mak. Indra minta ke amak, jangan sebutkan masa lalu Indra sama Rosi bahkan Bella ya mak.”
“Insyaallah nak.”
Lega rasanya, disaat aku takut akan melangkah, amak selalu memberikan nasehat dan menampakkan seberkas cahaya terang kepada anaknya ini. Memang benar kalau Ibu itu bidadari surga. Ibuku ini mempunyai bapak kewarganegaraan Jerman. Sedangkan nenekku asli Minang. Selama bersama abak lah, amak fasih berbahasa minang. Walau bahasa itu hanya dipakai bersama abak. Kepada anak-anaknya saja, beliau masih memakai bahasa Indonesia. Amakku emang hebat. Terima Kasih mak.
****
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam ayaaaahhh…”
“Salam sama nenek nak. Ini ibunya ayah.”
“Assalamualaikum oma. Aku Bella ma.”
“Waalaikumsalam nak. Sini peluk oma.”
Bella pun lantas memeluk amak. Aku hanya terharu melihatnya. Aku bangga berada ditengah tengah hidup dua wanita ini. Walau Bella tidak ada hubungan darah apapun denganku, aku sangat menyayanginya bukan perasaan iba. Tapi ini benar benar menganggap bahwa Bella itu anakku sendiri.
“Jangan oma. Bella berat. Ntar oma sakit gendong Bella.” Kata Bella disaat amak ingin menggendongnya. Namun amak tak menghiraukan kata-katanya.
“Bunda mana nak?” tanyaku
“Bunda masak sama tante Ana yah”
Masak? Selama ini Rosi gak pernah masak. Gimana bisa ia menyempatkan dirinya ke dapur. Di rumahpun dia menyewa pembantu harian yang hanya datang untuk masak, nyuci, bersih bersih rumah. Aku sungguh heran tak karuan saat ku lihat Rosi sedang diajari masak sama Uni Ana. Semoga kamu berhasil Rosi.
“Bundaaaaaa….” Disaat aku, amak yang menggendong Bella datang ke dapur. Dan mengejutkan Rosi. Rosipun langsung menghentikan kerjaannya menghampiri amak. Ia mencium tangan amak, dan amak langsung memeluk Rosi. Aku hanya bisa terdiam melihatnya. Sungguh ini semua diluar dugaanku. Aku menyangka hal sebaliknya yang akan menimpaku. Air mataku berlinang. Biarpun aku dikenal preman di kalangan teman-temanku. Aku masihlah manusia yang rapuh, apalagi di dekat orang yang aku sayangi.
“Bella turun dong nak, kan berat omanya.” Kata Rosi
“amak yang mau gendongnya kok nak.” Jawab amak
“Kamu masak apa nak?” Tanya amak ke Rosi.
“Rosi Cuma bantu- bantu Uni Ana mak. Rosi gak pandai masak.” Kata Rosi menundukkan wajahnya.
“Bella turun dulu ya nak. Ikut sama om Fahri jemput kak Alya dan Bang Aldi ya nak.” Kata Uni Ana yang masih memotong daging.
“Ayok Bella. Ikut sama oom.” Kata Uda Fahri mengambil Bella dari amak. Aku hanya bisa terdiam lihat Bella yang mudah akrab dengan keluargaku di pertemuannya perdana dengan mereka. Aku kembali ke kamarku di saat amak, Uni Ana, dan Rosi di dapur setelah ditinggal Uda Fahri dan Bella yang menjemput keponakan-keponakanku. Aku berniat untuk membersihkan bawaanku tadi. Karena sesampai di rumah tadi, aku langsung meminjam mobil Uda Fahri untuk pergi ke rumah sakit menemui orang tuaku.
Saatku masuk ke kamar ku, aku lihat kamarku masih seperti dulu, dan masih rapi. Amak selalu membersihkannya kupikir. Disaat aku hendak memasukkan bajuku ke lemari dari travel bagku, aku terdiam karena semua bajuku sudah masuk ke dalam lemari dengan rapi. Apakah Rosi yang merapikannya? Kan yang tau kodenya hanya Rosi selain aku. Pikirku. Aku cuma tersenyum bangga, “semoga kamu bisa keluar dan jadi dirimu yang sebenarnya karena aku yakin kamu itu wanita yang lembut.”
***
“Ayaaahhh.. bangun yah. Sholat. Sudah magrib lho.”
Bella membangunkanku. Ternyata aku tertidur setelah lama aku tidak tidur di kamar yang selalu tempatku beraktivitas dari aku kecil hingga aku SMA.
“Iya nak. Bunda mana?”
“Bunda sama Oma nunggu ayah di meja makan.”
“Iya.. iyaaa.. ayah sholat dulu ya nak. Ayah mandi dulu.”
“Iya ayah. Kata Bunda, itu handuk sama perlengkapan mandi ayah di atas meja.” Kata Bella meninggalkanku berlalu menuju ruang makan.
“Handuk ini?” pikirku sambil alisku mengerut. “Kok bisa handuk ini yang diberikan Rosi ya. Apakah Rosi tw kalau ini handuk hadiah dari Afni?” aku berfikir sambil menuju kamar mandi.
Bersambung